ISBN: - PDF Free Download (2025)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL TEKNIK MESIN VII “Meningkatkan Kualitas Penelitian dalam Bidang Teknik Mesin untuk Memajukan Industri Nasional yang Ramah Lingkungan”

Hak Cipta © 2012 oleh SNTM VII Jurusan Teknik Mesin Universitas Kristen Petra Dilarang memproduksi, mendistribusikan bagian atau seluruh naskah publikasi ini dalam segala bentuk apapun tanpa seijin Jurusan Teknik Mesin Universitas Kristen Petra.

Dipublikasikan dan didistribusikan oleh: Jurusan Teknik Mesin Universitas Kristen Petra Jl. Siwalankerto 121-131 Surabaya 60236 INDONESIA

ISBN: 978-979-25-4415-2 i

REVIEWER SEMINAR NASIONAL TEKNIK MESIN VII JURUSAN TEKNIK MESIN UNIVERSITAS KRISTEN PETRA

1.

Prof. Dr. Ir. Eddy Sumarno Siradj M.Sc. (Manufaktur, Universitas Indonesia)

2.

Prof. Dr. Ir. Wajan Berata, DEA (Desain, Institut Teknologi Sepuluh Nopember)

3.

Prof. Ir. ING. Wardhana, M.Eng., Ph.D. (Konversi Energi, Universitas Brawijaya)

4.

Prof.Dr.Ir Djatmiko Ichsani,M.Eng (Konversi Energi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember)

5.

Prof.Dr.Ir.Djoko Suharto,MSc (Design, Institut Teknologi Bandung)

6.

Prof.Dr.I Nyoman Sutantra,MSc (Otomotif, Institut Teknologi Sepuluh Nopember)

7.

Prof.Dr.Kuncoro Diharjo,ST,MT (Manufaktur,Universitas Sebelas Maret)

8.

Dr.-Ing. Suwandi Sugondo (Otomotif, P.T. Agrindo)

9.

Dr. Juliana Anggono (Manufaktur, Universitas Krsiten Petra)

10. Dr.Ir.Muchamad Harly,MT (Otomotif, VEDC Malang) 11. Prof.Dr.Ing,Ir Mulyadi Bur (Design, Universitas Andalas) 12. Ir Purnomo,MSME,PhD (Konversi Energi, Universitas Gadjah Mada) 13. Prof Dr.Ir.Yatna Yuwana Martawirya (Manufaktur, Institut Teknologi Bandung)

ii

SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL TEKNIK MESIN VII JURUSAN TEKNIK MESIN UNIVERSITAS KRISTEN PETRA

Ketua Panitia

:

Ir. Ekadewi A H, MSc

Sekretaris

:

Ian Hardianto Siahaan, MT Dandy Barata Soewandito, ST., MSc., PhD.

Bendahara

:

Dra.Gan Shu San,MS

Editor

:

Fandi Dwiputra Suprianto,ST,MSc Ir. Oegik Soegihardjo, M.A, M.Sc. Ir. Joni Dewanto, MS.

Acara

:

Ir. Joni Dewanto, MS.

Konsumsi

:

Ir. Ninuk Jonoadji, MT., MM

Perlengkapan

:

Ir. Philip Kristanto

Publikasi

:

Hariyo P S P, ST., M.Phil. Roche Alimin, ST., M.Eng.

Sponsorship

:

Willyanto Anggono, ST., M.Sc.

iii

SAMBUTAN KETUA JURUSAN TEKNIK MESIN UNIVERSITAS KRISTEN PETRA

Krisis energi yang terjadi secara global dewasa ini merupakan tantangan bersama bagi seluruh umat manusia. Termasuk di Indonesia sendiri, ketahanan energi merupakan salah satu sektor yang sangat perlu mendapat perhatian dari pemerintah oleh karena peranannya yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan dan pengelolaan energi, maka kolaborasi antara perguruan tinggi/lembaga penelitian dan pelaku bisnis (industri) harus dapat terjalin dengan baik dan saling mendukung satu dengan lainnya. Selama 6 tahun berturut-turut, Seminar Nasional Teknik Mesin (SNTM) telah sukses diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Mesin Universitas Kristen Petra dengan maksud untuk meningkatkan sinergi antara perguruan tinggi, lembaga peneliti dan industri dalam bidang riset dan pengembangan. Di tahun 2012 ini, SNTM VII kembali diselenggarakan dengan sebuah misi yaitu untuk meningkatkan kualitas penelitian dalam bidang teknik mesin demi mewujudkan industri nasional yang ramah lingkungan (sustainable). Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan perekonomian dan pembangunan melalui peningkatan ketahanan energi nasional. Terimakasih atas partisipasi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini. Semoga pelaksanaan SNTM VII dapat menginisiasi dan meningkatkan kolaborasi antara perguruan tinggi/lembaga penelitian dan industri, sehingga akhirnya terobosan-terobosan yang dihasilkan dapat menggugah inspirasi dan memberikan manfaat bagi peserta dan pembaca. Selamat berseminar, Tuhan memberkati.

Surabaya, 15 Juni 2012 Ketua Jurusan

Fandi D. Suprianto

iv

SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL TEKNIK MESIN VII JURUSAN TEKNIK MESIN UNIVERSITAS KRISTEN PETRA

Tiada sesuatu dapat terjadi tanpa campur tangan Tuhan, Pencipta alam semesta dan isinya. Kami mengucapkan puji dan syukur untuk rahmat dan pertolonganNYA dalam persiapan hingga pelaksanaan Seminar Nasional Teknik Mesin VII. Segala persiapan telah dilakukan dengan sebaik yang kami dapat. Semoga kiranya semua peserta yang telah hadir dapat memetik manfaat melalui pemaparan hasil penelitian dan diskusi selama Seminar sehari ini. Adapun tema yang kami usung kali ini adalah “Meningkatkan Kualitas Penelitian dalam Bidang Teknik Mesin untuk Memajukan Industri Nasional yang Ramah Lingkungan”. Dengan tema ini, kami berharap kita semua menjadi lebih peduli terhadap lingkungan dan mendorong penelitian yang ramah lingkungan seperti efisiensi penggunaan sumber energi dan diversifikasinya, penggunaan material yang ramah lingkungan, disain dan proses yang hemat energi, dan lain sebagainya yang nantinya dapat diterapkan pada industri nasional kita. Pada Seminar ini, kami memanfaatkan website untuk sarana komunikasi dan wadah untuk penyebaran informasi dan pengumpulan abstrak beserta makalah lengkap. Lebih dari 60 calon pemakalah mengirimkan abstrak kepada kami. Semua abstrak dievaluasi oleh tiga reviewer. Dari evaluasi dan rekomendasi reviewer, pada hari ini 46 makalah akan dipaparkan dan diskusikan oleh 42 orang pemakalah. Pada tahun mendatang, semoga kiranya seminar nasional ini dapat diikuti oleh kalangan yang lebih luas sehingga seminar ini menjadi forum untuk membangun dan meningkatkan kerjasama antara peneliti dan praktisi di industri, serta menambah wawasan baru bagi para peserta. Akhir kata, kami menyampaikan terima kasih kepada para reviewer, pemakalah, rekanan dari PT Prosinergi Multitama, dan semua rekan panitia yang telah berkontribusi dan berpartisipasi sehingga Seminar Nasional Teknik Mesin VII ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Selamat berseminar. Tuhan memberkati kita semua.

Surabaya, 15 Juni 2011 Ketua Panitia

Ekadewi A. Handoyo, MSc.

v

KATA PENGANTAR

Dalam beberapa tahun terakhir, isu ramah lingkungan menjadi bagian yang harus diperhatikan oleh semua pihak, mengingat kerusakan lingkungan mempunyai dampak jangka panjang yang merugikan manusia. Seiring dengan isu tersebut, bidang Teknik Mesin yang berbagai produknya sedikit ataupun banyak, mempunyai pengaruh tertentu terhadap lingkungan, terus berupaya agar dampak negative terhadap lingkungan dari produk-produk yang dihasilkan, dapat dikurangi. Tema Seminar Nasional Teknik Mesin VII, yaitu „Meningkatkan Kualitas Penelitian dalam Bidang Teknik Mesin untuk Memajukan Industri Nasional yang Ramah Lingkungan‟ mengajak para peneliti untuk menghasilkan karya-karya penelitian yang ramah lingkungan yang bisa direalisasikan di berbagai industry. Ruang lingkup topic makalah meliputi: Disain, Konvensi Energi, Manufaktur, dan Otomotif. Para peneliti dari berbagai perguruan tinggi ikut mengambil bagian dalam seminar yang secara rutin dilakukan tiap tahun ini. Sebagaimana yang selalu diharapkan dari penyelenggaraan seminar semacam ini adalah, akan semakin banyak hasil penelitian yang bisa diimplementasikan di industry sehingga hal-hal positip hasil penelitian dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas. Kiranya capaian yang sudah dihasilkan oleh para peneliti menjadi suatu pendorong untuk menghasilkan karya-karya penelitian lanjutan yang semakin baik. Selamat berkarya.

Surabaya, 15 Juni 2012 Tim Editor

vi

DAFTAR ISI Halaman SUSUNAN REVIEW ....................................................................................................................................................

ii

SUSUNAN PANITIA ....................................................................................................................................................

iii

SAMBUTAN KETUA JURUSAN.............................................................................................................................

iv

SAMBUTAN KETUA PANITIA...............................................................................................................................

v

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................................................

vi

DAFTAR ISI ...................................................................................................................................................................

vii

KEYNOTE SPEAKER 1.

MENINGKATKAN KUALITAS PENELITIAN TEKNIK MESIN UNTUK MEMAJUKAN INDUSTRI NASIONAL YANG RAMAH LINGKUNGAN I.N.G. Wardana ..........................................................................................................................

1-5

DESAIN 2

3.

4.

5.

6.

7.

8.

ANALISIS KEKUATAN PINTU GESER KOMPAK PADA BUSWAY DENGAN METODE ELEMEN HINGGA Tono Sukarnoto, Soeharsono ...........................................................................................................................

D1-D5

MODELING AND SIMULATION OF SCRUBBER SYSTEM DYNAMIC IN GAS REFINERY PLANT Joga Dharma Setiawan, Yuhanes Dedy Setiawan .........................................................................................

D6-D11

STUDI EKSPERIMENTAL LAJU KEAUSAN (SPECIFIC WEAR RATE) PADA ULTRA HIGH MOLECULAR WEIGHT POLYETHYLENE (UHMWPE) DENGAN STAINLESS STEEL SEBAGAI SENDI LUTUT BUATAN (TOTAL KNEE JOINT REPLACEMENT) MANUSIA Moch. Solichin, Yusuf Kaelani, Tri Vicca Kusumadewi, Ferianto .............................................................

D12-D15

PERANCANGAN TURBIN MIKROHIDRO TIPE PROPELER VANES KAPASITAS 1000 WATT M. Dwi Trisno, Muhammad Firdausi, Dahmir Dahlan ................................................................................

D16-D21

PENGARUH KECEPATAN MANDREL TERHADAP COMPRESSIVE RESIDUAL STRESS PADA PROSES COLD EXPANSION HOLE Moch. Agus Choiron, Heny Andya, Anindito Purnowidodo .......................................................................

D22-D27

PENGEMBANGAN METODE INTEGRASI NUMERIK YANG MAMPU MEREDUKSI PENGARUH SINYAL PENGGANGGU Budi Heryadi dan Zainal Abidin......................................................................................................................

D28-D32

PEMODELAN DAN SIMULASI KEANDALAN KOMPONEN PESAWAT TERBANG TIPE BOEING 737 SERIES-300/-400 DI PT. MNA MENGGUNAKAN RAPTOR Firman Yasa Utama, Nur Yuniarto, Sudijono Kromodihardjo ....................................................................

D33-D39

vii

KONVERSI ENERGI 9.

PENGUJIAN KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS DAN FAKTOR GESEKAN PADA PENUKAR KALOR PIPA KONSENTRIK DENGAN STRAIGHT DAN OBLIQUE DELTA WINGLET TWISTED TAPE INSERT Tri Istanto, Wibawa Endra Juwana .................................................................................................................

K1-K7

10. STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH JUMLAH SUDU INNER FAN TERHADAP PENINGKATAN VOLUMETRIC FLOW RATE VENTILASI TURBINE VENTILATOR Teguh Hady Ariwibowo, Triyogi Yuwono....................................................................................................

K8-K11

11. KAJIAN EKSPERIMENTAL EFEK SEPARASI DAN SECZONDARY FLOW TERHADAP PERFORMA RECTANGULAR ELBOW Khoiri Rozi, Berkah Fajar TK .........................................................................................................................

K12-K16

12. DESAIN DAN EVALUASI PEMBAKAR BERBAHAN BAKAR LPG (LPG BURNER) Hery Sonawan, Sutrisna ...................................................................................................................................

K17-K19

13. PENGARUH TEMPERATUR UDARA TERHADAP UNJUK KERJA UNIT DESALINASI SURYA BERBASIS POMPA KALOR DENGAN MENGGUNAKAN PROSES HUMIDIFIKASI-DEHUMIDIFIKASI Indri Yaningsih, Tri Istanto, Agus Purwanto .................................................................................................

K20-K25

14. KAJIAN EKSPERIMENTAL DAN ANALISA NUMERIK EFEK SEPARASI DAN SECONDARY FLOW PADA ARAH RADIAL TERHADAP PERFORMA RECTANGULAR ELBOW DENGAN VARIASI BILANGAN REYNOLDS Drajat Indah Mawarni, Berkah Fajar Tamtomo Kiyono ..............................................................................

K26-K33

15. PREDIKSI TEKANAN TERHADAP VARIASI RASIO EQUIVALEN PADA SISTEM HOMOGENOUS CHARGE COMPRESSION IGNITION (HCCI) MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK BERBASIS REAKSI KINETIK Cokorda Prapti Mahandari, Bayu Asmara .....................................................................................................

K34-K37

16. SIMULASI NUMERIK DENGAN PENDEKATAN RANS PADA ALIRAN YANG MELINTASI SILINDER SIRKULAR DEKAT DINDING A. Grummy Wailanduw, Triyogi Yuwono, Wawan Aries Widodo ...........................................................

K38-K43

17. STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH SUDUT SUDU INNER FAN TERHADAP UNJUK KERJA TURBINE VENTILATOR Priyo Agus Setiawan, Triyogi Yuwono..........................................................................................................

K44-K47

18. UJI KINERJA KOMPOR SURYA DENGAN VARIASI BENTUK GEOMETRI DAN LUAS KOLEKTOR Fitri Wijayanti, H.Ahsan ..................................................................................................................................

K48-K54

19. KINERJA TURBIN MIKROHIDRO TIPE PROPELER VANES KAPASITAS 1000 WATT Muhammad Firdausi, M. Dwi Trisno, Dahmir Dahlan ................................................................................

K54-K58

20. KARAKTERISTIK TEKANAN DAN ALIRAN SEKUNDER DI DALAM RECTANGULAR ELBOW 90º Sutardi dan Puti S. .............................................................................................................................................

K59-K64

21. KARAKTERISTIK TEKANAN DAN ALIRAN SEKUNDER DI DALAM ASYMMETRIC FLAT-WALLED DIFFUSER 20° Sutardi, Ahmad Ubaidillah M..........................................................................................................................

K65-K68

viii

22. STUDI NUMERIK PERPINDAHAN PANAS ALIRAN YANG MELINTASI (CROSSFLOW) SILINDER SIRKULAR TUNGGAL PADA REGIME SUB-CRITICAL Arif Kurmiawan.................................................................................................................................................

K69-K73

23. PERANCANGAN FUEL GAS TREATMENT UNTUK PLTG Toto Supriyono, Bambang Ariantara ..............................................................................................................

K74-K77

24. PEMODELAN NUMERIK 2D DAN UJI EKSPERIMEN TENTANG KARAKTERISTIK ALIRAN DAN UNJUK KERJA HELICAL SAVONIUS BLADE DENGAN VARIASI OVERLAP RATIO 0,1; 0,3 DAN 0,5 Wawan Aries Widodo, Dwi Septyan Waluyo, Wilhansen Sindhu Kamarga, Aditya Sayudha Prabowo, Merdeka Alamsyah, Abdul Manan................................................................................................

K78-K83

25. OPERASI PUTARAN DAN JUMLAH SUDU PADA SISTEM PEMBANGKIT ENERGI TERBARUKAN BERBASIS TURBIN ALIRAN SUNGAI SUMBU HORISONTAL Ridway Balaka, Aditya Rachman, Jenny Delly ............................................................................................

K84-K88

26 PENGUJIAN PRESTASI KOMPOR INDUKSI Syahbardia ..........................................................................................................................................................

K89-K92

MANUFAKTUR 27. KOMPOSIT PARTIKEL SERBUK GERGAJI KAYU (SAWDUST) DENGAN RESIN UREA FORMALDEHID SEBAGAI BAHAN BAKU UTAMA BOX SPEAKER Sugeng Slamet ...................................................................................................................................................

M1-M4

28. STUDI WAKTU DAN PROSES PEMBUATAN TERALIS JENDELA DI PT X I Wayan Sukania, Oktaviangel, Julita .............................................................................................................

M5-M9

29. PENGARUH PERUBAHAN TEGANGAN DAN TEMPERATUR TERHADAP PEMBENTUKAN PORI PADA ALUMINIUM FOIL DENGAN METODA ANODISASI SEDERHANA DALAM LARUTAN ASAM ASETAT 0.2 M Dewin Purnama .................................................................................................................................................

M10-M14

30. ALTERNATIF PROSES PRODUKSI PRODUK SARANGAN DANDANG BAHAN STAINLESS STEEL DENGAN METODE RUBBER FORMING Nur Husodo, Eddy Widiyono, Winarto, Budi Luwar S. ...............................................................................

M15-M20

31. ANALISIS TINGKAT KEKASARAN PERMUKAAN HASIL PROSES MILLING PADA BAJA KARBON S45C Yunus Yakub, Ir. MT, Herry Syaifullah, ST. .................................................................................................

M21-M28

32. STUDI EKSPERIMEN PENGARUH PREHEATING PADA PENGELASAN GMAW MULTILAYER TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA SA 516 GRADE Hari Subiyanto, Wajan Berata, Subowo, Eddy Widiyano ............................................................................

M29-M33

33. ANALISIS RELIABILITAS PADA SISTEM PRODUKSI LAMPU DEPAN HONDA SUPRA DI PT. XYZ Sunardi Tjandra .................................................................................................................................................

M34-M39

34. PENGUKURAN KEKASARAN PERMUKAAN DENGAN METODE ELECTRONIC SPECKLE PATTERN INTERFEROMETRY (ESPI) DAN LINEAR BINARY PATTERN (LBP) Mohammad Khoirul effendi, Agus Sigit Pramono........................................................................................

M40-M47

ix

35. SIMULASI 3D TEMPERATUR DAN KEAUSAN PAHAT PADA PROSES PEMBUBUTAN LOGAM Avita Ayu Permanasari, Ongki Budi Anggriawan ........................................................................................

M48-M51

36. UPAYA MENGHINDARI CHATTER PADA PROSES FACE MILLING DENGAN PENAMBAHAN STIFFENER PADA BENDA KERJA BERBENTUK KOTAK Oegik Soegihardjo, Suhardjono, Bambang Pramujati, Agus Sigit Pramono .............................................

M52-M56

37. ANALISIS KOMPOSISI UNSUR, DENSITAS, DAN MIKROSTRUKTUR PADA SERBUK U-10%ZR HASIL HYDRIDING DEHYDRIDING Masrukan............................................................................................................................................................

M57-M60

38. PENGEMBANGAN METODE PENGUKURAN PENYIMPANGAN KETEGAKLURUSAN YANG KONTINYU I Made Londen Bantan dan M. Tri Handoko.................................................................................................

M61-M68

39. PERLAKUAN PANAS THERMAL SHOCK SEBAGAI INOVASI TEKNOLOGI OPTIMASI PRODUKSI KOMPONEN PIRINGAN REM CAKRAM DENGAN MENGGUNAKAN BAJA ST 37 Putu Hadi Setyarini, Heny Andya, Iqbal Farid .............................................................................................

M69-M72

40. PENGARUH VARIASI ADHESIVE TERHADAP KEKUATAN SAMBUNGAN KOMPOSIT SERAT GELAS Sugiyanto, Kuncoro Diharjo, Wijang WR .....................................................................................................

M73-M75

OTOMOTIF 41. ANALISA ENERGI TERDISIPASI PADA SHOCK ABSORBER MOBIL PERKOTAAN AKIBAT BEBAN HARMONIK Harus Laksana Guntur, Wiwiek Hendrowati .................................................................................................

O1-O5

42. PENGEMBANGAN SISTEM PEMBANGKIT HHO-WET CELL DUA RUANG DAN APLIKASINYA PADA KENDARAAN BERMESIN KARBUROTOR 1300CC DAN 1500CC Harus LG, Fariz Hidayat, Iqbal Wahyudin, I Nyoman Sutantra..................................................................

O6-O10

43. CHANGED DIMENSION OF VENTILATING HOLES DIAMETER-DISC BRAKE BY STATIONER TEST Ian Hardianto Siahaan, Christian Albert .........................................................................................................

O11-O14

44. OPTIMASI SETINGAN MESIN PADA PENGGUNAAN GASOHOL E-15 DENGAN METODE TAGUCHI UNTUK MENDAPATKAN EMISI CO DAN HC YANG RENDAH Budi Waluyo, Saifudin .....................................................................................................................................

O15-O20

45. PEMODELAN DAN ANALISA ENERGI YANG DIHASILKAN MEKANISME MULTILAYER PIEZOELECTRIC VIBRATION ENERGY HARVESTING AKIBAT PENGARUH VARIASI SUDUT MEKANISME Wiwiek Hendrowati, Harus Laksana Guntur, I Nyoman Sutantra ..............................................................

O21-O28

46. PEMODELAN DAN ANALISA RESPON GETARAN KENDARAAN AKIBAT PEMASANGAN MEKANISME MULTI-LAYER PIEZOELECTRIC VIBRATION ENERGY HARVESTING Wiwiek Hendrowati, Harus Laksana Guntur, I Nyoman Sutantra ..............................................................

O29-O36

47. OPTIMASI PRESTASI MESIN BENSIN 1500 CC DENGAN BAHAN BAKAR LPG MELALUI PENYETELAN CONVERTER KITS DAN PENYESUAIAN SAAT PENGAPIAN Muji Setiyo, Prawoto ........................................................................................................................................

O37-O44

x

MENINGKATKAN KUALITAS PENELITIAN TEKNIK MESIN UNTUK MEMAJUKAN INDUSTRI NASIONAL YANG RAMAH LINGKUNGAN I.N.G. Wardana Guru Besar Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang Jl. MT Haryono 167 Malang E-mail : [emailprotected] & [emailprotected]

ABSTRAK Kecepatan jelajah wahana transportasi meningkat secara logarithmik yakni meningkat 10 kali lipat setiap abad yang membawa konsekuensi peningkatan konsumsi energi 100 kali lipat setiap abad. Sedangkan ketersediaan energi konvensional cenderung menipis. Oleh karena itu perkemabangan penelitian dunia mengarah pada peningkatan efisiensi di segala bidang dan pencarian sumber energi baru dan terbarukan. Perkembangan terkini menunjukkan pesawat terbang komersial mulai menggunakan minyak dari nabati dan ganggang laut yang memberikan dua manfaat segaligus yaitu penanggulangan pemanasan global dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Namun ketersediaan pangan akan terganggu sehingga memerlukan penelitian sampai pada tingkat molekuler. Di sisi lain peningkatan kecepatan migrasi memperluas jangkauan dan mempercepat perpindahan manusia. Kondisi ini menuntut sistem komunikasi dan informasi yang juga cepat. Kecepatan mobilisasi dan informasi memerlukan peralatan elektronik yang kecil dan kompak dengan kerapatan daya tinggi. Akibatnya diperlukan inovasi teknologi pelepasan panas tinggi agar peralatan bekerja secara prima. Kecepatan gerak tinggi juga menuntut ketangguhan struktur dan keunggulan material. Semua ini mendorong penelitian-penelitian teknologi berskala micro bahkan nano. Jangkauan jelajah yang semakin jauh dalam waktu singkat menarik perhatian manusia terhadap alam semesta yang diikuti penelitian-penelitian berskala giga. Jadi tren perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di masa depan terbentang dari skala nano sampai skala giga yang memerlukan instrumentasi canggih serta adaptasi budaya dan perubahan mindset yang kompleks. Di lain pihak, perkembangan penelitian Teknik Mesin mengikuti kecenderungan perkembangan IPTEK dunia dan semakin tumpangtindih dengan disiplin ilmu lain. Ini menggiring penelitian-penelitian Teknik Mesin menjadi tanpa batas. Keterbatasan fasilitas penelitian di Indonesia menuntut penelitian-penelitian Teknik Mesin yang ditunjang kerangka teori yang canggih dan akurat serta novelty yang tinggi. Dengan demikian pengamatan cukup hanya dengan pengukuran symptom atau gejala sebabakibat yang memverivikasi kerangka teori namun berkontribusi tinggi pada IPTEK untuk memajukan Industri Nasional ramah lingkungan. Kata kunci: kecepatan migrasi, perkembangan IPTEK, penelitian skala nano sampai giga, penelitian Teknik Mesin tanpa batas, penelitian berbasis kerangka teori akurat dan novelty tinggi manusia. Namun jika data yang ada di ekstrapolasi sampai ratusan ribu tahun ke belakang [2] nampak bahwa peran manusia dalam perubahan perilaku alam hampir tidak terlihat. Parameter-parameter dari semua ini bisa diuraikan satu persatu namun pola keterkaitannya masih sangat rumit. Yang nampak agak jelas bisa diurai adalah bagaimana parameter-parameter tersebut mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perilaku manusia. Oleh karena itu dalam makalah ini hanya dijelaskan beberapa parameter penting dalam perkembangan dunia saat ini dan bagaimana parameter tersebut mempengaruhi perkembangan IPTEK masa depan khususnya di bidang Teknik Mesin sebagai pedoman pengembangan penelitian ilmiah Teknik Mesin untuk memajukan industri nasional yang ramah lingkungan.

1. PENDAHULUAN Peningkatan kualitas penelitian di bidang Teknik Mesin hanya bisa dilakukan dengan mengacu kepada kecenderungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) global. Sedangkan kecenderungan perkembangan IPTEK global adalah merupakan akibat atau jawaban dari berbagai tantangan dan permasalahan global. Krisis ekonomi, pergeseran iklim, peningkatan mobilitas manusia, kelangkaan energi dan lain sebagainya sebenarnya merupakan masalah yang saling terkait namun sulit diurai secara logika mana yang menjadi penyebab dan mana yang menjadi akibat. Yang telah teramati secara pasti berabad-abad adalah pola migrasi manusia dan mahluk hidup lainnya ditentukan oleh perilaku alam. Misalnya, manusia dan mahluk lainnya akan bermigrasi kemana air dan angin mengalir [1]. Ini terjadi karena air dan angin merupakan sumber kehidupan di dunia. Tantangan dari alam dan lingkungan menentukan perkembangan teknologi dan budaya manusia. Perubahan perilaku manusia dan perkembangan IPTEK mempengaruhi pola migrasi namun masih dalam kendali alam. Ada banyak pendapat dan bahkan hampir semua orang berpendapat bahwa pemanasan global merupakan akibat ulah

2. PERTUMBUHAN KECEPATAN MIGRASI Data-data menunjukkan bahwa tahun 1800 an (abad 19) kecepatan migrasi manusia di dunia rata-rata sekitar 10 km/jam. Ketika itu kendaraan ditarik oleh keledai, kebo atau kuda. Sebagian besar manusia pergi dengan berjalan kaki. Pada tahun 1900 an (abad 20) kendaraan sudah digerakkan oleh tenaga uap dan mulai ditemukan motor bakar sebagai penggerak. Kecepatan migrasi manusia ketika itu rata-rata 1

sekitar 100 km/jam. Jadi ada peningkatan 10 kali lipat dari satu abad sebelumnya. Kemudian pada tahun 2000 an (abad 21), migrasi manusia sudah dominan menggunakan pesawat terbang yang digerakkan oleh mesin turbojet dengan kecepatan rata-rata 1000 km/jam. Terjadi peningkatan lebih lanjut 10 kali lipat dari satu abad sebelumnya. Dari tiga abad berturut-turut tersebut bisa di ekstrapolasi secara logarithmic kecepatan migrasi pada satu abad yang akan datang (abad 22) adalah 10.000 km/jam yakni meningkat 10 kali lipat dari abad 21 sekarang. Tren tersebut telah nampak dari kegiatan penelitian-penelitian di bidang mekanika fluida atau aerodinamika (penerbangan) baik di NASA, NAL Jepang, Eropa, dan Australia[3]. Di masing-masing negara tersebut telah dikembangkan penelitian tentang wahana transportasi berkecepatan hypersonik, yakni di atas 10 kali kecepatan suara (10.000 Km/jam). Jika grafik pertumbuhan kecepatan migrasi diplot maka akan nampak seperti pada gambar 1. Garis putus-putus adalah prediksi dari ekstrapolasi dari abad 19, 20 dan 21. Dari ekstrapolasi tersebut nampak bahwa kecepatan transportasi di abad 22 sangat sesuai dengan kecepatan wahana transportasi yang diteliti sekarang.

Gambar 2. Pertumbuhan permintaan energi dunia (Sumber: National Geographic, Maret 2009 [4])

Kecepatan migrasi [km/jam]

10000 1000 100

Gambar 3. Hubungan Energi dengan ekonomi dan prilaku manusia (Sumber: Bahan Kuliah Menteri ESDM, 2007 [8])

10 1

4. KAITAN EENERGI DENGAN EKONOMI, PERILAKU MANUSIA, DAN LINGKUNGAN

1750 1800 1850 1900 1950 2000 2050 2100 2150 Tahun

Lonjakan harga minyak terjadi ketika berlangsung peristiwa peristiwa luarbiasa seperti perang, resesi ekonomi, dan serangan teroris 11 september di USA seperti terlihat dalam gambar 3 [8]. Ini menunjukkan bahwa antara energi, ekonomi dan perilaku manusia saling terkait satu sama lain. Gambar 4 menunjukkan peningkatan jumlah CO2 di atmosfir [9]. Peningkatan ini dikaitkan dengan peningkatan konsumsi energi yang terdiri dari unsur hidrogen dan karbon. Hasil pembakaran hidrokarbon menghasilkan gas CO2. Karena CO2 merupakan gas rumah kaca, maka peningkatan suhu global seperti yang terlihat pada gambar 5 [10] secara logis pasti dikaitkan dengan pelepasan gas CO2 hasil pembakaran secara besar-besaran dari industri, transportasi dan rumah tangga. Namun jika diekstrapolasi ratusan ribu tahun ke belakang suhu bumi memang naik turun secara periodik setiap 100.000 tahun seperti terlihat pada gambar 6 [2][11]. Jika ekstrapolasi tersebut akurat maka pengaruh perilaku manusia terhadap pemanasan global sesungguhnya hampir tidak ada. Tapi jika ekstrapolasi tersebut salah maka harus dilakukan berbagai upaya untuk mengurangi jumlah emisi CO2 ke atmosfir. Dan itu sudah dilakukan dengan berbagai penelitian sampai pada level nano tentang pemecahan rantai minyak nabati menjadi bahan bakar berantai pendek seperti propan dan teknologi penangkapan CO2.

Gambar 1. Pertumbuhan kecepatan migrasi manusia.

3. PERTUMBUHAN PERMINTAAN DAN PRODUKSI ENERGI Dari gambar 2 terlihat bahwa kecendrungan permintaan energi meningkat dari sekitar 1 milyar barel setara minyak di tahun 1900 an menjadi sekitar 100 milyar barel setara minyak di tahun 2040. Nampak bahwa telah terjadi peningkatan sekitar 100 kali lipat dalam satu abad. Ini sesuai dengan kwadrat peningkatan kecepatan migrasi manusia dalam satu abad seperti ditunjukkan pada gambar 1. Sedangkan sumber energi konvensional diperut bumi terus menurun setelah tahun 2010 [4]. Kesenjangan antara permintaan dan persediaan energi ini memicu penelitian-penelitian untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi di segala bidang dan menemukan sumbersumber energi baru dan terbarukan. Kecenderungan ini bisa dilihat dari beberapa fakta telah dimulainya penggunaan bahan bakar nabati untuk teknologi tinggi pada pesawat terbang komersial seperti Virginia Atlantic dan British Airways [5][6][7] 2

elektronik yang semakin kecil dan kompak maka dikembangkan teknologi penempatan atau penyusunan carbon nanotube pada tempat yang telah ditentukan dengan teknologi nanofluid [15] [16]. Perkembangan penelitian partikel nano untuk pelepasan panas pada sistem microchannel untuk pendingin microchip juga semakin intens dilakukan karena tuntutan akan pelepasan panas tinggi dari peralatan dengan ukuran mini. Karena aliran panas berbanding lurus dengan luas dan kecepatan alir sedangkan kedua parameter ini sangat kecil nilainya pada peralatan micro maka nano partikel yang dimasukkan ke dalam aliran mampu untuk mengatasi permasalahan tersebut[17]. Penyebaran penyakit akibat tingkat mobilitas migrasi manusia yang sangat tinggi mengakibatkan lahirnya berbagai penelitian teknologi kedokteran pada level nano generasi ke tiga. Teknologi pembuatan material masuk pada generasi pertama dan ke dua. Sedangkan pada teknologi kedokteran teknologi nano merupakan generasi ketiga. Di sini ilmuwan sudah berbicara bagaimana obat langsung masuk ke sel yang bermasalah[18][19]. Krisis pangan akibat migrasi dalam skala besar dengan kecepatan tinggi juga melahirkan penelitian teknologi nano generasi ke empat yang sudah merekayasa molekul, membuat benda hanya dengan menyusun molekul dari benda lain. Misalnya bagaimana caranya membuat roti dari sepotong kayu hanya karena keduanya sama-sama memiliki unsur karbon, hidrogen dan lain sebagainya[5]. Permasalahan energi di rumahtangga juga memicu perkembangan penelitian teknologi nano untuk material insulator. Perkembangan teknologi material untuk insulator rumah hemat energi mempengaruhi arsitektur hunian hemat energi [4]. Di sisi lain kecepatan mobilisasi membuat jarak di bumi menjadi terasa sangat sempit. Maka manusia mulai punya keinginan untuk mencari kemungkinan adanya bumi yang lain sebagai tempat pemukiman yang baru. Maka telah dikembangkan sistem pemantau bintang seperti satelit Kepler NASA yang mampu melihat bintang sejauh 6000 tahun cahaya dari sistem tatasurya kita [20]. Telah ditemukan bahwa ada sekitar 100 milyar bintang di luar sistem tatasurya kita. Beberapa milyar di antaranya memiliki sistem planet seperti tata surya kita sehingga diperkirakan ada kemungkinan planet yang mirip bumi kita yang memiliki kehidupan.

Gambar 4. Peningkatan jumlah CO2 di atmosfir (sumber: http://www.agu.org/eos_elec/99148e.html [9])

Gambar 5. Kenaikan suhu global (sumber: Brohan et al., 2006[10])

Gambar 6. Siklus suhu global (sumber: NOAA [9]).

5. PERKEMBANGAN MASA DEPAN

PENELITIAN

IPTEK

Kebutuhan energi yang melonjak tajam dengan cadangan yang semakin berkurang memacu para ilmuwan untuk mencari sumber-sumber energi baru dan terbarukan. Di samping penelitian-penelitian bahan bakar konvensional, kecenderungan penelitian diarahkan pada skala nano untuk memecah rantai karbon minyak nabati menjadi minyak diesel bahkan sampai propan dan oktan[12]. Bahkan baru baru ini telah ditemukan bakteri TU-103 oleh ilmuwan dari Tulane University yang mampu menghasilkan butanol dari cellulose yang berasal dari limbah surat kabar dan serpihan limbah kayu[13]. Selain energi, kecepatan tinggi memerlukan rancangan struktur sistem wahana transphortasi dengan material tangguh dan kepresisian sangat tinggi sehingga berbagai penelitian tertuju pada teknologi finishing dengan nanofluid yang dikenal dengan Magnetorheological Finishing (MRF) [14]. Kecepatan migrasi manusia yang semakin cepat juga memicu keperluan akan peralatan komunikasi yang portable yakni kecil dan ringkas. Untuk mendapatkan material khusus untuk peralatan

6. PERKEMBANGAN PENELITIAN MESIN MASA DEPAN

TEKNIK

Perkembangan Teknik Mesin di Indonesia mau tidak mau harus mengikuti perkembangan IPTEK dunia. Seperti telah diuraikan sebelumnya, 20 tahun yang akan datang insinyur Teknik Mesin akan bekerja dalam rentang yang sangat ekstrim mulai dari sistem giga sampai sistem nano. Ini membutuhkan pengetahuan yang lebih besar dan koordinasi multidisiplin serta multiscale yang terbentang dalam skala ruang dan waktu yang lebih besar. Dalam dua dasawarsa ke depan ilmuwan Teknik Mesin akan diharuskan mengembangkan teknology untuk membuat lingkungan global menjadi lebih bersih, sehat, aman, dan berkelanjutan. Menurut laporan pertemuan global ASME tahun 2008 [21], dalam 20 tahun ke depan teknologi nano dan 3

bioteknologi akan mendominasi perkembangan teknologi dan akan menyatu ke dalam semua aspek kebutuhan kehidupan sehari-hari. Nano-bio akan menyediakan bahan yang bisa digunakan oleh para insinyur Teknik Mesin untuk memecahkan masalah dalam berbagai bidang mencakup obatobatan, material cerdas, energi, pengelolaan air, aeronautika, pertanian dan pengelolaan lingkungan. Dari sini nampak bahwa penelitian Teknik Mesin akan tumpang tindih dengan penelitian dari disiplin ilmu lain dan menjadikannya tanpa batas. Walaupun demikian tiap-tiap disiplin ilmu akan memiliki sudut pandang yang berbeda.

4. Semua permasalahan tersebut melahirkan penelitian dan teknologi mulai dari skala nano sampai skala giga. 5. Perkembangan IPTEK masa depan juga mempengaruhi perkembangan penelitian di bidang Teknik Mesin yang cenderung tumpang tindih dengan penelitian disiplin ilmu lain dan tanpa batas. 6. Keterbatasan fasilitas penelitian di Indonesia mendorong dilakukannya penelitian-penelitian dengan masalah spesifik dengan novelty tinggi dan ditunjang dengan kerangkan teori yang canggih.

DAFTAR PUSTAKA 7. PENINGKATAN TEKNIK MESIN

KUALITAS

[1] Fred Stern, Tao Xing, Jun Shao, Surajeet Ghosh. Introduction to Fluid Mechanics (2003) [2] National Geographic, Sept 2004 [3] National Geographic, Desember 2003 [4] National Geographic, Maret 2009 [5] Majalah Intisari, 30 September 2009 [6] Wardana I.N.G. Combustion characteristics of jatropha oil droplet at various oil temperatures. Fuel, Elsevier 89, 659–664, 2010 [7] http://www.engadget.com/2008 [8] Bahan Kuliah Menteri ESDM, 2007 [9] http://www.agu.org/eos_elec/99148e.html [10] Brohan, P., J.J. Kennedy, I. Harris, S.F.B. Tett and P.D. Jones,: Uncertainty estimates in regional and global observed temperature changes: a new dataset from 1850. J. Geophysical Research 111, D12106 (2006) [11] National Oceanographic and Atmospheric Administration [12] Murata K., Liu Y., Inaba M., Takahara I. Production of synthetic diesel by hydrotreatment of Jatropha oils using Pt-Re/H-ZSM-5 catalyst, Submitted to Energy & Fuels (2009) [13] ---, Biofuel: New Energy From Old News, Science Illustrated, p. 62, May/June 2012. [14] Bau, H. H., Sinha, S., Kim, B., and Riegelman, M., “The Fabrication of Nanofluidic Devices and the Study of Fluid Transport Through Them, Transport Phenomena in Micro and Nanodevices,” to appear in Nanofabrication: Technologies, Devices,and Applications, Conference Proceedings 5592, SPIE, Optics East, Philadelphia, Oct. 25–28 (2004) [15] Riegelman, M., Liu, H., and Bau, H. H., “Controlled Nanoassembly and Construction of Nanofluidic Devices,” ASME J. Fluids Eng., 128, pp. 6–13 (2006) [16] Kordonsky W. Aric B. Shorey. Research in Optical Finishing Technology Journal of Fluids Engineering Transactions of the ASME, Vol. 128 / 5 (2006) [17] Wang X.Q., and Mujumdar A.S., A Review on Nanofluids-Parts II: Experiments and Aplication, Brazilian Journal of Chemical Engineering, Vol. 25, pp.631-648, 2008 [18] Pankhurst Q. A., Connolly J., Jones S. K. and Dobson J., Applications of magnetic nanoparticles in biomedicine, J. Phys. D: Appl. Phys. 36 R167–R181(2003) [19] Alexis F, Rhee J, Richie J. P., Radovic-Moreno A. F., Langer R., Farokhzad O. C. New frontiers in nanotechnology for cancer treatment, Urologic Oncology: Seminars and Original Investigations 26 74– 85(2008) [20] National Geographic, December 2009

PENELITIAN

Semua perkembangan teknologi di dunia diraih melalui kegiatan penelitian yang panjang. Evolusi bentuk mobil mulai tahun 1885 sampai sekarang atau bentuk pesawat terbang sejak Wright Bersaudara sampai Boeing terbaru sekarang adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perkembangan penelitian di bidang Teknik Mesin. Keamanan, kenyamanan, ketangguhan, kehandalan dan kehematan energi wahana transportasi adalah contoh lain bagaimana kualitas penelitian Teknik Mesin telah berkembang pesat di bidang kendali, material, mekatronik dan energi. Penelitian memerlukan langkah baku yang telah ditetapkan dalam metode ilmiah. Persyaratan suatu penelitian dikatakan ilmiah minimal harus ada tiga hal: objek (masalah) yang diteliti, metode, dan temuan. Temuan bisa berupa teori baru atau teknologi baru. Untuk bisa mencapai hasil penelitian yang tepat, masalah penelitian harus diprediksi dengan suatu kerangka teori yang tepat sehingga bisa diketahui apa yang seharusnya akan terjadi. Metode penelitian hanya menguji atau memverivikasi kebenaran kerangka teori tersebut. Metode penelitian atau pengujian kebenaran kerangka teori sering memerlukan peralatan canggih. Sementara di Indonesia fasilitas penelitian sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mencapai penelitian berkualitas diperlukan langkah-langkah cerdas. Penelitian harus langsung mengarah ke permasalahan detail dan spesifik. Agar berkontribusi kepada perkembangan IPTEK masalah yang diteliti harus memiliki novelty: kebaruan dan keunikan yang tinggi. Dengan novelty tinggi dan permasalahan spesifik dan didukung kerangka teori yang canggih maka dengan peralatan penelitian yang sangat sederhana pun bisa menghasilkan temuan yang sangat penting bagi perkembangan IPTEK. Beberapa contoh penelitian seperti ini bisa dilihat pada beberapa journal internasional [22], di springer[23], di elsevier[6], dan beberapa publikasi lainnya [24][25].

8. KESIMPULAN Dari uraian singkat di atas bisa disimpulkan bahwa ternyata sumber dari segala perkembangan penelitian dan teknologi adalah peningkatan migrasi manusia karena: 1. Peningkatan kecepatan migrasi memicu peningkatan konsumsi energi dan kerusakan lingkungan. 2. Kecepatan tinggi juga memerlukan konstruksi dan material yang kuat dengan kepresisian tinggi. 3. Peningkatan migrasi manusia dengan kecepatan tinggi menyebabkan penyebaran penyakit dan kelangkaan pangan. 4

[21] Zamrik S.Y., 2028 Vision for Mechanical Engineering, a Report of the Global Summit on the Future of MechanicalEngineering, ASME (2008) http://www.asmeconferences.org/asmeglobalsummit/index.cfm [22] Wardana ING and Imam Zaky, Combustion Characteristics of Jatropha Oil Droplet, International Journal of Transport Phenomena Vol. 10, No. 3, p.197-202, 2008 [23] Wardana ING, Kawasaki H, Ueda T, Near-field instability of variable property jet in normal gravity and microgravity fields, Experiments in Fluids, Springer Vol. 47, p.239-249, 2009

[24] Wardana I.N.G., Combustion Characteristics of Jatropha Oil Methyl Ester Droplet in Magnetic Field, International Journal For Academic Research, Vol.3, No.3, May 2011, pp.74-79, 2011. [25] Wardana ING., Premixed Combustion of Coconut Oil in A Hele Shaw Cell, 22th International Symposium on Transport Phenomena / ISTP-22, TU Delft, The Netherlands. 8-11 November 2011

5

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

ANALISIS KEKUATAN PINTU GESER KOMPAK PADA BUSWAY DENGAN METODE ELEMEN HINGGA Tono Sukarnoto1), Soeharsono2) Jurusan Teknik Mesin Universitas Trisakti 1,2) Jalan Kiai Tapa no 1, Jakarta. Indonesia 1,2) Phone: 0062-21-5663232 ext 4311,2) E-mail : [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Untuk mengatasi kelemahan pintu geser pada busway yang beroperasi saat ini, telah dirancang pintu geser model kompak yang jauh lebih sedikit memakan ruang. Berbeda dengan pintu saat ini yang berada di sisi dalam dinding bus, pintu geser kompak ini dipasang masuk di dalam dinding bus. Melanjutkan tahap embodimen, dilakukan analisis kekuatan statik pada struktur daun pintu dan rangka bodi di bagian pintu dengan metode elemen hingga (MEH) menggunakan perangkat lunak Catia. Seluruh rangka terbuat dari pipa baja persegi JIS G3445 STKM 12A tebal 2,0 mm dengan kekuatan luluh (y) minimum 175 MPa. Analisis dilakukan pada rangka pintu untuk beban statik dalam arah horizontal ke arah luar sisi pintu sebesar 500 N dan 1000 N, sedangkan untuk rangka bodi diberikan beban vertikal 6 x 2,5 kN. Hasil akhir analisis untuk daun pintu menunjukkan bahwa tegangan terbesar yang terjadi 68,6 MPa, dan defleksi terbesar 2,1 mm. Ada pun untuk rangka bodi 67,9 MPa dan defleksi terbesar 1,83 mm . Nilai ini menunjukkan bahwa dimensi, geometri struktur dan material daun pintu serta rangka bodinya dengan tebal total 90 mm cukup kuat untuk diaplikasikan pada busway. Kata kunci: busway, pintu geser, perancangan, metode elemen hingga, tegangan dan defleksi. dalam dinding bus. Tebal dinding di bagian pintu tidak lebih dari 90 mm [3]. Sebagai kelanjutannya, penelitian ini akan menganalisis kekuatan rancangan pintu geser kompak tersebut. Tujuannya adalah memeriksa apakah pintu dengan dimensi yang direncanakan serta pemilihan materialnya sudah memadai untuk menahan beban yang terjadi saat operasional bus. Hal ini berkaitan dengan ketebalan daun pintu yang lebih tipis dan dinding bus yang berongga. Sering ditemui industri karoseri kurang memberi perhatian pada aspek perhitungan konstruksi bodi bus. Industri lebih fokus ke model dan tampilan styling bodi bus interior maupun eksterior. Perhitungan kekuatan konstruksi lebih mengandalkan data empiris dari pengalaman sebelumnya. Hal ini terjadi juga di industri pembuat bus di Thailand, yang lebih mengedepankan style produk untuk memuaskan pelanggan dari pada melakukan desain ulang secara teknis [4]. Dengan metode perancangan dan pembuatan bus yang lazim dilakukan industri karoseri saat ini, terbukti bodi bus yang dihasilkan cukup kokoh bahkan terlalu kokoh. Mudah dijumpai struktur bus yang telah beroperasi lebih dari 10 tahun masih tetap kokoh walau mungkin sudah keropos dan penyok disana-sini. Biasanya bodi bus dipensiun bukan karena masalah kekuatan strukturnya tetapi karena tampilannya sudah ketinggalan mode sehingga kurang menarik bagi pelanggan.

1. PENDAHULUAN Setelah beroperasi sejak Januari 2004 busway di Jakarta telah banyak dirasakan manfaatnya sebagai angkutan cepat masal (bus rapid transit, BRT). Tipe bus sangat bervariasi mulai dari merek sasis dan bodinya, namun ciri khasnya tetap, yaitu pintu ekstra lebar di dua sisi dan susunan tempat duduk hadap ke tengah. Jenis bus yang awalnya hanya bus tunggal ditambah dengan bus gandeng (articulated bus) yang kappasitas angkutnya dua kali lebih besar. Kecuali armada awal di koridor 1, semua bus menggunakan bahan bakar gas dengan transmisi otomatis. Ukuran pintu yang ekstra lebar ini untuk memenuhi standar BRT [1] yang antara lain mensyaratkan 2 pintu lebar untuk bus tunggal dan 3 pintu atau lebih untuk bus gandeng. Pada armada bus tunggal generasi awal, 2 pintu lebar digabung menjadi satu pintu ekstra lebar (1,8 m). Pada generasi berikutnya ditambahkan satu pintu standar di bagian julur belakang. Pintu berada di dua sisi bodi bus karena posisi halte tidak selalu di sisi kanan bus. Seiring berjalannya waktu kondisi bus pun mulai menurun. Kerusakan struktural pada bodi busway dengan mudah teramati antara lain retakan pada bagian atap dan pilar di dekat pintu (Gambar 1 dan 2) serta mekanisme pintu geser. Kerusakan ini jarang ditemui pada bodi bus lain dengan ukuran pintu konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa struktur bodi busway mempunyai kelemahan. Meskipun terdapat retakan di sana-sini, secara umum bodi busway masih cukup kuat dan aman untuk dioperasikan. Khusus untuk bus dengan pintu geser ada masalah yang cukup mengganggu yaitu posisi pintu memakan tempat cukup besar sehingga menghalangi pergerakan penumpang di dalam bus. Posisi daun pintu yang berada di sisi dalam dinding bus ternyata sangat menyita ruangan. Lebar gang antar kursi di sekitar pintu geser berkurang kira-kira 30 cm karena posisi kursi di bagian tersebut harus digeser agak ke tengah [2]. Penelitian sebelumnya telah menghasilkan rancangan pintu geser kompak dengan posisi daun pintu masuk ke

Gambar 1. Retakan pada pilar di sudut kaca dekat pintu. D-1

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

awal dan model modifikasi. Seluruh rangka pintu menggunakan pipa persegi 25 x 50 mm. Modifikasi dilakukan dengan menambah profil 25 x 30 pada pilar pintu tepi luar. Hasil analisis Catia ditunjukkan pada Gambar 3- 10. Tabel 1. Hasil analisis Catia untuk daun pintu Model Awal Modifikasi

Beban 500N Beban 1000N V Misses Defleksi V Misses Defleksi (MPa) (mm) (MPa) (mm) 60,6 2,58 40,7 1,52 68,6 2,1 38,5 1,1

Dari Tabel 1 terlihat bahwa kekuatan daun pintu untuk beban 1000 N dan 500 N masih cukup kuat karena tegangan von Misses terbesar yang terjadi masih di bawah 50% y yaitu 175 MPa. Defleksi yang terjadi juga relatif kecil dibandingkan celah antara daun pintu dengan dinding bus yaitu 5 mm. Pemasangan pipa baja 30x25 sebagai penguat untuk daun pintu modifikasi terbukti efektif untuk mengurangi defleksi yang terjadi. Pada pembebanan horizontal 500 N memang terjadi kenaikan tegangan von Misses pada pintu modifikasi (Gambar 6.). Hal ini karena beban yang diterima tidak lagi terdistribusi secara simetri sebagaimana pintu awal. Tegangan terbesar ini berupa konsentrasi tegangan pada tumpuan atas pintu.

Gambar 2. Retakan pada atap di atas pilar pintu.

2. METODOLOGI MEH yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan perangkat lunak Catia. Analisis dilakukan pada model Catia yang dibuat berdasar hasil embodimen penelitian sebelumnya. Bagian yang dianalisis adalah daun pintu dan rangka bodi di bagian pintu. Kemudian ditentukan jenis material yang dipilih sesuai material yang biasa digunakan di industri karoseri. Untuk keseluruhan rangka pintu dan rangka bodi dipilih pipa baja persegi JIS G3445 STKM 12A tebal pelat 2 mm dengan ukuran geometri yang sesuai peruntukannya.

Struktur Rangka Bodi Gambar 11 dan 12 menunjukkan hasil analisis tegangan dan defleksi yang terjadi pada rangka bodi untuk beban vertikal 6 x 2,5 kN. Defleksi terbesar terjadi pada bagian tengah bentang rongga pintu. Meskipun demikian defleksi ini sangat kecil yaitu 1,83 mm dibandingkan bentang lebar pintu 1,8 m. Tegangan terbesar 67 MPa yang terjadi juga masih dalam batas aman. Hal ini menunjukkan bahwa struktur rangka bodi sisi luar dengan tebal 35 mm, rangka sisi dalam 20 mm, rongga untuk pintu geser 35 mm dan dua pilar penguat di samping rongga pintu, cukup kuat untuk diterapkan pada busway.

Pembebanan Daun Pintu Untuk daun pintu dilakukan dua macam pembebanan yaitu beban 1000 N terdistribusi sepanjang pilar vertikal tepi luar. Pilar ini adalah bagian tepi pintu yang akan bertemu dengan pasangannya saat pintu menutup. Pembebanan kedua berupa beban 500 N terdistribusi pada pilar horizontal di bawah kaca. Gaya berarah horizontal dari dalam ke luar. Kedua jenis pembebanan ini mewakil beban yang diterima pintu apa bila disandari oleh penumpang. Kondisi ini berdasar pada pengamatan pada saat bus penuh penumpang, ruangan di sekitar pintu penuh terisi penumpang. Setelah pintu tertutup sering dijumpai penumpang bersandar ke daun pintu. Dalam keadaan normal seharusnya pintu tidak menerima beban karena disandari oleh penumpang. Pembebanan Rangka Bodi Manokruang [4] menghitung beban pada rangka bodi dengan cara menjumlahkan berat komponen atap yang harus ditopang rangka dinding bus untuk menghitung tegangan yang terjadi dengan MEH. Cara lain untuk menentukan beban atap adalah dengan asumsi beban atap sama dengan 50 % berat kosong bus sebagaimana diterapkan pada kontrak bus Transmilenio[5]. Dalam penelitian ini penulis mengasumsikan beban atap 50 % berat kosong. Untuk busway dengan bobot 11 ton, maka beban atap 5.500 kg dan untuk segmen rangka bodi di bagian pintu diberikan beban vertikal masing-masing 2,5 kN pada 6 titik.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Daun pintu Gambar 3. Defleksi beban 500 N pintu awal.

Ada dua model daun pintu yang dianalisis yaitu model D-2

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 4. Defleksi beban 500 N pintu modifikasi, pilar tambahan dipasang di sisi kiri.

Gambar 6. Tegangan von Misses beban 500 N pintu modifikasi.

Gambar 5. Tegangan von Misses beban 500 N pintu awal.

Gambar 7. Defleksi akibat beban 1.000 N pada pilar vertikal sisi luar untuk pintu awal.

D-3

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 8. Tegangan von Misses akibat beban 1.000 N pada pilar vertikal sisi luar untuk pintu awal.

Gambar 10. Tegangan von Misses akibat beban 1.000 N pada pilar vertikal sisi luar untuk pintu modifikasi.

Gambar 9. Defleksi akibat beban 1.000 N pada pilar vertikal sisi luar untuk pintu modifikasi.

Gambar 11. Defleksi pada rangka bodi bagian pintu.

D-4

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Dengan analisis ini format geometri pintu geser kompak yang telah dirancang dapat dilanjutkan untuk tahap pembuatan purwarupa.

Ucapan Terima Kasih Makalah ini adalah bagian dari penelitian yang dibiayai Hibah Bersaing Kopertis Wilayah III 2012. Terima kasih kepada Studio CaD Jurusan Teknik Mesin FTI Usakti untuk penggunaan program Catia dalam analisis penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA [1] Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), “The BRT Standard ver 1,0”, New York Januari 2012. [2] Haris, Oscar, “Rancang Ulang Susunan Tempat Duduk Busway untuk Optimalisasi Ruangan” Tugas Sarjana Jurusan Teknik Mesin Usakti, Jakarta, 2009. [3] Sukarnoto, Tono, Randi H dan Hendra P, “Perancangan Pintu Geser Busway yang Lebih Kompak”, Prosiding Seminar nasional Teknik Mesin 6, Surabaya 16 Juni 2011, 16-22. [4] Manokruang, S and Butdee S “Methodology of Bus-Body Structural Redesign for Lightweight productivity Improvement”, Asian International Journal of Science and Technology in Production and Manufacturing Engineering, vol 2 no 2, 2009, pp 79-87. [5] Trunk Route Operation of The Transmilenio System, 2002 “Concession Contract for Urban Mass Transport Public services”, 26 Mei 2012, www.itdp.org/documents/Sample%20operator%20contract.doc

Gambar 12. Tegangan von Misses pada rangka bodi bagian pintu.

4. KESIMPULAN Hasil analisis MEH menggunakan Catia untuk pintu geser kompak busway menunjukkan bahwa penggunaan material pipa baja persegi JIS G3445 STKM 12A cukup kuat menahan beban yang diberikan. Hal ini ditunjukkan dengan tegangan maksimum yang terjadi kurang dari setengah tegangan luluh material.

D-5

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

MODELING AND SIMULATION OF SCRUBBER SYSTEM DYNAMIC IN GAS REFINERY PLANT Joga Dharma Setiawan1), Yuhanes Dedy Setiawan2) Mechanical Engineering Department, Diponegoro University1,2) Tembalang, Semarang 50275, Indonesia1,2) Phone: 081795659802) E-mail: [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRACT Control systems have an important role in a scrubber of gas refinery plant in which the scrubber role is to separate gases from condensed liquids. Unfortunately, in implementation of the scrubber control system, especially after long time of operation, and modification of operating points and electro-mechanical components by engineers in the field, not all of the control systems can make plants react in a positive way. This study was conducted to develop and simulate the system dynamic and control model for the scrubber system using MATLAB/Simulink. The simulation results were then compared with the field measurement data which were performed during observation at one of the scrubber during a normal operation. It can be shown that the control model is adequate in representing the system dynamic. However, additional model verification and parameter identification is suggested to improve the model effectiveness. This study is beneficial to oil industries since it enables engineers to systematically determine the best PI gains for the scrubber’s controller and predict the effect of different choice of gains and operating points to the performance of the system. Keywords: scrubber, PI controller, gas refinery Integral (PI) as the control method. The control systems are designed to control the gas pressure and the liquid level. How the control system of gas pressure in the scrubber works can be understood from this explanation. First, the gas pressure in the scrubber is measured by a pressure sensor. Then the pressure signal (in psig) is converted into a current form (in mA) so this signal can be processed by a controller. After that, this signal is sent to the controller to be compared with the set point. The error from these will be processed by using PI control method such that the error can be minimized as much as possible. Then manipulated variable from the controller is sent to I/P transducer for the purpose of converting the signal (in mA) into air pressure form (in psig). Then this signal is sent to the actuator, which is a control valve. After receiving the signal, the control valve will move the control valve port according to how much the signal is. With this control valve position change at the gas outlet port, the gas pressure in the scrubber will change subsequently. And eventually the gas pressure is controlled by using this method. The control system of liquid level actually also uses the same method of the control system of gas pressure. The performance of the closed-loop system in the scrubber depends ultimately on the controller, especially how appropriate the PI gains are with the scrubber operation at that time. The more appropriate the PI gains are with the scrubber operation; the better the control system performance is. It means that the process variable can operate in the designed tolerance of operation. On the other hand, if the PI gains are poorly tuned, the closed-loop system performance will be bad. In another words, the process variable cannot operate in the designed tolerance of operation. PI gain tuning can be performed by tuning it directly on the plant (online) or indirectly (offline). Directly PI gain

1. INTRODUCTION A scrubber of gas refinery plant is one of the most important plants in oil and gas industry. The scrubber role is to separate gases from condensed liquid. The objective of this process is to make gases purer such that it can be sold or used for fuel of a power plant [1]. The scrubber works by relying on the force of gravity as shown in figure 1.

g

Figure 1. Scrubber of gas refinery plant [2]. The flow of gas entering the scrubber still has condensed liquid in its flow. After it goes into the scrubber, the condensed liquid will go to the outlet port at the bottom of the scrubber and the gas will go to the outlet port at the top. As depicted in figure 1, there are some instruments installed at the scrubber: a pressure transmitter (PT) for transmitting gas pressure signal to the controller, a level transmitter (LT) for transmitting liquid level signal to the controller, a control valve as the actuator, and a pump for pumping liquid out of the scrubber. The instruments are used to make the scrubber work in safely and effectively. Typically the control systems of the scrubber utilizes programmable logic controller (PLC) as the controller of the hardware and a Proportional and D-6

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

tuning is extensively performed by engineers in the plant even though there is a risk by performing this action. This tuning is performed by changing PI gains directly in the plant which makes the plant directly react to the change. The purpose of this action is to find PI gains that make the plant react in the best response. But it is also possible to make the plant become worse and even dangerous. By performing this tuning method, an engineer is only able to find PI gains that make the plant react in a positive way but not in the best way. This happens because the engineer cannot tune PI gains in all possible ranges as it said before that there is a possibility to make the plant become worse and even uncontrollable or dangerous. Unlike the first tuning method, indirectly PI gains tuning can give the engineer PI gains that make the plant work in the best way. It is possible because the engineer can tune PI gains in all possible ranges such that it can be found which gains make the plant work in the best response. In this method, PI gains tuning is performed indirectly (offline) by using simulation software, such as MATLAB/ Simulink. First, an engineer has to build a system dynamic and control model for the plant. After that the engineer must validate how good the model can represent the real plant. After the model is good enough in representing the real plant, then PI gains can be found from that model by using theoretical methods, for instance Ziegler Nichols, or using tools from Simulink that has been provided to find the best PI gains for model that has been built in Simulink. The objective of this study is to build a system dynamic and control model for a scrubber of gas refinery plant based on theoretical model and field measurement data which were performed during observation at one of the scrubber during a normal operation. Therefore it can be found the certain control system that makes the scrubber works in the best response.

It can be seen from figure 2 and 3 that control systems of gas pressure and liquid level in GLCC are similar with one used in the scrubber. Therefore this model can be used as the basic model for the scrubber.

Figure 2. Schematic of GLCC control systems [3]. The linear model of both gas pressure and liquid level control systems in GLCC is depicted in figure 4. In this model, GLCC is divided into two subsystems; those are a liquid level subsystem (block 1 to 9) and a gas pressure subsystem (block 10 to 18). Each subsystem has some transfer functions which represent mathematical model of control system instrument. The Δ symbol is used to show that the values of variables in this model are the deviation around setting points. The equations 1 to 21 in the following are numbered to correspond to the blocks in Figure 4. These equations and the parameter values are adopted from [1]. Block 1 is a pure integrator which takes the deviation of liquid volume rate (ft3/s) to become the deviation of liquid volume (ft3).

2. APPROACH AND METHODS

∆𝑉 𝐿 (𝑠)

A system dynamic and control model for a scrubber of gas refinery plant was built based on a system dynamic and control model of Gas Liquid Cylindrical Cyclone (GLCC). The schematic, block diagram and linear model of GLCC control systems are depicted in figure 2, 3, and 4 respectively.

∆𝑉 𝐿 (𝑠)

=

1

(1)

𝑠

The deviation of liquid volume (ft3) enters the block 2 resulting to the deviation of liquid level (ft). ∆𝐻(𝑠) ∆𝑉 𝐿 (𝑠)

Figure 3. Block diagram of GLCC control systems [3]. D-7

4

= 𝜋𝑑 2 ≡ 𝐷1

(2)

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Figure 4. Linear model of GLCC control systems [1]. The deviation of gas volume (ft3) enters the block 11 resulting to the deviation of gas pressure (psi).

Block 3 takes the deviation of liquid level (ft) to become the deviation of process variable in a current form (mA). ∆𝑒 ∆𝐻

=

16

∆P s

(3)

𝐻𝑚𝑎𝑥 − 𝐻𝑚𝑖𝑛

∆𝑒

1

= 𝐾𝑐 1 +

𝑡𝑖 𝑠

≡ 𝐺𝑐𝐿 𝑠

∆𝑒(𝑠)

(4)

∆𝑃(𝑠)

∆𝐸𝑐

𝑃𝑣 𝑚𝑎𝑥 − 𝑝 𝑣 𝑚𝑖𝑛

= (𝑠)

16

∆𝐸𝑐

(5)

∆𝑒

∆𝑝 𝑐

1

∆𝐸𝑐 (𝑠)

∆𝑝 𝑣 (𝑠)

=

−100 𝑝 𝑣 𝑙𝑖𝑚

∆𝑝 𝑣 ∆𝑝 𝑐

(7)

𝐶𝑜 𝑠+1

∆𝑥(𝑠)

=

∆𝐶𝑣 ∆𝑥

𝑥= 𝑥 𝑠𝑒𝑡

∆𝐶𝑣 (𝑠)

= 0.002228

∆𝑃 𝐿𝐶𝑉 𝛾𝐿

∆𝑝 𝑣

∆𝑉 𝐺 (𝑠)

=

1 𝑠

≡ 𝐺𝑐𝐺 𝑠

(13)

𝑃𝑣 𝑚𝑎𝑥 − 𝑝 𝑣 𝑚𝑖𝑛 16

(14)

1

(15)

𝜏 𝑜′ 𝑠+1

= (𝑠)

−100 𝑝 𝑣 𝑙𝑖𝑚 𝐶𝑜′ 𝑠+1

(16)

Block 17 takes the deviation of control valve position (%) to become the deviation of gas sizing coefficient (Cg). ∆𝐶𝑔 (𝑠) ∆𝑥(𝑠)

≡ 𝐷2 (9)

=

∆𝐶𝑔 ∆𝑥

𝑥= 𝑥 𝑠𝑒𝑡

(17)

The deviation of gas sizing coefficient (Cg) enters the block 18 resulting to the deviation of gas volume rate passing through a gas control valve (ft3/s) [4].

Block 10 is a pure integrator which takes the deviation of gas volume rate (ft3/s) to become the deviation of gas volume (ft3). ∆𝑉 𝐺 (𝑠)

=

∆𝑥(𝑠)

(8)

The deviation of liquid sizing coefficient (Cv) enters the block 9 resulting to the deviation of liquid volume rate passing through a liquid control valve (ft3/s). ∆𝑄𝐿𝑜𝑢𝑡 (𝑠)

1 𝑡𝑖 𝑠

The deviation of manipulated variable (in psi) enters the block 16 resulting to the deviation of control valve position (%).

Block 8 takes the deviation of control valve position (%) to become the deviation of liquid sizing coefficient (Cv). ∆𝐶𝑣 (𝑠)

(12)

Block 15 is used to consider the delay in transferring manipulated variable (in an air pressure form) at pneumatic line.

The deviation of manipulated variable (in psi) enters the block 7 resulting to the deviation of control valve position (%). ∆𝑥(𝑠)

𝑚𝑎𝑥 − 𝑃 𝑚𝑖𝑛

= 𝐾𝑐 1 +

∆𝑝 𝑐 (𝑠)

(6)

𝜏 𝑜 𝑠+1

−16

=𝑃

Block 14 takes the deviation of manipulated variable (mA) to become the deviation of air pressure (psi).

Block 6 is used to consider the delay in transferring manipulated variable (in an air pressure form) at pneumatic line. ∆𝑝 𝑣

(11)

Block 13 represents PI controller in the gas pressure subsystem.

Block 5 takes the deviation of manipulated variable (mA) to become the deviation of air pressure (psi). ∆𝑝 𝑐 (𝑠)

𝐺𝑠𝑒𝑡

Block 12 takes the deviation of gas pressure to become the deviation of process variable in a current form (mA).

Block 4 represents PI controller in the liquid level subsystem. ∆𝐸𝑐

𝑃

= 𝑉 𝑠𝑒𝑡 ≡ 𝐷3

∆𝑉 G

∆𝑄𝐺𝑜𝑢𝑡 (𝑠) ∆𝐶𝑔 (𝑠)

(10)

Where, D-8

=

1 3600

520 𝑃 sin 𝑇 𝛾𝐺

𝐶3

∆𝑃𝐺𝐶𝑉 𝑃

≡ 𝐷4 (18)

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia 𝜋

𝐶3 = 𝐶2 180 ; 𝐶2 =

3417 𝐶1

; 𝐶1 =

𝐶𝑔

their field measurement data could be taken to be used in this comparison. These data are gas volume in rate, liquid volume in rate, gas pressure, liquid level, gas control valve position, liquid control valve position, liquid volume out rate, and gas volume out rate. After comparing these two things, it was found that this scrubber model was not good enough in representing the real scrubber because several simulation results were not close enough with their field measurement data. Therefore this scrubber model was modified by adding some gains and time delays which represented some other control system instruments which was not considered in GLCC model. The new modified model of scrubber is shown in figures 5, 6, and 7.

𝐶𝑣

Block 19 takes the deviation of gas pressure (psi) to become the deviation of liquid volume out rate (ft3/s). ∆𝑄𝐿𝑜𝑢𝑡 (𝑠) ∆𝑃(𝑠)

=

0.002228 𝐶𝑣𝑠𝑒𝑡 1 𝛾𝐿

1

2 𝑃 𝑠𝑒𝑡 − 𝑃 𝐿𝑜𝑢𝑡

≡ 𝐷5 (19)

The deviation of gas pressure (psi) enters the block 20 resulting to the deviation of gas volume out rate (ft3/s). ∆𝑄𝐺𝑜𝑢𝑡 𝑠 ∆𝑃 𝑠

= sin 𝐶3

1 3600

520 𝐶 𝑇 𝛾𝐺 𝑔𝑠𝑒𝑡

+ cos 𝐶3 𝐶2 2

𝑃𝑠𝑒𝑡 − 𝑃𝐺𝑜𝑢𝑡 𝑃𝑠𝑒𝑡 𝑃𝑠𝑒𝑡 − 𝑃𝐺𝑜𝑢𝑡 𝑃𝑠𝑒𝑡

𝑃𝑠𝑒𝑡 𝑃𝑠𝑒𝑡 − 𝑃𝐺𝑜𝑢𝑡

≡ 𝐷7 (20)

𝑃𝐺𝑜𝑢𝑡 2 𝑃𝑠𝑒𝑡

Block 21 takes the deviation of liquid level (ft) to become the deviation of gas pressure (psi). ∆𝑃(𝑠) ∆𝐻(𝑠)

=

𝑃 𝑠𝑒𝑡 𝐻𝐺𝐿𝐶𝐶 − 𝐻𝑠𝑒𝑡

≡ 𝐷6

(21)

By using the field measurement data from Scrubber PV3700 [1], the plant dynamic and control model of the scrubber can be built. To check how good the model is, several comparisons between simulation results and system responses from the field measurement data were performed. In figure 4, the dotted red rectangular shows the block which

Figure 5. New model of scrubber control system [1].

Figure 6. Control system model for the liquid level subsystem [1].

Figure 7. Control system model for the gas pressure subsystem [1].

D-9

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

80

a P (psig), H (%)

60 40 20 Gas pressure (P) Liquid level (H)

c

80

70

60

60

50

50

40 30

800

1200

40 30

10

10 200

400

600

800

1000

0 0

1200

200

400

600

800

1000

1200

Time (second)

Time (second)

Figure 8.

1000

20

20

0 0

Time (second)

80

70

P (psig)

H (%)

b

600

400

200

(a) Field measurement data of gas pressure P and liquid level H; (b) Simulation result of H; (c) Simulation result of P [1]. 𝑃 = 59 𝑝𝑠𝑖𝑔 + ∆𝑃; 𝐻 = 43% + ∆𝐻 350

Gas volume rate (cft/s)

300 250 200 150 100 The simulation result The field measurement data

50 0 0

200

400

600

800

1000

1200

Time (second)

Figure 9.

Comparison of the gas volume rate at the gas control valve between the field measurement data and the simulation result [1].

3. RESULT AND DISCUSSION

4. CONCLUSION

After modifying the model of the scrubber, the simulation results were compared to its field measurement data to check how good the new model was. Several comparisons are shown in figures 8 and 9. It can be seen from figure 8c that the gas pressure in the simulation result has a similar trend with its field measurement data in figure 8a. On the other hand, the liquid level in the simulation result in figure 8b has small deviation while it has significant deviation in the field measurement data in figure 8a. The source of problem for these different results has not been identified because of the limitation of model verification that can be performed during field measurement. During field measurement, the plant has to run continuously without significant interruption. In order to be able to fully identify the model and parameter, the plant will need to be shut down or significantly interrupted. Another comparison is shown in figure 9 which compares the simulation result of the gas volume out rate to its field measurement data. It can be seen from this figure that they have a similar trend. It means that the new model is good enough in representing the real system.

This study shows that several simulation results of the new model compared to its field measurement data is good enough. It can be inferred that this new model is adequate in representing the real scrubber in the field. However, it is suggested to perform additional model verification and parameter identification in the blocks to improve the model accuracy, which means requiring the plant to be shut down or significantly interrupted. By using this model, engineers can systematically determine the best PI gains for the scrubber's controller and predict the plant response if the operating points or the gains of the plant are changed without directly affecting the real plant.

REFERENCES [1] Setiawan, Y. D.: "Designing of Pressure Control System for a Scrubber of Gas Refinery Plant Using PI Controller", Undergraduate Final Project Report, Mechanical Engineering Department, Diponegoro University, 2012. D-10

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[2] Perry's Chemical Engineers' Handbook, Eight Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc., 2008. [3] Wang, S.: "Dynamic Simulation, Experimental Investigation and Control System Design of Gas-Liquid Cylindrical Cyclone Separator," Ph.D. Thesis, the University of Tulsa, 2000.

[4] Wang, S., Mohan, R., Shoham, O., Marrelli, J., and Kouba, G.: "Control System Simulators for Gas-Liquid Cylindrical Cyclone Separators," ETCE00-ER-036, proceedings of the ASME Energy Sources Technology Conference and Exhibition, ETCE '00, New Orleans, February 14-17, 2000a.

D-11

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

STUDI EKSPERIMENTAL LAJU KEAUSAN (SPECIFIC WEAR RATE) PADA ULTRA HIGH MOLECULAR WEIGHT POLYETHYLENE (UHMWPE) DENGAN STAINLESS STEEL SEBAGAI SENDI LUTUT BUATAN (TOTAL KNEE JOINT REPLACEMENT ) MANUSIA Moch. Solichin1), Yusuf Kaelani2), Tri Vicca Kusumadewi3), Ferianto4), Deni Rizal Kaunang5), Rizky Akbar Wiradhika6) Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111. Indonesia 1,2) Phone: 031- 5923623, Fax: 59377741,2) 1) E-mail : [emailprotected] , [emailprotected]), [emailprotected]), [emailprotected]), [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Penelitian tentang total knee joint replacement sudah banyak dibahas, akan tetapi kajian tentang keausan antara permukaan prosthesis masih jarang dikaji. Penelitian ini menguji laju keausan antara femur yang ditutup steel dan tibial yang terbuat dari polyethylene, yaitu Ultra High Molecular Weight Polyethylene (UHMWPE). Analisa tribology dilakukan untuk mengkaji aspek gesekan. Metode yang dilakukan adalah pengujian eksperimental menggunakan tribometer tipe pin-on disk. Material UHMWPE digunakan sebagai pin yang merepresentasikan material tibial dan stainless steel sebagai disk merepresentasikan permukaan femur. Pada penelitian ini digunakan panjang lintasan 600 m sedangkan pembebanan yang diberikan dibuat bervariasi yaitu, 2 kg, 4 kg, 6 kg, 8 kg, dan 10 kg, demikian juga digunakan variasi kecepatan 0,13 m/s dan 0,23 m/s. Perlakuan gesekan yang terjadi yaitu dengan pelumas (lubricated) dan tanpa pelumas (Dry Sliding). Setelah UHMWPE selesai dilakukan pengujian, selanjutnya dianalisa mekanisme keausan dari hasil foto mikro dari permukaan. Dari penelitian ini didapatkan Specific Wear Rate yang semakin turun yaitu rata-rata sebesar 10-5 𝑚𝑚3 /Nm yang artinya laju keausan semakin meningkat dengan naiknya beban baik kondisi Dry Sliding maupun Lubrication. Sedangkan untuk kondisi Lubrication laju keausan bisa memperpanjang umur UHMWPE sampai 8 kali umur kodisi Dry Sliding. Selain itu, diketahui juga mekanisme keausan UHMWPE yang mendominasi adalah abrasive dan adhesive dari hasil foto mikro. Kata kunci: Wear rate, Prosthesis, UHMWPE, Dry, dan Lubricated 1938 dengan kedua komponen terbuat dari metal. Pemilihan material menggunakan metal sebagai total joint replacement, saat ini telah ditinggalkan karena friksi yang tinggi dan keausan yang cepat antar kedua permukaan. Sedangkan pada tahun 1960 sampai dengan sekarang, total joint replacement menggunakan prinsip plastik dengan metal. Material yang digunakan pada waktu itu adalah plastik High Density Polyethylene. Penggunaan material ini merupakan material yang paling aman yang digunakan sampai saat ini [1]. Material polimer dan stainless steel mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan bahan lainnya. Keunggulan tersebut diantaranya adalah fleksibel, lebih ringan, pemuaian yang kecil, mudah dibentuk, tahan tekanan, tahan cuaca dan harganya relatif murah untuk polimer. UHMWPE adalah polyethylene yang digunakan pada penelitian ini. UHMWPE adalah salah satu pasangan material yang paling sering digunakan untuk menggantikan sendi lutut tiruan pada manusia [2]. Sedangkan stainless steel memiliki ketahanan korosi dan biocompatibility yang baik, harganya relatif lebih murah dibandingkan yang lain, dan sifat weldabilitynya yang bagus [3]. Selain itu, stainless steel ini memiliki kemampuan untuk menanggung tegangan maksimum yang terjadi pada sendi lutut manusia. Tegangan maksimum yang terjadi pada sendi lutut manusia adalah 119,5 Mpa [4]. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengkaji laju keausan antara UHMWPE dengan stainless steel.

1. PENDAHULUAN Setiap peralatan yang bergerak selalu mengalami kerusakan. Hal ini dikarenakan adanya dua benda yang saling berkontak atau bergesekan. Masalah utama yang dihadapi oleh dunia industri selama ini adalah bagaimana cara mengurangi atau mencegah kerugian energi akibat adanya gesekan. Gesekan biasanya didefinisikan sebagai gaya lawan (opposing force) yang terjadi bilamana dua permukaan saling bergerak relatif antara satu dengan yang lainnya. Gesekan yang terjadi ini bisa menimbulkan rusak atau hilangya partikel dari suatu material yang dinamakan dengan keausan. Keausan juga disebut sebagai kerusakan bahan sebagai hasil gangguan berulang pada ikatan friksi. Keausan terjadi apabila terdapat dua buah benda saling menekan dan saling bergesekan. Keausan yang lebih besar terjadi pada bahan yang lebih lunak. Faktor-faktor yang mempengaruhi keausan adalah kecepatan, tekanan, kekasaran permukaan dan kekerasan bahan. Gesekan yang terjadi akan menimbulkan panas dan juga menyebabkan keausan. Dampak dari gesekan antara dua material bisa diatasi dengan memberikan pelumasan pada bagian yang mengalami kontak. Salah satu contoh keausan yang terjadi adalah pada sendi lutut buatan manusia. Penggantian sendi lutut atau Total Joint Replacement secara keseluruhan dimulai pada tahun D-12

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Pada Gambar 1. dapat dilihat bahwa pada Speed Control yang lebih tinggi, yaitu 100 laju keausan akan berlangsung lebih cepat. Pada kecepatan yang lebih besar akan mempercepat laju keausan, hal ini dikarenakan temperatur UHMWPE akan semakin cepat mengalami kenaikkan. Ketika temperatur UHMWPE tinggi maka permukaan UHMWPE akan semakin mudah terabrasi. Oleh karena itu, volume aus akan lebih besar pada Speed Control yang lebih besar juga. Volume yang aus pada material (UHMWPE) terjadi tidak terlalu signifikan perubahannya. Pada pembebanan yang lebih besar yaitu, mulai dari 2 kg, 4 kg, 6 kg, 8 kg, dan 10 kgnilai specific wear rate semakin turun. Nilai specific wear rate semakin turun dengan semakin besar beban yang diberikan, hal ini terjadi karena besar pembebanan berbanding terbalik dengan specific wear rate. Sedangkan laju keausan akan semakin besar dengan semakin besar beban yang diberikan. Hal itu sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa laju keausan semakin besar dengan semakin besar juga pembebanan yang diberikan [8]. Pada beban yang rendah material yang terkikis masih rendah juga, namun pada beban yang tinggi volume UHMWPE yang terkikis semakin banyak. Volume aus ini disebabkan karena adanya mekanisme ironing, yaitu kerusakan yang tidak begitu parah dan terjadi pada beban dan kecepatan rendah. Secara fisik tidak tampak deformasi permanen tetapi hanya efek permukaan yang halus karena deformasi permukaan asperitisnya. Berikut ini adalah foto mikro UHMWPE dengan perbesaran 150 kali yang menunjukkan adanya perubahan permukaan setelah dilakukan pengujian dapat dilihat pada Gambar 2.

2. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan melalui beberapa langkah kerja sebagai studi eksperimental. Awalnya melakukan persiapan spesimen, yaitu membuat pin yang terbuat dari Ultra High Molecular Weight Polyethylene (UHMWPE) dan disk terbuat dari stainless steel. Penelitian dilakukan dengan menggunakan alat uji tribometer tipe Pin on Disk [5]. Pin diletakkan diatas disk yang diputar dengan menggunakan motor. Pada penelitian ini terdapat beberapa variabel yaitu variasi kecepatan sebesar 0,13 m/s (speed control 40) dan 0,23 m/s (speed control 100). Variasi pembebanan sebesar 2 kg, 4 kg, 6 kg, 8 kg, dan 10 kg. Variasi kondisi yaitu kontak dua material yang diberi pelumas dan dry sliding (tanpa pelumas). Pelumas yang digunakan pada penelitian ini adalah Bovine Serum, dimana bovine serum ini digunakan sebagai pengganti synovial fluid, yaitu cairan yang memberi pelumasan pada sendi lutut manusia sebenarnya. Bovine serum memiliki kesamaan karakteristik dengan synovial fluid pada sendi lutut manusia [6]. Serum berasal dari darah sapi kemudian diekstraksi menggunakan alat centrifuge yang akan memisahkan serum dari sel darah [7]. Keausan dilihat dari perubahan massa yang terjadi pada pin antara sebelum dan sesudah pin dilakukan pengujian. Setelah dilakukan pengujian permukaan pin akan di foto mikro untuk mengetahui mekanisme keausan yang terjadi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dibahas dan dianalisa hasil eksperimen tentang laju keausan antara Ultra High Molecular Weight Polyethylene (UHMWPE) dengan Stainless Steel AISI 304. Pembahasan dimulai dengan penelitian laju keausan dengan kondisi dry sliding dan berikutnya kondisi lubrication. Dry Sliding Hasil dari pengujian laju keausan pada Ultra High Molecular Weight Polyethylene (UHMWPE) dengan Stainless Steel AISI 304 tanpa menggunakan pelumas (Dry Sliding). Perbandingan Specific Wear Rate antara Speed Control 40 (kecepatan 0,13 m/s) dengan Speed Control 100 (0,23 m/s) pada pembebanan yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar 1.

(a)

Gambar 1. Grafik hubungan Specific Wear Rate dengan Load pada dua Speed Control yang berbeda

(b) Gambar 2. Foto mikro perbesaran 150X UHMWPE pembebanan 10 kg pada Speed Control 40 a) sebelum dan b) sesudah pengujian D-13

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Pada foto mikro UHMWPE pembebanan 10 kg setelah dilakukan pengujian pada Gambar 4.b). terlihat bahwa keausan yang terjadi akibat abrasive yang ditunjukkan diatas garis merah permukaan UHMWPE yang memiliki guratan lurus (sejajar garis merah). Wear debris yang terjebak didalam permukaan UHMWPE juga terlihat pada foto mikro yang ditunjukkan dengan terdapat banyak bintik-bintik wear debris yang mengindikasikan adanya mekanisme keausan adhesif juga. Foto mikro dengan pembebanan rendah, yaitu 2 kg dapat dilihat pada Gambar 3.

dengan Speed Control 40. Hal ini disebabkan karena dengan Speed Control yang lebih besar maka material akan lebih cepat mengalami aus dibandingkan dengan Speed Control yang lebih rendah. Selain itu, dengan kecepatan yang lebih tinggi, maka material UHMWPE akan lebih cepat mengalami kenaikkan temperatur. Pada kondisi lubrication, keausan yang terjadi tidak sebesar pada kondisi dry sliding. Pemberian pelumas dapat mengurangi temperature dan mengurangi gesekan yang terjadi antara UHMWPE dengan stainless steel. Efek dari pemberian pelumas dapat dilihat dari hasil foto mikro.

a) Gambar 4. Grafik hubungan Specific Wear Rate dengan Load pada dua Speed Control yang berbeda Berikut adalah foto mikro kondisi Lubrication pada beban 10 kg.

b) Gambar 3. Foto mikro perbesaran 150X UHMWPE pembebanan 2 kg dan Speed Control 40 a) sebelum dan b) sesudah pengujian Pada Gambar 3.a). dapat dilihat bahwa permukaan masih belum terjadi deformasi. Pada Gambar 3.b). permukaan UHMWPE telah terdeformasi pada asperity-nya saja. Permukaan asperity terlihat terdeformasi karena gesekan dari material Stainless Steel yang lebih keras. Pada Gambar 3.b) kondisi permukaan UHMWPE setelah pengujian terlihat terjadi pergeseran permukaan asperity. Selain itu, dapat diketahui pada Gambar 3.b) terlihat guratan lurus yang mengindikasikan juga terdapat mekanisme keausan abrasif dan terlihat juga mekanisme adhesif yang ditunjukkan dari permukaan yang seperti terkelupas dan bergelombang. Bergelombangnya permukaan kontak dikarenakan beban yang diberikan mengalami osilasi.

a)

b) Gambar 5. Foto mikro perbesaran 150X UHMWPE pembebanan 10 kg pada Speed Control 100 a) sebelum dan b) sesudah pengujian kondisi Lubrication

Analisa Lubrication Perbandingan specific wear rate antara Speed Control 40 dengan Speed Control 100 kondisi Lubrication pada pembebanan yang sama dapat dilihat pada Gambar 4. Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa pada beban yang sama nilai Specific Wear Rate dengan Speed Control 100 memiliki nilai lebih besar dari pada Specific Wear Rate

Pada foto mikro UHMWPE pembebanan 10 kg setelah dilakukan pengujian pada Gambar 5.b). terlihat bahwa keausan yang terjadi disebabkan oleh besarnya pembebanan D-14

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

dan kecepatan. Oleh karena itu, setelah pengujian permukaan UHMWPE menjadi terlihat merata. Pembebanan dan kecepatan yang tinggi, meskipun permukaan kontak diberi pelumasan keausan masih tetap terjadi. Hal ini dikarenakan asperity dari permukaan masih tetap terkikis karena beban dan kecepatan yang tinggi tersebut. Pelumas pada permukaan kontak ikut menanggung beban yang dibeikan dan menjaga kontak secara langsung antara UHMWPE dengan stainless steel. Keausan tidak begitu terlihat pada permukaan kontak karena efek pemberian pelumas Oleh karena itu, gesekan yang terjadi dapat diredam. Mekanisme keausan yang terjadi dapat dilihat dari hasil foto mikro permukaan UHMWPE. Foto mikro permukaan kondisi Lubrication pada Speed Control 100 dapat dilihat pada Gambar 6.

dan yang bergesekan adalah antara pelumas dengan UHMWPE itu sendiri. Sehingga keausan abrasive yang terjadi pada UHMWPE sangatlah kecil.

4. KESIMPULAN Pada bagian ini dapat disimpulkan: 1. Nilai Specific Wear Rate antara UHMWPE dengan Stainless Steel yang mengalami kontak akan semakin turun , yaitu rata-rata sebesar10-5 𝑚𝑚3 /Nm. 2. Gesekan antara UHMWPE dengan stainless steel yang mengalami kontak pada kondisi lubrication dapat memperpanjang umur 8 kali lebih panjang daripada kondisi dry slyding. 3. Mekanisme keausan yang terjadi pada material UHMWPE yang kontak dengan Stainless Steel didominasi mekanisme abrasive dan adhesive. Guratan pada permukaan UHMWPE mengindikasikan terjadinya abrasive dan material terkelupas mengindikasikan mekanisme adhesive.

DAFTAR PUSTAKA [1] Ssjahrul, Annas. Concept Design Manufacturing Biomedical Products (A Case Study of Artificial Knee Component). Thesis UI. Jakarta. 1998. [2] H. Fang, SM Hsu and JV Sengers, Ultra-High Molecular Weight Polyethylene Wear Particle Effects on Bioactivity, NIST Special Publication 1002, 2003. [3] Farid, Moch.Zamil. Stainless Steel and weldability properties. PT. ENERGITAMA dynamics of the archipelago. Surabaya. [4] Adinda, Dwi. Analysis of Strength of Materials in Total Knee Joint Replacement prosthesis. Tugas Akhir Teknik Mesin ITS Surabaya. 2010. [5] Prayogi, Tegar. Design of Tribometer Pin Type Disk and Experimental Study on Tribology Characteristics of polymers. Tugas Akhir Teknik Mesin ITS Surabaya. 2010. [6] Darmanto. Effect on Lubricant Protein Concentration of UHMWPE wear by 316L Stainless Steel with Nitrogen Ion Implantation for Application of Artificial Knee Joints. Thesis UGM . 2009. Yogyakarta. [7] Dharmastiti, R., Barton, DC, Fisher, J., Eddin, A., and Kurtz, S., The Wear of UHMWPE Oriented under Isotropically Rough and Scratched Counterface Test Conditions, Bio-Medical Materials and Engineering 11, thing. 241-256, 2001. [8] Jia, Bin-Bin, Tong-Sheng Li, Xu-Jun Liu, and PeiHong Cong, tribological behaviors of polymer-polymer sliding Several combinations under dry friction and oillubricated condition, the Journal at, Wear 262 pp 13531359, Elsevier, 2007. www.sciencedirect.com

a)

b) Gambar 6. Foto mikro perbesaran 150X UHMWPE pembebanan 2 kg pada Speed Control 100 a) sebelum dan b) sesudah pengujian kondisi Lubrication Pada foto mikro Gambar 6.a). dan Gambar 6.b). UHMWPE sebelum dilakukan pengujian masih terlihat memiliki kontur yang tidak merata. Namun, setelah dilakukan pengujian UHMWPE terlihat menjadi lebih merata pada permukaannya. Meskipun demikian, pada foto mikro juga masih terlihat terjadi gesekan meskipun sangat kecil. Permukaan yang lebih merata ini diakibatkan karena pelumas yang tertekan oleh stainless steel terhadap UHMWPE

D-15

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PERANCANGAN TURBIN MIKROHIDRO TIPE PROPELER VANES KAPASITAS 1000 WATT M. Dwi Trisno 1), Muhammad Firdausi 2), Dahmir Dahlan 3) Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri – ISTN 1,2) Jl. Moh. Kahfi II, Jagakarsa, Jakarta 12640 1,2) Phone: 0062-21-7270092, Fax: 0062-21-7866954 1,2) Program Studi Magister Teknik Industri, Sekolah Pascasarjana – ISTN 3) Jl. PLN Duren Tiga, Pasar Minggu, Jakarta 12760 3) Phone: 0062-21-79195268, Fax: 0062-31-8417659 3) e-mail; [emailprotected] 1), [emailprotected] 2), [emailprotected] 3)

ABSTRAK Untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah terpencil yang memiliki sumber daya air yang cukup dan terjaga kontinuitasnya telah dirancang Turbin Air Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang dapat menghasilkan daya 1000 Watt. Jenis turbin yang dipilih adalah turbin air propeler untuk head yang rendah. Turbin beroperasi pada tekanan reaksi, dimana energi potensial air diubah menjadi energi kinetik melalui sudu pengarah (vanes) untuk mendorong sudu-sudu depan turbin. Turbin jenis ini memiliki umur pakai yang tahan lama, murah investasinya, murah biaya operasinya, mudah dibongkar pasang, tidak merusak lingkungan dan bebas limbah. Turbin dirancang berdasarkan data hasil survey lapangan di Desa Palasari, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, yaitu; Head (H)=1,5 m; Debit air (Q)=0,1 m3/s; Putaran turbin (rencana) (n)=750 rpm; Effisiensi turbin (rencana )(ƞt)=68%; Massa jenis air (ρ)=997.8 kg/m3. Dari hasil perhitungan, didapat spesifikasi rancangan turbin propeler-vanes (poros vertikal) sebagai berikut : Tinggi air jatuh (H) = 1,5 m; Debit air (Q) = 0,l m3/s; Effisiensi turbin (rencana) (ƞt) = 68%; Daya (N) = 1,01456 kW; Putaran (n) = 750 rpm; Kecepatan spesifik (ns) = 547 rpm; Diameter luar sudu jalan (DL) = 0,235 m; Diameter naaf (Dn) = 0,100 m; Tinggi sudu pengarah (B) = 0,082 m; Jumlah sudu jalan = 6 buah; Jumlah sudu pengarah (Z1) = 9 buah Kata kunci: turbin propeler, head, debit, daya turbin, sudu jalan, sudu pengarah

1. PENDAHULUAN

2. METODOLOGI

Kemampuan pemerintah yang terhalang oleh biaya tinggi dari perluasan jaringan listrik, menjadikan pembangkit mikrohidro sebagai alternatif. Ini karena skema mikrohidro yang mandiri dapat menghemat biaya. Dalam perkembangannya pembangkit mikrohidro dapat didisain dan dibangun oleh SDM lokal dan organisasi yang lebih kecil dengan mengikuti peraturan yang lebih longgar dan menggunakan teknologi lokal. Secaa teknis, pembangkit mikrohidro memiliki tiga komponen utama yaitu air (sumber energi), turbin dan generator. Air yang mengalir dengan kapasitas tertentu disalurkan dari ketinggian tertentu menuju instalasi pembangkitan. instalasi tersebut air akan menumbuk sudu turbin, dimana energi air tersebut diubah menjadi energi mekanik berupa berputarnya poros turbin. Poros yang berputar tersebut kemudian ditransmisikan ke generator dengan menggunakan kopling. Dari generator akan dihaslikan energi listrik yang akan masuk ke sistem kontrol arus listrik sebelum dialirkan ke rumah-rumah atau keperluan lainnya (beban). Tujuan penelitian adalah untuk merancang dan membuat mesin turbin pembangkit listrik tenaga mikro-hidro (PLTMH) yang dapat menghasilkan daya 1.000 Watt. Mesin mampu dibawa dan dipindahkan dengan mudah, mampu diinstal dengan mudah, mudah dioperasikan, dengan perawatan yang minimal.

2.1. Pemilihan jenis turbin Untuk pemilihan jenis turbin dapat terlihat pada Gambar 1, dimana turbin dapat dipilih sesuai besar debit dan headnya (sebelah kiri bawah), sedangkan Tabel 1 klasifikasi turbin berdasarkan jenis runner dan head-pressure nya. Tabel 1. Klasifikasi jenis turbin Turbin Runner

High  Pelton  Turgo Impulse  Multi-Jet Pelton

Head Pressure Medium

Low

 Crossflow  Turgo  Crossflow  Multi-Jet Pelton

 Francis  Propeller Reaksi  Pump-As Kaplan Turbine Sumber: Micro-Hydro Desiqn Manual, IT Penerbitan, 1993 Dari data diatas jenis turbin yang dipilih adalah Turbin air propeller dipakai untuk head yang rendah. Turbin air propeller digolongkan menjadi 2 menurut konstruksi bilah rotornya, yaitu: • Turbin Air Propeller dengan bilah sudu tetap • Turbin Air Kaplan dengan bilah rotor yang dapat digerakan secara otomatis dan hidrolik. D-16

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Turbin yang akan dirancang dalam penelitian ini masih dalam katagori tipe propeller yang ditunjukan Tabel 1. Turbin air propeller beroperasi pada tekanan reaksi, dimana energi potensial yang ada dirubah dahulu melalui sudu pengarah (vanes) menjadi energi kinetik dalam bentuk semburan air berkecepatan tinggi yang mendorong sudusudu depan turbin. Disamping itu jenis turbin ini memiliki umur pakai yang tahan lama, murah biaya operasinya, murah investasinya, mudah dibongkar pasang, dan tidak merusak lingkungan serta bebas limbah.

Gambar 3. Pengukuran debit dengan teknik bendungan [1] 2.3. Menentukan rancangan dasar dimensi utama turbin. Dasar perancangan dimensi utama disesuaikan dengan data-data yang didapat hasil survey dan perhitungan sebagai berikut:  Head, H = 1,5 m  Debit air, Q = 0,1 m3/s  Putaran turbin (rencana), n = 750 rpm  Effisiensi turbin (rencana), ήt = 68%  Massa jenis air (airsungai), ρ = 997.8 kg/m3  Gravitasi, g = 9,81 m/det2 2.4. Perhitungan Dimensi Turbin Air 2.4.1. Dasar perhitungan turbin air Untuk merancang suatu turbin air pada suatu lokasi tertentu, diperlukan data-data lokasi minimal sebagai berikut:  Head  Debit air dan selanjutnya perhitungan dasarnya dimulai dari: a. Menghitung daya turbin, N N = [Q x H x ήt x ρ)/75] (HP) (2) b. Menghitung putaran spesifik turbin, berdasarkan satuan debit, nq

Gambar 1. Grafik pemilihan jenis turbin [4]

generator Turbin poros

nq 

n Q H 3/ 4

(rpm)

(3)

c. Menghitung putaran spesifik turbin, berdasarkan satuan daya, ns

sudu pengarah

ns 

propeler

n N (rpm) H 5/ 4

(4)

Berdasarkan Gambar 4, jika harga nq didapat, maka dapat diketahui dan dipilih jumlah sudu jalan, dan harga kecepatan spesifik tangensialnya.

Head

Draft tube

Gambar 2. Diagram skematik turbin air 2.2. Pengukuran debit dan tinggi jatuh air Pada instalasi yang sudah terpasang, dan disesuaikan kondisi aktual di lapangan, pengukuran debit aliran yang praktis dan mungkin dilaksanakan adalah dengan teknik bendungan seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Dengan metoda tersebut, menurut [1] besarnya debit aliran Q dapat didekati dengan hubungan: Q = 1,84 LH3/2 (m3/s) (1)

Gambar 4. Grafik untuk menentukan dimensi sudu. D-17

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

d. Kecepatan tangensial sudu turbin, U1

U1 = U*1. √(2.g .H) (m/s)

s. Sudut air keluar turbin,

(5)

(20)  2 = arc tan(C2/U1) t. Perencanaan Sudu Pengarah  Jumlah Sudu Pengarah, Z1 Menurut [7] jumlah sudu pengarah dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Z1 = 0,25 ( DL )0.5 + ( 4 ÷ 6 ) (21)  Jarak Tusuk, t' Menurut [7] jarak tusuk dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : t’ =(DL/Z1). 3,14 (22)  Kecepatan meridian pada sisi keluar, Cm' Menurut [7] kecepatan meridian sisi keluar dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut Cm' = Q/(3,14.DL . υ) ( m/det ) (23)  Sudut Keluar Sudu Pengarah, ά' Menurut [7] sudut keluar sudu pengarah dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Tan ά'= (cm’/Cu’) (24) Cu’= Cu1 .(Re/R1e)  Jari-jari Kelengkungan Sudu Pengarah (Ps) Menurut [7] jari-jari kelengkungan sudu pengarah dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Ps = ko DI (25) u. Tempat air jatuh pada sudut pengarah Hle = C1² / 2g (m) (26) v. Tinggi jatuh air pada roda jalan Hla = ( W2² - W1² ) / 2g (m) (27) w. Tinggi air jatuh dalam pipa isap Hs = C22m / 2g (m) (28) x. Jumlah energi pada tinggi jatuh bagian tengah roda jalan Hx = Hle + Hla + Hs (m) (29) y. Tinggi tekanan rendah dalam pipa HT = H – Hx (m) (30) z. Gaya Tangensial (F) F = D .π .B .Cm .ρ (Wμ2–Wμ1) (kg m/s²); (N) (31) aa. Gaya Geser Axial ( S ) S = (ρ/2) . (W2² - W1²) . Dm . π . B. (N) (32)

e. Kecepatan tagensial pada poros naaf turbin, Un

Un = U*n . √(2.g .H) (m/s)

(6)

f. Kecepatan tangensial pada sudu bagian tengah turbin. UT= (Un+U1)/2 (m/s) (7) g. Diameter luar sudu, DL DL =

60 .U1 (m)  .n

2

(8)

h. Diameter naaf pada sudu jalan, Dn Dn = 0.425. DL (m) (9) i. Diameter bagian tengah sudu jalan, DT DT = (DL + Dn )/2 (m) (10) j. Diamter luar sudu pengarah. (1,2*DL). DLsp =1,2 * DL (m) (11) k. Tinggi sudu pengarah. Bo = Q/(DL. π . Cm pengarah . τo) (m) (12) l. Kecepatan meridian dalam kondisi actual. C2m = C2 = Q/A (m3/s) (13) m. Effisiensi turbin, ŋt ηt . g. H = U1 (Cu1-Cu2), Cu2 = 0 ηt = N/(H.Q.g. ρ) % (14) n. Kecepatan masuk/keluar air arak tegak lurus, Cu Cu = (ηt. g. H)/U (m/s) (15) o. Kecepatan mutlak/absolut air keluar sudu berdasarkan segitiga kecepatan. C1 = √((C2)2 + (Cu)2) (m/s) (16)

2.4.2. Perhitungan Poros a. Daya Rencana, Pd Menurut [10] daya yang direncanakan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Pd = fc . P (kW) (33) b. Torsi Rencana, T Menurut [10] torsi rencana dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: T = 9,74 x l05 x pd/n (kg/mm) (34) c. Tegangan Geser Pada Poros yang diijinkan,  a

Gambar 5. Sketsa segitiga kecepatan Pada Gambar 5 diatas, bagan segitigan kecepatan dapat dibuat profil sudu jalan, dimana daerah leher poros terdapat sudut  1 dan  2 yang besar kelengkungannya adalah lebih besar daripada pertambahan jarak keluarnya. Makin keluar bentuk profil makin menjadi ramping. Semua sudut untuk sudu bentuknya dipilin. p. Kecepatan relatif air masuk W1 = √((U1)2 – (C1)2) (m/s) q. Kecepatan relatif air keluar. W2 = √((U1)2 + (C2)2) (m/s) r. Sudut air masuk turbin,  1

 1 = arc tan(C1/W1)

Menurut [ 10 ] tegangan geser poros yang diijinkan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

a 

(17)

b

sf1 xsf 2

(35) d. Diameter Poros, ds Diameter poros dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ds = [(5,1/σa) x Kt xCb xT](1/3) (36)

(18) (19)

D-18

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 2. Hasil perhitungan rancangan turbin (lanjutan)

3. HASIL PERHITUNGAN DAN RANCANGAN

Jumlah energi yang jatuh pada bagian roda jalan (Hx) Tinggi tekanan rendah dalam pipa (HT) Gaya tangensial (F) Gaya geser axial (S)

3.1. Data Hasil Perhitungan Berdasarkan hasil perancangan dimensi utama mesin Turbine Tipe Propeller-Vanes, didapat data-data sebagai data desain berikut:  Head, H = 1,5 (m)  Debit air, Q = 0,1( m3/s)  utaran turbin (rencana), n = 750 (rpm) Dengan mengacu pada tinjau pustaka dan data hasil survei, maka dapat dihitung dan didesain turbin air type propeler vanes, dengan hasil seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Satuan HP kg.mm rpm rpm m/s m2 mm mm kg O /meter rpm m/det m/det m/det m/det m/det m/det m/det m/det m/det

m N N

2.250565736 0.750565736 338.9443969 476.4992094

Setelah menghitung dimensi utama, kemudian dihitung dimensi sudu/propeller, seperti yang tersaji dalam Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis dari segitiga kecepatan Item

Satuan

Diameter U C1 W1 Cm Cu W2 B1 B2 t L

mm m/det m/det m/det m/det m/det m/det

Tabel 2. Hasil perhitungan rancangan turbin Item Daya turbin Torsi nq ns V air (2.g.h)^1/2 A area Dsaluran Dporos propeler W berat Sudut puntir n kritis Kec. U*1 Kec. U*n Kec. Cm pengarah Kecepatan spesifik C U1 (luar) Un (naaf) Cm kecepatan meridian U (tengah) Cu1 Faktor penyempitan pada penampang sudu Diameter sudu jalan Diameter Luar Sudu jalan (DL) Diametr tengah Diameter Naaf (0,4- 0,65) DL Diameter rata2 (Dm) Lebar sudut (B) Casing bagian luar Diameter luar sudu pengarah (1,2D1) Tinggi sudu Pengarah (Bo) Kecepatan C2 kondisi aktual Eff= N/(g.H.ro.Q) Perencanaan sudu pengarah Jumlah sudu pengarah (Z1) Jarak tusuk (t') ko Kecepatan meridian sisi luar (Cm') Sudut keluar sudu pengarah (alfa) Jari-jari kelengkungan sudu pengarah (p) Tempat tinggi air jatuhsudut pengarah.(Hle) Tinggi air jatuh pada roda jalan (Hla) Tinggi air jatuh dalam pipa hisap (Hs)

m

Hasil 1.357008 1314.676588 174.9817756 526.3060878 5.424942396 0.018433375 153.23 ≈ 254 9.74 ≈ 25 1.069135776 2.36807E-07 15739.61943 1.7 0.75 0.46 5.424942396 9.222402073 4.068706797 2.495473502 6.645554435 1.505698298

O O

mm mm

Diameter Naaf (Dn) 100 4.0687 3.761378 1.55126 2.81604 2.493569 4.948177 67.62215 34.7055 52.26028 106.3303

Diameter Tengah (Dt) 211 6.6456 3.203251 5.8225918 2.81604 1.526675 7.217581 28.83165 22.9764 110.6688 110.8629

3.2. Rancangan turbin Dari data hasil perhitungan pada Tabel 2 dan Tabel 3 kemudian dibuat rancangan turbin seperti ditunjukkan pada Gambar 7 sampai dengan Gambar 12.

0.55 m m m m m

0.234965658 0.211469092 0.099860405 0.167413031 0.067552627

m m m/det

0.281958789 0.082294169 2.816040208 68.95%

m m/s o

9.19 ≈ 9 0.096255657 1 0.142673185 0.093726572

m

0.234965658

m

0.721099257

m

1.125282868

m

0.404183611

Diameter Luar (Dl) 235 9.2224 3.023295 8.7127716 2.81604 1.100104 9.642758 19.14626 16.9885 122.9654 123.0121

Gambar 6. Turbin propeller-vanes D-19

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 11. Generator Gambar 7. Rumah turbin

4. KESIMPULAN Dari hasil perhitungan diatas, didapat spesifikasi turbin yang dirancang sebagai berikut :  Type= Propeller poros vertikal  Tinggi air jatuh, H = 1,5 (m)  Debit air, Q = 0,l (m3/s)  Effisiensi turbin (rencana), qt = 68 %  Massa jenis air (air sungai ), ρ = 997.8 (kg/m')  Daya , N = 1,36 HP = 1,01456 (kW)  Putaran, n = 750 (rpm)  Kesepatan spesifik, ns = 547( rpm)  Diameter luar sudu jalan, DL = 0,235 (m)  Diameter naaf, Dn = 0,100 (m)  Tinggi sudu pengarah, B = 0,082 m  Jumlah sudu jalan = 6 buah  Jumlah sudu pengarah, Z1 = 9 buah

Gambar 8. Sudu pengarah

DAFTAR PUSTAKA [1] Victor L. Streeter, E. Benjamin Wylie, dan Arko Prijono, Mekanika Fluida, Edisi Delapan, Jilid 2, Erlangga, 1991. [2] Celso Penche, Laymans’s Handbook on How to Develop a Small Hydro Site, U. Politécnica de Madrid, Second Edition, European Commision, June 1998. [3] Arismunandar, Wiranto, Penggerak Mula Turbin, ITB, Bandung 1980. [4] http://www.ccitonline.com/mekanikal/img/wiki_up/image/ TGS%20Subhan/Tbl1.jpg [5] Nechleba, Miroslav, Hydraulics Turbines Their Design and Equipment, Artia Paragua, Chzeckoslovakia, 1957. [6] Dietzel, Fritz, Sriono, Dakso, Turbin, Pompa dan Kompresor, Erlangga., Jakarta, 1993. [7] Sularso., Kiyokatsu Suga., Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.

Gambar 9. Dudukan bantalan generator

Nomenklatur A B BO C1

Gambar 10. Dudukan sudu jalan D-20

= π/4*√((DL)2 – (Dn)2) (m2). lebar sudut = (DL/2 – DN/2) ( m ) tinggi sudu antar kecepatan masuk absolute air (m/s)

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

C2 kecepatan keluar absolute air (m/s) C2m kecepatan spesifik meridian (m/s) Cb faktor koreksi untuk momen lentur = (1,2-2,3) Cm pengarah = kecepatan spesifik meridian pengarah = 0,46 (m/s). Cm' kecepatan meridian pada sisi keluar Cu kecepatan masuk/keluar air arak tegak lurus Cu1 kecepatan masuk air arak tegak lurus (Cu1) Cu1 kecepatan masuk/keluar air tegak lurus Cμ1 = (W2μ – W1μ) ( m/s ) D = Dm = diameter rata-rata = ( DL – DN )/2 (m) DL diameter luar sudu jalan ( m ) DLSP diameter luar sudu pengarah turbin (m) DT diameter bagian tengah sudu jalan. (m) Dn diameter naaf sudu turbin = (0,40 – 0,65) (m). Dm diameter rata-rata (m) F gaya tangensial fc faktor koreksi = (0,8-1,2) g gravitasi = 9,81 (m/det2) H head/tinggi jatuh air (m). Hla tinggi jatuh air pada roda jalan (m) Hle tempat air jatuh pada sudut pengarah (m) Hs tinggi air jatuh dalam pipa isap (m) HT tinggi tekanan rendah dalam pipa Hx jumlah energi pada tinggi jatuh bagian tengah roda jalan Kt faktor koreksi untuk momen puntir = ( 1,3 - 3,0) ko merupakan angka perkalian yang letaknya dari 1,). Menurut [ 7 ]

L N n nq ns ήt ήt Ps Pd Q S t' U1 U*1 Un U*n UT Wn Z1 ά' ρ τo

lebar bendung (m) daya turbin (kW) putaran turbin (rpm). putaran spesifik turbin persatuan debit putaran spesifik turbin persatuan daya. effisiensi turbin rencana effisiensi turbin aktual jari-jari kelengkungan sudu pengarah daya rencanakan (kW) debit air (m3/s). gaya geser axial (N) jarak tusuk kecepatan tagensial pada sudu turbin. (m/s). kecepatan spesifik tangensial sudu turbin =1,7 kecepatan tagensial pada poros naaf turbin (m/s). kecepatan spesifik tangensial poros naaf turbin = 0,75 kecepatan tagensial pada sudu bagian tengah turbin kecepatan relatif air masuk (m/s). jumlah sudu pengarah Sudut Keluar Sudu Pengarah masa jenis air = 997.8 (kg/m3) factor penyempitan pada penampang sudu. = 0,55 kekuatan tarik bahan

b sf1 adalah factor koreksi kesalahan puntir = 6 sf 2 adalah factor koreksi untuk alur pasak = (1,2 - 3)

υ

D-21

koefisien batas ( 0.94÷ 0.98 ), menurut [7]

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PENGARUH KECEPATAN MANDREL TERHADAP COMPRESSIVE RESIDUAL STRESS PADA PROSES COLD EXPANSION HOLE Moch. Agus Choiron1, Heny Andya2, Anindito Purnowidodo3 Jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya Jalan MT. Haryono 167, Malang 65145, Indonesia E-mail : 1)[emailprotected], 2) [emailprotected], 3) [emailprotected]

ABSTRAK Konsentrasi tegangan di sekitar lubang pada komponen yang menggunakan sambungan rivet atau screw tidak dapat dihindari. Kondisi ini dapat menyebabkan FCI (Fatigue Crack Initiation) ketika mendapat tegangan tarik. Cold Expansion Hole merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menciptakan tegangan sisa tekan di sekitar lubang sambungan. Tegangan sisa tekan ini akan mengeliminasi dari konsentrasi tegangan di sekitar lubang sambungan, sehingga retak awal dari material akan terhambat dan umur dari material dapat dioptimalkan. Dalam industri pesawat terbang, beban fatigue yang terjadi sangat tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses Cold Expansion Hole untuk mencegah terjadinya retak awal. Penelitian ini menggunakan simulasi software berbasis elemen hingga sehingga distribusi tegangan sisa dapat diketahui. Selain itu, penelitian ini memberikan variasi kecepatan mandrel sebesar 0,6 m/s, 0,9 m/s, 1 m/s, dan 2 m/s. Material plat yang digunakan AL 2024. Dari hasil penelitian ini didapatkan pada plat berlubang yang diberi tegangan 85 MPa terjadi konsentrasi tegangan sebesar 259,49 MPa pada sisi lubang. Kecepatan mandrel 1 m/s menghasilkan tegangan sisa tekan maksimum sebesar -426,4 MPa, sedangkan kecepatan mandrel 0,6 m/s menghasilkan tegangan sisa tekan minimum sebesar -89,36 MPa pada daerah yang paling dekat dengan lubang. Dari penelitian ini juga didapatkan bahwa tegangan sisa tekan terjadi di daerah plastis dan daerah transisi terjadi paling jauh dengan variasi kecepatan 2 m/s sejauh 5 mm. Kata kunci : Cold expansion hole, Compressive residual stress, Fatigue crack initiation, Kecepatan

1. PENDAHULUAN

2. METODOLOGI

Konsentrasi tegangan pada suatu desain suatu komponen atau struktur harus benar-benar diperhatikan agar komponen maupun struktur tersebut aman dan tidak mengalami kegagalan. Jika suatu komponen sambungan mendapatkan suatu pembebanan aplikatif maka komponen tersebut pasti akan mengalami konsentrasi tegangan [1,3] Hal ini yang harus dihindari, atau jika tidak bisa dihindari harus dilakukan perhitungan yang serius. Untuk menghindari konsentrasi tegangan di sekitar lubang yang sangat rawan terjadi inisiasi retak ini maka diciptakan tegangan sisa tekan [5,6,7,8]. Tegangan sisa tekan inilah yang berfungsi untuk meminimalisir konsentrasi tegangan di sekitar sambungan [4]. Salah satu teknik yang digunakan adalah proses Cold Expansion Hole. Konsep ini dipakai dalam cara untuk mencegah inisiasi retak maupun perambatan retak pada sambungan mur-baut (screw joint) dan keling (rivet). Teknik ini dilakukan dengan menekankan bola logam atau mandrel pada permukaan lubang sampai terjadi deformasi plastis, sehingga terjadi tegangan sisa tekan pada daerah permukaan sekitar lubang [2,7,8]. Dalam studi ini lubang sambungan akan diperlakukan proses Cold Expansion Hole dengan mengganti bola penekan dengan pasak (mandrel) yang sebelumnya telah diberi variasi kecepatan, dan setelah itu lubang sambungan akan diberi pembebanan aplikatif yang nantinya akan diteliti bagaimanakah distribusi tegangan yang terjadi pada daerah sekitar lubang sambungan tersebut. Dengan penelitian pengaruh kecepatan terhadap tegangan sisa tekan pada proses cold expansion hole ini diharapkan akan didapatkan kecepatan yang paling optimal agar dihasilkan tegangan sisa tekan yang besar dan menyeluruh di sekitar lubang.

Metode yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah eksperimental semu yaitu melakukan simulasi kasus dengan memanfaatkan software berbasis metode elemen hingga. Variabel bebas yang digunakan adalah variasi kecepatan 0,6 m/s, 0,9 m/s, 1 m/s, dan 2 m/s. Variabel terikat yang diukur adalah distribusi tegangan sisa setelah proses Cold Expansion Holes. Sedangkan variabel kontrol adalah material spesimen yang digunakan AL 2024 dan dimensi spesimen yaitu panjang 50 mm, lebar 50 mm, dan tebal 5 mm. Sudut chamfer yang digunakan pada mandrel θ = 88o. Data Material Bahan mandrel dan fixed support yang digunakan adalah structural steel yang dimodelkan sebagai rigid body. Sedangkan bahan plat yang digunakan adalah AL 2024 dengan pemodelan material sebagai Stienberg Guinan Strength dengan data material properties seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Properties AL 2024 Properties Density (×1000 kg/m3) Poisson's Ratio Shear Modulus (GPa) Maximum Tensile Strength(Mpa) Initial Yield Strength (Mpa) Hardening Constanta Hardening Exponent Derivatif DG/DT(Pa/C) Derivatif DY/DP Gruneisen Coefisien Specific Heat (J/kg-K) D-22

Harga 2,785 0,33 28,6 760 260 310 0,185 3,50e7 0,0079 2 863

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Meshing adalah proses membagi specimen menjadi elemen-elemen kecil. Semakin kecil elemen yang dibentuk semakin besar pula persamaan yang harus diselesaikan oleh software sehingga beban computer akan semakin besar tetapi hasil yang akan diperoleh juga semakin akurat. Meshing dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu manual dan otomatis. Gambar 4 menunjukkan model meshing yang dilakukan.

Dimensi Dimensi spesimen yang digunakan pada penelitian meliputi plat, mandrel, sleeve dan fix support yang dapat dilihat pada Gambar 1, 2 dan 3. a. Spesimen plat aluminium 2024

 Proses Cold Expansion Hole Dalam proses ini mandrel yang sebelumnya telah diset dengan variasi kecepatan 0,6 m/s, 0,9 m/s, 1 m/s, 2 m/s akan digerakkan lurus ke bawah searah sumbu y sampai melewati hole dengan menggunakan displacement, yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian pembebanan axial sebesar 85 Mpa. Selanjutnya dilakukan proses superposisi pada titik yang sama pada hasil cold expansion hole dan pembebanan. Proses ini digambarkan pada Gambar 5. Gambar 1. Spesimen plat Al 2024 b. Mandrel dan sleeve

1

2

2

Gambar 5. Proses Cold Expansion Hole + Pembebanan

 Pembebanan Pembebanan dilakukan dengan pemberian beban pada kedua sisi samping pelat Gambar 6. Besar beban yang diberikan sebesar 85 MPa, besar beban tegangan tarik ini kurang-lebih sepertiga dari yield stress material yang biasanya digunakan pada aplikasi.

Gambar 2. Mandrel dan sleeve

c. Fixed support

Gambar 6. Model Pembebanan

Gambar 3. Fix support

Pengeplotan Titik Distribusi Tegangan

Meshing

Setelah proses selesai maka tahap selanjutnya adalah proses pengeplotan. Titik-titik ini diambil secara manual pada daerah sumbu y negatif mulai dari tepi lubang sambungan sampai tepi terluar plat karena daerah ini memiliki tegangan yang paling besar jika diberi beban aplikatif. Arahnya tegak lurus dengan arah pembebanan yang ditunjukkan pada Gambar 7. Diagram Alir Penelitian Alur pelaksanaan penelitian ini disesuaikan dengan diagram alir penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 4 . Meshing pada spesimen

D-23

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Dalam simulasi ini tegangan yang terjadi bervariasi mulai dari tegangan kecil dan besar, dapat dilihat dari gambar tersebut terjadi konsentrasi tegangan disekitar lubang. Warna merah pada gambar menunjukan tegangan tarik yang terjadi pada pelat, nilai terbesar terjadi disisi lubang pada arah paralel sumbu Y dengan besar tegangannya 259,49 Mpa. Pada daerah inilah biasanya retak awal material akan dimulai sehingga tegangan ke arah inilah yang akan dianalisa. Setelah terjadi pemusatan tegangan di sisi lubang kearah sumbu Y warna merah ini akan memudar menjadi warna hijau bila semakin jauh dari lubang, hal ini menunjukkan bahwa tegangan yang terjadi juga semakin turun. Sedangkan daerah berwarna biru menggambarkan terjadinya tegangan sisa tekan pada plat yang dikenai beban tarik. Gambar 10 menunjukkan distribusi tegangan yang diplot dalam grafik besar tegangan terhadap jarak dari lubang sambungan.

Gambar 7. Daerah pengeplotan pada plat Start

Pengumpulan Data Cold Expansion Hole

Tes Model

Compare dengan Eksperimen sebelumnya

Gambar 10. Grafik hubungan jarak lubang dengan tegangan akibat pembebanan

Proses simulasi dengan variasi kecepatan

Dari hasil simulasi pembebanan axial ini dapat diketahui bahwa terjadi konsentrasi tegangan pada daerah sekitar lubang. Konsentrasi tegangan ini dikarenakan adanya ketidakteraturan dimensi pada plat. Hal ini tentunya akan sangat membahayakan komponen struktur tersebut waktu digunakan sehingga sangat diperlukan estimasi perhitungan desain yang cermat. Karena pada daerah tersebut akan terjadi deformasi plastis lokal dengan tegangan tarik yang dapat memicu timbulnya retak awal material, sehingga pada daerah tersebut perlu dilakukan perlakuan khusus sebelum perencanaan komponen struktur dilakukan

Analisa Hasil

Finish

Gambar 8. Diagram alir penelitian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Simulasi Pembebanan Untuk mengetahui besarnya tegangan aplikasi yang dihasilkan pada plat, pada simulasi ini dilakukan proses pembebanan arah axial sebesar 85 Mpa pada plat sebelum dikenai proses cold expansion hole. Gambar 9 memberikan visualisasi hasil simulasi pembebanan axial.

Hasil Simulasi Cold Expansion Hole Ya

Dari simulasi cold expansion hole yang telah dilakukan didapatkan hasil distribusi tegangan sisa yang beragam yang terjadi pada plat mulai daerah sekitar hole sampai daerah tepi terluar plat. Hal ini dapat dilihat pada contour warna yang berbeda pada variasi kecepatan 0,6 m/s, 0,9 m/s, 1 m/s, 2 m/s yang diperlihatkan pada gambar 11. Dari contour warna inilah dapat dilihat bahwa variasi kecepatan juga berpengaruh terhadap besarnya tegangan sisa yang terjadi. Jika diamati contour warna pada plat yang telah dikenai proses cold expansion hole, maka dapat dilihat terdapat warna biru di sekitar lubang yang menandakan bahwa di sekitar hole telah terjadi tegangan sisa tekan (compressive residual stress). Semakin menjauh dari hole, warna biru tersebut secara granual berangsur-angsur akan berubah warnanya menjadi merah yang menandakan bahwa semakin menjauhi hole, tegangan sisa tekan (compressive residual stress) akan bertransisi menjadi tegangan sisa tarik (tensile residual stress).

Gambar 9. Contour distribusi tegangan pada plat berlubang akibat pembebanan axial sumbu X

D-24

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Transisi tegangan sisa tekan – tegangan sisa tarik Gambar 13 menunjukkan jarak transisi tegangan dari tegangan sisa tekan menjadi tegangan sisa tarik yang terjadi pada plat setelah proses Cold Expansion Holes.

(a) 0,6 m/s

(b) 0,9 m/s

Gambar 13. Jarak transisi tegangan sisa Pada variasi kecepatan 0,6 m/s, 0,9 m/s, 1 m/s, 2 m/s didapatkan jarak transisi dari tegangan sisa tekan menuju tegangan sisa tarik pada jarak 2 mm, 4 mm, 4 mm, dan 5 mm. Hasil ini dapat dipakai sebagai dalam mendesain suatu struktur yang menggunakan Cold Expansion Process, dimana pada jarak setelah titik transisi tersebut memerlukan perhatian khusus, mengingat tegangan yang dihasilkan sudah menjadi tegangan sisa tarik yang merugikan. Tegangan sisa tarik ini akan menambah tegangan material pada saat material tersebut dibebani pada waktu aplikasi.

(c) 1 m/s Gambar 11. Distribusi tegangan pada plat setelah proses cold expansion hole.

Tegangan sisa maksimum dan minimum

Dari gambar tersebut secara visual dapat dilihat bahwa tegangan sisa tekan yang terjadi di sekitar hole pada plat yang ditandai dengan warna biru pada masing-masing variasi kecepatan mengalami perbedaan. Semakin besar kecepatan maka warna biru di sekitar hole warnanya akan semakin tua yang menunjukkan tegangan sisa tekan besar dan daerahnya lebih luas. Hasil tersebut ditampilkan dalam gambar 12 berupa grafik hubungan antara tegangan sisa dan jarak dengan kecepatan 0,6 m/s, 0,9 m/s, 1 m/s, dan 2 m/s.

Gambar 14 menunjukkan tegangan sisa tekan minimum dan tarik maksimum dari berbagai variasi kecepatan. Bila diamati dari berbagai variasi yang berbeda maka tegangan maksimum yang dihasilkan juga berbeda. Semakin besar kecepatan mandrel yang digunakan maka semakin besar pula tegangan sisa tekan yang terbentuk mulai dari tepi lubang.

Gambar 12. Grafik distribusi tegangan sisa pada variasi kecepatan mandrel pada daerah entry face

Gambar 14. Grafik tegangan sisa ekstrim pada daerah entry face

Semakin tinggi kecepatan maka tegangan sisa tekan semakin meningkat, dimana energi yang digunakan untuk mendeformasi plastis material juga semakin besar. Dengan kecepatan 0,6 m/s, 0,9 m/s, 1 m/s, dan 2 m/s dihasilkan tegangan sisa tekan maksimum sebesar -89,36 MPa, -354,82 MPa, -426,4 MPa dan -271,19 MPa. Pada kecepatan yang semakin tinggi yaitu 2 m/s didapat tegangan sisa yang lebih rendah, yang disebabkan strain limit material yang sudah maksimum.

Dari uraian daerah transisi dan tegangan sisa ekstrem yang terjadi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa parameter kecepatan pada mandrel yang digunakan dalam Cold Expansion Process perlu diperhatikan. Pemilihan kecepatan mandrel pada Cold Expansion Process perlu disesuaikan supaya tegangan sisa tekan yang terjadi semaksimal mungkin serta tidak menghasilkan tegangan sisa tarik yang terlalu besar.

D-25

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Dari plot tersebut dapat dilihat regangan plastis yang terjadi hanya terjadi di sekitar lubang, hal ini diindikasikan dengan warna biru muda yang menggambarkan regangan plastis pada sisi dekat lubang sambungan plat berlubang setelah proses Cold Expansion Holes. Sedangkan pada jarak yang lebih jauh dari sisi lubang yang terlihat sebagai warna biru tua, tidak terjadi deformasi plastis pada material. Sehingga tegangan sisa pada material akan berubah menjadi tegangan sisa tarik. Tegangan ini terbentuk karena adanya reyielding material yang tidak mengalami deformasi plastis.

Superposisi Tegangan Sisa dengan Tegangan Aplikasi Hasil ini diperoleh dengan menjumlahkan tegangan sisa yang terjadi dengan tegangan akibat pembebanan. Dari hasil superposisi inilah seberapa besar pengaruh distribusi tegangan sisa tehadap tegangan akibat pembebanan dapat diketahui. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada plot grafik pada Gambar 15.

Gambar 15. Grafik hubungan antara jarak dan tegangan sisa super posisi pada proses cold expansion hole

Gambar 17. Grafik distribusi regangan plastis pada variasi kecepatan mandrel yang berbeda

Walaupun plat berlubang yang diekspansi diberi beban axial sebesar 85 MPa, di sekitar lubang sambungan tidak terjadi konsentrasi tegangan seperti pada plat yang tidak diberi perlakuan Cold Expansion Hole. Sebagai contoh pada variasi kecepatan 0,6 m/s bila tidak diekspansi, tegangan yang terjadi di tepi lubang adalah 259.49 MPa sedangkan yang telah diekspansi terlebih dahulu adalah 170,13 MPa. Hal ini sangat sesuai harapan bahwa proses Cold Expansion Hole bertujuan untuk menurunkan konsentrasi tegangan pada area sekitar lubang sambungan yang mengakibatkan terjadinya inisisasi retak pada komponen struktur.

Gambar 17 menggambarkan distribusi regangan plastis yang terjadi pada material setelah dilakukan proses Cold Expansion Hole yang dilakukan pada variasi kecepatan. Dengan kecepatan yang lebih besar maka deformasi plastis yang terjadi pada material juga semakin besar. Dapat dilihat setelah jarak mulai 7 mm regangan plastis sudah cenderung bernilai sama dengan nol. Hal ini menggambarkan bahwa deformasi plastis yang terjadi maksimum terjadi pada jarak 6 mm dari tepi lubang.

4. KESIMPULAN DAN SARAN Pembahasan Hasil plot regangan plastis yang terjadi pada material setelah proses Cold Expansion Hole dengan berbagai variasi kecepatan dapat dilihat pada gambar 16.

V = 0,6 m/s

V = 1 m/s

Dari hasil penelitian ini didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kecepatan mandrel 1 m/s menghasilkan tegangan sisa tekan maksimum sebesar -426,4 MPa, sedangkan kecepatan mandrel 0,6 m/s menghasilkan tegangan sisa tekan minimum sebesar -89,36 MPa pada daerah yang paling dekat dengan lubang. 2. Tegangan sisa tekan pada area sekitar lubang sambungan terjadi pada daerah plastis dan tegangan sisa tarik terjadi pada daerah elastis material. 3. Cold Expansion Holes mencegah terjadinya konsentrasi tegangan pada area sekitar lubang sambungan.

V = 0,9 m/s

DAFTAR PUSTAKA [1] Dieter, George E.1988.Mechanical Metallurgy. London: McGraw-Hill Book Company [2] Dowling, Norman E. 1998. Mechanical Behavior of Materials. New Jersey: Prentice-Hall Inc. [3] Gere, James N. &Timshenko, Stephen P. 1996. Mekanika Bahan. Alih bahasa oleh Hans J. Wospakrik. Jakarta: Erlangga [4] Iremonger, MJ. 1990. Dasar Analisis Tegangan. Alih bahasa oleh Sardi S. Jakarta: UI-Press. [5] Iswanto, Priyo Tri. Nishida, Shin I. & H, Nobusuke.

V = 2 m/s

Gambar 16. Distribusi regangan plastis setelah proses Cold Expansion Hole D-26

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

2002. Effect of Compressive Mean Stress and Compressive Residual Stress on Fatigue Properties of Stainless Steel SUS304. Kitakyushu: The International Society of Offshore and Polar Engineers [6] Nigrelli, V. & Pasta, S. 2007. Finite-Element Simulation of Residual Stress Induced by Sppli-Sleveve Cold Expansion Hole Process of Holes.Jurnal of Material Processing Technology. University of Palermo

[7] R, Ghfiri. A, Amroche.A, Imad& G, Mesmacque. 2000. Ftigue Life Estimation After Crack Repair in 6005 A-T6 Aluminium Alloy Using The Cold Expansion Hole Technique. Journal Fatique Fract Engng Mater Sruct. Lille: Blackwell Science, Ltd [8] Shanmukha, N., Sharma, S.C.&Kulkarni R.V.2006. Evaluation of Tensile Properties of Cold Expanded Hole for Improved Fatigue Life. Karnataka: India.

D-27

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PENGEMBANGAN METODE INTEGRASI NUMERIK YANG MAMPU MEREDUKSI PENGARUH SINYAL PENGGANGGU Budi Heryadi dan Zainal Abidin Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10 Bandung 40116, Indonesia

ABSTRACT In vibration measurements, integration process is often performed to acceleration as well as velocity signals. This integration process is usually done numerically. Whereas, low frequency noise signal causes significant error in the result. Therefore, development of numerical integration methods with cutoff frequency are presented in this paper. This development produces equations which reduces the influence of noise with respect to the result of numerical integration. Furthermore, these equations are validated with the simulation and experiment results. Based on the validation results, it can be concluded that the equations which have been derrived are correct. transfer dari fungsi integrasi kontinu 1 (1) I s = s menjadi fungsi transfer dari fungsi integrasi kontinu dengan frekuensi batas s Ico s = . (2) s + ωco 2 Akibatnya, besar (magnitude) FRF jω (3) Ico jω = Ico s s=jω = jω + ωco 2 pada rentang frekuensi ω < ωco bernilai jauh lebih kecil daripada besar FRF fungsi integrasi kontinu sedangkan pada rentang frekuensi ω > ωco bernilai sama dengan besar FRF dari fungsi integrasi kontinu 1 (4) I jω = I s s=jω = jω sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Di sini, ωco merupakan frekuensi batas.

1. PENDAHULUAN Dalam getaran terdapat tiga besaran yang dapat diukur, yaitu perpindahan, kecepatan, dan percepatan. Berdasarkan teori, ketiga besaran ini memiliki hubungan matematik. Perpindahan merupakan hasil integrasi dari kecepatan, sedangkan kecepatan merupakan hasil integrasi dari percepatan. Pada prakteknya, proses integrasi ini seringkali dilakukan secara numerik dan hasilnya tidak pernah sesuai dengan teori. Keberadaan sinyal pengganggu dengan frekuensi rendah dapat menyebabkan kesalahan fatal pada sinyal hasil integrasi numerik. Sebelumnya, analisis kesalahan integrasi numerik pada sinyal getaran dengan metode Euler dan trapesium pernah dilakukan oleh Abidin dan Purnama[1]. Selain itu, penelitian lain mengenai kesalahan akibat proses integrasi dan diferensiasi numerik terhadap sinyal hasil pengukuran juga telah dilakukan oleh Zandt [2]. Sementara itu, metode integrasi numerik dengan frekuensi batas pernah dikembangkan oleh Abidin, Purnama, dan Heryadi [3] namun pengaruh sinyal pengganggu masih besar dan belum dilengkapi dengan kompensasi fasa. Oleh karena itu, dalam makalah ini dipaparkan pengembangan metode integrasi numerik dengan frekuensi batas yang dilengkapi dengan kompensasi fasa. Pada metode ini diharapkan pengaruh sinyal pengganggu dapat direduksi lebih baik lagi daripada metode yang pernah dikembangkan.

0 I(j) Ico(j)

-10

co

Magnitude (dB)

-20 -30 -40 -50 -60

2. METODE PENELITIAN

-70

Penelitian ini diawali dengan identifikasi masalah, yaitu adanya kesalahan hasil integrasi numerik akibat sinyal pengganggu. Kemudian penelitian dilanjutkan dengan studi literatur.Tahap selanjutnya adalah pengembangan metode integrasi numerik dengan frekuensi batas. Dari pengembangan ini diperoleh persamaan matematik yang dapat digunakan untuk menghitung besar pengaruh sinyal pengganggu. Untuk meyakinkan bahwa persamaan yang diperoleh sudah benar, maka persamaan ini divalidasi dengan simulasi numerik dan eksperimen.

-80 0 10

1

10

2

10

3

10

4

10

 (rad/s)

Gambar 1. Perbandingan antara I(jω) dengan Ico(jω) Selanjutanya, transformasi Z diterapkan pada FRF dari fungsi integrasi kontinu dengan frekuensi batas sehingga diperoleh FRF dari fungsi integrasi diskrit dengan frekuensi batas.Transformasi ini merupakan proses diskritisasi sinyal kontinu a(t) menjadi sinyal digital a(kT). Metode diskritisasi yang digunakan adalah metode diskritisasi Tustin, ZOH (Zero Order Hold), dan MPZ (Matched Poles Zeros). Dari hasil diskritisasi ini diperoleh fungsi transfer dari fungsi integrasi diskrit Tustin, ZOH, dan MPZ dengan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan persamaan integrasi numerik dengan frekuensi batas diawali dengan memodifikasi fungsi D-28

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

sedangkan nilai RMS sinyal hasil integrasi sinyal at kT yang diintegrasikan dengan menggunakan fungsi integrasi diskrit dengan frekuensi batas dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2 1 vt,RMS = Au Ico jη … 2 1 (20)

frekuensi batas secara berturut-turut 2T z + 1 z − 1 (5) Ico,T z = , ωco T − 2 + ωco T + 2 z 2 Te−ωco T z − 1 (6) Ico,Z z = , z − e−ωco T 2 dan 1 − e−ωco T 2 z2 − 1 (7) Ico,M z = . 2ω2co T z − e−ωco T 2 Untuk mendapatkan FRF dari fungsi integrasi diskrit Tustin, ZOH, dan MPZ dengan frekuensi batas, perlu diterapkan transformasi bilinear pada Persamaan (5), (6), dan (7). Hasil transformasi ini dinyatakan dalam persamaan π tan πr (8) Ico,T jη ωs = , πrco 2 + tan2 πr Ico,Z jη ωs 4πe−2πrco tan πr sec πr (9) = , 2 −2πr 2 −2πr 2 co co 1−e + 1+e tan πr dan Ico,M jη ωs 1 − e−2πrco 2 tan πr (10) = 2 2 −2πr 2 −2πr 2 co co πrco 1 − e + 1+e tan πr di mana ω (11) r= ωs dan ωco rco = . (12) ωs Perbandingan besar ketiga FRFini untuk beberapa nilai rco ditunjukkan pada Gambar 2. Dari Persamaan (5), (6), dan (7) dapat diturunkan persamaan kesalahan fasa. Kesalahan fasa didefinisikan menurut persamaan π ϕIco jη = ∠Ico jη + . (13) 2 Dengan demikian, kesalahan fasa untuk fungsi integrasi diskrit Tustin, ZOH, dan MPZ dengan frekuensi batas secara berturut-turut adalah tan πr (14) ϕIco,T = π − 2 tan−1 , πrco ϕIco,Z = π 1 − r … (15) 1 + e−2πrco tan πr − 2 tan−1 , −2πr co 1−e dan 1 + e−2πrco tan πr (16) ϕIco,M = π − 2 tan−1 . 1 − e−2πrco Selain persamaan kesalahan fasa, dari persamaan (5), (6), dan (7) juga dapat diturunkan persamaan pengaruh sinyal pengganggu. Untuk mendefinisikan besar pengaruh sinyal pengganggu, terlebih dahulu perlu dimisalkan sebuah sinyal diskrit utama (17) au kT = Au sin ωu kT dan sebuah sinyal diskrit yang tercemar oleh sinyal pengganggu at kT = au kT + Ap sin ωp kT . (18) Berdasarkan teori FRF, nilai RMS dari hasil integrasi sinyal au kT dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Au vkon,RMS = (19) 2ωu

+ Ap Ico jη

2 2

.

Kemudian pengaruh sinyal pengganggu terhadap hasil integrasi didefinisikan sebagai vt,RMS − vkon,RMS pIco = . (21) vkon,RMS Dari persamaan ini dapat diturunkan persamaan pengaruh sinyal pengganggu terhadap hasil integrasi diskrit Tustin, ZOH, dan MPZ dengan frekuensi batas secara berturut-turut 2 tan πru pIco,T = πru … πrco 2 + tan2 πru 1 (22) 2 2 rA tan πrp + − 1, πrco 2 + tan2 πrp pIco,Z = 4πru e−2πrco

tan πru sec πru 1 − e−2πrco 2 + 1 + e−2πrco

2 2 tan2

πru 2

rA tan πrp sec πrp

+

1 − e−2πrco 2 + 1 + e−2πrco 2 tan2 πrp 1 − e−2πrco 2ru pIco,M = πrco 2 tan πru 1 − e−2πrco 2 + 1 + e−2πrco 2 tan2 πru

(23)

1 2

− 1,

2

(24) 1

+

2 2

rA tan πrp 1 − e−2πrco

2

+ 1 + e−2πrco

2 tan2

πrp

− 1,

di mana Ap , Au ωu ru = , ωs rA =

dan

(25) (26)

ωp . (27) ωs Persamaan terakhir yang perlu diturunkan adalah persamaan beda fungsi integrasi diskrit dengan frekuensi batas. Dengan menerapkan transformasi Z balik terhadap persamaan (5), (6), dan (7), maka diperoleh persamaan beda fungsi integrasi diskrit Tustin, ZOH, dan MPZ dengan frekuensi batas berturut-turut v k = 2T a k − a k − 2 … −2 ωco 2 T2 − 4 v k − 1 … (28) − ωcoT − 2 2 v k − 2 … / ωco T + 2 2 , v k = 2e−ωco T v k − 1 … (29) −e−2ωcoT v k − 2 … +Te−ωco T a k − 1 − a k − 2 , dan v k = 2e−ωco T v k − 1 … −e−2ωcoT v k − 2 … 1 − e−ωcoT 2 + a k −a k−2 , (30) 2ωco 2 T di mana v k merupakan hasil integrasi diskrit dari a k . rp =

D-29

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

rco = 0.01

rco = 0.05

35 Tustin ZOH MPZ

35 Tustin ZOH MPZ

30

20 15 10 5

25 20 15 10

25 20 15 10

5

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

Tustin ZOH MPZ

30

|Ico(j)| x s

25

|Ico(j)| x s

|Ico(j)| x s

30

rco = 0.1

35

5

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.1

0.2

r

r

0.3

0.4

0.5

r

Gambar 2. Besar FRF dari fungsi integrasi diskrit untuk nilai rco 0,01; 0,05; dan 0,10 Untuk menguji kebenaran pengaruh sinyal pengganggu yang telah diturunkan, perlu dilakukan simulasi numerik. Dalam simulasi ini, pada Kasus I dibuat sinyal utamaau kT dan sinyal utama yang tercemar oleh sinyal pengganggu at kT sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3.Dari gambar ini dapat diketahui bahwa rA = 0,15. Di sini, frekuensi cuplik yang dipilih adalah 100 Hz, sehingga ru = 0,20 dan rp = 0,01. Selanjutnya sinyal at kT diintegrasikan dengan menggunakan Persamaan (28), (29), dan (30) sehingga dihasilkan tiga buah sinyal vt kT yang kemudian akan dibandingkan dengan referensi.Dalam hal ini, hasil integrasi kontinu sinyal au kT dijadikan sebagai referensi bagi ketiga sinyal vt kT . Perbandingan ini dapat dilihat pada Gambar 4. Perbandingan antara nilai pengaruh sinyal pengganggu berdasarkan simulasi dengan persamaan diperlihatkan pada Tabel 1. Di samping itu, pada tabel ini diperlihatkan juga perbandingan serupa untuk tiga kasus lain dengan rangkaian nilai rA, ru, rp, dan rco yang divariasikan. Berdasarkan tabel ini dapat dilihat bahwa nilai pengaruh sinyal pengganggu berdasarkan hasil slimulasi mendekati nilai pengaruh sinyal pengganggu berdasarkan persamaan. Hal ini mengindikasikan bahwa persamaan pengaruh sinyal pengganggu yang diturunkan sudah benar.

Tabel 1. Nilai pengaruh sinyal pengganggu berdasarkan simulasi dan persamaan Kasus I

II

III

IV

Parameter Integrasi Metode Pengaruh Noise [%] rA ru rp rco Integrasi Simulasi Persamaan Tustin 16,60 16,58 0,15 0,20 0,01 0,05 ZOH 0,36 0,37 MPZ 17,87 17,85 Tustin 22,77 22,75 0,10 0,25 0,01 0,05 ZOH 6,23 6,24 MPZ 23,97 23,96 Tustin 16,25 16,24 0,10 0,20 0,02 0,05 ZOH 0,64 0,65 MPZ 17,52 17,50 Tustin 27,12 27,11 0,10 0,20 0,01 0,10 ZOH 17,45 17,44 MPZ 30,98 30,98

Untuk validasi persamaan pengaruh sinyal pengganggu secara eksperimen diperlukan sinyal hasil pengukuran getaran. Oleh karena itu, dalam eksperimen ini dilakukan pengukuran sinyal percepatan dan kecepatan dari bantalan gelinding jarum NTN NK 24/20IR pada perangkat uji bantalan gelinding sebagaimana ditunjukkan secara skematis pada Gambar 5. Pada eksperimen ini, sinyal percepatan

Sinyal au (kT)

Spektrum Frekuensi Sinyal au (kT)

1500

1500 X: 20 Y: 1000

1000 500

 sinyal utama

1000

0 -500

500

-1000 -1500

0.2

0.4

0.6

0.8

1 1.2 waktu [s]

1.4

1.6

1.8

2

5

Sinyal at (kT)

10

15

20 25 30 frekuensi [Hz]

35

40

45

50

45

50

Spektrum Frekuensi Sinyal at (kT)

1500

1500 X: 20 Y: 1000

1000 500

 sinyal utama

1000

0 -500

500

X: 1 Y: 150

-1000 -1500

0.2

0.4

0.6

0.8

1 1.2 waktu [s]

1.4

1.6

1.8

2

 sinyal pengganggu 0

5

10

15

20 25 30 frekuensi [Hz]

35

40

Gambar 3. Sinyal utama dan sinyal utama tercemar yang digunakan dalam simulasi numerik D-30

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

15 Referensi Tustin ZOH MPZ

vt [mm/s]

10 5 0 -5 -10 -15

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

0.5

waktu [s]

Gambar 4. Sinyal hasil integrasi diskrit dengan frekuensi batas dan referensinya

Gambar 5. Skema pengukuran sinyal percepatan dan kecepatan bantalan gelinding jarum

Gambar 6. Sinyal percepatan dan kecepatan bantalan gelinding jarum diukur dengan menggunakan akselerometer sedangkan sinyal kecepatan diukur dengan menggunakan velocity transducer. Kedua sinyal ini dicuplik dengan menggunakan osiloskop digital dengan frekuensi cuplik sebesar 21,5 kHz. Sinyal percepatan dan kecepatan hasil pengukuran getaran beserta spektrum frekuensinya ditunjukkan pada Gambar 6. Sebelum sinyal percepatan diintegrasikan, sinyal utama dan sinyal pengganggu pada sinyal percepatan perlu ditentukan terlebih dahulu. Untuk hasil pengukuran ini

dipilih sinyal utama dengan frekuensi 46,4 Hz (amplitudo 1,25 m/s2) dan sinyal pengganggu dengan frekuensi 14,8 Hz (amplitudo 0,01 m/s2). Dengan mensubstitusikan nilai-nilai dari besaran ini ke dalam Persamaan (25), (26), dan (27) dapat diperoleh nilai rA = 9,75 × 10−3 , ru = 2,16 × 10−3 , dan rp = 0,69 × 10−3 . Berdasarkan data ini dipilihlah frekuensi batas 20 Hz. Selanjutnya nilai pengaruh sinyal pengganggu dihitung dengan menggunakan Persamaan (22), (23), dan (24). Hasil D-31

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Hasil Integrasi Diskrit Tustin v(t) [m/s]

0.04 Referensi Penelitian Abidin Penelitian ini

0.02 0 -0.02 -0.04 0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

0.16

0.18

0.2

waktu [s]

Hasil Integrasi Diskrit ZOH v(t) [m/s]

0.04 Referensi Penelitian Abidin Penelitian ini

0.02 0 -0.02 -0.04 0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

0.16

0.18

0.2

waktu [s]

Hasil Integrasi Diskrit MPZ v(t) [m/s]

0.04 Referensi Penelitian Abidin Penelitian ini

0.02 0 -0.02 -0.04 0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

0.16

0.18

0.2

waktu [s]

Gambar 7. Sinyal hasil integrasi diskrit dengan frekuensi batas perhitungan ini disajikan dalam Tabel 2 sebagai pembanding nilai pengaruh sinyal pengganggu hasil eksperimen.

bangkan ini selalu lebih kecil daripada pengaruh sinyal pengganggu pada hasil integrasi diskrit yang telah dikembangkan oleh Abidin [3].

Tabel 2. Pengaruh sinyal pengganggu Metode Integrasi Tustin ZOH MPZ

4. KESIMPULAN

Pengaruh Sinyal Pengganggu [%] Penelitian Ini Penelitian Abidin [3] Eksperimen Persamaan Eksperimen 25,88 15,64 41,25 15,18 15,64 41,29 25,87 16,13 41,25

Metode integrasi numerik yang mampu mereduksi pengaruh sinyal pengganggu telah berhasil dikembangkan. Pengaruh sinyal pengganggu dapat direduksi hingga mencapai 15 %.

DAFTAR PUSTAKA

Setelah sinyal utama dan pengganggu ditentukan, sinyal percepatan kemudian diintegrasikan dengan menggunakan Persamaan (28), (29), dan (30). Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 7. Sebagai perbandingan, pada gambar ini ditampilkan juga hasil integrasi sinyal percepatan dengan menggunakan fungsi integrasi diskrit dengan frekuensi batas yang telah dikembangkan oleh Abidin [3].Sementara itu, nilai pengaruh sinyal pengganggu disajikan pada Tabel 2. Pada tabel ini dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara nilai pengaruh sinyal pengganggu hasil eksperimen dengan nilai pengaruh sinyal pengganggu berdasarkan persamaan. Hal ini disebabkan karena baik sinyal utama maupun sinyal pengganggu yang terukur bukanlah sinyal tunggal seperti halnya dalam penurunan persamaan. Kendati demikian, pengaruh sinyal pengganggu pada hasil integrasi diskrit yang dikem-

[1] Abidin, Z. dan Purnama, F., “Kesalahan Akibat Integrasi Numerik pada Sinyal Pengukuran Getaran dengan Metode Euler dan Trapesium”, Jurnal Teknik Mesin Petra, Vol 11, No.1, 2009. [2] Zandt, T. V., “Numerical Integration and Differentiation Tutorial”, University of Massachusetts Lowell, 2004. [3] Abidin, Z., Purnama, P., dan Heryadi, B., “Pengembangan Metode Integrasi Numerik dengan Frekuensi Batas yang Mampu Mereduksi Pengaruh Sinyal Pengganggu terhadap Hasil Integrasi”, Jurnal Teknik Mesin Petra, 2011.

D-32

PEMODELAN DAN SIMULASI KEANDALAN KOMPONEN PESAWAT TERBANG TIPE BOEING 737 SERIES-300/-400 DI PT. MNA MENGGUNAKAN RAPTOR Firman Yasa Utama1), Nur Yuniarto2), Sudijono Kromodihardjo3) Program Studi Magister, Bidang Keahlian Sistem Manufaktur Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Telp : 085733175758 / 031 70375758 Email: [emailprotected]

ABSTRAK Sebagai salah satu perusahaan penerbangan komersil di Indonesia PT. MNA memiliki pesawat terbang Boeing 737-300/-400 sebanyak 9 (sembilan) unit armada. Sejak tahun 2008 perusahaan melakukan Engineering Analysis tentang perbaikan dan penggantian komponen yang dinamakan Component Top Ten Removal Rate dengan 3 (tiga) kriteria yaitu, down, upper dan level. Selama 2 tahun terakhir sejak 2010 hasil analisa lebih banyak pada kriteria upper dari target yang diharapkan minimal level dan sangat diharapkan down. Sehingga perusahaan terus melakukan upaya untuk mencari beberapa cara lain dalam melakukan analisa. Dalam makalah ini dilakukan pemodelan Reliability komponen pesawat terbang berdasarkan data Daily Replaced Component Record (DRCR) selama 5 tahun sejak 2005-2010. Pengolahan data menggunakan bantuan software Weibull++ V.6 untuk mendapatkan nilai Time Between Failure (TBF), Time To Repair (TTR) dan pendugaan model distribusinya. Simulasi dengan simulator Raptor V.7. Analisa data menggunakan metode Failure Mode & Effect Analisys (FMEA) terhadap 10 (Top Ten) komponen yang paling sering terjadi failure dan telah dilakukan repair. Tujuannya sebagai pembanding analisa dan mendukung program perawatan yang sudah dilakukan oleh perusahaan. Hasilnya menunjukkan nilai Availability dan Risk Priority Number (RPN) dari 9 armada secara berturut-turut, yaitu PK-MBP: 57 % & 550; PK-MDF: 96 % & 546; PK-MDG: 88.9 % & 770; PK-MDH: 96 % & 308; PK-MDJ: 97 % & 260; PK-MDK: 89 % & 338; PK-MDO: 95 % & 686; PK-MDQ: 95 % & 718; dan PK-MDZ:81 % & 310. Kata kunci: TBF, TTR, FMEA - Down: Apabila kondisi Rate of Removal dalam 3 bulan cenderung menurun dari 3 bulan sebelumnya. - Upper: Apabila kondisi Rate of Removal dalam 3 bulan cenderung naik dari 3 bulan sebelumnya. - Level: Apabila kondisi Rate of Removal dalam 3 bulan cenderung tetap. Sampai saat ini pihak perusahaan terus melakukan terobosan untuk mencari beberapa cara lain dalam melakukan Engineering Analysis. Hal ini dikarenakan laporan Component Top Ten Removal Rate masih lebih sering menunjukkan kondisi upper dari target yang diharapkan minimal level dan sangat diharapkan down. Pada dasarnya perawatan pesawat terbang harus dilaksanakan tanpa membutuhkan waktu yang membuat pesawat tidak beroperasi. Bagaimana mengoptimalkan perawatan pesawat dengan tanpa menyebabkan pesawat delay dan tetap memenuhi prosedur keselamatan penerbangan sipil. Sedangkan tujuan dan target yang diharapkan, salah satunya adalah bagaimana meningkatkan MTBF dan menurunkan MTTR atau MDT sehingga availability juga meningkat. Salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi masalah diatas, khususnya perawatan dan reliability adalah menggunakan pendekatan pemodelan dan simulasi. Pemodelan sistem sendiri memiliki beberapa tujuan, yaitu (1) untuk menjelaskan sekumpulan fakta karena belum ada teori, (2) untuk mencari konfirmasi bila telah ada teori, (3) alat pengambilan keputusan, (4) proses belajar, dan (5) alat komunikasi. Sedangkan tujuan melakukan simulasi adalah (1) alat evaluasi, bukan alat pemecah masalah, (2) Memperlihatkan bagaimana sistem bekerja, bukan menentukan

1. PENDAHULUAN Perawatan seringkali dihubungkan sebagai akar dari suatu keandalan (reliability). Keandalan merupakan peluang suatu unit atau sistem berfungsi normal jika digunakan menurut kondisi operasi tertentu dan periode waktu tertentu. Keandalan dapat dijaga dan masa pakai mesin dapat diperpanjang dengan melakukan penjadwalan perawatan mesin dengan baik dan teratur. PT. MNA adalah salah satu maskapai penerbangan komersil di Indonesia yang mengoperasikan berbagai jenis dan tipe pesawat terbang. Diantara berbagai jenis dan tipe yang dimiliki adalah Boeing 737-300/-400 dengan tahun manufaktur antara tahun 1987-1990. Pada program perawatan pesawat terbang di PT. MNA sendiri diperoleh dari petunjuk manufaktur produsen dalam Operations Manual yang dituangkan dalam Continuous Airworthiness Maintenance Program (CAMP). Lalu disesuaikan dengan kondisi, iklim dan letak geografis negara Indonesia sehingga disusun lebih detail lagi dalam Maintenance Planning Data (MPD). Sejak tahun 2008 PT. MNA telah melakukan Engineering Analysis dan data yang diolah diperoleh dari Daily Replaced Component Record (DRCR). Lalu dilaporkan setiap triwulan dalam Analisa Engineering Reliability Report tentang perbaikan dan penggantian komponen. Hasilnya berupa Component Top Ten Removal Rate yang berisi 10 (sepuluh) komponen dengan nilai Rate of Removal tertinggi dan 3 (tiga) kriteria tren yaitu: D-33

bagaimana seharusnya dirancang, (3) Perpanjangan pikiran yang memungkinkan seseorang mengetahui dinamika yang kompleks dari sebuah sistem, bukan pengganti pikiran (Kappiantari, 2009). Pendekatan selanjutnya menggunakan pendekatan metode analisa Failure Modes and Effects Analysis (FMEA). Dengan FMEA kondisi sistem akan dapat diketahui, sehingga informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai indikator dan bahan pertimbangan untuk menentukan kebijaksanaan yang akan diambil dalam program maintenance. Dari uraian latar belakang diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji data Engineering Reliability Report atau Engineering Analysis tentang perbaikan dan penggantian komponen sebagai pembanding dengan hasil pemodelan dan simulasi dalam penelitian ini. Salah satu hasilnya juga akan memperoleh nilai Availability dari masing-masing armada yang ada. Sedangkan manfaatnya antara lain sebagai bahan perbandingan untuk memperdalam wawasan tentang metode maintenance dan diharapkan dapat mengetahui penyebab turunnya Availability sistem sehingga Reliability juga meningkat.

MTBF = Formula MTBF sama dengan MTTF, namun beda pemakaiannya. MTTF untuk item yang tidak di-repair (seperti bearing dan transistor), sedang MTBF untuk item yang di-repair (Smith, 2005). Suatu equipment dalam kondisi sedang diperbaiki/ mengalami penggantian dengan tujuan agar bisa operasional kembali dapat dinyatakan dengan istilah MTTR dan MDT. Dimana MTTR merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk perbaikan. Sedangkan MDT merupakan waktu rata-rata suatu equipment atau sistem-sistem sampai seberapa lama mengalami breakdown akibat kegagalan yang terjadi dan berapa lama dilakukan perbaikan untuk bisa operasional kembali. Formulasi umum secara sederhana dapat dinyatakan sebagai berikut : MTTR = dan,

Teori Keandalan Keandalan suatu produk/peralatan atau mesin dapat dijabarkan sebagai nilai probabilitas komponen-komponen yang menyusun produk tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam jangka waktu tertentu. Terdapat 2 faktor yang menentukan keandalan suatu mesin, yaitu: fungsi mesin, keadaan tertentu (batasan mesin), dan masa pakai mesin tersebut. Fungsi mesin adalah faktor utama yang menentukan keandalan suatu mesin dan dapat dikatakan andal apabila mesin tersebut bisa melakukan kerja sesuai fungsi mesin itu sendiri. Dalam jangka waktu pemakaiannya, suatu equipment atau sistem akan mengalami kerusakan baik ringan maupun berat. Kerusakan itu mengakibatkan menurunnya kinerja dan bukan merupakan fungsi yang tetap sehingga dapat berubah-ubah terhadap waktu. Keandalan (reliability) suatu equipment berhubungan dengan laju kegagalan tiap waktunya seperti pada gambar 1 dengan 3 (tiga) fase yang menggambarkan kondisi berbeda.

MDT = Laju kegagalan/failure rate (λ) adalah banyaknya kegagalan per satuan waktu yang dapat dinyatakan sebagai perbandingan antara banyaknya kegagalan yang terjadi selama selang waktu tertentu dengan total waktu operasi komponen, sub-sistem, atau sistem. Laju kegagalan dinyatakan sebagai berikut: Laju kegagalan (λ) = Jumlah kerusakan Total jam operasi Availability adalah indikator yang menunjukkan keandalan equipment dari suatu sistem. Availability mengacu pada indikator lama waktu mesin downtime dan lama waktu untuk setup dan adjustment. Sehingga waktu yang digunakan untuk pemeliharaan harus dibatasi sesedikit mungkin. Ini menunjukkan bahwa Availability merupakan kemampuan unjuk kerja peralatan secara optimal tanpa terjadinya gangguan apapun yang akan mengakibatkan terganggunya proses kerja. Secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut : Availability =

x 100%

2. METODOLOGI Pengumpulan data lapangan ke PT. MNA diawali dengan melakukan survey dan konsultasi ke beberapa divisi yang menangani masalah perawatan pesawat antara lain Production Planning&Control (PPC), Maintenance Control Centre (MCC), dan divisi Engineering Development & Reliablility (ER). Setelah tahap pengumpulan data dan mendapatkan salinan dokumen Engineering Analysis report berupa Component Top Ten Removal Rate selama 5 tahun (2005-2010), dilanjutkan proses screening awal dan khusus untuk armada Boeing 737/-300 dan -400. Dari proses awal ini, diperoleh 10 (sepuluh) komponen yang sering mengalami fail. Masing-masing komponen ini telah mempunyai program perawatan tersendiri dan berdasarkan informasi dalam Component Maintenance Program oleh

Gambar 1. Bathtub Curve (Sumber : Maintainability, Maintenance, and Reliability for Engineers, Dhillon, 2006, hal : 24) Keandalan berkaitan dengan sebab-sebab, distribusi kegagalan dan prediksi kegagalan. Kegagalan didefinisikan sebagai berakhirnya kemampuan suatu komponen atau sistem untuk melakukan fungsinya. Parameter tingkat kegagalan diindikasikan dengan simbol λ (t). Metode lain untuk menjelaskan terjadinya kegagalan adalah dengan menyatakan Waktu Rata-rata Antar Kegagalan (MTBF = Mean Time Between Failure) dan Waktu Rata-rata untuk Gagal (MTTF = Mean Time To Fail). D-34

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

divisi Maintenance&Engineering, Maintenance Program dari ke-sepuluh komponen tersebut pada Tabel 1.

Hasil Running sebagai nilai Availability Availability didefinisikan sebagai probabilitas untuk dapat menemukan suatu sistem (dengan berbagai kombinasi aspek-aspek keandalannya, kemampurawatan dan dukungan perawatan) untuk melakukan fungsi yang diperlukan pada suatu periode waktu tertentu (Priyanta, 2000). Hasil output dari simulasi dan pemodelan sistem tiap-tiap armada berisi Availability output (Ao), Mean Time Between Down Event (MTBDE) dan Mean Down Time (MDT) adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Top Ten Component Maintenance Program No. ATA Nomenclature

No. of Compt.

1

32 Nose Wheel

2

2

35 Oxygen Bottle

2

3

32 Main Wheel

4

4

32 Brake Unit

4

5

23

VHF Nav. Receiver

2

6

34

IRU (Inertial Reference Unit)

1

7

49

APU (Auxiliary Power Unit)

1

8

21

Cabin Pressure Controller

1

9

23

Cockpit Voice Recorder

1

10

22

ATC Transponder

2

Maintenance Program HT (Hard Time) HT (Hard Time) HT (Hard Time) HT (Hard Time) OC (On Condition) CM (Condition Monitoring) CM (Condition Monitoring) CM (Condition Monitoring) CM (Condition Monitoring) OC (On Condition)

1. Kode PK-MBP HASIL RUNNING

Komponen yang termasuk dalam kategori Top Ten akan dianalisa menggunakan pendekatan metode FMEA. Untuk menuju tahapan FMEA, harus terlebih dahulu melakukan klasifikasi, komponen apa saja yang memiliki resiko Low, Medium dan High menggunakan tabelisasi DMG (Decision Making Grade). Dasar klasifikasi tersebut diperoleh dari frekuensi fail komponen (1/MTBF) dan MTTR (tabel 2). Dalam DMG, komponen yang memiliki kriteria Medium dan High ditarik ke dalam analisa FMEA sampai mendapatkan nilai total RPN tiap komponen.

Ao:0.572 ; MTBDE:5.526 ; MDT:4.131

Gambar 3. Output running simulasi Kode PK-MBP 2. Kode PK-MDF HASIL RUNNING)

Ao:0.968 ; MTBDE:0.033 ; MDT:0.001

Tabel 2. Range klasifikasi dalam DMG Grade Low Medium High

Freq = 1/MTBF 0-0,001 0,001-0,01 0,01-1

MTTR 0-0,5 0,5-2,5 2,5-5

Pembuatan Model Simulasi Pembuatan model simulasi didasarkan pada jumlah, hubungan dan susunan dari masing-masing komponen sampai menjadi suatu sistem. Adapun bentuk pemodelan sistem menggunakan software Raptor adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Pemodelan Sistem menggunakan software Raptor

Gambar 4. Output running simulasi Kode PK-MDF D-35

3. Kode PK-MDG HASIL RUNNING

6. Kode PK-MDK Ao:0.882 ; MTBDE:0.049 ; MDT:0.006

HASIL RUNNING

Gambar 5. Output running simulasi Kode PK-MDG

Gambar 7. Output running simulasi Kode PK-MDK

4. Kode PK-MDH HASIL RUNNING

7. Kode PK-MDO Ao:0.969 ; MTBDE:0.044 ; MDT:0.001

HASIL RUNNING

Gambar 5. Output running simulasi Kode PK-MDH

Ao:0.956 ; MTBDE:0.0373 ; MDT:0.001

Gambar 8. Output running simulasi Kode PK-MDO

5. Kode PK-MDJ HASIL RUNNING\

Ao:0.895 ; MTBDE:0.098 ; MDT:0.001

8. Kode PK-MDQ Ao:0.971 ; MTBDE:0.097 ; MDT:0.002

HASIL RUNNING

Ao:0.952 ; MTBDE:0.0855 ; MDT:0.004

Gambar 9. Output running simulasi Kode PK-MDQ

Gambar 6. Output running simulasi Kode PK-MDJ D-36

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

9. Kode PK-MDZ HASIL RUNNING

Ao:0.809 ; MTBDE:0.046 ; MDT:0.010

Gambar 11. Tabelisasi DMG

Gambar 10. Output running simulasi Kode PK-MDZ Dari hasil output simulasi dan pemodelan sistem dari armada yang ada, menunjukkan nilai Ao, MTBDE atau MTBF dan MDT di Tabel 3. Tabel 3. Ranking hasil output No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Kode PK-MBP PK-MDF PK-MDG PK-MDH PK-MDJ PK-MDK PK-MDO PK-MDQ PK-MDZ

Ao MTBDE MDT 57 % 5.5 4.1 96 % 0.03 0.001 88.9 % 0.049 0.006 96 % 0.044 0.001 97 % 0.097 0.002 89 % 0.098 0.001 95 % 0.037 0.001 95 % 0.085 0.004 81 % 0.046 0.01

Ranking 9 3 7 2 1 6 5 4 8

Gambar 12. Daftar komponen dengan keterangan tingkat resiko berdasarkan tabelisasi DMG Dari tabelisasi DMG dapat diketahui urutan armada maupun komponen yang terbanyak dan memiliki klasifikasi resiko Tabel 4. Tabel 4. Urutan armada dan komponen dengan klasifikasi resiko

Jika melihat output secara grafis hasil simulasi diatas, pada tabel per trial Ao graph mengindikasikan dengan 3 (tiga) simbol warna, hijau, kuning dan merah.  Warna hijau  mengindikasikan bahwa semua equipment dalam sistem berfungsi dengan sangat baik.  Warna kuning  menunjukkan bahwa salah satu atau beberapa equipment yang tersusun paralel mengalami kerusakan atau sering diperbaiki.  Warna merah  mengindikasikan bahwa equipment yang tersusun parallel maupun seri yang benar-benar mengalami kerusakan yang parah

Metode Failure Mode Effect and Analysis (FMEA) Dalam penyusunan tabelisasi FMEA, terdapat 3 variabel utama yang harus kita ketahui. Ketiga variabel tersebut berisi poin yang menggambarkan kondisi dari yang berdampak paling ringan sampai berdampak berat yaitu: 1. Severity, yakni rating yang mengacu pada besarnya dampak serius dari suatu potential failure mode. 2. Occurrence, yakni rating yang mengacu pada berapa banyak frekuensi potential failure terjadi 3. Detection, yakni mengacu pada kemungkinan metode deteksi yang sekarang dapat mendeteksi potential failure mode sebelum produk tersebut dirilis untuk produksi, desain, hingga proses sebelumnya.

Indikasi warna tersebut berbeda untuk tiap armada, meskipun nilai Ao tinggi tapi kondisi equipment tidak berarti lebih dominan warna hijau. Tabel DMG (Decision Making Grade) Pembuatan tabel DMG berisi klasifikasi resiko tiap equipment di masing-masing armada. Frekuensi kerusakan (1/MTBF) pada kolom atas mendatar dan MTTR pada kolom vertical. Tujuannya untuk mem-breakdown lebih detail terhadap pendekatan analisa dengan metode Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) D-37

 FMEA pada Kode PK-MDF

Disamping 3 (tiga) variabel diatas untuk pengisian tabel FMEA diperlukan 4 (empat) informasi lagi, yaitu: 1. Potential Failure Mode: Modus kegagalan potensial didefiniskan sebagai proses yang potensial akan menimbulkan kegagalan pada proses produksi. 2. Potential Effect of Failure: Adalah efek yang ditimbulkan oleh adanya modus kegagalan potensial pada konsumen. 3. Potential Cause/Mechanism of failure: Adalah bagaimana sebuah kegagalan dapat terjadi, dan menjelaskan sesuatu yang dapat mnegkoreksi atau mengkontrol. 4. Current Process Control: Suatu penjelasan yang menerangkan sebuah kontrol yang dapat mendeteksi modus kegagalan yang akan terjadi

Gambar 14. Tabel FMEA pada Kode PK-MDF dengan total RPN = 546  FMEA pada Kode PK-MDG

Sumber informasi tentang failure mode tiap equipment untuk memenuhi ke-empat variabel diatas bisa diperoleh antara lain: 1) History pembuatan equipment 2) Data base dari kondisi dan program maintenance 3) Nara sumber di lapangan Metode FMEA juga mengenal apa yang disebut dengan Risk Priority Number (RPN), yakni angka yang menggambarkan area mana yang perlu jadi prioritas perhatian kita. RPN diukur berdasarkan pertimbangan rating dari ketiga faktor diatas, yakni severity, occurrence, dan detection. RPN = Rating Severity x Rating Occurrence x Rating Detection

Gambar 15. Tabel FMEA pada Kode PK-MDG dengan total RPN = 770

Tindakan koreksi harus dilakukan apabila dalam analisa FMEA dijumpai 3 (tiga) hal, yaitu: 1. Severity menunjukkan angka 9 atau 10, karena dampaknya sangat serius, dan berpotensi menghasilkan kerugian yang sangat besar. 2. Severity rating x Occurrence rating menghasilkan angka yang tinggi. 3. Tidak ada aturan khusus, lakukan judgement sendiri berdasarkan analisa RPN.

 FMEA pada Kode PK-MDH

Sedangkan tabelisasi FMEA untuk komponen yang terindikasi resiko fail pada masing-masing armada adalah sebagai berikut:  FMEA pada Kode PK-MBP

Gambar 16. Tabel FMEA pada Kode PK-MDH dengan total RPN = 308  FMEA pada Kode PK-MDJ

Gambar 17. Tabel FMEA pada Kode PK-MDJ dengan total RPN = 260

Gambar 13. Tabel FMEA pada Kode PK-MBP dengan total RPN = 550 D-38

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

 FMEA pada Kode PK-MDK

 FMEA pada Kode PK-MDZ

Gambar 18. Tabel FMEA pada Kode PK-MDK dengan total RPN = 338

Gambar 21. Tabel FMEA pada Kode PK-MDZ dengan total RPN = 310

 FMEA pada Kode PK-MDO

3. KESIMPULAN 1. Hasil simulasi menunjukkan nilai Availability dan Risk Priority Number (RPN) kelompok dari 9 armada secara berturut-turut, yaitu PK-MBP: 57 % & 550; PK-MDF: 96 % & 546; PK-MDG: 88.9 % & 770; PK-MDH: 96 % & 308; PK-MDJ: 97 % & 260; PK-MDK: 89 % & 338; PK-MDO: 95 % & 686; PK-MDQ: 95 % & 718; dan PK-MDZ:81 % & 310. 2. PK-MDF adalah armada yang mendapat prioritas pertama untuk pengecekan kondisi komponen.

Saran 1. Nilai total nilai RPN kelompok adalah perhitungan dari beberapa equipment di tiap armada yang masuk dalam klasifikasi medium dan high berdasarkan analisa DMG. Sehingga perlu dilakukan ranking untuk nilai RPN individual yang diwakili oleh 10 (sepuluh) komponen tersebut. 2. Perlu dilakukan analisa dengan metode lain yang bisa membantu menunjukkan kondisi komponen mana yang perlu penanganan perawatan lebih spesifik dan bisa menunjukkan indikasi penyebab kerusakan misalnya metode RCM (Reliability Centered Maintenance) atau metode yang lain. Tujuannya untuk mengetahui langkah penanganan dan antisipasi yang lebih spesifik dengan harapan keandalan dan availability selalu meningkat.

Gambar 19. Tabel FMEA pada Kode PK-MDO dengan total RPN = 686

 FMEA pada Kode PK-MDQ

DAFTAR PUSTAKA [1] Bentley, John .P, (1999), Introduction to Reliability and Quality Engineering, 2nd edition, Addison-Wesley, England. [2] Hurst, S. Kenneth, (1999), Engineering Design Principles, 1st edition, Elsevier Ltd. The Boulevard, Langford Lane Kidlington, OX5 16 B, England. [3] Potential Failure Mode & Effect Analisys (FMEA), 2nd Edition, Chrysler Corporation, Ford Motor Company, General Motors Corporation, 1995 [4] Raptor Tutorial Workbook, Third Edition, Version 7.0, ARINC Engineering Services, LLC, USA, 2007

Gambar 20. Tabel FMEA pada Kode PK-MDQ dengan total RPN = 718

D-39

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PENGUJIAN KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS DAN FAKTOR GESEKAN PADA PENUKAR KALOR PIPA KONSENTRIK DENGAN STRAIGHT DAN OBLIQUE DELTA WINGLET TWISTED TAPE INSERT Tri Istanto1), Wibawa Endra Juwana2)

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret 1,2) Jalan. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Indonesia 1,2) Phone: 0062-271-632163, Fax: 0062-271-6321631,2) E-mail: [emailprotected]), [emailprotected]) ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk menguji karakteristik perpindahan panas dan faktor gesekan pada penukar kalor pipa konsentrik dengan penambahan straight delta winglet twisted tape (S-DWT) dan oblique delta winglet twisted tape (O-DWT) insert. Seksi uji berupa penukar kalor pipa konsentrik satu laluan dengan pipa dalam dan pipa luar terbuat dari aluminium. Aliran fluida di pipa dalam dan annulus berlawanan arah. Fluida kerja di pipa dalam adalah air panas dengan temperatur masukannya dipertahankan 60oC, sedangkan di annulus adalah air dingin dengan temperatur masukannya ± 28oC. S-DWT dan O-DWT dipasang di pipa dalam dari penukar kalor pipa konsentrik. Untuk perbandingan, diuji pipa dalam tanpa twisted tape insert (plain tube) dan dengan penambahan classic twisted tape (CT) insert. CT, S-DWT dan O-DWT dibuat dari pita aluminium dengan twist ratio 4,0 dan panjang pitch 50,3 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan S-DWT dan O-DWT di pipa dalam menghasilkan bilangan Nusselt (Nu), penurunan tekanan (P), faktor gesekan (f) dan unjuk kerja termal () yang lebih besar daripada penambahan CT. Penambahan O-DWT menghasilkan Nu, P, f, dan  yang lebih tinggi dibandingkan S-DWT. Pada bilangan Reynolds (Re) yang sama, penambahan CT, S-DWT dan O-DWT meningkatkan Nu rata-rata berturut-turut sebesar 46,7%, 68,2% dan 84,8% dibandingkan dengan plain tube. Pada daya pemompaan yang sama, penambahan CT, S-DWT dan O-DWT di pipa dalam meningkatkan Nu rata-rata berturut-turut sebesar 1,23%, 6,10% dan 14,2% dibandingkan dengan plain tube. Pada Re yang sama, penambahan CT, S-DWT dan O-DWT di pipa dalam menghasilkan f rata-rata berturut-turut sebesar 2,38; 3,45; dan 3,78 kali f plain tube. Pada daya pemompaan yang sama, penambahan CT, S-DWT dan O-DWT di pipa dalam menghasilkan f rata-rata berturut-turut sebesar 2,80; 4,03; dan 4,52 kali f plain tube. Kata kunci: bilangan Nusselt, bilangan Reynolds, delta winglet twisted tape, faktor gesekan dalam beberapa aplikasi industri seperti; proses teknik kimia, proses perolehan panas kembali, AC dan pendingin sistem, kimia reaktor, pembangkit listrik, dan reaktor nuklir. Pipa dengan sisipan twisted tape juga merupakan kelompok penting dari alat pemutar aliran kontinyu yang menghasilkan gerak aliran berputar melalui keseluruhan panjang aliran pipa pada koefisien perpindahan panas dan gesekan faktor yang konstan. Ada banyak peralatan yang digunakan untuk menghasilkan aliran berputar dalam pipa, seperti helical vanes, helical grooved tube, helical screw-tape, axial-radial guide vanes dan snail entry, sementara twisted tape adalah salah satu kelompok yang paling populer karena biaya rendah, perawatan yang rendah, kehilangan tekanan rendah dan kemudahan konstruksi. Dalam beberapa dekade ini, modifikasi twisted tape berupa winglet atau wing (delta winglet dan rectangular winglet) secara luas dipakai pada penukar kalor untuk menciptakan aliran vorteks (vortex flow) longitudinal agar menciptakan laju perpindahan panas yang lebih tinggi. Aliran vorteks dapat menambah turbulensi aliran pada pipa penukar kalor yang dapat menyebabkan lapis batas termal menjadi lebih tipis dan akibatnya menghasilkan koefisien perpindahan panas konveksi yang tinggi. Aliran vorteks longitudinal dapat ditingkatkan dengan peningkatan aliran berputar dan turbulensi sehingga merusak lapis batas termal, meningkatkan kecepatan rata-rata, gradien temperatur, dan meningkatkan koefisien perpindahan panas pada penukar kalor. Pembangkit aliran vorteks dengan winglet sangat

1. PENDAHULUAN Teknologi untuk meningkatkan perpindahan panas pada penukar kalor banyak dikembangkan dan digunakan pada beberapa aplikasi penukar kalor antara lain pada sistem pendingin, otomotif, proses industri, dan pemanas air tenaga surya. Peningkatan perpindahan panas pada penukar kalor dapat dicapai dengan banyak teknik, dan teknik-teknik ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok yaitu; teknik aktif, teknik pasif, dan teknik campuran. Dalam teknik aktif, peningkatan perpindahan panas dilakukan dengan memberikan tambahan energi aliran ke fluida. Dalam teknik pasif, peningkatan perpindahan panas diperoleh tanpa menyediakan tambahan energi aliran. Dalam teknik campuran, dua atau lebih dari teknik aktif dan pasif digunakan secara simultan untuk menghasilkan peningkatan perpindahan panas, dimana peningkatan perpindahan panas lebih tinggi daripada jika teknik-teknik peningkatan perpindahan panas dioperasikan secara terpisah. Di antara berbagai teknik yang efektif untuk meningkatkan laju perpindahan panas di pipa penukar panas, penyisipan dengan pita terpilin (twisted tape) adalah salah satu teknik peningkatan perpindahan panas pasif yang paling populer karena biaya rendah, kemudahan instalasi, dan pemeliharaan yang mudah. Twisted tape telah digunakan secara luas sebagai pembangkit pusaran untuk meningkatkan laju perpindahan panas konveksi dalam menemukan cara untuk mengurangi berat, ukuran dan biaya penukar panas K-1

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

menarik dalam beberapa aplikasi perpindahan panas seperti penukar kalor bersirip, pengkondisian udara, dan peralatan elektronik. Aliran vorteks dapat meningkatkan percampuran fluida pada keliling dan aliran inti dengan aliran berputar yang kedua. Beberapa peneliti yang meneliti tentang peningkatan perpindahan panas pada pipa dan penukar kalor menggunakan modifikasi twisted tape insert dan straight tape insert. Eimsa-ard, S. et al 1 melakukan penelitian pengaruh penggunaan delta winglet twisted tape insert terhadap karakteristik perpindahan panas, penurunan tekanan, dan unjuk kerja termal pada sebuah penukar kalor. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bilangan Nusselt dan penurunan tekanan pada pipa uji menggunakan delta winglet twisted tape lebih tinggi dari pipa dengan penambahan classic twisted tape insert. Eiamsa-ard, S dan Promvonge, P., 2 melakukan penelitian mengenai karakteristik perpindahan panas konveksi dan gesekan aliran turbulen pada pipa dengan penambahan double-sided delta wing tape insert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan double-sided delta wing tape insert terjadi peningkatan bilangan Nusselt dan faktor gesekan di bandingkan plain tube. Thianpong et al 3 melakukan penelitian karakteristik perpindahan panas dan faktor gesekan aliran turbulen pada pipa penukar kalor menggunakan perforated twisted tape insert with parallel wings. Disimpulkan bahwa dengan penambahan perforated twisted tape insert with parallel wings pada bagian tengah dari pipa terjadi aliran aksial sehingga penurunan tekanan dan faktor gesekan berkurang, sedangkan pada bagian dinding pipa terjadi aliran berputar yang lebih baik karena adanya wings sehingga menghasilkan efek turbulensi tambahan dan secara efisien mengganggu lapis batas termal. Peningkatan perpindahan yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan classic twisted tape insert. Oleh karena itu, penelitian mengenai peningkatan perpindahan panas pada penukar kalor dengan modifikasi twisted tape insert penting untuk dikembangkan. Penelitian ini akan menguji karakteristik perpindahan panas dan faktor gesekan pada pipa dalam dari penukar kalor pipa konsentrik dengan penambahan straight delta winglet twisted tape (S-DWT) insert dan oblique delta winglet twisted tape (O-DWT) insert.

kalor berupa pipa konsentrik satu laluan dengan arah aliran fluida di pipa dalam dan di annulus berlawanan arah (counter flow). Pipa dalam dan pipa luar terbuat dari aluminium, dengan panjang berturut-turut 2.500 mm dan 1.940 mm. Diameter dalam dan luar pipa dalam berturut-turut 15,8 mm dan 14,3 mm, sedangkan diameter dalam dan luar pipa luar berturut-turut 25,4 mm dan 23,4 mm. Jarak pengukuran beda tekanan di pipa dalam 2.240 mm. Pengujian dilakukan dengan arah penukar kalor mendatar. Fluida kerja di pipa dalam adalah air panas yang temperatur masukannya dijaga konstan 60oC, sedangkan fluida kerja di annulus adalah air dingin dengan temperatur masukan ± 28oC. Termokopel tipe K digunakan untuk mengukur temperatur air panas masuk dan keluar pipa dalam, dinding luar pipa dalam, dan air dingin masuk dan keluar annulus. Pengukuran temperatur dinding luar pipa dalam sebanyak 10 titik, seperti terlihat pada Gambar 3. Penelitian dilakukan dengan menvariasi laju aliran volumetrik air panas di pipa dalam dengan menjaga temperatur masukannya konstan sebesar 60oC, sedangkan laju aliran volumetrik air dingin di annulus dijaga konstan. Laju aliran volumetrik air panas di pipa dalam diukur dengan flowmeter. Temperatur air panas masukan di pipa dalam konstan diperoleh dengan menggunakan pemanas air elektrik yang dikontrol dengan thermocontroller. Pada pengujian penambahan S-DWT dan O-DWT insert, untuk perbandingan diuji juga pipa dalam tanpa twisted tape insert (plain tube) dan dengan penambahan classic twisted tape (CT) insert. Pengukuran beda tekanan di pipa dalam menggunakan manometer pipa U dengan fluida manometer adalah air. Data yang dipakai untuk analisa adalah data pada saat sistem mencapai kondisi tunak. CT insert terbuat dari bahan aluminium strip dengan tebal 0,7 mm dan lebar (w) 12,6 mm yang dipuntir sedemikian rupa sehingga berbentuk sebuah pilinan yang mempunyai panjang pitch (H) 50,3 mm sehingga rasio pilinan (twist ratio) (H/w) sebesar 4,0. Sedangkan S-DWT dan O-DWT insert terbuat dari bahan dan ukuran yang sama dengan CT insert dengan panjang pitch 50,3 mm dan twist ratio 4,0. Kedalaman pemotongan S-DWT dan O-DWT (d) 2,7 mm dengan depth of wing cut ratio (d/w) 0,21. CT, S-DWT dan O-DWT insert yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Untuk aliran-aliran fluida dalam sebuah penukar kalor pipa konsentrik, seperti terlihat pada Gambar 1, laju perpindahan panas dari air panas di pipa dalam dapat dinyatakan sebagai:

2. METODOLOGI Skema alat pengujian karakteristik perpindahan panas dan faktor gesekan pada penukar kalor pipa konsentrik dengan penambahan S-DWT dan O-DWT insert dapat dilihat pada Gambar 1. Peralatan penelitian terdiri dari 3 sistem, yakni sistem pengukuran, sistem lintasan pipa dalam, dan sistem lintasan annulus. Lintasan pipa dalam adalah sebuah lintasan tertutup. Air panas yang berada dalam tangki air panas digerakkan oleh pompa air, mengalir melewati pipa dalam dan kembali ke tangki air panas. Lintasan aliran pada annulus adalah lintasan terbuka. Aliran air dingin menggunakan metode gravitasi, yaitu aliran air dingin berasal dari tandon air yang dipasang diatas. Air dingin yang keluar dari annulus langsung dibuang. Skema seksi uji dapat dilihat pada Gambar 2. Penukar

Qh = 𝑚ℎ .Cp,h .(Th,in – Th,out) Laju perpindahan panas dari air dingin di annulus Qc = 𝑚𝑐 .Cp,c .(Tc,out – Tc,in) Qc = ho. Ao. (𝑇𝑤,𝑜 – Tb,o)

(1) (2) (3)

Perbedaan antara laju perpindahan panas dari persamaan (1) dan (2,3) menunjukkan kesalahan keseimbangan energi (heat balance error) dari penukar kalor. dimana dapat diabaikan jika penukar kalor diisolasi dengan baik Qloss = 𝑄ℎ − 𝑄𝑐 (4) Dalam penelitian ini penukar kalor diisolasi dengan baik sehingga persentase Qloss  10%. K-2

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Validasi karakteristik perpindahan panas dan faktor gesekan plain tube Dilakukan validasi karakteristik perpindahan panas (Nu) dan faktor gesekan (f) plain tube dengan korelasi-korelasi empirik untuk perpindahan panas dan faktor gesekan yang ada. Karakteristik perpindahan panas plain tube dibandingkan dengan korelasi Gnielinski, Petukhov dan Dittus Boelter, sedangkan untuk karakteristik faktor gesekan dibandingkan dengan persamaan Blasius, Petukhov dan Colebrook.

Gambar 4. Letak termokopel-termokopel di seksi uji Koefisien perpindahan panas rata-rata di annulus dapat ditentukan dari persamaan (2) dan (3) : ho =

m c .C p .(T c,out – T c,in ) A o .(T w ,o – T b ,o )

(5)

Persamaan (1) dapat juga dinyatakan dengan parameter koefisien perpindahan panas overall berdasarkan permukaan dalam pipa dalam : Qh = Ui.Ai. TLMTD (6) Koefisien perpindahan panas overall, Ui , pada penukar kalor konsentrik ini dinyatakan dengan : 1

Ui =

d 1 d i .ln d o d i + + i hi 2.k i d o .h o

(7)

Dari persamaan (1) dan (6), maka nilai Ui dapat dihitung: Ui =

m h .C p .(T h ,in – T h ,out ) A i .∆T LMTD

(8)

Dengan diperoleh nilai ho dari persamaan (5) dan Ui dari persamaan (8), maka koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di sisi pipa dalam, hi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : 1

hi =

d 1 d i .ln d o d i − − i Ui 2.k i d o .h o

Gambar 5. Grafik hubungan Nui dengan Re Dari Gambar 5, rata-rata penyimpangan nilai aktual Nui plain tube dengan korelasi Dittus-Boelter sebesar 18,99%, Gnielinski sebesar 1,77 sedangkan dengan korelasi Petukhov sebesar 2,35%. Rata-rata penyimpangan nilai Nui disbandingkan dengan korelasi Gnielinski dan Petukhov cukup kecil sehingga nilai Nui plain tube adalah valid. Korelasi Dittus–Boelter mempunyai akurasi ± 25% 4, sehingga nilai aktual Nui plain tube adalah valid.

(9)

Bilangan Nusselt rata-rata di sisi pipa dalam, Nui dapat dihitung dengan persamaan : Nui =

h i .d i ki

(10)

Bilangan Reynolds aliran air panas di pipa dalam, dihitung dengan persamaan : Re =

ρ.V.d i μ

(11)

Penurunan tekanan (P) yang terjadi pada aliran air di pipa dalam ditentukan dengan manometer pipa U. Faktor gesekan dihitung menggunakan persamaan : f =

ΔP Lt di

ρ

V2 2

(12)

Jika P telah diketahui, maka daya pemompaan di pipa dalam, dapat ditentukan dari : 𝑊𝑝𝑢𝑚𝑝 = 𝑉. ∆𝑃

(13)

Gambar 6. Grafik hubungan f dengan Re untuk plain tube

Unjuk kerja termal didefinisikan sebagai perbandingan antara koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata dari pipa dalam dengan twisted tape insert dengan koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata dari pipa dalam tanpa twisted tape insert (plain tube) pada daya pemompaan yang sama. =

hs hp

Dari Gambar 6, nilai aktual f plain tube rata-rata menyimpang sebesar 10,31% dari persamaan Blasius, 10,76% dari persamaan Petukhov dan 12,89% dari persamaan Colebrook. Rata-rata penyimpangan f pada Re < 10.000 cukup besar (15,4%), hal ini terjadi karena pada kisaran Re tersebut aliran dalam daerah transisi. Sedangkan pada daerah Re > 10.000 terjadi penyimpangan rata-rata cukup kecil (12,1%). Sehingga f aktual plain tube adalah valid.

(14) pp

K-3

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Oleh karena itu, laju perpindahan panas yang tinggi di pipa dalam dengan S-DWT dan O-DWT insert ini dapat disebabkan oleh efek sinergi dari sirkulasi pusaran (vorteks) bersama dengan aliran sekunder yang dihasilkan oleh bagian delta winglet, dan aliran pusaran utama yang dihasilkan oleh twisted tape. Pengaruh ini menghasilkan peningkatan perpindahan panas lebih baik dari yang dihasilkan oleh CT insert yang hanya menghasilkan aliran berputar. Pipa dalam dengan penambahan S-DWT dan O-DWT insert menghasilkan Nui yang lebih besar dibandingkan plain tube dan pipa dalam dengan penambahan CT insert. Penambahan O-DWT insert menghasilkan Nui tertinggi dibandingkan dengan S-DWT insert dan CT insert. Hal ini serupa dengan penelitian Eimsa-ard et al 1. Hal ini berhubungan secara langsung dengan geometri kedua jenis tape. Pada kedalaman pemotongan sayap yang sama, O-DWT dapat dipilin secara lebih efektif, sehingga O-DWT memiliki bagian menonjol yang lebih besar dari S-DWT. Konsekuensinya, laju perpindahan panas dan juga faktor gesekan yang diperoleh lebih besar untuk O-DWT 1.

b. Karakteristik perpindahan panas pada bilangan Reynolds yang sama Karakteristik perpindahan panas pipa dalam dari penukar kalor pipa konsentrik ini dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik hubungan Nui dengan Re

c. Karakteristik faktor gesekan pada bilangan Reynolds yang sama

Manglik dan Bergles 5,6 mengembangkan korelasi untuk classic twisted tape insert di pipa bulat dalam daerah turbulen dan valid untuk temperatur dinding konstan dan fluks kalor konstan. Dari hasil pengujian, perbedaan nilai rata-rata Nui pipa dalam dengan persamaan Manglik-Bergles adalah sebesar 7,32% untuk CT insert, 6,45% untuk S-DWT insert dan 16,96 % untuk O-DWT insert. Perbedaan nilai Nui dengan korelasi Manglik-Berges cukup kecil sehingga data nilai Nui pipa dalam dengan twisted tape insert adalah valid. Fenomena ini serupa dengan penelitian Eimsa-Ard, S et al 1 yang membandingkan data penelitiannya dengan korelasi empirik Manglik-Berges, dan diperoleh penyimpangan sebesar ±20%. Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa dengan semakin besar Re, maka nilai Nui akan semakin naik. Kenaikan Nui berarti terjadi kenaikan perpindahan panas di pipa dalam. Hal ini terjadi untuk plain tube, pipa dalam dengan CT, S-DWT dan O-DWT insert. Dengan penambahan twisted tape insert di pipa dalam maka dapat digunakan untuk menghasilkan aliran berputar secara kontinyu dari sisi masuk sampai sisi keluar pipa dalam. Karena komponen kecepatan tangensial dan luas penampang aliran yang lebih rendah, percampuran fluida antara fluida di daerah dinding dan fluida di daerah inti (core region) yang ditimbulkan oleh gaya sentrifugal yang dihasilkan mempunyai kemampuan yang signifikan untuk meningkatkan laju perpindahan panas 2. Hal ini berfungsi untuk menambah panjang aliran dalam pipa penukar kalor, mengurangi lapis batas termal, menambah percampuran antara aliran inti dengan aliran dekat dinding. Pada Re yang sama, pipa dalam dengan CT insert, Nui meningkat rata-rata sebesar 46,7% dibandingkan dengan plain tube, pipa dalam dengan S-DWT insert, Nui meningkat rata-rata sebesar 14,7% dibandingkan pipa dalam dengan CT insert dan 68,2% dibandingkan dengan plain tube. Pada Re yang sama, pipa dalam dengan O-DWT insert, Nui meningkat rata-rata 26,1% dibandingkan pipa dalam dengan CT insert dan 84,8% dibandingkan plain tube. Nui rata-rata dengan penambahan S-DWT dan O-DWT insert lebih besar dibandingkan dengan CT insert. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu 7,8,9 delta winglet tape diterapkan sebagai generator vorteks untuk memperkuat intensitas turbulensi dan menghasilkan aliran-aliran sekunder (secondary flows) dekat dinding pipa.

Penambahan CT, S-DWT dan O-DWT insert di pipa dalam memberikan tambahan tahanan aliran dari air yang mengalir. Hal ini akan menimbulkan penurunan tekanan (P) di pipa dalam yang lebih besar jika dibandingkan dengan plain tube.

Gambar 8. Grafik hubungan P dengan Re Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa dengan semakin besar Re, maka semakin besar pula P di pipa dalam. Fenomena ini terjadi pada pipa dalam dengan penambahan CT, S-DWT dan O-DWT insert maupun pada plain tube. Pipa dalam dengan penambahan CT, S-DWT dan O-DWT insert menghasilkan P lebih tinggi dibandingkan plain tube. Penambahan O-DWT insert di pipa dalam menghasilkan P paling besar dibandingkan dengan penambahan S-DWT insert, CT insert dan plain tube. Pada Re yang sama, nilai P di pipa dalam dengan penambahan CT insert adalah 2,38 kali lebih tinggi dari plain tube, sedangkan dengan penambahan S-DWT dan O-DWT insert nilai P di pipa dalam berturut-turut 3,45 dan 3,76 kali lebih tinggi dari plain tube. Kenaikan P ini merupakan hal yang merugikan, karena akan meningkatkan daya pemompaan untuk mempertahankan aliran dengan laju aliran volumetrik yang sama. Karakteristik faktor gesekan (f) pipa dalam dari penukar kalor pipa konsentrik ini dapat dilihat pada Gambar 9. K-4

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

e. Karakteristik faktor gesekan pada daya pemompaan yang sama Karakteristik penurunan tekanan (P) di pipa dalam dengan penambahan CT, S-DWT dan O-DWT insert pada daya pemompaan dapat dilihat pada Gambar 11. Pada daya pemompaan yang sama, nilai P dengan penambahan CT insert adalah 0,57 kali lebih tinggi dari plain tube, sedangkan dengan penambahan S-DWT dan O-DWT insert nilai P berturut-turut adalah 0,73 dan 0,78 kali lebih tinggi dari plain tube.

Gambar 9. Grafik hubungan f dengan Re Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa dengan kenaikan Re, nilai f pipa dalam semakin berkurang. Hal ini terjadi untuk plain tube maupun pipa dalam dengan penambahan CT, S-DWT dan O-DWT insert. Hal ini disebabkan dengan semakin tinggi Re, maka kecepatan aliran air di pipa dalam akan semakin tinggi, dimana nilai f berbanding terbalik dengan nilai kuadrat dari kecepatan aliran air di pipa dalam. Nilai f pipa dalam dengan penambahan CT, S-DWT dan O-DWT insert lebih besar dibanding plain tube. Pada Re yang sama, penambahan CT insert menjadikan f rata-rata pipa dalam 2,38 kali lebih tinggi dari f plain tube. Sedangkan dengan penambahan S-DWT dan O-DWT insert, f rata-rata pipa dalam berturut-turut 3,45 dan 3,76 kali lebih tinggi dari f plain tube.

Gambar 11. Grafik hubungan P dengan Re pada daya pemompaan yang sama

d. Karakteristik perpindahan panas pada daya pemompaan yang sama Karakteristik perpindahan panas dari penukar kalor pipa konsentrik pada daya pemompaan yang sama dapat dilihat pada Gambar 10. Dari Gambar 10, dapat dilihat bahwa pada daya pemompaan yang sama Nui dengan penambahan CT insert naik rata-rata 10,69% dibanding plain tube, sedangkan dengan penambahan S-DWT dan O-DWT insert, Nui naik berturut-turut rata-rata sebesar 15,90% dan 24,67% dibandingkan plain tube. Penambahan S-DWT dan O-DWT insert di pipa dalam menguntungkan dibandingkan dengan penambahan CT insert, karena dapat meningkatkan perpindahan panas lebih besar pada daya pemompaan yang sama. Gambar 12. Grafik hubungan f dengan Re pada daya pemompaan yang sama Karakteristik faktor gesekan (f) pipa dalam dengan penambahan CT, S-DWT dan O-DWT insert pada daya pemompaan dapat dilihat pada Gambar 12. Pada daya pemompaan yang sama, dengan penambahan CT insert f rata-rata pipa dalam 2,80 kali lebih tinggi dari f plain tube. Sedangkan dengan penambahan S-DWT dan O-DWT insert, f rata-rata pipa dalam 4,03 dan 4,52 kali lebih tinggi dari f plain tube. e. Karakteristik unjuk kerja termal () Karakteristik unjuk kerja termal () untuk pipa dalam dengan penambahan CT, S-DWT dan O-DWT insert dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 10. Grafik hubungan Nui dan Re pada daya pemompaan yang sama K-5

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[3] Thianpong, C., Eiamsa-ard, P., Promvonge, P., Eiamsa-ard, S., “Effect of perforated twisted-tapes with parallel wings on heat transfer enhancement in a heat exchanger tube”, Energy Procedia, Vol.14, 2012, pp. 1117 – 1123 [4] Incropera, F.P., DeWitt, D.P., Fundamentals of Heat and Mass Transfer, 6th Ed, John Willey and Sons, New York, 2006. [5] Manglik, R. M. and Bergles, A. E., “Heat transfer and pressure drop correlations for twisted tape insert in isothermal tubes. Part 1: laminar flows”, Trans. ASME, J. Heat Transfer, Vol.116, 1993, pp. 881–889. [6] Manglik, R. K. and Bergles, A. E., “Heat transfer and pressure drop correlations for twisted-tape inserts in isothermal tubes: Part II: Transition and turbulent flows” Trans. ASME, J. Heat Transfer, Vol. 115, 1993, pp. 890–896. [7] Jacobi, A.M., Shah,R.K., “Heat transfer surface enhancement through the use of longitudinal vortices: a review of recent progress”, Experimental Thermal and Fluid Science, Vol.11, 1995, pp. 295–309 [8] Gentry, M.C.,Jacobi, A.M., “Heat transfer enhancement by delta-wing vortex generators on a flat plate: vortex interactions with the boundary layer”, Experimental Thermal and Fluid Science, Vol. 14, 1997, pp. 231–242 [9] Paul A. S., Karen A. T., “Effects of winglets to augment tube wall heat transfer in louvered fin heat exchangers”, Int. J. Heat Mass Transfer, Vol. 49, 2006, pp. 4058–4069.

Gambar 13. Grafik hubungan  dengan Re Nilai  rata-rata pipa dalam dengan penambahan CT insert adalah 1,01. Sedangkan penambahan S-DWT dan O-DWT insert di pipa dalam dapat meningkatkan  rata-rata berturut-turut sebesar 1,06 dan 1,14. Penambahan S-DWT dan O-DWT insert di pipa dalam menghasilkan  yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan CT insert. Penambahan O-DWT insert menghasilkan  yang lebih tinggi dibandingkan dengan S-DWT insert. Hal ini dikarenakan penambahan O-DWT insert menghasilkan efek turbulensi yang lebih besar daripada S-DWT maupun CT insert yang disebabkan oleh geometri delta winglet. O-DWT insert mempunyai geometri lebih besar daripada S-DWT sehingga lebih efektif. Hal ini serupa dengan penelitian Eimsa-ard et al (2010).

6. NOTASI

4. KESIMPULAN Penukar kalor pipa konsentrik dengan penambahan S-DWT dan O-DWT insert di pipa dalam menghasilkan bilangan Nusselt, penurunan tekanan, faktor gesekan dan unjuk kerja termal yang lebih besar daripada CT insert. O-DWT menghasilkan bilangan Nusselt, penurunan tekanan, faktor gesekan dan unjuk kerja termal yang lebih tinggi dibandingkan S-DWT. Unjuk kerja termal rata-rata dengan penambahan CT, S-DWT dan O-DWT insert di pipa dalam berturut-turut sebesar 1,01; 1,06; dan 1,14. Penambahan S-DWT dan O-DWT insert menghasilkan peningkatan perpindahan panas yang lebih baik dibandingkan CT insert. Ini mengindikasikan bahwa penukar kalor dengan penambahan S-DWT dan O-DWT insert lebih ringkas dibandingkan dengan penambahan CT insert, sehingga S-DWT dan O-DWT insert dapat menggantikan CT insert untuk mengurangi ukuran dari penukar kalor.

Ai Ao Cp,c Cp,h di do f hi

= = = = = = = =

ho

=

hp

=

hs

=

ki

=

Lt

=

𝑚𝑐 𝑚ℎ Nui Nuo Qc Qh Qloss Re

= = = = = = = =

5. DAFTAR PUSTAKA [1] Eiamsa-ard, S., Wongcharee, K., Eiamsa-ard, P., Thianpong, C., “Heat transfer enhancement in a tube using delta-winglet twisted tape inserts”, Applied Thermal Engineering, Vol. 30, 2010, pp. 310–318 [2] Eiamsa-ard, S., and Promvonge, P., “Influence of Double-sided Delta-wing Tape Insert with Alternate-axes on Flow and Heat Transfer Characteristics in a Heat Exchanger Tube”, Chinese Journal of Chemical Engineering, Vol. 19, No.3, 2011, pp. 410-423

K-6

luas permukaan dalam pipa dalam m2 luas permukaan luar pipa dalam m2 panas jenis air dingin kJ/kg.oC panas jenis air panas kJ/kg.oC diameter dalam pipa dalam m diameter luar pipa dalam m faktor gesekan koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di pipa dalam W/m2.oC koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di annulus W/m2.oC koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di pipa dalam tanpa twisted tape insert W/m2.oC koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di pipa dalam dengan twisted tape insert W/m2.oC konduktivitas termal rata-rata air panas di pipa dalam W/m.oC panjang pengukuran penurunan tekanan di pipa dalam m laju aliran massa air dingin kg/s laju aliran massa air panas kg/s bilangan Nusselt rata-rata di pipa dalam bilangan Nusselt rata-rata di annulus laju perpindahan panas di annulus W laju perpindahan panas di pipa dalam W kehilangan panas konveksi di pipa dalam W bilangan Reynolds

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tb,o Tc,in Tc,out Th,in Th,out 𝑇𝑤,𝑜 Ui

Uo

temperatur bulk rata-rata di annulus oC temperatur air dingin masuk oC temperatur air dingin keluar oC temperatur air panas masuk oC temperatur air panas keluar oC temperatur rata-rata dinding luar pipa dalam oC koefisien perpindahan panas overall berdasarkan permukaan dalam pipa dalam W/m2.oC = koefisien perpindahan panas overall = = = = = = =

V 𝑉. 𝑊𝑝𝑢𝑚𝑝    P TLMTD

K-7

= = = = = = = =

berdasarkan permukaan luar pipa dalam W/m2.oC kecepatan rata-rata air panas m/s laju volumetrik air panas m3/s daya pemompaan W densitas air panas kg/m3 unjuk kerja termal viskositas dinamik air panas kg/m.s penurunan tekanan Pa beda temperatur rata-rata logaritmik oC

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH JUMLAH SUDU INNER FAN TERHADAP PENINGKATAN VOLUMETRIC FLOW RATE VENTILASI TURBINE VENTILATOR Teguh Hady Ariwibowo1), Triyogi Yuwono2) Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Teknik Mesin ITS1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin ITS 2) Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Indonesia Phone: 0062-852-3036-71291) E-mail : [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Turbine ventilator merupakan alat ventilasi yang telah diaplikasikan pada berbagai macam bangunan. Namun pengembangan turbine ventilator tidak mengalami banyak perubahan sejak pertamakali ditemukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jumlah sudu inner fan terhadap peningkatan volumetric flow rate ventilasi turbine ventilator dengan melakukan tinjauan eksperimen. Turbine ventilator yang diuji terpasang pada sebuah cerobong yang terhubung dengan sebuah plenum. Inner fan dipasang di dalam cerobong. Sebuah blower dipasang pada ketinggian yang sama dengan turbine ventilator. Aliran angin free stream pada kondisi riil diasumsikan dengan aliran angin free stream blower. Sudu yang dipergunakan tipe NACA 0015. Eksperimen dilakukan pada variasi jumlah sudu 3, 4, 6, dan 8 dengan sudut sudu 30o dengan variasi kecepatan angin free stream 1.5, 3, 4.5, dan 6 m/s. Inner fan tersebut berputar pada 500 RPM. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan jumlah sudu inner fan dapat meningkatkan volumetric flow rate ventilasi turbine ventilator. Jika dibandingkan volumetric flow rate rata-rata jumlah sudu 3, jumlah sudu 4 menghasilkan volumetric flow rate rata-rata lebih besar 1.073 kali, jumlah sudu 6 menghasilkan volumetric flow rate rata-rata lebih besar 1.136 kali dan jumlah sudu 8 menghasilkan volumetric flow rate rata-rata lebih besar 1.148 kali. Kata kunci: turbine ventilator, ventilasi, inner fan perkalian jumlah sudu dengan panjang korda sebuah airfoil pada jari-jari tertentu dibagi dengan keliling lingkaran pada jari-jari tersebut. Sehingga, berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditulis 3 sudu memiliki solidity ratio 0.175, 4 sudu memiliki solidity ratio 0.234, 6 sudu memiliki solidity ratio 0.351, dan 8 sudu memiliki solidity ratio 0.467. Ahmed dkk [1] telah melakukan kajian numerik terhadap pengaruh solidity ratio pada kasus cascade airfoil NACA 0012. Kajian ini menyimpulkan bahwa peningkatan solidity ratio menyebabkan titik separasi maju mendekati leading edge. Peningkatan solidity ratio dapat menurunkan koefisien tekanan sisi hisap trailing edge. Penurunan solidity ratio juga dapat menurunkan ketebalan boundary layer. Eftekhari dkk [3] telah meneliti pengaruh peningkatan solidity ratio pada airfoil axial compressor NGTE 10C4/30C5. Didapatkan peningkatan solidity ratio dapat menurunkan tekanan, meningkatkan kecepatan aliran. Usaha pengoptimalan penggunaan inner fan juga ditunjukkan Shun dan Ahmed [8] dengan cara penambahan photovoltaic sebagai energy generator inner fan. Akan tetapi, pada kecepatan aliran angin tertentu, penggunaan photovoltaic memiliki kinerja yang lebih buruk jika dibandingkan turbine ventilator tanpa penambahan photovoltaic. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada penelitian ini difokuskan untuk melakukan modifikasi jumlah sudu inner fan turbine ventilator agar diperoleh volumetric flow rate ventilasi yang maksimal.

1. PENDAHULUAN Ventilasi bangunan merupakan bagian bangunan yang berguna mengatur aliran udara dalam bangunan sehingga udara di dalam bangunan dapat mendukung aktivitas manusia dalam bangunan tersebut [2]. Ventilasi telah menjadi salah satu ilmu yang diperlukan desainer sistem bangunan, ilmuwan dan engineer yang terlibat dalam pembuatan hunian yang sehat [2]. Beberapa lembaga telah mengeluarkan standar-standar tentang ventilasi berbagai macam bangunan. Lai [6] menyatakan standar tersebut dibuat berdasarkan variasi debit yang besar, kondisi lingkungan, kualitas udara, faktor ekonomi, dan kebiasaan hidup penghuni. Turbine ventilator merupakan alat ventilasi yang ditemukan Vaughn H. Meadows pada tahun 1929. Alat ini digerakkan oleh aliran angin diluar bangunan. Turbin ini terdiri dari dua bagian utama, yaitu: inner fan dan turbine. Turbine menghasilkan gaya seret dan menyebabkan inner fan yang terhubung shaft dengan turbine dapat ikut berputar. Gerakan ini menghasilkan tekanan negatif di dalam Turbine ventilator sehingga udara terhisap dari dasar saluran. Lai [6] melakukan modifikasi untuk mengetahui pengaruh pemasangan inner fan pada flowrate turbine ventilator. Penelitian tersebut menunjukkan adanya kenaikan flow rate pada turbine ventilator yang memakai inner fan namun kenaikan flow rate tersebut tidak signifikan. Hal ini dikarenakan karakter sudu tidak dikaji mendalam. NACA 0015 dipergunakan sebagai sudu inner fan dikarenakan karakter aerodinamikanya lebih unggul jika dibandingkan airfoil simetri lainnya [7]. Istilah jumlah sudu biasanya dikenal dengan solidity ratio. Hansen [4] menyatakan bahwa solidity ratio merupakan

2. METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini, dilakukan pengujian jumlah sudu inner fan 3, 4, 6 dan 8 pada variasi kecepatan angin free stream 1.5-6 m/s. Kecepatan angin blower diatur menggunakan K-8

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

variable speed drive merek Altivar 312 yang telah dikalibrasi sebelumnya dengan anemoneter. Adapun turbine ventilator yang digunakan adalah tipe curved berdiameter dalam 45,7 cm dan diameter luar 60,7 cm. Pada Gambar 1, inner fan berada pada cerobong menghubungkan plenum yang berukuran panjang 1 m, lebar 1 m, dan tinggi 2,3 m. Inner fan berkecepatan angular konstan 500 rpm. Sudu inner fan menggunakan airfoil NACA 0015 dengan panjang cord 5 cm dan span 16 cm. Pengaturan kecepatan inner fan menggunakan modul AVR Micro System yang terhubung dengan EMS 30 A H-Bridge sebagai actuator. Sedangkan, pengukuran tekanan menggunakan low pressure transmitter merek omega tipe PT PX655-05BDI yang terhubung pada wall pressure tap dan pressure static tube. Pressure transmitter tersebut dikalibrasi terlebih dahulu dengan inclined manometer sebelum dilakukan pengujian. Adapun pengukuran debit menggunakan korelasi antara tekanan statik, tekanan dinamik dan tekanan total pada pitot static tube yang terpasang di plenum.

Penyetingan Ruang Uji

Pengesetan Alat Ukur Eksperimen

Pengesetan Alat Ukur Eksperimen Menambah Jumlah Sudu Menentukan Jumlah Sudu Meningkatkan Kecepatan Angin Free Stream

Menentukan Kecepatan Angin Freestream

Pengukuran Tekanan Statik Plenum

Pengukuran Tekanan Total Plenum

Pengukuran Tekanan Statik Cerobong Loop 1 Menyalakan Blower

Loop 2 Mematikan Blower

Selesai

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 3 menunjukkan penurunan tekanan statis plenum terhadap variasi kecepatan angin. Secara umum, penambahan jumlah sudu dapat menurunkan tekanan statis plenum. Tetapi, terkadang 3 sudu menghasilkan tekanan negatif yang lebih besar daripada 4 sudu. Hal ini dikarenakan pada kecepatan angin free stream yang tinggi 3 sudu mampu mengatasi blockage effect yang diakibatkan turbine ventilator.

Gambar 1. Diagram Penelitian Keterangan: 1. Inner fan 2. Turbine ventilator 3. Pressure Transduser 4. Inlet 5 Rotary Encoder

6 7. 8. 9. 10.

Generator DC Blower Anemometer Plenum Nozzle

Gambar 3. Tekanan statis plenum terhadap variasi kecepatan angin Gambar 4 menunjukkan penurunan tekanan dinamik plenum terhadap variasi kecepatan angin. Pada umumnya, peningkatan jumlah sudu dapat meningkatkan tekanan dinamik. Tetapi, pada kecepatan angin 5-6 m/s, penggunaan 6 sudu menghasilkan kenaikan tekanan dinamik yang lebih besar dari pada 8 sudu. Hasil pengukuran beda tekanan antara tekanan statis cerobong dengan tekanan statis plenum ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar tersebut menunjukkan penambahan jumlah sudu mengakibatkan kenaikan beda tekanan. Tetapi, pada kecepatan 5,5-6 m/s, Δp yang dihasilkan 3 sudu lebih besar daripada 4 sudu. Pada kecepatan tersebut, 6 sudu

Pengaruh jumlah sudu inner fan terhadap volumetric flow rate dilakukan pengujian seperti Gambar 2. Agar pengaruh pengubahan jumlah sudut terhadap volumetric flow rate dapat diamati maka perlu kiranya memastikan plenum tidak mengalami kebocoran. Kebocoran tersebut dapat dideteksi dengan penurunan rendahnya penurunan tekanan statik di plenum. Gambar 2 menunjukkan terdapat 2 loop dalam pengujian. Loop 1 menunjukkan peningkatan aliran angin free stream terhadap sebuah variasi jumlah sudu sedangkan loop 2 menunjukkan penambahan jumlah sudu jika variasi kecepatan angin free stream pada loop 1 sudah selesai. K-9

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

menghasilkan Δp yang lebih besar daripada 8 sudu. Hal ini dikarenakan, pada kecepatan angin free stream yang tinggi blockage effect ditimbulkan oleh aliran angin ventilasi inner fan lebih banyak dari pada dari pada kecepatan angin free stream kecil. Masuknya tambahan angin free stream kedalam ruang plenum menjadikan beda tekanan antara plenum dengan cerobong menjadi sedikit.

Berdasarkan regulasi tentang batas terendah debit ventilasi untuk kamar mandi yang telah dikeluarkan beberapa lembaga, penggunaan inner fan telah memenuhi kriteria batas minimum debit ventilasi seperti yang terlihat pada Gambar 6. Perhitungan nilai batas tersebut menggunakan asumsi ukuran dan penggunaan kamar mandi dan yang telah dipaparkan Lai [5]. Gambar 7 menunjukkan penggunaan inner fan memberikan peningkatan debit ventilasi yang signifikan. Pada range kecepatan angin sama, penggunaan inner fan meningkatkan debit ventilasi hampir 4 kali lebih besar jika dibandingkan turbin ventilator yang telah diteliti oleh Khana dkk [5].

Gambar 4. Tekanan dinamik plenum terhadap variasi kecepatan angin

Gambar 7. Perbandingan debit ventilasi dengan penelitian Khana dkk [5] Penggunaan inner fan dapat menghasilkan debit ventilasi yang lebih besar dari pada tanpa menggunakan inner fan pada kecepatan angin rendah. Gambar 8 menunjukkan penggunaan inner fan 3 sudu pada kecepatan angin rendah dapat menghasilkan debit aliran lebih besar dibandingkan turbine ventilator pada tanpa menggunakan inner fan pada kecepatan angin tinggi. Gambar 5. Delta tekanan statis plenum dan cerobong terhadap variasi kecepatan angin Hasil pengukuran debit dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar tersebut menunjukkan debit meningkat seiring kenaikan kecepatan angin. Berdasarkan gambar tersebut, pada kecepatan angin 4,5 m/s, debit terbesar terjadi pada inner fan bersudu 8 sedangkan debit terkecil terjadi pada inner fan bersudu 3. Akan tetapi, pada kecepatan angin > 5 m/s, debit terbesar terjadi pada inner fan bersudu 6. Gambar 8. Perbandingan debit ventilasi penelitian saat ini dengan penelitian Lai [6] Berdasarkan Gambar 3-8, terjadi peningkatan volumetric flow rate hampir pada setiap penambahan jumlah sudu. Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan gaya angkat pada sudu inner fan secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan penambahan jumlah sudu dapat menurunkan tekanan dan peningkatkan kecepatan yang berujung pada peningkatan volumetric flow rate ventilasi. Tetapi penambahan jumlah sudu perlu dilakukan dengan hati-hati, Ahmed dkk [1] dan Eftekhari dkk [3] menyatakan penambahan jumlah sudu dapat memajukan titik separasi pada sudu yang dapat berakibat pada sudu mengalami stall.

Gambar 6. Debit aliran ventilasi terhadap variasi kecepatan angin dan regulasi ventilasi K-10

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

4. KESIMPULAN Empat variasi jumlah sudu inner fan telah dites menggunakan alat uji dan variasi kecepatan free strem yang telah ditentukan sebelumnya. Pada kecepatan angin free stream yang sama, penggunaan inner fan dapat meningkatkan volumetric flow rate hampir empat kali dibandingkan tanpa inner fan. Sedangkan, pada kecepatan angin free stream rendah, pemodifikasian jumlah inner fan dapat meningkatkan volumetric flow rate hampir dua kali jika dibandingkan penggunaan inner fan pada kecepatan angin free stream tinggi. Secara umum, penambahan jumlah sudu dapat meningkatkan volumetric flow rate ventilasi. Dibandingkan volumetric flow rate rata-rata jumlah sudu 3, jumlah sudu 4 menghasilkan volumetric flow rate rata-rata lebih besar 1.073 kali, jumlah sudu 6 menghasilkan volumetric flow rate rata-rata lebih besar 1.136 kali dan jumlah sudu 8 menghasilkan volumetric flow rate rata-rata lebih besar 1.148 kali. Sedikitnya penelitian yang meneliti pengaruh penggunaan inner fan terhadap volumetric flow rate ventilasi turbine ventilator menjadi kendala dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian selanjutnya perlu mengkasi fenomena separasi aliran pada sudu-sudu inner fan perlu diamati secara detail agar dapat memberikan gambaran mendetail fenomena wake, stall dan blockage effect dalam penggunaan penggunaan inner fan pada turbine ventilator.

[2] [3]

[4] [5]

[6]

[7]

[8]

4. DAFTAR PUSTAKA [1] Ahmed, N., B.S. Yilbas dan M.O. Budair, “Computational study into the flow field developed

K-11

around a cascade of naca 0012 airfoils”, Journal of Computer Method in Applied Mechanics and Engineering, 1998, hal. 17–32. Awbi, Hazim B, “Renewable and Sustainable Energy Reviews 2”, Pergamon, Bab 7, 1998, hal. 157–188. Eftekhari, Reza, Reza Taghavi, Ghodrat Ghassabi, Payam Hooshmand dan Farhud Shirinzadeh, “Experimental and numerical study of solidity and incidence effects on aerodynamic performance of axial compressor sudu”, Journal of Basic and Applied Scientific Research, TextRoad, 2012, hal. 1169–1179. Hansen, Martin O. L.,Aerodynamics of Wind Turbines, Second Edition, Earthscan, UK, 2008. Khana, Naghman, Yuehong Su, Saffa B. Riffat dan Colin Biggs, “Performance testing and comparison of turbine ventilators”, Journal of Renewable Energy, Vol. 33, 2008, hal. 2441–2447. Lai, Chi-Ming, “Experiments on the ventilation efficiency of turbine ventilators used for building and factory ventilation”, Journal of Energy and Buildings, Vol. 35, 2003, hal. 927–932. Sheldahl, Robert E. dan Paul C. Klimas , 1981, Aerodynamics charactheristics of seven symmetrical airfoil section through 180-degree angle of attack for use in aerodynamics analysis of vertical axis wind turbines, Technical report, Sandia National Laboratories. Shun, Simon dan Noor A. Ahmed, “Utilizing wind and solar energy as power sources for a hybrid ventilation device”, Journal of Renewable Energy, Vol. 33, 2008, hal. 1392–1397.

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

KAJIAN EKSPERIMENTAL EFEK SEPARASI DAN SECONDARY FLOW TERHADAP PERFORMA RECTANGULAR ELBOW Khoiri Rozi1), Berkah Fajar TK2) Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 1,2) Jalan. Prof. Sudharto, SH, Tembalang – Semarang 50275. Indonesia 1,2) Phone: 0062-24-7460059, Fax: 0062-24-74600591,2) E-mail : [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk mengetahui efek secondary flow dan separasi aliran terhadap pola distribusi statics pressure recovery dalam aliran melalui rectangular elbow. Kajian ini dilakukan secara eksperimental dengan mengukur tekanan statis sepanjang convex dan concave wall. Pengukuran tekanan dibuat dengan tiga variasi Reynold number (Re). Hasil-hasil pengukuran tekanan statis secara umum menunjukkan bahwa pola aliran yang terbentuk tidak mengalami perubahan signifikan dengan adanya perubahan Reynold number/ kecepatan aliran. Hasil-hasil pengukuran pada inner wall diperoleh bahwa aliran pada sisi upstream mengalami akselerasi secara gradual dan kemudian melewati convex wall/suction side, kondisi aliran dipercepat secara tajam sampai di Ө = 45o, kemudian menuju downstream saluran, aliran diperlambat secara gradual sampai pada exit saluran di x/L = 1,0 dimana aliran mengalami separasi. Sedangkan, pada outer wall ditemukan aliran mula-mula mengalami deselerasi melewati concave wall/pressure side sampai di Ө = 45o dan kemudian menuju downstream aliran mengalami recovery dengan penambahan kecepatan secara gradual dan sampai di x/L = 1,0 aliran terseparasi. Dari penelitian ini belum diketemukan adanya efek perubahan Reynold number terhadap pola dan karakteristik aliran yang terbentuk melewati saluran pengujian. Kata kunci: secondary flow, separasi aliran, rectangular elbow, static pressure recovery, reynold number. saluran menyebabkan penyumbatan sehingga mengurangi debit (flow rate) aliran. Telah dilakukan cukup banyak kajian teoritis mengenai aliran pada curved duct. Cuming [1] secara analitis mengkaji secondary flow menyimpulkan bahwa pembentukan secondary flow pada square pipe lebih kuat daripada dalam circular pipe. Stewartson dkk [2] dalam kajian analitisnya mengamati fenomena tumbukan antar boundary layer menunjukkan adanya collision structure dalam inner wall. Dengan tinjauan sama seperti yang dilakukan [1,2], Dey [3] menganalisa secondary boundary layer dan shear stress mendapatkan boundary layer thickness pada outer wall meningkat secara gradual dan kemudian tumbuh dan berkembang cepat pada titik separasi. Beliau juga mendapatkan bahwa shear stress meningkat terhadappada outer wall surface kemudian menurun sampai minimum di titik separasi. Wilson [4] mengamati seperti dalam kajian [1-3] untuk aliran turbulent memperoleh hasil bahwa aliran boundary layer saat memasuki saluran akan memisah menjadi dua komponen yaitu core flow dan turbulent flow. Secara eksperimental beberapa kajian aliran dalam curved duct dilakukan oleh Patel [5], Meroney and Bradshaw [6], Enayet dkk [7], Sudo dkk [8], Mandal dkk [9] dan Abhari dkk [10]. Patel [5] menguji pengaruh kelengkungan saluran menemukan bahwa kelengkungan dapat mengurangi entrainment aliran yang memasuki boundary layer. Sedangkan, pertumbuhan boundary layer dikaji oleh Meroney and Bradshaw [6]. Mereka memdapatkan bahwa shaer stress dalam convex surface turun drastis pada near wall. Enayet dkk [7] dengan Laser Doppler mengukur tekanan pada permukaan menunjukkan peningkatan tekanan disebabkan adanya secondary flow dalam bentuk counter-rotating vortex arah aliran. Kekuatan dan karakteristik secondary flow ini ditemukan bergantung pada thickness dan kondisi boundary layer. Sudo dkk [8] dalam kajian seperti [5-7] untuk aliran turbulen mendapatkan intensitas secondary flow naik secara

1. PENDAHULUAN Aliran sekunder (secondary flow) dan separasi merupakan dua fenomena fisis yang sering ditemukan dalam aliran fluida. Secondary flow merupakan aliran yang arahnya orthogonal terhadap arah aliran utama. Munculnya secondary flow disebabkan karena adanya interaksi fisis antara lapisan batas (boundary layer) dan pressure gradient pada permukaan dinding-dinding yang berdekatan. Keberadaan aliran ini dapat menyebabakan instabilitas pada aliran utama (primary flow). Sedangkan, separasi merupakan fenomena terangkatnya boundary layer meninggalkan permukaan karena mengalami defisit momentum sehingga energi kinetis aliran tidak cukup mampu menghadapi kuatnya kenaikan adverse pressure gradient. Dalam engineering, munculnya kedua fenomena tersebut dapat ditemukan pada aliran melalui wing-fuselage pesawat terbang, aliran sambungan blade-hub mesin-mesin fluida famili turbomachinery, aliran pada sail-hull kapal, aliran pada interaksi bridge-piers jembatan, aliran dalam saluran (Ducting) dan aliran melewati saluran sejenisnya. Sejumlah implikasi muncul karena formasi aliran ini. Multiple vortex pada aliran melalui wing dan fuselage menjadikan blockage dan disturbance yang berdampak pada performa lift/drag dan stabilitas penerbangan. Meningkatnya laju perpindahan panas, shear stress dan fluktuasi tekanan pada sambungan blade-hub karena horseshoe vortex secara langsung mempengaruhi efisiensi. Keberadaan aliran sekunder pada sail-hull mempengaruhi wake downstream yang berdampak pada performa propeller. Munculnya local erosion karena scouring dan sediment transport pada konstruksi bridge-piers menjadikan tanah dan bebatuan fondasi terkikis meninggalkan dasar konstruksi. Kondisi demikian dapat memperlemah konstruksi jembatan dan akhirnya dapat menyebabkan collapse-nya jembatan. Demikian keberadaan separasi aliran dan secondary flow dalam K-12

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

signifikan pada exit saluran kemudian perlahan-lahan melemah pada lokasi di belakang jauh dari downstream. Kajian serupa dilakukan oleh Mandal dkk [9]. Mereka dari eksperimennya melihat adanya resirkulasi pada corner setelah terjadi separasi aliran dan ditemukan panjang separasi bubble meningkat terhadap Re. Kemudian Abhari dkk [10] mengkaji secara eksperimen dengan validasi numerik menemukan pola dan struktur aliran dalam bend/elbow sangat dipengaruhi oleh keberadaan secondary flow dan gaya sentrifugal. Kajian pendekatan simulasi numerik aliran melewati curved ducts dilakukan oleh Lopez dan Oberkampf [11], Raisee dkk [12], Sheu dan Tsai [13, 14] dan Rudolf dan Desova [15]. Lopez dan Oberkampf [11] secara numerik mengkaji pola aliran laminar pada curved duct berkesimpulan bahwa aliran dalam saluran didominasi oleh secondary flow, longitudinal vortex dan reverse flow. Raisee dkk [12] dalam investigasinya mengenai pertumbuhan boundary layer berkesimpulan dampak square curvature akan menginduksi gerakan secondary flow lebih kuat dibandingkan rectangular bend. Sheu dan Tsai [13,14] dalam kajiannya secara bersama-sama mensimulasikan struktur topologi aliran. Hasil-hasil kajiannya menyimpulkan pada sudut 0o - 40o aliran dekat outer wall mengalami perlambatan karena adanya adverse pressure gradient dan mengalami percepatan di suction side karena favorable pressure gradient. Dengan kajian pendekatan sama seperti [11-14], simulasi yang dilakukan oleh Rudolf dan Desova [15] menunjukkan adanya dissipasi energi aliran karena terbentuk transformasi kinetics energy dan pressure energy akibat interfensi oleh centrifugal force. Berdasarkan uraian di atas secara jelas bahwa struktur aliran dalam saluran lengkung sangat komplek sehingga perlu selalu dilakukan kajian dan telaah lebih dalam guna memperoleh pemahaman dan gambaran secara detil, tepat dan akurat tentang fenomena yang terjadi di dalamnya. Maka, kajian sekarang mencoba mengekplorasi lebih jauh keberadaan secondary flow dan separasi aliran dalam curved duct dengan menganalisa dampaknya pada aliran didasarkan distribusi tekanan statis dengan variasi Reynolds number.

Gambar 2. Koordinat Lokasi Pengukuran 2.2. Wind Tunnel Eksperimen dalam penelitian ini dilakukan di Laboratorium Thermofluida, Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro menggunakan Airflow Bench (Gambar 3). Alat ini adalah jenis open circuit wind tunnel dengan penampang 50 mm x 100 mm. Airflow Bench berfungsi untuk menguji performance saluran yang secara khusus untuk fenomena internal flow dengan menggerakkan aliran udara ke dalam model test. Dalam apparatus terdapat nosel digunakan untuk menaikan kecepatan aliran free stream sebelum masuk lokasi pengukuran. Sebelum masuk nosel, udara melalui honeycomb supaya aliran uniform dalam settling chamber. Manometer berfungsi untuk mengambil data tekanan statis saluran dengan mencatat perbedaan ketinggian pipa manometer sebelum dan sesudah apparatus dioperasikan. Motor listrik berfungsi menggerakan Fan untuk menyuplai aliran udara ke dalam lorong uji. Komponen-komponen utama peralatan ini diperlihatkan seperti dalam Gambar di bawah ini: 1. Airflow Bench, 2. Manometer, 3. Motor Listrik

2. METODE PENELITIAN

1

2.1. Model Saluran Model uji adalah curved ducts dengan dengan dimensi penampang 50 mm x 100 mm, diameter dalam 50 mm dan diameter luar 100 mm. Sepanjang bagian tengah saluran dibuat pressure tap untuk mengukur tekanan statis. Tap-tap ini dihubungkan dengan selang ke pipa-pipa manometer untuk mengukur tekanan. Model saluran dan koordinat lokasi pengukuruan seperti dalam Gambar 1 dan Gambar 2.

2

3

Gambar 3. Apparatus Airflow Bench

Gambar 1. Model Saluran K-13

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

berbeda, tidak ditemukan perbedaan signifikan pada daerah upstream ini.

2.3. Metode Eksperimen Eksperimen dilakukan untuk mengukur tekanan statis pada inner dan outer surface. Pressure tap dibuat sepanjang convex dan concave wall. Tekanan terbaca pada kolom pipa manometer sebagai beda ketinggian sebelum dan sesudah apparatus dioperasikan. Variasi kecepatan dinyatakan sebagai Reynold number (Re) dengan persamaan: (1)

3.1.2 Daerah Convex Surface, Ө = 0o - Ө = 90o Pada convex wall dari lokasi titik pengukuran di Ө = 0o sampai Ө = 22,5o, aliran mengalami percepatan cukup tajam, ini menjadikan penurunan tekanan aliran cukup signifikan. Momentum aliran bertambah kuat untuk mengatasi efek viskos, akibatnya energi kinetis aliran mampu membawa aliran secara nyaman mengikuti lintasan convex wall. Dari grafik terlihat aliran mengalami percepatan lagi dari titik Ө = 22.5o sampai Ө = 45o, dalam daerah ini penurunan aliran tidak setajam pada lokasi dari Ө = 0o - Ө = 22,5o. Kondisi ini, aliran pada situasi favorable pressure gradient. Pada titik Ө = 45o kecepatan aliran mencapai maksimum. Pada daerah covex ini juga belum ditemukan perbedaan pokok, grafik Cp ketiga pengukuran hampir berimpit, ini mengindikasikan pola aliran yang terbentuk tidak berubah. Setelah melewati titik Ө = 45o, aliran seolah-olah dipaksa melewati diffuser, aliran mengalami perlambatan sampai Ө = 67.5o. Momentum aliran berkurang karena menghadapi kenaikan adverse pressure gradient. Energi kinetis aliran menurun seiring dengan kenaikan tekanan.

Dimana Re adalah Reynold number, ρ (Kg/m3) adalah densitas udara, U∞ (m/s) adalah kecepatan free stream dan μ (Pa/m/s) adalah viskositas dinamik udara. Dh adalah diameter hidrolik rectangular elbow yang dinyatakan dalam persamaan: (2) Dengan a = tinggi penmpang saluran dan b = lebar penampang saluran. Koefisien tekanan statis dinyatakan dalam persamaan: (3) Dimana Cp = koefisien static pressure recovery, Ps = Tekanan statis local (Pa), P∞ = Tekanan stagnasi aliran (Pa), ρ = densitas udara (Kg/m3), U∞ = Kecepatan free stream (m/s). Prosedur pengukuran tekanan adalah sebagai berikut: (i) memasang benda uji dalam apparatus dan menghubungkan pipa kapiler ke Manometer. (ii) mencatat tinggi kolom air raksa sebelum apparatus dioperasikan. (iii) menghidupkan apparatus dengan kecepatan pengukuran. (iv) mencatat beda ketinggian kolom air raksa monomer sebelum dan sesudah apparatus dijalankan.

o

Ө( )

x/L

1. 0

0. 5

22.5

45

x/L

67.5

90 0 . 5

1 . 0

1.5

Cp

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Distribusi Tekanan pada Inner Wall Hasil-hasil pengukuran tekanan statis pada convex wall dengan variasi Re diplot seperti pada grafik Gambar 4. Secara umum kecendrungan pola dan karakteristik aliran untuk ketiga pengukuran sama. Hal ini ditandai dengan bentuk grafik distribusi tekanan ketiganya adalah identik. Analisa melalui grafik Cp ini dapat dibagi menjadi tiga lokasi daerah pengukuran, yaitu daerah upstream (inlet saluran), daerah convex surface dan daerah downstream (exit saluran).

Gambar 4. Koefisien tekanan statis pada Inner Surface Kemudian, mulai dari Ө = 67.5o aliran mengalami perlamabatan sekali lagi cukup besar sampai di Ө = 90o, ini mengindikasikan kuatnya adverse prssure gradient yang dialami aliran. Momentum aliran tidak cukup mampu menghadapi kuatnya kenaikan tekanan sehingga diperkirakan energi kinetis aliran berkurang cukup besar. Dari pengukuran dengan Re berbeda diperoleh kecenderungan pola yang sama, namun terlihat sedikit berbeda nilai koefisien Cp pada Ө = 90o, dimana pada Re = 150.000, nilai Cp lebih besar dari pada nilai Cp pada Re = 103.000, dan nilai Cp terendah diperoleh pada Re = 68.400.

3.1.1 Daerah Upstream, x/L = -1.0 - x/L = 0.0 Pada lokasi upstream berangkat dari x/L = -1,0 aliran mengalami percepatan secara gradual sampai di titik x/L = 0, 5. Momentum aliran cukup kuat untuk mengatasi gaya viskos aliran. Energi kinetis aliran meningkat cukup signifikan sehingga mampu membawa aliran dalam kondisi favorable, dimana tekanan mengalami peurunan arah aliran. Kondisi aliran mengalami percepatan lagi secara tajam dari titk pengukuran di x/L = - 0, 5 sampai menuju inlet belokan pada x/L = 0,0 (Ө = 0o), dalam daerah ini mometum aliran sangat besar sehingga energi kinetis aliran cukup kuat untuk mengalir memasuki saluran secara smooth karena dalam daerah favorable pressure gradient. Untuk pengukuran Re

3.1.3 Daerah Downstream, x/L = 0.0 - x/L = 1.5 Hasil-hasil pengukuran pada lokasi daerah downstream menunjukkan pada daerah x/L = 0 (Ө = 90o) samapai di x/L = 0,5 aliran mengalamai perlambatan cukup kuat. Adanya penurunan momentum aliran secara drastis pada daerah ini, K-14

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

sehingga energi kinetis aliran tidak mampu mengimbangi kuatnya peningkatan adverse pressure gradient. Dari titik x/L = 0,5 sampai x/L = 1,0 aliran mengalami perlambatan lagi, namun tidak sekuat pada daerah sebelumnya. Diperkirakan aliran mengalami sedikit recovery tekanan. Dari titik pengukuran x/L = 1,0 aliran mulai terseparasi. Hal ini ditandai dengan tidak adanya perubahan tekanan menuju lokasi x/L = 1,5. Untuk ketiga pengukuran dengan Re berbeda hampir diperoleh titik lokasi keberangkatan separasi yang sama di x/L = 1,0, yaitu tepat exit elbow. Secara umum dengan variasi Re untuk daerah inner wall diperoleh hasil pengukuran yang hampir sama, artinya tidak ada perubahan pola dan karakteristik aliran pada semua lokasi pengukuran. Jadi belum terlihat adanya efek perubahan Re terhadap struktur aliran yang melewati inner surface.

Hasil-hasil pengukuran tekanan statis pada concave wall dengan variasi Re diplot seperti pada grafik Gambar 5. Secara umum kecendrungan pola dan karakteristik aliran untuk ketiga pengukuran sama, seperti pada inner wall. Hal ini ditandai dengan bentuk grafik distribusi tekanan ketiganya adalah identik. Analisa grafik Cp pada outer wall dapat dibagi menjadi tiga lokasi daerah pengukuran, yaitu daerah upstream (inlet saluran), daerah concave surface dan daerah downstream (exit saluran).

dalam daerah ini hampir tidak ada perubahan tekanan, karena pada daerah ini aliran mengalami resirkulasi atau separasi babble. Kondisi aliran pada unfavorable pressure gradient. Pada daerah 22.5o < Ө < 45o kecepatan aliran mencapai minimum dan konstan. Kemudian aliran bergerak menuju Ө = 67.5o,. Setelah melewati titik Ө = 45o, aliran sedikit mengalami pemulihan (recovery), kecepatan aliran berangsur-angsur naik namun kondisi masih pada zona adverse pressure gradient. Momentum aliran secara gradual meningkat sehingga energi kinetik aliran juga akan mengalami peningkatan meskipun aliran seakan-akan dipaksa melewati diffuser. Pada daerah 67.5o < Ө < 90o aliran mengalami penambahan kecepatan cukup signifikan, diperkirakan momentum aliran naik secara tajam. Energi kinetis aliran juga bertambah besar seiring dengan kenaikan momentum aliran. Mulai dari Ө = 67.5o aliran mengalami percepatan lagi cukup besar sampai di Ө = 90o, ini mengindikasikan adanya pemulihan kecepatan aliran meskipun dalam daerah adverse prssure gradient. Pola aliran masih terlihat sama dari Ө = 90o sampai di x/L = 0.5, dimana aliran diduga kuat mengalami penambahan momentum cukup besar sehingga energi kinetis aliran masih cukup mampu membawa partikel-partikel fluida menuju exit saluran. Hasil penelitian ini, secara umum pada pengukuran tekanan statis dengan variasi Re belum ditemukan perubahan pola aliran yang signifikan. Aliran untuk regim Reynold number ini belum mampu mengubah karakteristik aliran yang melewati belokan.

3.2.1 Daerah Upstream, x/L = -1.0 - x/L = 0.0

3.2.3 Daerah Downstream, x/L = 0.0 - x/L = 1.5

Pada lokasi upstream, berangkat dari titik x/L = -1,0 aliran mengalami deselerasi secara gradual sampai di titik x/L = - 0, 5. Momentum aliran mengalami penurunan karena mendapat hambatan gaya viskos aliran, sehingga energi kinetis aliran turun cukup signifikan. Kondisi aliran demikian dalam unfavorable zone, dimana tekanan aliran bergerak naik, sehingga pressure gradient menjadi adverse. Aliran mengalami deselerasi lagi secara tajam dari titk pengukuran di x/L = - 0, 5 sampai menuju inlet belokan di x/L = 0,0 (Ө = 0o), dalam daerah ini momentum aliran sangat lemah sehingga energi kinetis aliran tidak mampu membawa aliran masuk secara smooth karena dalam daerah adverse pressure gradient. Untuk pengukuran dengan Re yang berbeda, tidak ditemukan perbedaan signifikan pada daerah upstream. Dari grafik terlihat pada pengujian dengan Re = 68.400 harga Cp lebih tinggi dibandingkan dengan Re = 103.000 dan Re = 150.000. Hal ini mengindikasikan aliran menrima perlambatan lebih kecil ketimbang pada Re yang lebih besar. Hasil pengukuran Cp pada Re = 103.000 dan Re = 150.000 diperoleh garis Cp berimpit.

Hasil-hasil pengukuran pada lokasi daerah downstream menunjukkan pada daerah x/L = 0 (Ө = 90o) sampai di x/L = 0,5 aliran mengalami penambahan kecepatan, ini berarti ada proses pemulihan (recovery) terhadap momentum aliran sehingga energi kinetis aliran berangsur naik. Peningkatan energi kinetis ini untuk menghadapi kenaikan adverse pressure gradient. Aliran mesih mampu bergerak melewati saluran dengan merasakan efek viskos dan seolah-olah dipaksa melewati diffuser/ekspansi.

3.2 Distribusi Tekanan pada Outer Wall

Cp

x/L

-1.0

3.2.2 Daerah Concave Surface, Ө = 0o - Ө = 90o

-0.5 x/L

Pada concave surface (pressure side) dari lokasi titik pengukuran di Ө = 0o sampai Ө = 22,5o, aliran mengalami deselerasi cukup kuat, hal ini menjadikan peningkatan tekanan cukup signifikan. Momentum aliran bertambah lemah untuk mengatasi efek viskos, akibatnya energi kinetis aliran tidak mampu membawa aliran secara nyaman mengikuti lintasan concave wall. Dari grafik terlihat aliran mengalami separasi dari titik Ө = 22.5o sampai Ө = 45o,

22.5

45 o

Ө( )

67.5

90

0 . 5

1 . 0

1.5

Gambar 5. Koefisien tekanan statis pada Outer Surface Dari titik x/L = 0,5 sampai x/L = 1,0 aliran mengalami akselerasi lagi, namun penambahan kecepatan ini tidak sekuat di daerah pengukuran sebelumnya, recovery aliran masih berlangsung. Hasil pengukuran mulai berbeda pada lokasi 1.0 < x/L < 1.5. Dari titik pengukuran x/L = 1,0 aliran K-15

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[4] Wilson P. L., “On the Core Flow and Turbulent Boundary Layer in a Curved Duct”, PhD Thesis University of London, 2003. [5] Patel, V. C., “The Effects of Curvature on the Turbulent Boundary Layer”, Aeronautical Research Council, Reports and Memoranda No. 3599*, London, 1969. [6] Meroney, R. N and Bradshaw, P., “Turbulent Boundary Layer Growth Over a Longitudinally Curved Surface”, AIAA Journal, vol. 13, No. 11, pp. 1448-1453, 1975. [7] Enayet, M. M., Gibson, A. M. M. M., Taylor, K. P., and Yianneskis, M.,”Laser-Doppler measurements of laminar and turbulent flow in a pipe bend”, Int. J. Heat & Fluid Flow 0142-727X/82/030213-075. [8] Sudo K., Sumida M., and Hibara H., “Experimental Investigation on Turbulent Flow in a Square-Sectioned 90-Degree Bend”, Experiments in Fluid (30) 246-252 Springer-Verlag, 2001. [9] Mandal A., Bhattecharjee S., Debnath R., Roy D., and Majumder S., “Experimental Investigation of Turbulent Fluid Flow through a Rectangular Elbow”, International Journal of Engineering Science and Technology Vol. 2(6), 2010, 1500-1506. [10] Abhari, M, N., Ghodsiana, M., Vaghefi, M., and Panahpur, N., “Experimental and numerical simulation of flow in a 90° bend”, Flow Measurement and Instrumentation 21 (2010) 292–298. [11] Lopez A. R and Oberkampf W. L., “Numerical Simulation of Laminar Flow in a Curved Duct”, AIAA Paper 95-0865, 1995. [12] Raisee M., Alemi H., and Lacovides H., “Prediction of Developing Turbulent Flow in 90o-Curved Ducts Using Linear and Non-Linear Low-Re k– models”, International Journal for Numerical Method in Fluids, 51:1379–1405, 2006. [13] Sheu T. W. H and Tsai S. F., “Vortical Flow Topology in a Curved Duct with 90o Bend”, Proceeding of the 4th WSEAS International Conference on Fluid Mechanics and Aerodynamics, pp.121-129, Elounda, Greece, August 21-23, 2006. [14] Tsai S. F., and Sheu T. W. H., “Numerical Exploration of Flow Topology and Vortex Stability in a Curved Duct”, International Journal for Numerical Method in Engineering, 2006. [15] Rudolf, P., and Desová, M., “Flow characteristics of curved ducts”, Applied and Computational Mechanics 1 (2007) 255 – 264.

diprediksi mulai terseparasi pada Re = 103.000 dan Re = 150.000. dimana hal ini ditandai dengan tidak adanya perubahan tekanan menuju exit saluran pada pengujian dengan kedua Re tersebut. Sedangkan pada pengujian dengan Re = 68.400 aliran tidak mengalami separasi, aliran masih mengalami recovery sehingga energi kinetis aliran mampu tetap attach pada permukaan saluran.

4. KESIMPULAN Hasil-hasil pengukuran tekanan statis secara umum menunjukkan bahwa pola aliran yang terbentuk tidak mengalami perubahan signifikan dengan adanya perubahan Reynold number. Hasil-hasil pengukuran pada inner wall diperoleh bahwa aliran pada sisi upstream mengalami akselerasi secara gradual dan kemudian melewati convex wall/suction side, kondisi aliran dipercepat secara tajam sampai di Ө = 45o, kemudian menuju downstream, aliran diperlambat secara gradual sampai pada exit saluran di x/L = 1,0 dimana aliran mengalami separasi. Sedangkan, pada outer wall ditemukan aliran mula-mula mengalami deselerasi melewati concave wall/pressure side sampai di Ө = 45o dan kemudian menuju downstream aliran mengalami recovery dengan penambahan kecepatan secara gradual dan sampai di x/L = 1,0 aliran terseparasi. Dari penelitian ini belum diketemukan adanya efek perubahan Reynold number terhadap pola dan karakteristik aliran yang terbentuk melewati saluran pengujian.

UCAPAN TERIMAKASIH Kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman mahasiswa yang telah membantu mengambil data dan juga FT–UNDIP yang telah membiayahi penelitian ini dengan dana DIPA PNBP FAKULTAS TEKNIK.

DAFTAR PUSTAKA [1] Cuming, H. G., “The Secondary Flow in Curved Pipes”, Aeronautical Research Council, Reports and Memoranda No. 2880, London, 1955. [2] Stewartsonk K., Cebeci T., and Chang K. C..,”A Boundary layer Collision in Curved Duct”, Q. Jl Mech Appl Math, VoL XXXIII, Pt. 1,1980. [3] Dey S., “Secondary boundary layer and wall shear for fully developed flow in curved pipes”, Proc. R. Soc. Lond. A (2002) 458, 283–298.

K-16

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

DESAIN DAN EVALUASI PEMBAKAR BERBAHAN BAKAR LPG (LPG BURNER) Hery Sonawan1), Sutrisna Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan Bandung Jl. Setiabudi No. 193, Bandung 40153 Phone: 62-22-2019352, Fax: 62-22-2019349 E-mail : [emailprotected] 1)

ABSTRAK Penelitian tentang desain pembakar berbahan bakar LPG dengan menerapkan metode desain faktorial telah dilakukan. Pembakar berbahan bakar LPG dirancang untuk menggantikan peran dari pembakar berbahan bahar minyak tanah/solar. Penggunaan LPG sebagai bahan bakar dinilai lebih ekonomis dan memiliki nilai kalor lebih tinggi dibandingkan minyak tanah atau solar. Perancangan pembakar berbahan bakar LPG yang menerapkan desain faktorial ini ditujukan untuk mendapatkan sebuah desain pembakar yang mampu menghasilkan panjang nyala api terbesar. Dalam prakteknya, untuk menghasilkan nyala api yang panjang harus dibantu dengan tiupan udara dari sebuah blower. Secara teoritik, proses pembakaran di ujung nosel pembakar dapat dilakukan dengan baik apabila sebelumnya telah terjadi pencampuran yang cukup antara udara dan LPG di dalam pipa pencampur. Pencampuran gas LPG dengan udara dari tiupan blower harus berada dalam kondisi proporsional agar nyala api tetap terjaga. Pengaturan volume udara yang harus dicampurkan dengan gas LPG dalam pembakar ini dilakukan oleh lubang udara yang divariasikan 2 dan 4 buah lubang. Dalam desain faktorial untuk memperoleh nyala api terpanjang ini, parameter-parameter yang diuji adalah panjang pipa pencampur (250 mm dan 300 mm), diameter lubang nosel (2 mm dan 3 mm), dan jumlah lubang udara (2 lubang dan 4 lubang berdiameter 10 mm). Setelah diuji dengan desain faktorial 23, parameter diameter lubang nosel merupakan parameter yang paling berpengaruh terhadap panjang nyala api, diikuti oleh panjang pipa pencampur dan jumlah lubang udara. Panjang nyala api sepanjang 500 mm telah dihasilkan oleh pembakar dengan diameter nosel 3 mm dan panjang pipa pencampur 250 mm. Kata kunci: pipa pencampur, nosel, lubang udara, desain faktorial terbesar. Dalam prakteknya, untuk menghasilkan nyala api yang panjang harus dibantu dengan tiupan udara dari sebuah blower. Tiupan udara berlebih itu diprediksi akan menghasilkan nyala oksidasi yang bercirikan nyala api panjang dan berwarna kebiruan. Nyala api ini akan dibangkitkan di ujung nosel pembakar. Secara teoritik, proses pembakaran di ujung nosel pembakar dapat dilakukan dengan baik apabila sebelumnya telah terjadi pencampuran yang cukup antara udara dan LPG di dalam pipa pencampur. Pencampuran gas LPG dengan udara dari tiupan blower harus berada dalam kondisi proporsional agar nyala api tetap terjaga. Proses pencampuran dan pengaturan perbandingan udara dan bahan bakar dalam pembakar LPG merupakan fokus dari penelitian ini. Proses pencampuran udara dan bahan bakar dilakukan di dalam pipa pencampur yang divariasikan berdasarkan panjangnya. Perbandingan udara dan bahan bakar dalam hal ini pengaturan volume udara dilakukan oleh lubang udara yang divariasikan 2 dan 4 buah lubang. Kemudian debit campuran udara yang keluar dari nosel pembakar akan menentukan panjang nyala api yang dihasilkan dan ini dinyatakan dengan diameter nosel, yang divariasikan 2 dan 3 mm. Ketiga parameter itu adalah parameter yang akan diuji untuk memperoleh sebuah desain pembakar yang menghasilkan panjang nyala api terbesar.

1. PENDAHULUAN Proses peleburan logam umumnya diawali dengan tahapan pembuatan cetakan dan peleburan logam. Dalam peleburan logam berskala kecil seringkali menggunakan jenis tungku krusibel sebagai alat untuk mengubah logam padat menjadi cairan. Sebagai sumber panas digunakan nyala api yang merupakan hasil pembakaran bahan bakar minyak. Dahulu saat minyak tanah masih mudah diperoleh dan berharga murah, jenis BBM ini menjadi pilihan alternatif selain solar. Akan tetapi saat ini, jenis bahan bakar minyak itu sudah menjadi barang yang mahal sehingga tidak ekonomis apabila dipilih sebagai bahan bakar dalam peleburan logam. Untuk meleburkan logam di dalam tungku krusibel, dibutuhkan sebuah alat pembakar (burner) sebagai penghasil nyala api. Karena sudah menjadi barang mahal, minyak tanah tidak lagi dipilih sebagai bahan bakar dalam alat pembakar. Tentu saja dengan memilih bahan bakar lain maka dibutuhkan juga jenis alat pembakar baru yang disesuaikan dengan bahan bakar yang digunakan. Pembakar berbahan bakar LPG dirancang untuk menggantikan peran dari pembakar berbahan bahar minyak tanah/solar. Penggunaan LPG sebagai bahan bakar saat ini dinilai lebih ekonomis dan memiliki nilai kalor lebih tinggi dibandingkan minyak tanah atau solar. Oleh karena itu, dalam makalah ini, akan dipaparkan sebuah hasil penelitian berupa rancangan baru alat pembakar berbahan bakar LPG sebagai alternatif pengganti pembakar berbahan bakar minyak tanah/solar. Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan sebuah desain pembakar yang mampu menghasilkan panjang nyala api

2. METODOLOGI Berdasarkan kajian teoritik, panjang nyala api dari sebuah pembakar dipengaruhi diantaranya oleh proses pencampuran udara dan bahan bakar, perbandingan udara dan bahan bakar K-17

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

serta debit gas LPG yang dihembuskan dari nosel. Ketiga parameter itu disusun berdasarkan desain faktorial 23. Masing-masing parameter divariasikan dalam 2 level dan ditunjukkan dalam tabel 1. Setiap parameter diuji dengan dua level, nilai rendah (-) dan nilai tinggi (+). Setiap nilai level ditentukan secara acak. Tabel 1.

yaitu tabung gas LPG 3 kg, regulator tekanan rendah, selang gas dan penggaris logam untuk mengukur panjang nyala api.

Parameter Uji dan Nilai Level dalam Desain Faktorial 23.

+

PPP (mm) 250 300

DLN (mm) 2 3

JLU (buah) 2 4

Dimana: PPP = panjang pipa pencampur. DLN = diameter lubang nosel. JLU = jumlah lubang udara.

Gambar 2. Prototipe Pembakar LPG

Secara skematik, model dari pembakar LPG yang akan diuji diperlihatkan dalam Gambar 1.

Panjang nyala api yang dihasilkan dari pembakar dapat diperoleh dari eksperimen berdasarkan urutan dalam Tabel 2. Selanjutnya untuk memperoleh desain pembakar dengan panjang nyala api terbesar perlu dilakukan optimasi dengan melakukan eksperimen lanjutan yaitu dengan mengatur parameter yang paling berpengaruh.

Keran gas LPG Saluran Suplay Udara

Pipa Pencampur

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian pada model pembakar LPG dilakukan dengan mengikuti desain 18able18ial seperti dalam tabel 2, begitu juga dengan panjang nyala api terukur. Panjang nyala api diukur dari ujung nosel pembakar hingga ujung nyala api yang terbentuk.

Nosel gas LPG Lubang Udara

Tabel 2. Hasil Pengukuran Panjang Nyala Api

Nosel Pembakar Gambar 1. Model Pembakar LPG Model pembakar terdiri dari bagian-bagian seperti pipa saluran gas LPG dan keran, pipa saluran suplay udara, nosel gas LPG, pipa pencampur, lubang udara dan nosel pembakar. Udara yang dialirkan oleh sebuah blower bercampur dengan gas LPG di dalam saluran/pipa pencampur. Jumlah udara yang bercampur ini hanya sebagian kecil dari udara yang dialirkan oleh blower dan udara ini merupakan udara primer. Sebagian besar udara akan mengalir di sisi luar dari pipa pencampur dan ini dikenal dengan udara sekunder. Besarnya debit udara primer dan sekunder akan diatur oleh pelat berlubang yang diletakan diluar pipa pencampur. Setelah menentukan parameter uji dan menyusun desain faktorial seperti dalam Tabel 2, langkah selanjutnya menyiapkan prototipe pembakar yang telah dilengkapi dengan, a. Dua buah pipa pencampur dengan panjang 250 mm dan 300 mm. b. Dua buah nosel gas LPG berdiameter 2 mm dan 3 mm, dan c. Dua buah pelat berlubang dengan 2 dan 4 buah lubang kecil. Peralatan lain yang dibutuhkan selain pembakar LPG

RUN

PPP

DLN

JLU

1 2 3 4 5 6 7 8

250 300 250 300 250 300 250 300

2 2 3 3 2 2 3 3

2 2 2 2 4 4 4 4

PANJANG API (mm) 250 240 450 350 280 250 500 350

Data dalam Tabel 2 diolah lebih lanjut menggunakan algoritma Yates untuk memperoleh pengaruh dari parameter PPP, DLN dan JLU terhadap panjang nyala api. Hasil pengolahan dengan algoritma Yates disajikan dalam tabel 3. Tabel 3 memperlihatkan angka-angka yang menunjukkan bahwa urutan dari tiga parameter tunggal yang berpengaruh terhadap panjang nyala api adalah DLN, PPP dan JLU. Panjang nyala api rata-rata hasil eksperimen adalah 333,75 mm. Apabila dalam desain pembakar ini, panjang pipa pencampur (PPP) diubah dari 300 mm menjadi 250 mm maka akan menghasilkan pertambahan panjang nyala api sebesar 72,5 mm.

K-18

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 3. Pengolahan Data untuk Melihat Pengaruh dari PPP, DLN dan JLU terhadap Panjang Nyala Api.

Hasil eksperimen tahap kedua membuktikan hipotesis bahwa dengan memperbesar debit LPG akan menghasilkan nyala api lebih panjang. Walaupun nyala api terpanjang tetap 500 mm akan tetapi secara keseluruhan dilihat dari nilai rata-ratanya, telah diperoleh nyala api lebih panjang dari rata-rata 333,75 mm menjadi 412,5 mm (Tabel 5). Walaupun demikian, peningkatan panjang nyala api rata-rata tidak begitu diharapkan. Yang diinginkan adalah satu kondisi desain dimana nyala api paling panjang. Eksperimen tahap dua ini tidak memberikan hasil lebih baik dari eksperimen pertama. Salah satu yang mempengaruhinya adalah bahwa tekanan gas LPG dari dalam tabung gas tidak memberikan perubahan berarti terhadap debit jika diameter nosel diperbesar. Hal ini disebabkan oleh penggunaan regulator tekanan rendah pada tabung LPG. Regulator jenis ini hanya mampu menghasilkan tekanan berkisar 2,8 kPa ± 0,47 kPa [3]. Dengan penggunaan regulator ini, debit gas LPG yang dihasilkan tidak memberikan perbedaan signifikan untuk pemakaian diameter nosel 3 mm dan 4 mm. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu dengan mengganti regulator tekanan rendah dengan jenis tekanan tinggi.

Perubahan diameter lubang nosel (DLN) dari 2 mm menjadi 3 mm akan menghasilkan pertambahan panjang nyala api sebesar 157,5 mm. Hasil lainnya menunjukkan bahwa perubahan jumlah lubang udara (JLU) dari 2 lubang menjadi 4 buah lubang dapat menghasilkan pertambahan panjang nyala api sebesar 22,5 mm. Dengan demikian dari ketiga parameter yang diuji, parameter diameter lubang nosel merupakan parameter yang paling berpengaruh terhadap panjang nyala api, sedangkan panjang pipa pencampur dan jumlah lubang udara berturut-turut merupakan parameter berpengaruh kedua dan ketiga. Eksperimen tahap kedua perlu dilakukan untuk melihat apakah terdapat kecenderungan dengan mengubah diameter nosel akan diperoleh nyala api lebih panjang dari yang sudah diperoleh dari eksperimen pertama. Dalam eksperimen pertama, dengan memperbesar diameter nosel LPG dari 2 mm menjadi 3 mm ternyata menghasilkan panjang nyala api lebih besar. Memperbesar diameter nosel dalam hal ini menambah debit gas LPG yang akan dicampur dalam pipa pencampur. Apabila hipotesis ini benar maka nyala api cenderung semakin panjang apabila debit gas LPG makin diperbesar. Oleh karena itu dalam eksperimen tahap dua ini diameter nosel LPG diperbesar menjadi 4 mm. Pembakar akan diuji kembali dengan menerapkan desain faktorial yang disusun seperti dalam tabel 4. Tabel 4.

RUN 1 2 3 4

Tabel 5.

4. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan dari penelitian ini antara lain: 1. Desain pembakar berbahan bakar LPG telah berhasil dibuat dan menghasilkan panjang nyala api terbesar 500 mm. 2. Model pembakar yang menghasilkan panjang nyala api terbesar merupakan kombinasi dari panjang pipa pencampur 250 mm, diameter nosel 3 mm dan jumlah lubang udara 4 buah lubang.

Desain Faktorial dengan Diameter Lubang Nosel LPG 4 mm. PPP (mm) 250 300 250 300

DLN (mm) 4 4 4 4

JLU (buah) 2 2 4 4

Pengaruh dari PPP dan JLU terhadap Panjang Nyala Api, dengan DLN = 4 mm.

DAFTAR PUSTAKA

PANJANG API (mm) 440 360 500 350

[1] El-Mahallawy F., El-Din Habik, Fundamental and Technology of Combustion, Elsevier Ltd., 2002. [2] Box, George E.P., Statistics for Experimenters, Second Edition, 2005. [3] http://gaselpiji.com/regulator-tekanan-tinggi.html

K-19

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PENGARUH TEMPERATUR UDARA TERHADAP UNJUK KERJA UNIT DESALINASI SURYA BERBASIS POMPA KALOR DENGAN MENGGUNAKAN PROSES HUMIDIFIKASIDEHUMIDIFIKASI Indri Yaningsih1), Tri Istanto2), Agus Purwanto3)

Program Magister Teknik Mesin Universitas Sebelas Maret 1) Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret 2) Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret 3) Jl. Ir. Sutami No 36 A Kentingan Surakarta 57126 Phone : 0062-271- 632163, Fax: 0062- 271- 632163 E-mail : [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh temperatur udara dan pengaruh penggunaan pemanas udara surya plat datar dua laluan dengan dua penutup kaca terhadap unjuk kerja unit desalinasi surya berbasis pompa kalor dengan menggunakan proses humidifikasi dan dehumidifikasi. Unit ini terdiri dari sistem pompa kalor, humidifier, dehumidifier serta pemanas udara surya plat datar dua laluan dengan dua penutup kaca. Penelitian dilakukan secara indoor experiment. Energi surya dihasilkan dari simulator surya dengan menggunakan lampu halogen. Intensitas radiasi matahari divariasi sebesar 828 W/m², 924 W/m², 1014 W/m², dan 1120 W/m², sehingga dihasilkan temperatur udara masuk humidifier berturut-turut sebesar 60°C, 63°C, 68°C dan 71°C. Untuk unit desalinasi tanpa kolektor surya temperatur udara masuk humidifier sebesar 37°C. Parameter-parameter yang dibuat konstan adalah putaran kompresor sebesar 1.200 rpm, temperatur air laut sebesar 45°C, laju aliran volumetrik air laut sebesar 300 l/jam, dan air laut dalam unit disirkulasi ulang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa volume produksi air tawar meningkat seiring dengan peningkatan temperatur udara masuk ke humidifier pada unit desalinasi surya ini. Laju produksi air tawar rata-rata dari unit desalinasi surya pada temperatur udara masuk humidifier 37oC, 60oC, 63oC, 68oC dan 71oC berturut-turut 18 l/hari, 24,48 l/hari, 26,64 l/hari, 29,52 l/hari dan 35,64 l/hari. Penggunaan pemanas udara surya plat datar dua laluan dengan 2 penutup kaca dapat meningkatkan produksi air tawar untuk variasi intensitas radiasi surya 828 W/m2, 924 W/m2, 1014 W/m2 dan 1120 W/m2 berturut-turut sebesar 36%, 48%, 64% dan 76%. Kata kunci: desalinasi, pompa kalor, humidifikasi, dehumidifikasi, pemanas udara surya plat datar dua laluan dengan dua penutup kaca. kadar garam dalam rentang 35.000 – 45.000 ppm dalam bentuk total garam terlarut [4]. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu cara untuk mengurangi kadar garam tersebut. Salah satunya adalah dengan proses desalinasi. Desalinasi, secara umum bertujuan untuk menghilangkan garam dari air yang mengandung larutan garam. Tujuan dari sistem desalinasi adalah untuk membersihkan dan memurnikan air laut atau air payau serta mendapatkan air dengan total padatan terlarut dalam batas yang diijinkan yaitu 500 ppm atau kurang. Proses desalinasi membutuhkan jumlah energi yang signifikan. Dapat diperkirakan bahwa produksi air 22 juta m3/hari membutuhkan sekitar 203 juta ton minyak per tahun (sekitar 8,5 EJ/tahun atau 2,36 x 1012 kWh/tahun bahan bakar) [4]. Delapan puluh persen energi di seluruh dunia yang saat ini digunakan adalah bahan bakar fosil. Pembakaran bahan bakar fosil melepas emisi berbahaya, seperti karbon dioksida, oksida nitrogen, aerosol, dll yang mempengaruhi lingkungan lokal, regional dan global [5]. Sehingga perlu dikembangkan sumber energi yang tidak mencemari lingkungan. Dalam hal ini yaitu pemanfaatan energi terbarukan untuk menggerakkan sistem pengolahan serta desalinasi air laut. Sistem energi terbarukan mampu menghasilkan energi dari sumber yang tersedia di alam secara bebas. Sumber energi terbarukan yang paling melimpah adalah energi panas matahari. Energi panas matahari dalam bentuk radiasi mendukung hampir seluruh kehidupan di dunia diantaranya

1. PENDAHULUAN Sejak dimulainya kehidupan di bumi, jumlah sumber air tawar yang ada di dunia dapat dikatakan hampir mendekati konstan. Namun dalam kurun waktu kurang dari 200 tahun, jumlah penduduk di dunia terus meningkat dengan cepat. Hal ini diikuti dengan peningkatan konsumsi air di dunia, yang meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun melampaui dua kali laju pertumbuhan penduduk [1]. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan batas minimal kebutuhan air adalah 15 - 20 liter/orang/hari, dimana jumlah ini hanya dapat digunakan untuk kebutuhan dasar seperti minum, persiapan makanan, kebersihan pribadi serta mencuci. Di Amerika Serikat konsumsi air rata-rata mencapai 400 liter per orang. Di beberapa negara di Afrika, konsumsi air tawar berada pada kisaran 20 liter per kapita per hari [2]. Sedangkan di Indonesia kebutuhan air rata-rata berkisar 100 – 150 liter/orang /hari [3]. Sumber air yang hampir tidak akan habis adalah lautan. Kekurangan utamanya adalah kadar garamnya yang tinggi. Air laut, air payau, dan air tawar memiliki tingkat salinitas yang berbeda, yang sering dinyatakan dengan konsentrasi padatan terlarut total. Menurut WHO, batas kadar garam yang diijinkan dalam air adalah 500 parts per million (ppm), dan untuk kasus khusus mencapai 1.000 ppm. Sebagian besar air yang terdapat di dunia mempunyai kadar garam sampai 10.000 ppm, dan air laut secara normal mempunyai K-20

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

melalui fotosintesis serta menggerakkan iklim dan cuaca di dunia. Matahari memancarkan energi sekitar 3,8 x 1023 kW, dimana sekitar 60% atau 1,8 x 1014 kW diserap oleh bumi, yang terletak sekitar 150 juta km dari matahari. Sisanya dipantulkan kembali ke ruang angkasa dan diserap oleh atmosfer. Sekitar 0,1% dari energi ini, ketika dikonversi dengan efisiensi 10% akan menghasilkan empat kali kapasitas pembangkit listrik total dunia sekitar 3.000 GW. Hal yang perlu diperhatikan juga bahwa total radiasi matahari tahunan yang jatuh ke bumi adalah lebih dari 7.500 kali total konsumsi energi primer tahunan dunia, yaitu 450 EJ. Radiasi matahari tahunan yang mencapai permukaan bumi, sekitar 3.400.000 EJ, lebih besar dari semua sumber energi tak terbarukan (non-renewable energy), termasuk bahan bakar fosil dan nuklir [5]. Perkembangan terakhir yang paling menjanjikan dalam desalinasi surya (solar desalination) adalah penggunaan proses humidifikasi-dehumidifikasi (HD). Prinsip dari proses ini berdasarkan pada fakta bahwa udara dapat dicampur dengan uap air. Kandungan uap air yang dibawa udara akan meningkat bersamaan dengan meningkatnya temperatur udara. 1 kg udara kering dapat membawa 0,5 kg uap air atau sekitar 670 kkal ketika temperatur udara meningkat dari 30°C - 80°C. Proses HD terdiri dari tiga sub sistem, yaitu pemanas air atau udara, humidifier atau evaporator, dehumidifier atau kondensor. Fath dan Ghazy, [6] melakukan studi secara numeris untuk mengetahui unjuk kerja desalinasi surya dengan sistem humidifikasi-dehumidifikasi sederhana. Nafey et al, [7] melakukan penelitian sistem desalinasi surya dengan tujuan utama mengetahui parameter – parameter utama yang mempengaruhi produksi sistem. Orfi et al, [8] melakukan studi teoritis dan eksperimental sistem desalinasi surya menggunakan proses humidifikasi dan dehumidifikasi. Sistem tersebut terdiri dari dua buah kolektor surya (udara dan air), sebuah evaporator dan kondensor. Ben-Amara et al, [9] melakukan studi eksperimental terhadap efisiensi desain kolektor surya plat datar untuk memanaskan udara pada proses desalinasi dengan humidifikasi-dehumidifikasi. Yuan dan Zhang, [10] melakukan penelitian secara eksperimen dan teoritis untuk meningkatkan unjuk kerja dari sistem desalinasi surya sirkulasi tertutup dengan proses humidifikasi-dehumidifikasi. Gao Penghui et al, [11] meneliti tentang unjuk kerja unit desalinasi berbasis pompa kalor dengan humidifikasi dan dehumidifikasi. Pada sistem ini, udara dipanaskan melalui kolektor surya dan kemudian dilembabkan di honeycomb (alveolate humidifier) melalui blower. Yamali dan Solmus, [12] melakukan studi eksperimental untuk mengetahui unjuk kerja dari sistem solar desalinasi menggunakan proses humidifikasi dan dehumidifikasi, dan hasilnya dibandingkan dengan hasil yang diperoleh secara teoritis. Unjuk kerja dari sistem desalinasi surya dengan proses HD untuk meningkatkan produksi air tawar sangat tergantung pada temperatur masukan air laut ke humidifier, temperatur udara di dalam saluran (duct), laju aliran massa air laut, laju aliran massa udara, intensitas radiasi matahari, serta tipe kolektor surya (solar collector). Oleh karena itu penelitian untuk mengetahui unjuk kerja dari sistem desalinasi surya ini sangat penting. Penelitian ini akan menguji pengaruh temperatur udara terhadap unjuk kerja sistem desalinasi surya dengan menggunakan proses HD dan pengaruh penggunaan pemanas udara surya plat datar dua

laluan dengan 2 penutup kaca (double-pass flat plat solar air heater with two glass covers) terhadap unjuk kerja sistem.

2. METODOLOGI Penelitian dilakukan di laboratorium Perpindahan Panas dan Termodinamika, Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret. Prinsip kerja unit desalinasi surya berbasis pompa kalor dengan menggunakan proses humidifikasi dan dehumidifikasi ini adalah menggunakan udara panas untuk membawa uap air dari air laut, kemudian udara yang mengandung uap air ini diembunkan di evaporator dari sistem pompa kalor. Udara dingin dari lingkungan dipanaskan dengan cara melewatkan ke kondensor dari sistem pompa kalor, kemudian dipanaskan kembali dengan memanfaatkan energi surya di kolektor surya, dan setelah dipanaskan di kolektor surya udara akan masuk ke unit humidifier untuk proses humidifikasi. Penelitian ini adalah indoor experiment dengan menggunakan simulator surya, dimana radiasi surya disimulasikan dengan cahaya lampu halogen. Berdasarkan standar ANSI/ ASHRAE 93-1986 (RA 91), maka dalam pengujian ini tingkat radiasi simulator surya diatur pada nilai minimum 800 W/m2 (254 Btu/h.ft) dan ditahan konstan selama periode pengujian. Pada penelitian pengaruh temperatur udara terhadap unjuk kerja unit desalinasi surya ini, diuji unjuk kerja unit desalinasi tanpa kolektor surya dan unjuk kerja unit desalinasi dengan kolektor surya yang divariasi intensitas radiasi suryanya dengan simulator surya. Pada pengujian unjuk kerja unit desalinasi dengan kolektor surya, nilai intensitas radiasi surya dari simulator surya divariasi pada 828 W/m2, 924 W/m2, 1014 W/m2 dan 1120 W/m2. Dengan variasi intensitas radiasi surya rata-rata 828 W/m2, 924 W/m2, 1014 W/m2 dan 1120 W/m2 diperoleh temperatur udara rata-rata masuk humidifier berturut-turut sebesar 60oC, 63oC, 68oC, dan 71oC. Pada pengujian unit desalinasi tanpa kolektor surya diperoleh data temperatur rata-rata masuk humidifier sebesar 37oC. Sehingga pengujian unjuk kerja unit desalinasi surya berbasis pompa kalor dengan menggunakan proses humidifikasi dan dehumidifikasi ini dianalisa untuk temperatur udara masuk humidifer sebesar 37oC, 60oC, 63oC, 68oC, dan 71oC.

Gambar 1. Skema unit desalinasi surya berbasis pompa kalor dengan menggunakan proses humidifikasi dan dehumidifikasi Refrigeran yang digunakan pada sistem pompa kalor adalah HFC 134-a, dan kompresor yang dipakai dalam penelitian ini adalah tipe torak 2 silinder. Kondensor yang K-21

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

digunakan adalah kondensor AC mobil yang berjumlah 2 buah dengan dimensi panjang 58 cm, lebar 36 cm dan tebal 1,5 cm tiap kondensor. Evaporator yang digunakan pada tipe window 2 PK berjumlah 2 buah yang dipasang secara paralel. Humidifier yang digunakan terbuat dari aluminium dengan dimensi panjang 30 cm, lebar 37 cm, tinggi 35 cm yang disusun secara sejajar sebanyak 72 buah dengan jarak antar plat 5 mm dan sudut elevasi 45o tiap gelombangnya. Sprinkler pada penelitian ini berjumlah 5 buah yang dipasang di atas humidifier, disusun membentuk persegi dengan jarak antar sprinkler 16,5 cm. Termokopel yang digunakan dalam penelitian ini adalah termokopel tipe T dengan diameter 0,1 mm. Flowmeter yang digunakan adalah Variable Area Glass Flowmeter Dwyer tipe VA20440. 9. Temperatur udara diatur dengan mengatur pemanas udara surya plat datar dua laluan dengan 2 penutup kaca (double-pass flat plate solar air heater with two glass covers). Energi surya dihasilkan dari simulator surya (solar simulator) dengan menggunakan lampu halogen. Air laut yang digunakan mempunyai salinitas sebesar 31.342 ppm. Persamaan yang digunakan untuk menghitung unjuk kerja sistem pompa kalor standar :

dan sesudah dehumidifier, temperatur udara masuk ke kolektor surya, temperatur udara keluar dari kolektor surya, temperatur plat penyerap, temperatur kaca penutup, dan intensitas radiasi matahari. Sistem desalinasi dijalankan dalam waktu 180 menit untuk masing – masing variasi, dimana pengambilan data dilakukan setiap 20 menit.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Pengaruh temperatur udara masuk humidifier terhadap produksi air tawar Gambar 2. menunjukkan grafik akumulasi produksi air tawar terhadap waktu dengan variasi temperatur udara masuk humidifier. Pada penelitian pengaruh temperatur udara masuk humidifier terhadap produksi air tawar, temperatur air laut dikondisikan pada temperatur konstan sebesar 45oC, kompresor dioperasikan pada putaran konstan sebesar 1.200 rpm, laju aliran volumetrik air laut konstan sebesar 300 l/jam, dan air laut dalam sistem ini disirkulasi ulang.

Q m ref .(h2  h3 ) COPHP  kond   (1) Wkomp m ref .(h  h ) 2 1 Persamaan yang digunakan untuk menghitung unjuk kerja sistem pompa kalor aktual : 

Q m ref .(h2 a  h3 ) COPHP  kond   Wkomp m ref .(h  h ) 2a 1

Laju aliran massa udara ( persamaan :

(2)

) dapat dihitung dengan

m a   udaraVa A (kg/s) (3) Penambahan massa uap air total setelah melewati humidifier dapat dihitung dengan persamaan :

Gambar 2. Grafik akumulasi produksi air tawar terhadap waktu dengan variasi temperatur udara masuk humidifier.

W1  m a (w2  w1 ) (kg/s) (4) Pengurangan massa uap air total setelah melewati dehumidifier dapat dihitung dengan persamaan:

Dari Gambar 2, dapat dilihat bahwa produksi air tawar meningkat terhadap waktu dan temperatur udara masuk humidifier. Hal ini dikarenakan semakin tinggi temperatur udara masuk humidifer maka kemampuan untuk menyerap uap air juga semakin tinggi. Seperti pada gambar 3, bahwa semakin tinggi temperatur udara masuk humidifier maka penambahan massa air total dalam udara setelah melewati humidifier juga semakin tinggi. Penambahan massa uap air total dalam udara yang semakin tinggi ini dikarenakan udara pada temperatur yang lebih tinggi mempunyai kelembaban relatif yang lebih kecil daripada udara pada temperatur rendah, sehingga kemampuan untuk menyerap uap air menjadi semakin tinggi. Grafik perbandingan akumulasi produksi air tawar teoritis dan aktual pada masing-masing variasi temperatur udara masuk humidifier terlihat pada gambar 4. Pada gambar 4, terlihat produksi air tawar teoritis lebih banyak dibandingkan produksi air tawar aktual, hal ini dikarenakan tidak semua air tawar yang dihasilkan melalui pengembunan pada evaporator jatuh ke dalam bak penampung, sehingga mengurangi hasil produksi air tawar aktual yang dihasilkan.

W2  m a ( w2  w3 ) (kg/s) (5) Massa air tawar teoritis yang dihasilkan selama proses desalinasi dapat dihitung dengan persamaan mw 

t  

t 0

m a ( wi  wo )dt

(6)

Efisiensi dari kolektor surya dapat dicari dengan menggunakan persamaan :

 c  ()  U L

(T p  Ta )

m .c p .(To  Ti )

atau  c  (7) GT Ac .GT Parameter yang dibuat konstan yaitu putaran kompresor sebesar 1200 rpm, laju aliran volumetrik air laut sebesar 300 liter/jam, dan temperatur air laut sebesar 45ºC. Air laut pada sistem ini disirkulasi ulang. Data yang diambil diantaranya besarnya tekanan masuk dan keluar pada kompresor, kondensor, dan evaporator; temperatur refrigeran yang masuk dan keluar pada evaporator, temperatur refrigeran yang masuk dan keluar pada kondensor, temperatur udara sebelum dan sesudah humidifier, temperatur udara sebelum K-22

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

pompa kalor memiliki beban pendinginan paling rendah dibandingkan dengan temperatur udara masuk humidifier yang lain. Sedangkan untuk COPHP aktual pada variasi temperatur 60°C, 63°C, 68°C dan 71°C nilainya hampir sama karena beban pendinginan yang diterima sistem pompa kalor hampir sama. Nilai COPHP aktual pada temperatur udara masuk humidifier tertentu relatif sama terhadap waktu. Hal ini karena sistem pompa kalor menerima beban pendinginan sama selama dijalankan pada temperatur udara tertentu yang konstan.

Gambar 3. Grafik penambahan massa uap air total terhadap waktu dengan variasi temperatur udara masuk humidifer Volume air tawar yang dihasilkan setiap 20 menit untuk setiap variasi temperatur udara masuk humidifer relatif sama. Hal tersebut terjadi karena temperatur udara, laju aliran volumetrik air laut, temperatur air laut serta kecepatan udara yang masuk ke dalam sistem selama waktu pengujian untuk setiap variasi relatif sama.. Volume air tawar rata-rata yang dihasilkan tiap 20 menit untuk temperatur udara rata-rata masuk humidifier 37°C, 60°C, 63°C, 68°C, dan 71°C berturut-turut 250 ml, 340 ml, 370 ml, 410 ml, dan 440 ml. Ini berarti laju produksi air tawar rata-rata untuk temperatur udara masuk humidifier 37°C, 60°C, 63°C, 68°C, dan 71°C berturut-turut 12,5 ml/menit, 17 ml/menit, 18,5 ml/menit, 20,5 ml/menit dan 22 ml/menit. Sehingga unit desalinasi surya ini dapat memproduksi air tawar untuk temperatur udara masuk humidifier 37°C, 60°C, 63°C, 68°C, dan 71°C berturut-turut rata-rata 18 L/hari, 24,48 L/hari, 26,64 L/hari, 29,52 L/hari dan 35,64 L/hari.

Gambar 5. Grafik COP HP aktual terhadap waktu dengan variasi temperatur udara c. Pengaruh penggunaan kolektor surya plat datar dua laluan dengan 2 penutup kaca terhadap produksi air tawar Pengaruh penggunaan kolektor surya plat datar dua laluan dengan 2 penutup kaca ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 4. Grafik perbandingann akumulasi produksi air tawar teoritis dan aktual terhadap waktu dengan variasi temperatur udara masuk humidifier

Gambar 6. Pengaruh penggunaan pemanas udara surya plat datar dua laluan dengan 2 penutup kaca terhadap unjuk kerja sistem. Dapat dilihat pada gambar 6, bahwa hasil produksi air tawar meningkat rata-rata 36% jika menggunakan kolektor surya plat datar dua laluan dengan 2 penutup kaca pada intensitas 828 W/m². Sedangkan pada intensitas radiasi surya 924 W/m², 1014 W/m², 1120 W/m² hasil produksi air tawar berturut-turut meningkat rata-rata 48%, 64% dan 76%, jika dibandingkan dengan tanpa menggunakan kolektor surya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yamali dan Solmus, [12] penggunaan kolektor surya dapat meningkatkan produksi air tawar sampai 8%. Peningkatan ini terjadi karena luas perpindahan panas pada kolektor surya plat datar dua

b. Pengaruh temperatur udara terhadap COPHP. Gambar 5, menunjukkan grafik hubungan antara COPHP aktual terhadap waktu dengan variasi temperatur udara masuk humidifier. Dari gambar 4.7 dapat dilihat nilai COPHP aktual menurun dengan kenaikan temperatur udara masuk humidifier. Nilai COPHP aktual untuk keseluruhan temperatur udara masuk humidifier berkisar 5,5-6,8. Nilai COPHP aktual tertinggi terjadi pada temperatur udara 37°. Hal ini disebabkan karena pada temperatur udara 37°C sistem K-23

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

laluan dengan 2 penutup kaca lebih besar, sehingga temperatur bola basah (Twb) udara keluar kolektor surya lebih besar (dan RH lebih kecil) dibandingkan tanpa menggunakan kolektor surya. Sehingga ketika udara kontak dengan semprotan air laut di humidifier, udara ini dapat membawa uap air lebih banyak dibandingkan tanpa menggunakan kolektor surya. Sehingga hasil produksi air tawar juga akan lebih banyak.

924 W/m2, 1014 W/m2 dan 1120 W/m2 berturut-turut 36%, 48%, 64% dan 76%. 4. Efisiensi sesaat rata-rata dari kolektor surya plat datar dua laluan dengan 2 oenutup kaca untuk variasi intensitas radiasi surya rata-rata 828 W/m2, 924 W/m2, 1014 W/m2 dan 1120 W/m2 berturut-turut 43%, 45%, 46% dan 48%.

d. Efisiensi sesaat kolektor surya plat datar dua laluan dengan 2 penutup kaca

[1] Sinha, RK. , “Desalination & Water Purification Technologies”, Goverment of India, Mumbai, 2010. [2] Cipollina, A, Micale, G, dan Rizzuti, L, “Seawater Desalination-Conventional And Renewable Energy Processes”, Springer Heidelberg Dordrecht London, New York, 2009. [3] Entjang, I, “Ilmu Kesehatan Masyarakat”. PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991. [4] Kalogirou, SA, “Solar Thermal Collectors and Applications”, Progress in Energy and Combustion Science ,Vol. 30, 2005, pp. 231-295. [5] Thirugnanasambandam, M, Iniyan, S, dan Goic, R, “A Review of Solar Thermal Technologies”, Renewable and Suistanable Energy Reviews Vol. 14, 2010, pp. 312-322. [6] Fath, HES, dan Ghazy, A, ”Solar Desalination Using Humidification-Dehumidification Technology”, Desalination, Vol.142, 2002, pp.119-113. [7] Nafey, AS, Fath, HES, El-Helaby, SO, dan Soliman, AM, ”Solar Desalination using Humidification-Dehumidification Processes. Part I.A Numerical Investigation”, Energy Conversion and Management, Vol. 45, 2004, pp.1243-1261. [8] Orfi, J, Laplante, M, Marmouch, H, Galanis, N, Benhamaou, B, Nasrallah, SB, dan Nguyen, CT. “Experimental and Theoritical Study of a Humidification –Dehumidification Water Desalination System using Solar Energy”, Desalination ,Vol. 168, 2004, pp. 151-159. [9] Ben-Ammara, M, Houdicin, I, Guizani, A, dan Maalej, M. “Efficiency Investigation of a New-Design Air Solar Plate Collector Used in a Humidification-Dehumidification Desalination Process”, Renewable Energy, Vol. 30, 2005, pp. 1309-1327. [10] Yuan, G, dan Zhang, H, “ Mathematical Modeling of a Closed Circulation Solar Desalination Unit with Humidification-Dehumidification.”, Desalination ,Vol.205, 2007, pp. 156-162. [11] Gao, P, Zhang, L, dan Zhang, H, “Performance Analysis of a New Type Desalination Unit of Heat Pump With Humidification and Dehumidification”, Desalination, Vol. 220, 2008, pp. 531-537. [12] Yamali, C, dan Solmus, I. ,” Theoritical Investigation Of Humidificationn-Dehumidification Desalination System Configured by Double-Pass Flat Plate Solar Air Heater”,Desalination ,Vol. 163-177,2007. [13] ANSI/ASHRAE Standard 93-1986 (RA 91), Methods of Testing to Determine the Thermal Performance of Solar Collector. [14] Fath, HES, El-Shall, FM, Vogt, G, dan Seibert, U, “A Stand Alone Complex for the Production of Water, Food, Electrical Power and Salts for the Sustainable Development of Small Communities in Remote Areas”,

5. DAFTAR PUSTAKA

Nilai efisiensi sesaat kolektor surya plat datar dua laluan dengan 2 penutup kaca untuk seluruh variasi intensitas radiasi surya ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Efisiensi kolektor surya plat datar dua laluan dengan 2 penutup kaca untuk seluruh variasi intensitas radiasi surya Pada Gambar 7 terlihat bahwa semakin tinggi intensitas radiasi surya, maka efisiensi sesaat kolektor surya juga semakin tinggi. Temperatur udara masuk kolektor surya plat datar dua laluan dengan 2 penutup kaca untuk setiap variasi intensitas radiasi surya hampir sama, sehingga efisiensi dari kolektor surya ini sangat dipengaruhi oleh temperatur udara keluar kolektor surya. Semakin besar perbedaan temperatur udara keluar dan masuk kolektor surya maka efisiensi sesaat dari kolektor surya ini juga akan semakin meningkat.

4. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Volume produksi air tawar meningkat seiring dengan peningkatan temperatur udara masuk humidifier dari unit desalinasi surya berbasis pompa kalor dengan menggunakan proses humidifikasi dan dehumidifikasi. 2. Laju produksi air tawar rata-rata dari unit desalinasi surya berbasis pompa kalor dengan menggunakan proses humidifikasi dan dehumidifikasi pada variasi temperatur udara rata-rata masuk humidifier 37oC, 60oC, 63oC, 68oC dan 71oC berturut-turut 12,5 ml/menit, 17 ml/menit, 18,5 ml/menit, 20,5 ml/menit dan 22 ml/menit atau verturut-turut 18 L/hari, 24,48 L/hari, 26,64 L/hari, 29,52 L/hari dan 35,64 L/hari. 3. Penggunaan kolektor surya plat datar dua laluan dengan 2 penutup kaca dapat meningkatkan volume produksi air tawar, semakin tinggi intensitas radiasi surya, maka volume air tawar yang dihasilkan akan semakin banyak. Peningkatan hasil produksi air tawar untuk masing – masing variasi intensitas radiasi surya rata-rata 828 W/m2, K-24

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Desalination , Vol. 183, 2005, pp. 13-22. [15] Incropera, FP, dan DeWitt, DP, “Fundamentals of Heat and Mass Transfer, 6th Ed”, John Willey and Sons, New York, 2007. [16] Kharagpur , “Refrigeration and Air Contioning”. EE IIT, India, 2008. [17] Narayan, GP, Sharqawy, MH, Summers, EK, Lienhard, JH, Zubair, SM, dan Antar, MA, “The Potential of Solar-Driven Humidification-Dehumidification Desalination for Small-Scale Decentralized Water Production”, Renewable and Sustainable Energy Reviews, Vol. 14, 2010, pp. 1187-1201. [18] Pita, EG, “Air Conditioning Principles and Systems”,. Pearson Education,Inc. New Jersey, 2002.

= = = =

h1 h2

= =

h2a h3

= =

ṁa

=

= = = = = = = =

Va wi

= =

wo

=

Wkomp = w1 =

6. NOTASI A COPHP cp Gt

ṁref mw Qkond Ta Tp Ti To UL

luas penampang saluran (m2) koefisien prestasi ideal panas jenis udara (J/kg.K) intensitas radiasi yang masuk dan diserap oleh plat penyerap (W/m2) entalpi refrigeran keluar evaporator (kJ/kg) entalpi gas refrigeran pada tekanan keluar kompresor (kJ/kg) entalpi refrigeran masuk kondensor (kJ/kg) entalpi refrigeran pada tekanan keluar kondensor (kJ/kg) laju aliran massa udara (kg/s)

K-25

w2

=

w3

=

α ρudara t τ η ΔW1 ΔW2

= = = = = = =

laju aliran massa refrigeran (kg/s) massa air tawar yang dihasilkan selama proses (kg) kalor yang dilepas oleh kondensor (kW) temperatur lingkungan (K) temperatur plat kolektor (K) temperatur udara masuk kolektor (K) temperatur udara yang keluar dari kolektor (K) koefisien perpindahan panas total berdasarkan luas kolektor Ac (W/m2.K) kecepatan udara (m/s) rasio kelembaban udara setelah melewati evaporator (kg/kg) rasio kelembaban udara sebelum melewati evaporator (kg/kg) daya kompresor (kW) rasio kelembaban udara masuk humidifier (kg uap air/kg udara kering) rasio kelembaban udara keluar humidifier (kg uap air/kg udara kering) rasio kelembaban udara keluar humidifier (kg uap air/kg udara kering) absorptivitas densitas udara (kg/m3) periode (jam/hari) transmisivitas efisiensi kolektor surya (%) penambahan massa uap air total (kg/s) penambahan massa uap air total (kg/s)

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

KAJIAN EKSPERIMENTAL DAN ANALISA NUMERIK EFEK SEPARASI DAN SECONDARY FLOW PADA ARAH RADIAL TERHADAP PERFORMA RECTANGULAR ELBOW DENGAN VARIASI BILANGAN REYNOLDS Drajat Indah Mawarni1), Berkah Fajar Tamtomo Kiyono2)

Staff Pengajar STT – Ronggolawe Cepu, Universitas Diponegoro Semarang 1,2) Jalan Kampus Ronggolawe Blok B – 1 Mentul Cepu 58315., Jalan. Prof. Sudharto, SH, Tembalang – Semarang 50275. Indonesia 1,2) Phone:0062-96 – 422322;0062-24-7460059, Fax: 0062-96 -425429; 0062-24-74600591,2) E-mail : [emailprotected]), [emailprotected]) ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk mengetahui efek secondary flow dan separasi aliran terhadap pola distribusi statics pressure recovery dalam aliran melalui rectangular elbow. Kajian ini dilakukan secara eksperimental dan analisa numerik dengan mengukur tekanan statis pada daerah radius r di pusat kelengkungan. Pengukuran tekanan dibuat dengan tiga variasi Reynold number (Re). Hasil-hasil pengukuran tekanan statis secara umum menunjukkan bahwa pola aliran pada arah radial yang terbentuk tidak mengalami perubahan signifikan dengan adanya perubahan Reynold number/kecepatan aliran. Hasil-hasil pengukuran didapatkan informasi bahwa sisi outerwall mempunyai koefisien tekanan (Cp) positif, sedangkan di sisi inner wall mempunyai koefisien tekanan (Cp) negatif. Hal ini menunjukkan bahwa sisi outer mempunyai tekanan lebih besar daripada sisi inner. Pada arah radial koefisien tekanan (Cp) mengalami peningkatan seiring pertambahan radius kelengkungan rectangular bend, yang berarti bahwa semakin besar jari – jari kelengkungan, tekanan yang dimiliki juga semakin besar.Selisih tekanan antara sisi inner dan outer pada radial section sangat significan, hal ini yang menyebabkan terjadinya secondary flow. Dari penelitian ini belum diketemukan adanya efek perubahan Reynold number terhadap pola dan karakteristik aliran arah radial yang terbentuk melewati saluran pengujian. Kata kunci: secondary flow, separasi aliran, rectangular elbow, static pressure recovery, reynold number.

1. PENDAHULUAN Kajian teoritis tentang secondary flow pada pipa lengkung dilakukan Cuming [1], dengan kajian teorinya dinyatakan pengaruh bentuk penampang pipa terhadap intensitas secondary flow yang terjadi pada pipa melengkung. Gambar 3 menunjukkan penampang rectangular duct pada penelitian Cumming. Dalam penelitian tersebut juga digunakan pipa berpenampang elip, lingkaran dan persegi. Hasil pengkajian numerik menunjukkan bahwa intensitas aliran sekunder pipa berbentuk persegi lebih besar daripada pipa berbentuk lingkaran. Kajian penelitian lainnya dilakukan Patel [2], untuk mendapatkan koefisien tekanan pada dinding saluran, dengan dilakukan pengukuran static-pressure pada dinding saluran, dalam penelitian ini digunakan saluran duct lurus panjang 10 ft, dan penampang 1x5 ft dan disambungkan dengan saluran duct melengkung sudut 90o yang berpenampang 1x5 ft, radius dalam 2 ft, radius luar 3 ft. dan fluida udara dihembuskan oleh blower.Hal ini diperkuat oleh penelitian Sheu dan Tsai [7]. Selain itu, pengkajian tentang turbulent boundary layer pada permukaan lengkung juga dilakukan Meroney dan Bradshaw [3]. Hasil kajiannya menyatakan bahwa untuk aliran pada convex survace (cembung), gaya sentrifugal pada elemen fluida harus diseimbangkan dengan gradient tekanan yang menuju ke dalam. Jika partikel bergerak terlalu cepat pada lokasi ini mempunyai gaya sentrifugal yang besar pula, dan partikel bergerak ke arah luar dan demikian juga sebaliknya. Penelitian tentang aliran sekunder juga dilakukan Lopez dan Oberkampf [4]. Gambar 1 menunjukkan geometri belokan pada penelitian Lopez dan oberkampf [4]

Gambar 1. Geometri belokan dan sistem koordinat Penelitian pada aliran turbulen pada square-section bend 90o juga dilakukan Sudo dkk [5]. Adanya secondary flow pada rectangular bend juga dikaji oleh Raise dkk [6]. Kajian tentang separasi aliran dilakukan oleh Sheu dan Tsai [7], Tsai dan Sheu [8], hasil kajiannya disimpulkan bahwa tekanan pada sisi inner wall terlihat menurun secara bertahap. Kenaikan tekanan secara dramatis sepanjang sisi outer wall mengakibatkan gradien tekanan merugikan (adverse pressure gradient) pada wilayah dekat dengan sisi masuk. Adverse pressure gradient berkembang di sepanjang dinding outer dapat menyebabkan terjadinya pemisahan aliran. Pada Gambar 2, ditunjukkan gambaran separasi aliran pada curved duct dalam penelitian Sheu dan Tsai [7]. Garis separasi dimulai pada saddle point dan akan berakhir pada spiral node dalam aliran atau pada half-node pada perpotongan garis dari dinding yang berdekatan. Tidak seperti garis separasi, wall-streamline berbatasan dengan K-26

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

reattachment line yang terlihat tersingkir dari singular line. Reattachment line yang muncul dari node dan berakir pada saddle. Saddle point didefinisikan sebagai singular point dimana hanya ada dua garis tertentu berpotongan pada titik ini. Nodal point merupakan titik asal dengan streamline tak berhingga. Apabila streamline yang berarah menuju singular point maka dinamakan nodal point of separation. Sebaliknya, jika streamline berarah keluar dari singular point disebut nodal point of attachment.

r2

Q = U b (r2 - r1) = b

u dr

(2)

r1

Dimana b adalah lebar sisi duct. Dengan mensubstitusikan persamaan (1.1), didapat: C= U

r2  r1 r ln  2   r1 

(3)

Jadi distribusi kecepatannya adalah, dalam bentuk tak berdimensi:

r2  r1 u  U r ln  r2   r   1

(4)

Hubungan antara distribusi tekanan dapat ditemukan dengan menerapkan persamaan bernoulli pada belokan: po + ½ ρ U2 = p + ½ ρ u2 (5) dimana po adalah tekanan statis referensi, p adalah tekanan pada radius r pada belokan. Sedangkan persamaan untuk menghitung koefisien tekanan (cp) dapat dinyatakan sebagai berikut:

Gambar 2. Separasi aliran pada curved duct Pada Gambar 2, ditunjukkan gambaran separasi aliran pada curved duct dalam penelitian Sheu dan Tsai [7]. Garis separasi dimulai pada saddle point dan akan berakhir pada spiral node dalam aliran atau pada half-node pada perpotongan garis dari dinding yang berdekatan. Tidak seperti garis separasi, wall-streamline berbatasan dengan reattachment line yang terlihat tersingkir dari singular line. Reattachment line yang muncul dari node dan berakir pada saddle. Saddle point didefinisikan sebagai singular point dimana hanya ada dua garis tertentu berpotongan pada titik ini. Nodal point merupakan titik asal dengan streamline tak berhingga. Apabila streamline yang berarah menuju singular point maka dinamakan nodal point of separation. Sebaliknya, jika streamline berarah keluar dari singular point disebut nodal point of attachment.

cp =

p  po 1 / 2 U 2

(6)

dengan mensubtitusikan persamaan (2.5) ke persamaan (2.6), maka didapat persamaan:

u2 U2

cp = 1 -

(7)

Sedangkan untuk mendapatkan persamaan debit aliran, dilakukan substitusi persamaan (2.3) dan (2.5), ke persamaan (2.2), sehingga di dapatkan persamaan debit teoritis, yaitu: Q=

br1 r2

r

 r1

2

2

2

 r  2p ln  2   r1  

(8)

Untuk memperoleh laju aliran aktual, maka perlu digunakan faktor koreksi yang didapatkan secara eksperimental yaitu Cd, maka persamaan debit aktual menjadi: Q = Cd

br1 r2

r

2

2

 r1

2

 r  2p ln  2   r1  

(9)

Cd merupakan discharge coefficient yang di rumuskan dengan persamaan: 2   r 2    r2   1  1        r1    r1    Cd =  r2  ln  r2   r  r  1  1

Gambar 3. Aliran pada belokan Gambar 3 menunjukkan gambaran pendekatan aliran pada belokan dengan kecepatan aliran Uniform (U). Pada belokan dapat diasumsikan distribusi dari free vortex velocity, diberikan dengan persamaan:

u 

C r

1

2

1 U 2 2 p

(10)

Sebagai pembanding hasil-hasil eksperimen, tinjauan Computational Fluid Dynamics (CFD) akan disertakan. Ini sebagai cara pendekatan untuk memprediksi struktur aliran. Berikut ini secara singkat gambaran CFD menggunakan software FLUENT dan model turbulennya.Simulasi yang dilakukan ini menggunakan perangkat lunak FLUENT versi

(1)

Dimana u adalah kecepatan aliran pada radius r dari pusat lengkungan. Aliran separasi dan secondary flow diabaikan. Dan konstanta C dapat ditemukan dengan menerapkan persamaan kontinuitas. K-27

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

6.3.26. FLUENT sendiri merupakan salah satu jenis program CFD (Computational Fluid Dynamics) yang menggunakan metode diskritisasi volume hingga. FLUENT memiliki fleksibilitas mesh, sehingga kasus-kasus aliran fluida yang memiliki mesh tidak terstruktur akibat geometri benda yang rumit dapat diselesaikan dengan mudah. Selain itu, FLUENT memungkinkan untuk penggenerasian mesh lebih halus atau lebih besar dari mesh yang sudah ada berdasarkan pemilihan solusi aliran. FLUENT menggunakan suatu teknik berbasis volume atur untuk mengubah bentuk persamaan umum (governing equation) ke bentuk persamaan aljabar agar dapat dipecahkan secara numerik.

2.2. Wind Tunnel Eksperimen dalam penelitian ini dilakukan di Laboratorium Thermofluida, Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro menggunakan Airflow Bench (Gambar 3). Alat ini adalah jenis open circuit wind tunnel dengan penampang 50 mm x 100 mm. Airflow Bench berfungsi untuk menguji performance saluran yang secara khusus untuk fenomena internal flow dengan menggerakkan aliran udara ke dalam model test. Dalam apparatus terdapat nosel digunakan untuk menaikan kecepatan aliran free stream sebelum masuk lokasi pengukuran. Sebelum masuk nosel, udara melalui honeycomb supaya aliran uniform dalam settling chamber. Manometer berfungsi untuk mengambil data tekanan statis saluran dengan mencatat perbedaan ketinggian pipa manometer sebelum dan sesudah apparatus dioperasikan. Motor listrik berfungsi menggerakan Fan untuk menyuplai aliran udara ke dalam lorong uji. Komponen-komponen utama peralatan ini diperlihatkan seperti dalam Gambar di bawah ini: 1. Airflow Bench, 2. Manometer, 3. Motor Listrik

2. METODE PENELITIAN 2.1. Model Saluran Model uji adalah curved ducts dengan dengan dimensi penampang 50 mm x 100 mm, diameter dalam 50 mm dan diameter luar 100 mm. Sepanjang bagian tengah saluran dibuat pressure tap untuk mengukur tekanan statis. Tap-tap ini dihubungkan dengan selang ke pipa-pipa manometer untuk mengukur tekanan. Model saluran dan koordinat lokasi pengukuruan seperti dalam Gambar 1 dan Gambar 2.

1

2

3

Gambar 1. Model Saluran Gambar 3. Apparatus Airflow Bench 2.3. Metode Eksperimen Eksperimen dilakukan untuk mengukur tekanan statis pada inner dan outer surface. Pressure tap dibuat sepanjang convex dan concave wall. Tekanan terbaca pada kolom pipa manometer sebagai beda ketinggian sebelum dan sesudah apparatus dioperasikan. Variasi kecepatan dinyatakan sebagai Reynold number (Re) dengan persamaan: 𝑅𝑒 =

𝜌𝑈 ∞ 𝐷ℎ 𝜇

(11)

Dimana Re adalah Reynold number, ρ (Kg/m3) adalah densitas udara, U∞ (m/s) adalah kecepatan free stream dan μ (Pa/m/s) adalah viskositas dinamik udara. Dh adalah diameter hidrolik rectangular elbow yang dinyatakan dalam persamaan:

Gambar 2. Koordinat Lokasi Pengukuran K-28

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

𝐷ℎ = 2

𝑎𝑏 𝑎+𝑏

6.3.26. Pada saat memulai FLUENT 6.3.26 terdapat dua macam pilihan penyelesaian (solver), yaitu single precision dan double precision solver. Penggunaan keduanya solver ini tergantung pada jenis dan karakteristik masalah yang diselesaikan. Bila masalah sederhana dan tidak membutuhkan keakuratan lebih, sebaiknya digunakan single precision solver karena akan mempercepat konvergensi. Apabila masalahnya lebih kompleks dan membutuhkan keakuratan lebih tinggi sebaiknya menggunakan double precision solver meskipun lebih lama tercapai konvergensi dan dibutuhkan kapasitas memori komputer lebih besar. Urutan menjalankan program FLUENT 6.3.26 untuk simulasi pada penelitian ini sebagai berikut: a. Memilih solver Secara umum, single precision solver cukup akurat untuk digunakan pada berbagai kasus, namun dalam simulasi kali ini dipilih double precision solver untuk mendapatkan akurasi hasil iterasi yang lebih baik. Pemilihan solver ditunjukkan pada Gambar 5.

(12)

Dengan a = tinggi penampang saluran dan b = lebar penampang saluran. Koefisien tekanan statis dinyatakan dalam persamaan: 𝐶𝑝 =

𝑃𝑠 −𝑃∞ 1 𝜌𝑈∞2 2

(13)

Dimana Cp = koefisien static pressure recovery, Ps = Tekanan statis local (Pa), P∞ = Tekanan stagnasi aliran (Pa), ρ = densitas udara (Kg/m3), U∞ = Kecepatan free stream (m/s). Prosedur pengukuran tekanan adalah sebagai berikut: (i) memasang benda uji dalam apparatus dan menghubungkan pipa kapiler ke Manometer. (ii) mencatat tinggi kolom air raksa sebelum apparatus dioperasikan. (iii) menghidupkan apparatus dengan kecepatan pengukuran. (iv) mencatat beda ketinggian kolom air raksa monomer sebelum dan sesudah apparatus dijalankan. 2.4. Visualisasi Numerik 2.4.1 Pembuatan Geometri dan meshing Untuk pembuatan geometri model bend digunakan software GAMBIT 2.4.6. Gambar 4 menunjukkan pembuatan geometri rectangular bend 90o pada GAMBIT. Namun selain GAMBIT 2.4.6, juga bisa digunakan software CAD/CAM lain seperti Mechanical Desktop, Solid Work, AUTO CAD, dll untuk membuat geometri yang nantinya di import ke dalam file iges. Berikut ini adalah urutan langkahlangkah dalam menggunakan GAMBIT:  Pembuatan geometri Vertices – Edges – Face - Volume  Meshing geometri Volume mesh  Spesifikasi tipe zona Tipe boundary: - velocity inlet pada sisi inlet - pressure outlet pada sisi outlet - wall pada dinding

b. Mengimpor dan memeriksa mesh Mesh model yang telah dibuat di GAMBIT setelah dibuka pada FLUENT harus di cek terlebih dahulu apakah mesh tersebut terdapat kesalahan (error) atau tidak. Apabila terdapat pesan error pada konsol FLUENT atau jika nilai minimum volume adalah negatif, maka mesh model tersebut harus diperbaiki dahulu. Pemeriksaan mesh ditunjukkan pada Gambar 6

Gambar 4. Pembuatan geometri rectangular bend 90o

Gambar 6. Mengimpor dan memeriksa mesh

Gambar 5. Pemilihan solver

c. Memilih formulasi solver Pada Gambar 7 menunjukkan pemilihan formulasi solver. Pada simulasi kali ini digunakan formulasi solver pressure based yang secara umum solver ini banyak diguna-

2.4.2 Langkah-langkah Simulasi FLUENT 6.3.26 Perangkat Computational Fluid Dynamics (CFD) untuk simulasi dalam penelitian ini digunakan software FLUENT K-29

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

kan untuk kasus dengan fluida inkompresibel dengan kecepatan aliran rendah sampai menengah (bilangan Mach<1).

f. Menentukan kondisi operasi

Gambar 10. Penentuan kondisi operasi Gambar 10 menunjukkan penentuan kondisi operasi. Langkah ini merupakan perkiraan tekanan operasi, dalam simulasi ini tekanan menggunakan 101325 pa untuk daerah operasi.

Gambar 7. Pemilihan formulasi solver

g. Menentukan boundary condition

d. Menentukan model viscous

Gambar 11. Penentuan boundary condition Gambar 11 menunjukkan penentuaan boundary condition. Langkah ini merupakan penentuan parameter-parameter dan batasan yang mungkin terjadi pada aliran. Kondisi batas inlet adalah velocity inlet sebesar U ≈ 15 m/s (Re ≈ 68400) Kondisi batas outlet adalah Pressure Outlet.

Gambar 8. Penentuan model viscous Gambar 8 menunjukkan penentuan model viscous pada simulasi kali ini. Sebelum menentukan model viscous, harus ditentukan terlebih dahulu apakah aliran yang akan disimulasikan termasuk dalam aliran laminar atau turbulen dengan menghitung bilangan reynold terlebih dahulu.

h. Inisialisasi medan aliran

e. Menentukan sifat material

Gambar 12. Penentuan inisialisasi Gambar 9. Penentuan sifat material Gambar 12 merupakan penentuan inisialisasi. Sebelum proses iterasi diperlukan inisiasi (tebakan awal) sebelum memulai perhitungan. Tebakan awal dihitung dari kondisi batas dari sisi masuk.

Gambar 9 merupakan penentuan jenis material yang akan digunakaan dalam simulasi, yaitu udara dengan densitas 1,224 kg/m3 dan viskositas 1,7894x10-5 kg/m.s. K-30

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

i. Melakukan iterasi Ini adalah tahap penyelesaian masalah berupa proses iterasi sampai mencapai harga kriteria konvergensi yang diinginkan, dalam pemodelan ini harganya sebesar 10-6. Untuk kriteria konvergensi dapat dilihat pada gambar 10 dibawah ini.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada sisi radial section koefisien tekanan (Cp) mengalami peningkatan seiring pertambahan radius kelengkungan rectangular bend, dapat disimpulkan bahwa semakin besar jari-jari kelengkungan, tekanan semakin besar. Selisih tekanan yang terjadi antara sisi inner dan sisi outer pada radial section terlihat sangat signifikan, kondisi tersebut dapat menyebabkan potensi secondary flow dan menimbulkan terjadinya blockage area akibat sirkulasi searah radial karena adanya perbedaan tekanan yang tinggi. Adanya interaksi boundary layer pada corner juga dapat menyebabkan fenomena vortex. Berikut ini adalah grafik hasil yang didapat setelah dilakukan eksperimen dan analisa Numerik dengan berbagai bilangan Reynolds (68400(1), 103000(2), 150000(3))

Cp

0.6 0.4 0.2 0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8

Gambar 13. Kriteria konvergensi

radial fluent radial exp

55 60 65 70 75 80 85 90 95

r

Gambar 16. Grafik verifikasi Cp radial eksperimen dan Cp radial fluent (Re 68400)

Cp

Gambar 14. Panel iterasi

0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1 -0.2 -0.3 -0.4 -0.5 -0.6 -0.7 -0.8

radial eksperimen radial fluent

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Plane (X/L)

Gambar 17. Grafik verifikasi Cp radial eksperimen dan Cp radial fluent (Re 103000)

Gambar 15. Proses iterasi Cp

Gambar 14 menunjukkan panel iterasi, Setelah di-inisiasi, iterasi dijalankan dengan mengklik iterate pada panel iterasi. Sedangkan Gambar 15 merupakan gambar proses iterasi, proses iterasi ini dilakukan hingga memenuhi kriteria konvergensi yang disyaratkan.

0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1 -0.2 -0.3 -0.4 -0.5 -0.6 -0.7 -0.8

radial eksperimen radial fluent

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

j. Post processing Merupakan penampilan hasil serta analisa terhadap hasil yang telah diperoleh. Penggunaan model numerik dapat menghasilkan kontur koefisien tekanan statis, vektor dan kontur kecepatan.

Plane (X/L)

Gambar 18. Grafik verifikasi Cp radial eksperimen dan Cp radial fluent (Re 150000) K-31

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

mengindikasikan adanya secondary flow. Dengan terjadinya secondary flow maka terjadi fenomena vortex pada inner wall. Pada simulasi fluent dengan berbagai variasi kecepatan aliran masuk (angka Reynods yang berbeda), dimensi 50 mm x 100 mm tidak terjadi separasi dikarenakan fluida masih mempunyai momentum untuk melawan gradient tekanan.

DAFTAR PUSTAKA [1] Cuming, H. G., “The Secondary Flow in Curved Pipes”, Aeronautical Research Council, Reports and Memoranda No. 2880, London, 1955. [2] Stewartsonk K., Cebeci T., and Chang K. C..,”A Boundary layer Collision in Curved Duct”, Q. Jl Mech Appl Math, VoL XXXIII, Pt. 1,1980. [3] Dey S., “Secondary boundary layer and wall shear for fully developed flow in curved pipes”, Proc. R. Soc. Lond. A (2002) 458, 283–298 [4] Wilson P. L., “On the Core Flow and Turbulent Boundary Layer in a Curved Duct”, PhD Thesis University of London, 2003 [5] Patel, V. C., “The Effects of Curvature on the Turbulent Boundary Layer”, Aeronautical Research Council, Reports and Memoranda No. 3599*, London, 1969. [6] Meroney, R. N. and Bradshaw, P., “Turbulent Boundary Layer Growth Over a Longitudinally Curved Surface”, AIAA Journal, vol. 13, No. 11, pp. 14481453, 1975. [7] Enayet, M. M., Gibson, A. M. M. M., Taylor, K. P., and Yianneskis, M.,”Laser-Doppler measurements of laminar and turbulent flow in a pipe bend”, Int. J. Heat & Fluid Flow 0142-727X/82/030213-075. [8] Sudo K., Sumida M., and Hibara H., “Experimental Investigation on Turbulent Flow in a Square-Sectioned 90-Degree Bend”, Experiments in Fluid (30) 246-252 Springer-Verlag, 2001. [9] Mandal A., Bhattecharjee S., Debnath R., Roy D., and Majumder S., “Experimental Investigation of Turbulent Fluid Flow through a Rectangular Elbow”, International Journal of Engineering Science and Technology Vol. 2(6), 2010, 1500-1506. [10] Abhari, M, N., Ghodsiana, M., Vaghefi, M., and Panahpur, N., “Experimental and numerical simulation of flow in a 90° bend”, Flow Measurement and Instrumentation 21 (2010) 292–298. [11] Lopez A. R and Oberkampf W. L., “Numerical Simulation of Laminar Flow in a Curved Duct”, AIAA Paper 95-0865, 1995. [12] Raisee M., Alemi H., and Lacovides H., “Prediction of Developing Turbulent Flow in 90o-Curved Ducts Using Linear and Non-Linear Low-Re k–models”, International Journal for Numerical Method in Fluids, 51:1379–1405, 2006. [13] Sheu T. W. H and Tsai S. F., “Vortical Flow Topology in a Curved Duct with 90o Bend”, Proceeding of the 4th WSEAS International Conference on Fluid Mechanics and Aerodynamics, pp.121-129, Elounda, Greece, August 21-23, 2006.

Gambar 19. Secondary flow tampak dari endwall

Gambar 20. Vortex tampak dari endwall

Gambar 21. Vektor kecepatan

4. KESIMPULAN Hasil-hasil pengukuran tekanan statis secara umum menunjukkan bahwa pola aliran pada arah radial (pusat kelengkungan –r) yang terbentuk tidak mengalami perubahan signifikan dengan adanya perubahan Reynold number. Berdasarkan grafik, Cp radial mengalami peningkatan seiring pertambahan radius kelengkungan rectangular duct 900, dapat disimpulkan bahwa semakin besar jari-jari kelengkungan, tekanan yang dimiliki semakin besar yang K-32

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[14] Tsai S. F., and Sheu T. W. H., “Numerical Exploration of Flow Topology and Vortex Stability in a Curved Duct”, International Journal for Numerical Method in Engineering, 2006.

[15] Rudolf, P., and Desová, M., “Flow characteristics of curved ducts”, Applied and Computational Mechanics 1 (2007) 255 – 264.

K-33

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PREDIKSI TEKANAN TERHADAP VARIASI RASIO EQUIVALEN PADA SISTEM HOMOGENOUS CHARGE COMPRESSION IGNITION (HCCI) MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK BERBASIS REAKSI KINETIK Cokorda Prapti Mahandari1), Bayu Asmara2)

Jurusan Teknik Mesin Universitas Gunadarma 1,2) Jalan Margonda Raya 100, Depok 16435. Indonesia 1,2) Phone: +62 2178881112 extn 453 1) E-mail : [emailprotected] 1), [emailprotected] 2)

ABSTRAK HCCI merupakan mode pembakaran gabungan dari mode Compression Ignition (CI) dan Spark Ignition (SI). Durasi pembakaran yang sangat singkat pada HCCI mengakibatkan tekanan meningkat lebih cepat dibandingkan pada mesin SI dan bahkan pada mesin Compression Ignition Direct Injection (CIDI). Hal ini dapat mengakibatkan knocking, jika campuran bahan bakar terlalu kaya. Simulasi prediksi tekanan pada sistem HCCI dilakukan menggunakan perangkat lunak berbasis reaksi kinetik dengan dua jenis pemodelan yakni single zone dan multizone serta dua mekanisme reaksi yakni detail mechanism dan reduced mechanism. Pemodelan multizone membagi silinder menjadi sepuluh zona yang berbeda sedangkan reduced mechanism terdiri dari 32 spesies dan 55 reaksi. Simulasi dilakukan pada lima variasi rasio equivalen yakni 0.19, 0.21, 0.26, 0.29, dan 0.32 Pemodelan dilakukan dari -156 derajat crank angle sampai 170 derajat crank angle mengacu pada eksperimen yang telah dilakukan peneliti lain demikian pula konfigurasi mesin dan komposisi bahan bakar sehingga hasil simulasi dapat dibandingkan dengan hasil eksperimen tersebut. Prediksi tekanan hasil eksperimen dan hasil simulasi pada pemodelan single zone dan multizone menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada penerapan reduced mechanism terlihat tekanan maksimumnya lebih tinggi dari pada hasil eksperimen namun mendekati hasil eksperimen pada rasio equivalen yang tinggi Penerapan detailed mechanism pada single zone memberikan hasil yang lebih mendekati hasil eksperimen dibandingkan dengan reduced mechanism. Kata kunci: HCCI, multizone model, singlezone model, reducced mechanism, detailed mechanism. dingan kompresi mesin, Exhaust Gas Recirculation (EGR), nomor oktan bahan bakar, dan teknik pengontrolan tidak langsung lainnya. Durasi pembakaran yang sangat singkat mengakibatkan tekanan meningkat cepat. Hal ini dapat mengakibatkan knocking, jika campuran bahan bakar terlalu kaya, namun jika campuran bahan bakar terlalu miskin, mesin akan mengalami misfire [1]. Pemodelan mesin memiliki kontribusi dalam pengembangan mesin seperti mengidentifikasi variabel kunci sehingga dapat mengurangi biaya eksperimen, memprediksi perilaku mesin dalam jangkauan desain dan variabel operasi yang luas, dan menyediakan dasar yang rasional dalam pembaharuan mesin [3]. Tahun 2011, Aldawood dkk. [4] melakukan uji coba mesin HCCI dan melakukan pemodelan menggunakan Stochastic Reactor Model (SRM) dengan reduced mechanism yang terdiri dari 157 senyawa dan 1552 reaksi. Hasil pengukuran tekanan digunakan untuk mengoptimasi model dengan menggunakan suatu fungsi optimasi. Hasil fungsi optimasi tekanan cukup mendekati hasil eksperimen yang dilakukan.

1. PENDAHULUAN Homogenous Charge Compression Ignition (HCCI) merupakan alternatif sistem pembakaran pada motor pembakaran dalam. HCCI bisa dilihat sebagai perpaduan antara sistem pembakaran Compression Ignition (CI) dan Spark Ignition (SI). Injeksi bahan bakar pada sistem SI, udara dan bahan bakar terlebih dahulu dicampur untuk mendapatkan campuran homogen sebelum diinjeksikan ke ruang bakar. Namun dengan tidak adanya busi, permulaan pembakaran disebabkan oleh temperatur kompresi yang cukup tinggi seperti pada sistem pembakaran CI. HCCI memiliki potensi untuk mengurangi masalah yang terjadi pada motor pembakaran dalam saat ini, hal ini dilihat sebagai langkah maju yang menawarkan efisiensi lebih tinggi dari sistem SI dan emisi lebih rendah dari sistem CI. Peluncuran mobil dengan sistem campuran diesel-HCCI, Mercedez E320 CDI pada tahun 2004 dan debut dari Vauxhall Vectra 2.2 yang menggunakan sistem paduan SI-HCCI pada tahun 2009, menunjukkan bahwa teknologi HCCI telah berkembang dari desain konseptual menjadi aplikasi komersial [1]. Keuntungan paling utama dari teknologi HCCI adalah minimnya produksi NOx dan Particulate Matter (PM) sampai hampir mencapai nol dengan tetap mempertahankan efisiensi termal yang tinggi [2]. Namun ada beberapa tantangan terkait dengan penggunaan sistem HCCI yang harus diatasi. Salah satu yang paling utama adalah kurangnya kontrol terhadap waktu awal pembakaran dan durasi pembakaran. Kontrol pembakaran hanya dapat dilakukan secara tidak langsung seperti mengontrol rasio ekuivalen, perban-

2. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini dilakukan simulasi sistem HCCI menggunakan CHEMKIN, perangkat lunak berbasis kinetik reaksi. Simulasi dilakukan menggunakan dua jenis pemodelan yakni singlezone dan multizone serta menggunakan detailed mechanism yang terdiri 1034 senyawa dan 4236 step reaksi juga reduced mechanism yang terdiri dari 32 senyawa dan 55 reaksi. K-34

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Pada multizone model volume silinder dibagi ke dalam beberapa zona, dimana tiap zona dapat memiliki temperatur yang berbeda. Setiap zona diperlakukan sebagai reaktor homogen tertutup, dimana tidak ada transfer massa antar zona. Tekanan pada semua zona diasumsikan sama, transfer kalor antar zona juga tidak diperhitungkan. Satu-satunya interaksi antar zona adalah melalui kerja kompresi, jika salah satu zona terbakar, energinya akan menekan zona lain. Karena setiap zona diperlakukan sebagai reaktor homogen tertutup dengan variasi volume, maka persamaan yang digunakan untuk menghitung senyawa dan temperatur dari setiap zona sama dengan persamaan yang digunakan pada singlezone model. Bahan bakar yang digunakan adalah Primary Reference Fuel( PRF) 40 yang terdiri dari 40% iso-oktana dan 60% n-heptana. Temperatur dan tekanan awal simulasi berturut-turut adalah 370 K dan 1.55 bar. Simulasi dilakukan sejak katup intake menutup (IVC) sampai katup exhaust mulai terbuka (EVO) dengan besar putaran mesin sebesar 1200 rpm. Dalam multizone model, silinder dibagi ke dalam sepuluh zona yang berbeda. Pembagian zona dilakukan sesuai dengan metode yang dilakukan oleh Tommy Tzanetakis [2] dengan volume core zone sebesar 20%, rasio geometrik 0.8 dan straifikasi temperatur sebesar 3 K. Parameter mesin dan pembagian zona dalam multizone model dapat dilihat dalam Tabel 1 dan Tabel 2.

(ada 7 koefisien untuk setiap jangkauan temperatur) untuk setiap senyawa. Data termodinamik tersebut mengikuti fungsi polinom berikut [5]: (1) (2) (3) T adalah temperatur, a adalah koefisien polinom, R adalah konstanta gas umum, sedangkan , , dan adalah panas jenis pada tekanan tetap, entalpi, dan entropi senyawa k pada keadaan standar 1 atm. Mekanisme reaksi ditulis beserta 3 koefisien Arrhenius (faktor pre eksponensial, faktor temperatur, dan energi aktifasi) yang akan menunjukkan seberapa cepat reaksi akan berlangsung. Konstanta untuk laju reaksi ke-i dinyatakan dengan [5]:

(4) , dan merupakan koefisen Arrhenius. Laju produksi senyawa k ( ) merupakan penjumlahan dari semua rate of progress ( )untuk semua reaksi yang meliputi senyawa k, sedangkan rate of progress untuk reaksi i merupakan perbedaan antara forward rates dan reverse rates. Laju produksi senyawa k dan rate of progress reaksi i dinyatakan dengan [5]: (5) (6)

Tabel 1. Parameter Mesin[4] Parameter Banyak silinder Siklus operasi Mode pembakaran Banyak katup Volume langkah (liter) Bore x Stroke (mm) Panjang connecting rod (mm) Crank arm radius (mm) Perbandingan kompresi IVO EVC IVC EVO

Nilai 1 4 tak HCCI 4 0.5 84 x 90 159 45 12 : 1 -356 -352 -156 170

adalah konsentrasi molar senyawa k, adalah koefisien stoikiometri dari reaktan k pada reaksi ke-i, koefisien stoikiometri dari produk k pada reaksi ke-i, dan merupakan selisih antara dan . Perubahan jumlah senyawa k dinyatakan dengan [5] :

(7) dengan adalah massa jenis, adalah fraksi massa senyawa k dan adalah berat molekul senyawa k. Persamaan keadaan yang digunakan adalah persamaan untuk multi-fluid ideal gas, dimana tekanan dan massa jenis dinyatakan dengan [5] : (8) (9) Volume silinder mesin yang berubah-ubah seiring waktu dinyatakan dengan [5] :

Tabel 2. Pembagian zona dalam multizone model Zona 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

% volume 4.74 5.71 6.81 8.02 9.27 10.5 11.44 11.91 11.6 20

Temperatur (K) 343 346 349 352 355 358 361 364 367 370

(10) adalah volume clearance, adalah perbandingan kompresi mesin, adalah perbandingan panjang connecting rod dengan jari-jari crank-arm dan adalah sudut rotasi crank arm. Perubahan temperatur karena reaksi pembakaran yang terjadi dalam silinder mesin dihitung menggunakan persamaan berikut [5]: (11) Hasil simulasi ditampilkan dalam bentuk grafik dengan sumbu yang sama seperti hasil uji coba yang dilakukan oleh Aldawood dkk. [4], sehigga dapat dibandingkan. Demikian pula parameter mesin, bahan bakar, dan kondisi simulasi disesuaikan dengan uji coba yang dilakukan oleh Aldawood.

Data termodinamik dari senyawa yang bereaksi dalam pembakaran dinyatakan dalam bentuk polinom, dimana terdapat 14 koefisien polinom untuk 2 jangkauan temperatur K-35

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari simulasi yang dilakukan dan hasil eksprimen Aldawood dkk. dapat dilihat dalam Gambar 1 sampai dengan Gambar 5. Gambar 1 menampilkan variasi tekanan yang terjadi pada rasio equivalen 0.19. Kurva biru atau SR menunjukkan hasil simulasi pada singlezone model dan mekanisme reaksi adalah reduced mechanism. Sedangkan kurva hijau atau MR adalah hasil simulasi pada multizone model dengan mekanisme reaksi juga reduced mechanism. Kurva merah atau SD adalah hasil simulasi pada singlezone model dengan mekanisme reaksi detailed mechanism. Kurva yang terakhir adalah hasil eksperimen dari Aldawood dkk. Pada Gambar 1 sampai dengan Gambar 5 baik kurva hasil simulasi maupun kurva hasil eksperimen memperlihatkan kesamaan kecenderungan perubahan tekanan terhadap perubahan sudut rotasi crank arm yakni tekanan mencapai puncaknya pada sudut rotasi crank arm mendekati 00. Namun jika dibandingkan besarnya tekanan maksimum tersebut antara Gambar 1 sampai dengan Gambar 5 yang meningkat rasio equivalennya maka terlihat nilai besarnya tekanan maksimum juga meningkat. Perbandingan antara ke empat kurva pada Gambar 1 terlihat bahwa variasi tekanan yang paling besar terjadi pada model singlezone model dengan mekanisme reaksi reduced mechanism atau kurva biru. Sedangkan variasi tekanan terendah terjadi pada singlezone model dengan mekanisme reaksi detailed mechanism atau kurva merah. Hal ini terjadi pada sudut rotasi crank arm antara -50 sampai mendekati 0 dan berubah setelah melewati batas tekanan maksimum, kecuali pada rasio ekuivalen 0.19. Mekanisme reaksi reduced mechanism menghasilkan variasi tekanan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil eksperimen pada sudut rotasi crank arm lebih besar dari 00. Hal ini terjadi karena pada mekanisme reaksi reduced mechanism terjadi laju pelepasan kalor yang lebih tinggi. Sedangkan jika dibandingkan kurva hasil ekperimen dengan kurva hasil simulasi mekanisme reaksi detailed mechanism maka variasi tekanan eksperimen masih lebih tinggi hanya pada rasio ekuivalens yang lebih tinggi dari 0.19. Khusus pada kurva hasil simulasi dengan detailed mechanism terjadi peristiwa yang menarik yakni peningkatan variasi tekanan terutama pada rasio ekivalen diatas 0.21. Peningkatan variasi tekanan yang mendadak ini diprediksi karena adanya second-stage ignition pada sudut rotasi cran arm setelah 00 serta terjadi keterlambatan pada sudut rotasi sebelum 00 atau yang umumnya dikenal sebagai ignition delay.

Gambar 2. Tekanan pada rasio ekuivalen 0.21

Gambar 3. Tekanan pada rasio ekuivalen 0.26

Gambar 4. Tekanan pada rasio ekuivalen 0.29

Gambar 5. Tekanan pada rasio ekuivalen 0.32

Gambar 1. Tekanan pada rasio ekuivalen 0.19 K-36

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Simulasi berbasis reaksi kinetik dapat memberikan petunjuk perubahan parameter yang akan terjadi pada eksperimen. Fenomena yang sulit terdeteksi pada pengukuran selama eksperimen dapat juga terlihat dalam simulasi. Simulasi dapat dilakukan dengan meneliti perubahan parameter yang lain seperti emisi gas buang, distribusi temperatur maupun kondisi pembakaran lainnya.

4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil simulasi model untuk pembakaran HCCI pada putaran mesin 1200 rpm serta rasio ekuivalen sebesar 0.19, 0.21, 0.26, 0.29, dan 0.32 yang dibandingkan dengan hasil eksperimen Aldawood dkk., didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Prediksi tekanan hasil eksperimen dan hasil simulasi pada pemodelan single zone dan multizone menunjukkan kecenderungan yang sama 2. Penggunaan reduced mechanism menghasilkan prediksi tekanan maksimum lebih besar dari hasil eksperimen karena tingginya laju pelepasan kalor pada model dan perbedaaan ini cenderung berkurang seiring meningkatnya equivalence ratio. 3. Penggunaan detailed mechanism menghasilkan prediksi tekanan maksimum yang lebih rendah dari hasil eksperimen pada rasio ekuivalen sebesar 0.19 dan 0.21. Pada rasio ekuivalen yang lebih tinggi, tekanan maksimumnya lebih mendekati hasil eksperimen dibandingkan dengan penggunaan reduced mechanism. 4. Model yang menggunakan detailed mechanism mengalami ignition delay jika dibandingkan dengan model yang menggunakan reduced mechanism maupun hasil eksperimen dan model ini tidak mengalami second-stage ignition pada rasio ekuivalen sebesar 0.19 dan 0.21

DAFTAR PUSTAKA [1] Su, H., Stochastic Reactor Model for Simulating Direct Injection Homogenous Charge Compression Ignition Engine, Cambridge, 2010. [2] Tzanetakis, T., Multi-zone Modelling of A Primary Reference Fuel HCCI engine, Toronto, 2006. [3] Heywood, John B., Internal Combustion Engine Fundamental, Mc Graw-Hill, Toronto, 1988. [4] Aldawood, A., Mosbach, S., Kraft, M., dan Amer, A., Multiobjective Optimization of A Kinetics-based HCCI Model Using Engine Data, Cambridge, 2011 [5] CHEMKIN Theory Manual, Reaction Design, San Diego, 2008.

K-37

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

SIMULASI NUMERIK DENGAN PENDEKATAN RANS PADA ALIRAN YANG MELINTASI SILINDER SIRKULAR DEKAT DINDING A. Grummy Wailanduw1), Triyogi Yuwono2), Wawan Aries Widodo3)

mahasiswa S-3 Pascasarjana ITS Surabaya, Dosen Jurusan Teknik Mesin FT-Unesa1) Jalan Ketintang, Kampus FT-Unesa, Surabaya Phone: 031-8280009 pes. 502 Jurusan Teknik Mesin FTI-ITS Surabaya2,3) Jalan Sukolilo, Kampus FTI-ITS, Surabaya2,3) E-mail: [emailprotected]), [emailprotected]) contact person: 0817585708

ABSTRAK Aliran yang melintasi silinder sirkular dekat dinding banyak dijumpai dalam aplikasi engineering, seperti konstruksi sistem perpipaan di bawah laut dan alat penukar kalor. Penelitian yang membahas tentang susunan di atas telah banyak dilakukan, baik secara eksperimen maupun visualisasi. Pola aliran di sekeliling silinder sirkular dekat dinding tidak semuanya bisa terdeteksi oleh eksperimen, sehingga penggunaan metode penelitian lainnya seperti simulasi numerik sangat membantu dalam menjelaskan fenomena tersebut. Metode simulasi numerik disini menggunakan bantuan software FLUENT 6.3.26, dan karakteristik aliran yang diteliti pada silinder sirkular yang ditempatkan dekat dinding dengan rasio G/D= 0,2 dan 1,0 dengan bilangan Reynolds 1,4 x 104 berdasarkan diameter silinder. Berdasarkan penelitian tersebut, pressure coefficient (Cp) dari silinder sirkular antara hasil eksperimen dan hasil simulasi numerik memiliki trend yang serupa, begitu juga untuk dinding. Selanjutnya dari grafik pressure contour maupun velocity contour, diperoleh posisi titik stagnasi antara kedua jarak rasio berbeda. Pada jarak rasio yang kecil, titik stagnasi berada pada lower side dari silinder sirkular, sementara pada rasio yang besar hampir mendekati titik stagnasi dari silinder sirkular yang ditempatkan pada center line. Dari hasil simulasi ini juga dapat dilihat bahwa daerah dibelakang silinder sirkular, terjadi perbedaan pola vortex shedding antara jarak rasio yang kecil dan rasio yang besar. Keywords: simulasi numerik, RANS, silinder sirkular dekat dinding perbedaan distribusi tekanan antara bagian atas dan bagian bawah dari bodi, dan menghasilkan suatu getaran atau vibrasi ketika perbedaan tersebut berlangsung secara kontinyu. Bodi tersebut akan mengalami lift force positif apabila distribusi tekanan di bagian bawah bodi lebih besar dari distribusi tekanan bagian atas, dan sebaliknya menimbulkan lift force negatif apabila distribusi tekanan bagian atas bodi lebih besar dari distribusi tekanan bagian bawah. Besar kecilnya lift force ditentukan oleh orientasi arah aliran terhadap bluff body tunggal atau dalam susunan tertentu, serta geometri dari kontur bodi. Sedangkan drag force terjadi ketika aliran yang mengalir pada bodi bagian atas dan bagian bawah tersebut terlepas atau terpisah (separasi) dari bodi. Terlepasnya aliran dari kontur bodi dikarenakan momentum aliran tersebut tidak mampu mengatasi adverse pressure dan skin friction akibat shear stress. Besar kecilnya drag force ditentukan oleh kapan terjadinya pemisahan aliran tersebut, dengan kata lain apabila separasi terjadi lebih awal maka wake region makin lebar dan berarti drag force juga besar, dan sebaliknya apabila separasi tertunda maka wake region lebih sempit sehingga drag force juga kecil. Faktor-faktor yang menentukan posisi separasi pada silinder sirkular antara lain: kecepatan free stream dan profil aliran, free stream turbulence, geometri, dan kekasaran permukaan bodi. Penelitian secara eksperimen maupun visualisasi terkait dengan silinder dekat dinding sudah banyak dilakukan oleh [1], [2], [3], [4], [5], dan [6]. Penelitian secara eksperimen mengamati bentuk pola aliran yang terjadi disekeliling

1. PENDAHULUAN Aliran yang melintasi silinder sirkular dekat dinding banyak diterapkan dalam aplikasi engineering, seperti konstruksi sistem perpipaan di bawah laut, atau alat penukar kalor shell and tube atau tube banks. Ketika aliran melintasi silinder sirkular yang ditempatkan dekat dinding akan terbentuk suatu pola aliran atau flow pattern yang tertentu sesuai dengan geometri kontur bodi, dan juga menimbulkan gaya-gaya aerodinamik, seperti lift force dan drag force, pada bodi. Lift force menyebabkan efek getaran atau vibrasi pada konstruksi sehingga dapat mengurangi kekuatan dari material tersebut, sementara drag force dikaitkan dengan suatu aliran dapat memperlambat atau mengurangi momentum aliran tersebut. Gaya-gaya aerodinamik pada silinder sirkular ini terjadi sebagian besar karena dipengaruhi atau didominasi oleh pressure forces, sedangkan pengaruh viscous forces relatif kecil, terutama pada bilangan Reynolds yang cukup tinggi. Selain itu juga dipengaruhi oleh adanya flow interference akibat pola aliran yang terbentuk antara dinding dan silinder sirkular tersebut. Flow interference adalah fenomena aliran yang terbentuk ketika aliran pada silinder sirkular dipengaruhi oleh aliran dinding tersebut. Fenomena flow interference ini sangat bergantung pada kecepatan free stream dan diameter silinder (bilangan Reynolds), dan sifat-sifat lapis batas, seperti jenis dan tebal lapis batas dari dinding, Sementara lift force timbul ketika kecepatan aliran yang mengalir pada kontur bodi mengalami perubahan karena efek viscous, sehingga terjadi K-38

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

silinder sirkular dan pengaruhnya terhadap karakteristik aerodinamik, seperti drag dan lift coefficient, dengan memvariasi jarak antara silinder dengan dinding datar, posisi penempatan silinder pada lapis batas. Melalui kajian eksperimen ini diperoleh hasil bahwa variasi rasio gap silinder terhadap dinding berpengaruh terhadap drag dan lift coefficient, tetapi ketebalan lapis batas dinding lebih berpengaruh secara signifikan terhadap drag coefficient. Sementara melalui visualisasi dapat diidentifikasi perilaku aliran menjadi empat pola yang berbeda, yaitu: terbentuknya vortex shedding yang tidak beraturan terutama pada lower side dari silinder wake, tetapi outer shear layer tetap terbentuk secara periodik pada rasio gap yang sangat kecil; mulai ada kombinasi antara inner shear layer shedding dari silinder dengan lapis batas dinding pada rasio gap kecil; terbentuknya onset vortex shedding dari silinder pada rasio gap menengah; dan tidak terjadi separasi dari lapis batas dinding, juga upstream atau downstream cylinder pada rasio gap yang besar. Penelitian berikut ini bertujuan untuk menggambarkan fenomena aliran yang terbentuk di sekeliling silinder sirkular dekat dinding melalui simulasi numerik. Karakteristik aliran ini diamati pada jarak rasio dinding dengan silinder sirkular (G/D) berbeda. Penggunaan metode simulasi numerik sebagai suatu studi relatif lebih efektif disbandingkan dengan studi eksperimen ataupun visualisasi, karena selain dapat menggambarkan dan memprediksi fenomena yang tidak dapat ditunjukkan melalui eksperimen. Dengan demikian waktu penelitian menjadi lebih singkat dan dapat menghemat biaya dari suatu penelitian, walaupun penerapan metode simulasi inipun memiliki keterbatasan, yaitu adanya ketidak pastian (uncertainty) dan pengambilan asumsi ideal. Medan aliran yang melintasi permukaan silinder sirkular terbagi menjadi upstream dan downstream di titik separasi. Titik separasi terjadi pada daerah yang tekanannya meningkat (adverse pressure gradient). Fluida kemudian akan mengalami separasi karena momentum fluida didekat dinding tidak mampu menghadapi kombinasi gaya viscous dan gradien tekanan searah aliran. Selanjutnya akan terbentuk viscous wake, seperti diilustrasikan oleh gambar berikut ini.

b. Pada bilangan Reynolds (Re) yang semakin meningkat, shedding eddy menjadi semakin panjang searah aliran, panjangnya meningkat secara linier terhadap bilangan Reynolds sampai aliran stabil pada Re ~ 4 x 101, vortices kemudian terpecah, konsekuensinya periodik staggered vortex street terbentuk. c. Pada bilangan Reynolds (Re) hingga ~ 1,5 x 102, vortex street bertambah lebar yang berjalan di belakang hingga beberapa diameter. Peningkatan pertama kali dari wake yang berkembang menjadi dua baris sejajar staggered vortices. Teori inviscid Von Karman menunjukkan vortex street akan stabil saat rasio lebar dengan jarak streamwise adalah 0,28. Pada daerah ini, vortex street adalah laminar. d. Pada bilangan Reynolds (Re) = 3 x 102, memunculkan lapisan batas laminar yang melalui bagian depan silinder, selanjutnya saat melalui bagian belakang silinder, lapisan terseparasi dan memecah menjadi turbulent wake. Dengan meningkatnya bilangan Reynolds (3 x 102 < Re < 3 x 105) titik separasi akan bergerak ke depan. e. Pada bilangan Reynolds sekitar 3 x 105, titik separasi akan bergerak ke belakang hal ini dipengaruhi oleh turbulensi aliran bebas (free stream) dan kekasaran permukaan benda, yang ini akan menyebabkan drag semakin turun dengan tajam dan vortex shedding menjadi tidak beraturan. f. Pada bilangan Reynolds yang lebih tinggi lagi vortex street muncul kembali.

Gambar 2. Regime aliran melalui silinder sirkular (Lienhard, 1966). Sementara aliran pada bidang/plat datar merupakan zero pressure gradient flow, artinya tidak terjadi perubahan tekanan dalam aliran selama mengalir di atas plat datar. Dengan demikian penyebab dari gradiasi kecepatan di dalam lapisan batas karena adanya tegangan geser pada bidang datar akibat viskositas dari fluida yang mengalir. Aliran viscous di dalam lapisan batas tepat di atas permukaan plat datar kecepatannya sama dengan 0 (nol), atau dikatakan tidak terjadi slip (no slip condition) pada bidang tempatnya mengalir. Sampai batas ketebalan tertentu dari permukaan tempat mengalir terjadi gradiasi kecepatan

Gambar 1. Pertumbuhan boundary layer dan tekanan dari aliran yang melintasi permukaan silinder Regime aliran melalui silinder sirkular tunggal yang dipresentasikan oleh Lienhard (1966) sebagai berikut: a. Pada bilangan Reynolds (Re) yang sangat kecil (Re < 5) aliran tidak terseparasi. Seiring dengan peningkatan bilangan Reynolds, aliran terseparasi untuk membentuk sepasang resirkulasi eddy pada tiap sisi dari silinder. K-39

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

hingga pada suatu titik tertentu dimana kecepatannya sama dengan kecepatan aliran bebas (free stream). Perkembangan aliran yang terjadi didalam lapisan batas dapat berupa laminer atau turbulen. Kecepatan aliran laminer dalam lapisan batas adalah u, sementara kecepatan aliran turbulen didalam lapisan batas adalah merupakan kecepatan rata-rata (𝑢) ditambah dengan kecepatan fluktuasi pada tiga komponen (u’, v’, dan w’). Lapisan batas yang terjadi pada plat datar apabila dialiri oleh suatu aliran ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Lapisan batas laminer terjadi mulai ujung depan atau leading edge diikuti dengan transisi dan akhirnya menjadi turbulen.

berbagai model viskos dan hasil eksperimen pada silinder sirkular tunggal yang ditempatkan di center line. Hasil validasi menunjukkan bahwa dari berbagai model viskos RANS yang telah dicoba, model viskos k-ε realizable memiliki hasil yang mendekati eksperimen maupun model numerik LES. Simulasi numerik di sini menggunakan bantuan software FLUENT versi 6.3.26, untuk mengamati karakteristik aliran di sekeliling silinder sirkular. Bentuk geometri diambil 2-D dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan eksperimen yang pengukurannya dilakukan pada daerah midspan. Karakteristik aliran yang diperoleh melalui simulasi numerik ini meliputi distribusi tekanan (koefisien tekanan, Cp), visualisasi aliran yang melintasi silinder sirkular (velocity contour, static pressure contour, dan intensitas turbulen).

Gambar 3. Lapisan batas kecepatan pada plat datar Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi posisi transisi dalam lapisan batas adalah gradien tekanan, kekasaran permukaan solid bodi atau surface roughness, perpindahan panas, gaya-gaya bodi atau body forces, dan gangguan-gangguan yang diberikan pada free-stream atau free-stream disturbances.

Gambar 5. Bentuk meshing 2-D dari model silinder sirkular dekat dinding menggunakan quadrilateral-map

2. METODOLOGI

Persamaan pengendali pada aliran 2-D, incompressible flow dan steady state: a. Persamaan konservasi masa: 𝜕𝜌𝑢 𝜕𝜌𝑣 + 𝜕𝑦 = 0 (1) 𝜕𝑥

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam simulasi numerik ini adalah: (a) Membuat geometry setup dalam bentuk dua dimensi (2-D), untuk silinder sirkular pada masingmasing jarak gap dengan dinding (G/D)= 0,2 dan 1,0; (b) Membuat meshing dua dimensi dalam bentuk quadrilateral map; (c) Menentukan boundary condition dari domain yang dibuat; (d) Memilih teknik untuk iterasi, yaitu menggunakan pressure velocity coupling SIMPLE dan diskretisasi menggunakan second order upwind agar menghasilkan akurasi dan stability yang tinggi; (e) Melakukan proses iterasi dengan menggunakan pemodelan Reynolds Averaged Navier-Stokes (RANS) 2D; (f) Melakukan post processing dari hasil iterasi.

b. Persamaan momentum 𝜕 (𝜌𝑢 ) 𝜕 (𝜌𝑢 ) 𝜕 (𝜌𝑢 ) 𝜕 (𝜌𝑢 ) 𝜕𝑝 + 𝑢 𝜕𝑥 + 𝑣 𝜕𝑦 + 𝑤 𝜕𝑧 = − 𝜕𝑥 + 𝜕𝑡 𝜕

𝜇

𝜕𝑢

𝜕 (𝜌𝑣)

+𝑢

𝜕(𝜌𝑣 )

𝜕𝑢

+ 𝜕𝑥

𝜕𝑦

𝜕𝑡 𝜕 𝜕𝑥

𝜇

𝜕𝑦

𝜕𝑦

𝜕𝑣

+ 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑣

𝜕

+ 𝜕𝑧 𝜇 +𝑣

𝜕 (𝜌𝑣) 𝜕𝑦 𝜕

+ 𝜕𝑧 𝜇

𝜕𝑢 𝜕𝑧

+

+𝑤 𝜕𝑣 𝜕𝑧

𝜕𝑤 𝜕𝑥

𝜕 (𝜌𝑣) 𝜕𝑧 𝜕𝑤

+ 𝜕𝑦

+ 𝑆𝑀𝑥

(2a)

𝜕𝑝

= − 𝜕𝑦 + + 𝑆𝑀𝑦

(2b)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN wire

Inlet

Silinder sirkular

Upper-wall

Lower-wall

a. Distribusi koefisien tekanan (Cp) pada kontur plat datar Gambar 6 di bawah ini menggambarkan distribusi koefisien tekanan (Cp) pada kontur plat datar yang diprediksi oleh model turbulensi k-ε realizable pada kecepatan 3,41 m/s, atau pada bilangan Reynolds= 1,4 x04. Prediksi distribusi koefisien tekanan dibandingkan dengan data eksperimen dari peneliti [1] memiliki trend yang sama dan memiliki nilai yang mendekati hasil eksperimen. Perbedaan model k-ε realizable dengan hasil eksperimen terletak pada posisi akan masuk dan ketika melintasi silinder, hal ini terjadi baik pada rasio G/D=0,2 maupun G/D=1,0. Terjadinya perbedaan titik gradient nilai Cp antara model simulasi dan eksperimental diperkirakan disebabkan oleh pemilihan harga kondisi inlet, seperti turbulence length scale dan pressure inlet yang kurang sesuai dengan kondisi wind tunnel dan lingkungan sekitar eksperimen itu dilaksanakan.

outlet

Gambar 4. Geometri setup 2-D model silinder sirkular dekat dinding Untuk pengecekan grid independency dilakukan analisis terhadap berbagai meshing dengan variasi nodes dan face, dan diperiksa nilai maksimum y+ (y plus). Selanjutnya dalam menentukan model viskos yang akan digunakan, dilakukan validasi antara hasil simulasi numerik yang menggunakan K-40

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Grafik x/D vs Cp G/D= 0,2 Cp

0.4 0 -0.4 -0.8 -1.2

-4

Cp

-4

1

6

simulasi numerik

x/D

Grafik x/D vs Cp simulasi numerik G/D= 1,0

0.2 0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 1

6

x/D

Gambar 6. Perbandingan x/D vs Cp dari wall antara G/D= 0,2 dan G/D= 1,0 b. Visualisasi aliran (pressure static contour, velocity contour, dan turbulent intensity) Selanjutnya dengan membandingkan hasil post-processing dari kedua rasio G/D= 0,2 dan G/D= 1,0, Gambar 7, 8, dan 9 yang menunjukkan distribusi kontur tekanan statik, kontur kecepatan, dan kontur intensitas turbulen terlihat bahwa fenomena bubble separasi, separasi massive, wake, dan re-attachement juga terjadi, dan secara kualitas setara dengan hasil visualisasi dari peneliti [1].

Gambar 8. Perbandingan Velocity magnitude antara G/D= 0,2 dan G/D= 1,0

Gambar 9. Perbandingan Turbulence intensity antara G/D=0,2 dan G/D=1,0

Gambar 7. Perbandingan Pressure static contour antara G/D=0,2 dan G/D=1,0 K-41

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Selain itu hasil simulasi numerik tersebut dibandingkan dengan peneliti [6] yang melakukan penelitian visualisasi dengan memvariasi jarak gap antara dinding datar dan silinder sirkular dari 0 ≤ G/D ≤ 2,0, diperoleh fenomena yang serupa. Oleh peneliti [5] pola aliran diklasifikasikan menjadi empat kategori atau región yang berbeda, pada G/D ≤ 0,125 aliran di gap sangat lemah, dan separasi dari lapis batas terjadi pada up-stream dan down-stream silinder. Meskipun vortex shedding yang terbentuk tidak beraturan, tetap terbentuk outer shear layer secara periodik. Pada 0,125 < G/D < 0,5 pola aliran mirip seperti pada G/D ≤ 0,125 tetapi sekarang mulai ada kombinasi antara inner shear layer shedding dari silinder dengan lapis batas dinding. Pada 0,5 < G/D < 0,75 dikarakterkan dengan onset vortex shedding dari silinder. Dan pada G/D >1,0 tidak ada separasi dari lapis batas dinding, begitu juga up-stream atau down-stream silinder.

Gambar 11. Velocity vector rata-rata pada berbagai S/D: 0,2 [8]

Gambar 12. Spanwise vorticity field pada rasio gap 0,2 dengan model simulasi DES [5]

4. KESIMPULAN a. Pemodelan turbulensi k-ε realizable memiliki hasil prediksi yang mendekati dalam hal distribusi koefisien tekanan (Cp) pada plat datar dengan hasil eksperimen. b. Dibandingkan dengan penelitian secara visualisasi maupun penelitian numerik menggunakan U-RANS dan DES, fenomena yang digambarkan dari simulasi numerik dengan RANS menunjukkan pola aliran yang serupa. c. Dibanding dengan visualisasi aliran hasil eksperimen terlihat bahwa pemodelan dapat memprediksi terjadinya bubble separasi, separasi massive, wake, dan re-attachement yang setara.

Gambar 10. Visualisasi aliran pada berbagai rasio G/D= 0,25 dan 1,5 [6] Serupa dengan peneliti [5], penelitian yang dilakukan oleh [3] pada Re= 7,8 x 102, mengkarakteristikkan fenomena aliran di daerah wake menjadi 4 (empat) región (a) 0,6 ≤ G/D < 3, frekuensi vortex shedding meningkat; (b) 0,2 ≤ G/D < 0,6, frekuensi vortex shedding menurun. Hasil simulasi ini juga dibandingkan dengan peneliti [8] yang melakukan eksperimen untuk melihat karakteristik aliran dekat wake pada silinder sirkular yang diletakkan dekat dinding dengan variasi rasio gap (S/D) 0,1 ≤ S/D ≤ 1,0 pada Re= 1,2 x 104 berdasarkan diameter silinder dan ketebalan lapis batas turbulen (δ)= 0,4D. Hasil yang diperoleh menunjukkan pada S/D≥0,3 aliran dikarakteristikkan oleh adanya semacam vortex shedding dari upper-side dan lower-side dari silinder secara periodik. Pada S/D ≤ 0,6 aliran wake berkembang secara tidak simetri jika ditinjau dari pusat silinder, tetapi untuk beberapa kuantitis seperti bilangan Strouhal dan kecepatan konveksi dari vortex shedding secara umum tetap dan tidak bergantung pada S/D. Penelitian silinder sirkular dekat dinding secara numerik telah dilakukan oleh peneliti [5]. Dengan menggunakan model simulasi U-RANS dan DES, hasil simulasi ini dibandingkan dengan hasil eksperimen. Menggunakan model DES dapat diidentifikasikan vorticity field pada beberapa rasio h/d.

DAFTAR PUSTAKA [1]. Choi, J. H., and Lee, S. J., “Ground effect of flow around an elliptic cylinder in a turbulent boundary layer”, Journal of Fluids and Structures, Volume: 14, p.697-709, 2000. [2]. Fox, Robert W., and McDonald, Alan T., Introduction to Fluid Mechanics, Seventh edition: SI version, John Wiley & Sons, Inc., United States of America, 2010. [3]. Lei, C., et. al., “Re-examination of the effect of a plane boundary on force and vortex shedding of a circular cylinder”, Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, Volume: 80, p. 263-286, 1999. [4]. Lin, et. al., “Flow characteristics around a circular cylinder near a plane boundary”, 16TH International Symposium on Transport Phenomena, Prague, 2005. K-42

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[5]. Nishino, T. et. al., “Unsteady RANS and detachededdy simulations of flow around a circular cylinder in ground effect”, Journal of Fluids and Structures, Volume: 24, p.18-33, 2008. [6]. Price, S. J., et. al., “Flow visualization around a circular cylinder near to a plane wall”, Journal of Fluids and Structures, Volume: 16, p. 175-191, 2002.

[7]. Ramamurthy, A. S., and Lee, P. M., “Wall effects on flow past bluff bodies”, Journal of Sound and Vibration, Volume: 31(4), p. 443-451, 1973. [8]. Wang, X. K., and Tan, S. K.., “Near wake flow characteristics of a circular cylinder close to a wall”, Journal of Fluids and Structures, Volume: 24,p.605627,2008.

K-43

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH SUDUT SUDU INNER FAN TERHADAP UNJUK KERJA TURBINE VENTILATOR Priyo Agus Setiawan1), Triyogi Yuwono2) Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember 1,2) Kampus ITS Sukolilo. Jl. Arif Rahman Hakim, Surabaya 60111. Indonesia 1,2) Phone: 0062-31-5946230, Fax: 0062-31-59462301,2) E-mail : [emailprotected]), [emailprotected] 2)

ABSTRAK Kondisi geografis Indonesia memiliki kecepatan angin rata-rata relatif lebih rendah di banding negara-negara pengguna turbin angin seperti Finlandia, Amerika Serikat, dan negara-negara lainya. Turbine ventilator digunakan sebagai ventilasi dengan penggerak energi angin. Energi angin berhembus pada sudu turbine ventilator menghasilkan drag force dan menyebabkan turbine ventilator berputar. Rotasi ini menghasilkan tekanan negatif di dalam turbine ventilator sehingga udara terhisap. Lai, menambahkan inner fan pada turbine ventilator lebih signifikan pada kecepatan angin rendah, sedangkan kecepatan angin tinggi tidak signifikan. Indonesia memiliki kecepatan angin rendah, sangat sesuai untuk dilakukan pemasangan inner fan. Inner fan diduga mampu menghasilkan tekanan negatif di plenum pada sudut sudu tertentu dan menurunkan unjuk kerja pada sudut sudu tertentu. Metode penelitian dengan eksperimental terhadap turbine ventilator diletakkan diatas plenum berukuran 1x1x2,3 m3. Inner fan NACA 0015 dengan variasi sudut sudu inner fan 15o, 30o, 45o dan 60o serta variasi kecepatan hembusan angin ke turbine ventilator 1,5; 3; 4,5; 6 m/s. Penelitian ini dengan menggunakan turbine ventilator yang dijual bebas di pasaran dengan ukuran cerobong 18 inch. Variabel yang diamati adalah kecepatan putar turbine ventilator, flow rate dan tekanan plenum. Hasil penelitian menunjukkan kecepatan sudut semakin besar pada sudut sudu inner fan 45o dan kecepatan sudut maksimum terjadi pada hembusan angin 6 m/s untuk semua sudut sudu inner fan. Flow rate yang dihasilkan semakin meningkat pada bertambahnya sudut sudu inner fan dan maksimum pada sudut sudu inner fan sebesar 45o, dan menurun pada sudut sudu inner fan 60o. Semakin besar sudut sudu inner fan semakin rendah tekanan pada plenum yang terjadi pada sudut sudu inner fan 45o dan tekanan semakin tinggi pada sudut sudu inner fan 60o. Kata kunci: turbine ventilator, sudut sudu, kecepatansudut, flow rate, tekanan plenum. dingkan performa turbine ventilator dengan melakukan modifikasi penambahan inner fan yang dikombinasikan dengan sel surya sebagai pembangkit listrik skala kecil. Inner fan dengan memanfaatkan sudu untuk menarik udara dari dalam cerobong dengan memperhitungkan besaran lift yang dihasilkan pada sudu inner fan. Penelitian serupa dilakukan oleh Shun dan Ahmed (2008) membandingkan performa turbine ventilator dengan melakukan modifikasi berupa penambahan photovoltaic sebagai pembangkit energi skala kecil yang berfungsi untuk menggerakan inner fan. Akan tetapi, pada kecepatan aliran angin tertentu, penggunaan photovoltaic memiliki unjuk kerja yang lebih buruk jika dibandingkan turbine ventilator tanpa penambahan photovoltaic. Khana dkk (2008) menyajikan studi pengukuran debit (flow rate) dari empat buah turbin ventilator komersial pada sistem percobaan yang dirancang khusus. Debit ventilasi dan kecepatan putar turbine ventilator dihitung pada kecepatan angin yang berbeda kemudian dibandingkan dengan sebuah kolom (cerobong) terbuka sederhana dan dua vent standar. Studi ini juga menjelaskan penggunaan motor DC sebagai penggerak ventilator pada saat tidak ada terpaan angin dan konsumsi dayanya terhadap debit yang diberikan. Serta membandingkan debit aliran antara semua jenis turbin yang digerakkan dengan angin terhadap turbin yang digerakkan motor DC. Penelitian ini, akan dilakukan pengujian pada sebuah turbine ventilator yang sudah ada di pasaran dan modifikasi

1. PENDAHULUAN Turbine ventilator merupakan turbin angin dengan sumbu vertikal yang memiliki gabungan fungsi dari turbin angin dan kipas hisap. Turbine ventilator menggunakan energi angin sebagai pengganti kipas ventilasi bertenaga listrik. Alat ini sering digunakan di atap yang berfungsi sebagai ventilasi pada bangunan perumahan dan industri. Energi angin yang berhembus pada sudu turbine ventilator akan menghasilkan drag force dan menyebabkan turbine ventilator berputar. Rotasi Ini menghasilkan tekanan negatif di dalam turbin Ventilator sehingga udara terhisap dari dasar saluran. Udara memasuki turbin secara aksial melalui dasar saluran dan keluar secara radial. Lai (2003) telah menunjukkan pola aliran udara di sekitar turbine ventilator. Aliran udara dibagi menjadi dua stream ketika melalui ventilator. Satu aliran dalam arah rotasi dan menjadi gaya putar, sementara lainnya berada di arah yang berlawanan dan meredam rotasi ventilator. Sudu yang berotasi melempar partikel udara yang dihisap keluar dan mengkombinasi kedua aliran udara diatas, yang mana konvergen di daerah wake pada sisi yang berlawanan dari angin yang berhembus. Pada kajian yang sama, diuji tiga ukuran ventilator berdiameter 6, 14 dan 20 inchi dengan kecepatan angin antara 10 dan 30 m/s. Lai menemukan bahwa semakin besar diameter ventilator akan menyebabkan nilai ventilation rate semakin besar sebagaimana diharapkan. Lai (2006) telah menguji wind turbine dengan membanK-44

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

untuk diketahui pengaruhnya terhadap performansi turbine ventilator. Modifikasi yang akan diterapkan pada turbine ventilator adalah dengan memberikan tambahan inner fan dengan putaran konstan yang dikopel dengan motor DC sebagai pengganti photovaltaic. Inner fan diletakkan pada cerobong dan memberikan variasi sudut sudu inner fan tersebut. Data performansi yang diperoleh akan disbandingkan dengan pengujian turbine ventilator yang diuji tanpa modifikasi apapun. Pengujian ini diaplikasikan pada beberapa variasi aliran udara bebas (freestream) dengan mengacu pada kecepatan angin di wilayah Indonesia mulai dari 1 s.d 10 m/s.

dipergunakan untuk mencari tekanan static cerobong. Perubahan sudut sudu inner fan dipergunakan untuk menentukan pengaruhnya terhadap unjuk kerja turbine ventilator. Modifikasi ini dilakukan pada beberapa variasi kecepatan freestream. Kecepatan free stream divariasikan pada kecepatan 0 m/s, 1,5 m/s, 3 m/s, 4,5 m/s dan 6 m/s. Pengaruh modifikasi ini diukur dengan pengukuran tekanan statik dan stagnasi pada plenum Box untuk menghasilkan debit aliran fluida. Untuk mengetahui besarnya daya listrik yang dihasilkan oleh turbine ventilator, yaitu menggunakan generator DC (direct current) yang di hubungkan secara langsung dengan poros turbine ventilator, sehingga putaran yang diperoleh dari turbine ventilator dapat diteruskan secara langsung. Volt meter digunakan untuk mengukur tegangan yang dihasilkan oleh generator listrik dengan hambatan 1,3 ohm.

2. METODOLOGI Pada Gambar 1 Eksperimental setup menunjukkan seluruh komponen yang digunakan untuk melakukan pengukuran dan pengambilan data eksperimen. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah eksperimen.

Hub

9

13 7

blade

15 8

11

5

6 16

2

1

3

Motor DC

4 12

10

1

Gambar 2. Variasi sudut blade () 15o, 30o, 45o, dan 60o. Dalam penelitian ini, sudut blade sebagai parameter yang divariasikan seperti pada Gambar 2. Variasi sudut blade yang digunakan pada penelitian ini adalah 15o, 30o, 45o, dan 60o.

14

Gambar 1. Eksperimental Setup

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Keterangan: 1. Inner fan 2. Blade 3. Rotary Encoder fan 4. Motor DC 5. Hub 6. Turbine ventilator 7. Blower

8. Anemometer 9. Motor DC Turbin 10. Preessure tap 11. Pressure tap cerobong 12. Pressure tap plenum 13. Rotary encoder turbin 14. Inlet Plenum

Dari penelitian variasi sudut sudu inner fan menghasilkan grafik berupa rotasi turbin, daya listrik, tekanan statik plenum, tekanan statik cerobong dan debit aliran. Pada Gambar 3. Grafik kecepatan angin terhadap rpm menunjukkan dengan semakin meningkatnya kecepatan angin menghasilka rpm yang semakin tinggi pula pada masing-masing sudut blade. Hal ini menunjukkan dengan semakin besar kecepatan angin, akan meningkatkan momentum aliran dan akan menambah kecepatan linier turbine ventilator.

Ketika axial fan dinyalakan pada kecepatan angin tertentu, turbine ventilator berputar sehingga menghasilkan tekanan negatif dalam plenum. Kemudian inner fan dinyalakan untuk membantu menghasilkan tekanan negatif. Besar tekanan negatif diukur dengan menggunakan pressure transducer pada dua bagian alat, yaitu: cerobong setelah inner fan dan plenum box. Kecepatan angin diukur dengan menggunakan anemometer yang pemasangannya diposisi antara turbine ventilator dengan axial fan. Pengambilan data dilakukan pada beberapa titik. Masing masing titik diambil sebanyak 10 kali pengambilan data. Nilai tersebut dirata-rata untuk mengurangi eror pengukuran. Rotary encoder dipasang pada sumbu putar turbine ventilator untuk mengukur kecepatan rotasi turbine ventilator. Rangkaian pengukuran tekanan juga dipergunakan untuk menentukan kecepatan aliran angin yang ada dalam cerobong setelah melewati inner fan. Kecepatan angin tersebut

Grafik kecepatan angin vs rpm 200.00

Sudut Blade 15 Sudut Blade 30 Sudut Blade 45 Sudut Blade 60

Rpm Turbin

150.00 100.00 50.00 0.00

5 10 Kecepatan angin (m/s)

Gambar 3. Grafik kecepatan angin terhadap rpm turbin K-45

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Pada sudut blade yang semakin besar maka rpm yang dihasilkan turbine ventilator semakin meningkat pula dari 15o-45o, mencapai maksimum pada 45o dan rpm menurun pada sudut blade 60o. hal ini menunjukkan bahwa semakin sudut blade diperbesar akan menyebabkan defleksi aliran semakin besar dan mampu meningkatkan flow rate yang kemudian mampu menambah linear velocity pada turbine ventilator. Pada Gambar 4. Grafik kecepatan angin terhadap daya turbine ventilator menunjukkan dengan semakin meningkatnya kecepatan angin menghasilkan daya turbine ventilator yang semakin tinggi pula pada masing-masing sudut blade. Hal ini menunjukkan dengan semakin besar kecepatan angin, akan meningkatkan momentum aliran dan akan menambah kecepatan linier turbine ventilator. Kecepatan linier semakin besar maka akan menambah putaran turbine ventilator sehingga akan meningkatkan voltage motor turbine ventilator. Voltage yang semakin besar akan menyebabkan daya turbine ventilator juga semakin besar karena daya berbanding terlurus dengan voltage motor turbine ventilator. Pada sudut blade yang semakin besar maka daya yang dihasilkan turbine ventilator semakin meningkat pula dari 15o – 45o, mencapai maksimum pada 45o dan daya menurun pada sudut blade 60o. hal ini menunjukkan bahwa semakin sudut blade diperbesar akan menyebabkan defleksi aliran semakin besar dan mampu meningkatkan flow rate yang kemudian mampu menambah linear velocity pada turbine ventilator dan mampu meningkatkan daya turbine ventilator.

nurun seiring dengan kenaikan kecepatan angin. Sudut blade semakin besar akan menyebabkan tekanan semaikan vakum atau negative mencapai maksimum pada sudut blade 45o, namun ketika sudut blade dinaikan menjadi 60o menunjukkan bahwa tekanan static plenum meningkat (kevakuman menurun). Hal ini disebabkan unjuk kerja inner fan mampu menarik udara dari dasar plenum pada 45o dan menurun pada 60o. Pada Gambar 6. Grafik kecepatan angin terhadap tekanan statik cerobong menunjukkan kecenderungan dengan semakin meningkatnya kecepatan angin menghasilkan kenaikan tekanan statik cerobong dari 0 m/s sampai 1.5 m/s untuk sudut blade 30o, 45o dan 60o. Hal ini menunjukkan bahwa pada kecepatan angin yang rendah, turbine ventilator akan menghambat flow rate yang dihasilkan inner fan dan menurun pada kecepatan angin diperbesar lagi. Ini merupakan fenomena munculnya fungsi turbine ventilator untuk mulai membantu menghasilkan flow rate sehingga mengalami penurunan tekanan statik cerobong. Akan tetapi pada sudut blade 15o menunjukkan penurunan tekanan statik cerobong dari 0-6 m/s. Hal ini menunjukkan bahwa peran turbine ventilator mulai signifikan untuk meningkatkan flow rate sehingga akan cenderung tekanan statik cerobong yang dihasilkan semakin turun. Peran turbine ventilator sangat signifikan dibanding inner fan ketika menghasilkan besarnya tekanan statik cerobong dibawah 0 Pa atau vakum. Grafik kecepatan angin vs Pstatis Cerobong 0.2000 0.1500 Sudut 0.1000 Blade 15 0.0500 Sudut 0.0000 Blade 30 -0.0500 0 2 4 6 8 Sudut -0.1000 Blade 45 Sudut -0.1500 Blade 60 -0.2000 Kecepatan angin (m/s)

P statis Cerobong (Pa)

Grafik kecepatan angin vs Daya Turbin 0.15000

Daya Turbin (Watt)

Sudut Blade 15

0.10000

Sudut Blade 30

0.05000

Sudut Blade 45

0.00000

Sudut Blade 60

2 4angin (m/s) 6 Kecepatan

8

Gambar 6. Grafik kecepatan angin terhadap tekanan statik cerobong

Gambar 4. Grafik kecepatan angin terhadap Daya Turbine ventilator

0.0000

Grafik kecepatan angin vs Tekanan Statik Plenum

2

4

6

P Plenum (Pa)

-0.0500

Pada sudut blade yang semakin besar maka tekanan statik cerobong semakin meningkat pula dari 15o – 45o, mencapai maksimum pada 45o dan tekanan statik cerobong menurun pada sudut blade 60o. hal ini menunjukkan bahwa semakin sudut blade diperbesar akan menyebabkan defleksi aliran semakin besar dan mampu meningkatkan flow rate. Peningkatan flow rate tersebut akan terakumulasi dalam cerobong dan meningkatkan tekanan statik cerobong. Namun pada sudut blade diperbesar lagi menjadi 60o menunjukkan akumulasi flow rate menurun dan menurunkan tekanan statik cerobong. Pada Gambar 7. Grafik kecepatan angin terhadap debit menunjukkan kecenderungan dengan semakin meningkatnya kecepatan angin menghasilkan kenaikan debit pada masing-masing sudut blade. Hal ini menunjukkan bahwa pada kecepatan angin yang semakin tinggi, kerja turbine ventilator akan menambah debit yang dihasilkan inner fan. Hasil dari semua blade menunjukkan bahwa sudut blade 45 menghasilkan debit yang paling tinggi dibandingkan sudut blade yang lain.

-0.1000

-0.1500 -0.2000

Kecepatan angin (m/s)

8

Sudut Blade 15 Sudut Blade 30 Sudut Blade 45

Gambar 5. Grafik kecepatan angin terhadap Tekanan Statik Plenum Pada Gambar 5. Grafik kecepatan angin terhadap Tekanan static plenum menunjukkan dengan semakin meningkatnya kecepatan angin menghasilkan penurunan tekanan static plenum pada masing-masing sudut blade. Hal ini disebabkan turbine ventilator mampu membantu mengalirkan debit aliran, sehingga tekanan static plenum akan meK-46

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

1400.0000

4. KESIMPULAN

Grafik kecepatan angin vs Flow rate Sudut Blade 15 Sudut Blade 30 Sudut Blade 45 Sudut Blade 60

Flow Rate (M3/s)

1200.0000 1000.0000 800.0000 600.0000 400.0000 200.0000

Dari ekperimental yang dilakukan dengan memvariasikan sudut sudu inner fan menghasilkan: 1. Rotasi turbin semakin meningkat dengan meningkatnya sudut sudu sampai 45o dan menurun lagi pada sudut sudu 60o. 2. Daya turbin semakin meningkat dengan meningkatnya lagi sudut sudu sampai 45o dan menurun lpada sudut sudu 60o. 3. Tekanan Plenum semakin negatif dengan meningkatnya sudut sudu sampai 45o dan menurun lagi pada sudut sudu 60o. 4. Tekanan Statik cerobong semakin meningkat dengan meningkatnya sudut sudu sampai 45o dan menurun lagi pada sudut sudu 60o.

0.0000

2 Kecepatan 4 6 8 angin (m/s)

Gambar 7. Grafik kecepatan angin terhadap debit Pada Gambar 8. Grafik Perbandingan kecepatan angin terhadap Debit dengan Lai menunjukkan koefisien debit mengalami kecenderungan naik dengan semakin meningkatnya kecepatan angin pada masing-masing sudut blade maupun penelitian Lai. Akan tetapi kenaikan debit pada penelitian saat ini sangat signifikan dibandingkan dengan hasil penelitian Lai, hal ini disebabkan manfaat turbine ventilator cukup sangat signifikan untuk menghasilkan debit disbanding hasil dari Lai.

DAFTAR PUSTAKA [1] Khana, Naghman, Yuehong Su, Saffa B. Riffat dan Colin Biggs (2008), Performance testing and comparison of turbine ventilators, di ‘Journal of Renewable Energy’, Vol. 33, Elsevier, hal. 2441–2447. [2] Lai, Chi-Ming (2003), Experiments on the ventilation efficiency of turbine ventilators used for building and factory ventilation, di ‘Journal of Energy and Buildings’, Vol. 35, Elsevier, hal. 927–932. [3] Lai, Chi-Ming (2006), Prototype development of rooftop turbine ventilator powered by hybrid wind and photovoltaic energy, di ‘Journal of Energy and Buildings’, Vol. 38, Elsevier, hal. 174–180 [4] Rashid, D.M.H. dan N.A. Ahmed (2003), Study of aerodynamic forces on a rotating wind driven ventilator, di ‘Journal of Wind Engineering’, hal. 63–72.

Flow Rate (M3/jam)

Grafik perbandingan kecepatan angin vs Flow rate dengan Lai 1500.0000

1000.0000 500.0000

0.0000 0

10 20 30 40 Kecepatan angin (m/s)

Sudut Blade 15 Sudut Blade 30 Sudut Blade 45 Sudut Blade 60 Eksperi man Lai

Gambar 8. Grafik Perbandingan kecepatan angin terhadap Debit dengan Lai

K-47

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

UJI KINERJA KOMPOR SURYA DENGAN VARIASI BENTUK GEOMETRI DAN LUAS KOLEKTOR Fitri Wijayanti1), H.Ahsan2)

Jurusan Teknik Mesin Universitas Islam "45" Bekasi 1,2) Jalan Cut Meutia No. 83 Bekasi 17113. Indonesia 1,2) Phone: 0062-21-88344436, Fax: 0062-21-88011921,2) E-mail :[emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Telah dilakukan uji kinerja kompor surya dengan variasi bentuk geometri (segi empat, segi lima dan segi enam) dan luas kolektor (0,16 m2 dan 0,36 m2). Penelitian ini bertujuan untuk menguji kinerja kompor surya dengan variasi bentuk geometri, yaitu segi enam, segi lima dan segi empat dengan variasi luas kolektor 0,36 m2 dan 0,16 m2 serta merancang kompor surya tersebut berdasarkan hasil uji. Prinsip kerja kolektor adalah radiasi matahari baik secara langsung maupun hasil dari pantulan aluminium foil akan menembus kaca penutup dan diserap oleh kolektor dalam sebuah sistem yang terisolasi sehingga sistem mengalami kenaikan temperatur. Panas dari kolektor akan memanaskan panci sehingga temperatur makanan yang dimasak dalam panci meningkat. Berdasarkan pengujian yang dilakukan diperoleh hasil terbaik, pada bentuk geometri segi enam dan luas kolektor 0,16 m2 dengan efisiensi lebih dari 70% yaitu untuk mendidihkan air 1,5 liter sampai 100°C diperlukan waktu 105 menit dengan intensitas surya rata-rata 1100 W/m2. Beberapa jenis bahan bakar fosil yang sebagian besar digunakan untuk memasak yaitu minyak tanah, gas LPG, briket batubara dan kayu bakar (biomassa) menimbulkan emisi CO2 dan CO karena hasil pembakaran yang tidak sempurna dan emisi tersebut berbahaya bagi kesehatan dan berpengaruh langsung terhadap pemanasan global. Oleh karena itu, untuk mengurangi emisi CO2 dan CO bahan bakar fosil dalam memasak digunakan energi alternatif dari sinar matahari yang dianggap layak dari segi teknis, ekonomi, dan lingkungan, yaitu dengan menggunakan kompor surya. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin banyak sisi reflektor maka semakin baik kinerja kompor surya. Oleh karena itu, untuk ke depannya dapat dikembangkan model kompor surya dengan banyak reflektor. Akan tetapi, dalam penggunaan dan pengoperasiannya secara teknis harus mudah dan aman. Begitu juga dari segi ekonomi, kompor surya harus relatif murah harganya dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Kata kunci: kompor energi surya, kolektor, reflektor, dan efisiensi alat masak yang digunakan, jumlah, jenis dan ukuran makanan, serta jumlah air untuk memasak [5]. Kompor surya dengan variasi bentuk kolektor segi enam dan segi lima belum pernah dikembangkan, terutama di Indonesia. Oleh karena itu, akan dilakukan penelitian tentang uji kinerja kompor surya dengan variasi bentuk kolektor segi enam, segi lima dan segi empat untuk memperoleh desain yang terbaik berdasarkan hasil pengujian. Tujuan penelitian ini adalah menguji kinerja kompor surya dengan variasi bentuk geometri, yaitu segi enam, segi lima dan segi empat dengan variasi luas kolektor 0,36 m2 dan 0,16 m2 serta merancang kompor surya tersebut berdasarkan hasil uji. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memilih kompor surya dengan kinerja yang baik, memberikan alternatif dalam memanfaatkan energi surya termal dan sebagai acuan penelitian lebih lanjut.

1. PENDAHULUAN Penggunaan energi di Indonesia meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Arah pengembangan energi terbarukan selalu terdapat di dalam kerangka program untuk memerangi pemanasan global. Berdasarkan data distribusi penyinaran matahari, kawasan barat Indonesia memiliki potensi penyinaran matahari sebesar 4,5 kWh/m2/hari dengan variasi bulanan sekitar 10%. Akan tetapi sampai saat ini energi surya termal belum banyak dimanfaatkan [13]. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kompor tenaga matahari mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah bahan bakarnya tersedia secara melimpah, hemat biaya, dan tidak menyebabkan polusi maupun efek buruk bagi lingkungan di sekitarnya [2]. Tipe yang telah dikembangkan yaitu tipe parabola dan kotak. Kompor surya tipe kotak lebih popular karena pengoperasiannya sederhana. Salah satu tujuan utama merancang kompor surya adalah untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan transfer teknologi [3]. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan memasak menggunakan kompor tenaga matahari ini adalah waktu, cuaca, kecepatan angin (semakin cepat angin bertiup semakin lambat proses memasaknya), ketebalan panci atau

2. METODOLOGI PENELITIAN Makalah Metode penelitian yang digunakan adalah uji kinerja kompor surya dan perancangannya berdasarkan hasil uji. Kompor tipe ini dipilih karena murah, mudah dibuat, dan sangat efektif meneruskan radiasi cahaya matahari. Hal ini dapat ditunjukkan dalam Tabel berikut. K-48

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 1. Variasi kompor surya

aluminum yang bagian luarnya dicat hitam. Pengambilan data dilakukan pada setiap desain kompor surya dengan massa air yang tetap dalam waktu satu hari dari pukul 09.00 WIB. Pengujian kompor surya dilakukan di tempat yang mendapatkan sinar matahari cukup banyak dan pada cuaca berawan. Pengambilan data dilakukan pada setiap desain kompor surya dengan massa air yang tetap dalam waktu satu hari dari pukul 09.00 WIB. Pengujian kompor surya dilakukan di tempat yang mendapatkan sinar matahari cukup banyak dan pada cuaca Perancangan alat akan dibuat sesuai hasil uji, yaitu kompor surya dengan bentuk segi enam 0,16 m2 karena mempunyai kinerja yang baik. Bahan kolektor terbuat dari aluminium yang bagian dalamnya dicat hitam dengan tebal 0,8 mm, panjang sisi = 24,8 cm dan tinggi = 25 cm yang dilapisi gabus 3 mm dan papan kayu sebagai insulator. Luas total reflektor 0,7396 m2 dengan panjang = 45,7 cm dan lebar = 27 cm sebanyak enam buah terbuat dari papan kayu yang dilapisi gabus 1 mm dan aluminium foil. Penutup kompor dari kaca bening berbentuk segi enam dengan panjang sisi = 26 cm. Alat yang dirancang seperti ditunjukkan pada Gambar 4 berikut.

Keterangan: Model 1: Kompor surya dengan bagian dasar berbentuk segi empat. Model 2: Kompor surya dengan bagian dasar berbentuk segi lima. Model 3: Kompor surya dengan bagian dasar berbentuk segi enam. D1 = variasi dimensi 1 dengan luas permukaan horisontal saat radiasi matahari masuk kolektor 0,16 m2. D2 = variasi dimensi 2 dengan luas permukaan horisontal saat radiasi matahari masuk kolektor 0,36 m2. Setiap variasi akan diuji perubahan temperatur terhadap waktu dengan rentang intensitas cahaya matahari yang hampir sama dan akan dihitung daya efektif dari kompor tersebut. Dari hasil pengujian tersebut akan dibandingkan model 1, 2 dan 3 pada tiap variasi. Model yang sesuai kriteria yaitu waktu memasak paling cepat dan ekonomis akan dilakukan perancangan alat dari model tersebut. Model kompor surya yang akan diuji dapat ditunjukkan pada Gambar berikut ini.

Gambar 1. Model segi empat

Gambar 2. Model Segi lima

Gambar 3. Model segi enam

Gambar 4. Kompor surya

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Variabel yang akan diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Dari data yang diperoleh, dapat dibandingkan kompor surya dengan bagian dasar yang berbentuk segi enam, segi lima dan segi empat yang mempunyai luas kolektor dan luas reflektor yang sama, dengan sudut kemiringan reflektor yang sama dan tidak diubah-ubah, yaitu sebesar 65° karena berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Kurt et.al (2008), sudut kemiringan reflektor yang efektif sebesar 65° – 67° dan intensitas sinar matahari yang hampir sama. Bagian dalam kolektor terbuat dari aluminium dicat hitam untuk memanfaatkan prinsip radiasi benda hitam dan bagian atas kolektor ditutup kaca bening sebagai efek rumah kaca. Selain itu bahan dan tebal insulator harus diperhatikan. Pada penelitian ini digunakan gabus (styrofoam) karena nilai konduktivitas panasnya kecil, yaitu 0,033 W/m°C pada temperatur 25°C [1].

Tabel 2. Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah 1. Variabel bebas: massa air, temperatur air dan waktu. 2. Variabel terikat: temperatur lingkungan, kelembaban udara dan intensitas matahari. Untuk mengetahui performansi kompor energi surya dengan reflektor aluminium foil dilakukan pengujian untuk memasak air 1,5L dengan variasi bentuk geometri dan luas kolektor. Sudut kemiringan reflektor 65° dibuat sama dan tidak diubah-ubah. Luas kolektor 0,36 m2 dengan luas total reflektor 1,6384 m2 dan luas kolektor 0,16 m2 dengan luas total reflektor 0,7396 m2. Kolektor terbuat dari aluminum tebal 0,8 mm. Reflektor dari kertas kardus yang dilapisi gabus dan aluminium foil. Insulator dari gabus dengan tebal 3 cm. Kaca penutup berwarna bening dengan tebal 3 mm. Bagian luar kompor dari kertas kardus dan tempat air dari

3.1. Analisis Kompor Surya Luas Kolektor 0,36 m2 Setelah dilakukan tiga kali eksperimen, untuk variasi luas kolektor 0,36 m2 dan luas total reflektor 1,6384 m2 yang mempunyai kinerja yang bagus atau memiliki kemampuan memasak lebih cepat adalah pada hari kedua. Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 5 berikut. Berdasarkan data yang diperoleh pada uji kinerja model kompor surya tanpa reflektor dapat ditunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk mendidihkan air 1,5L semakin lama jika tanpa K-49

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

reflektor. Hal ini menunjukkan bahwa dengan reflektor akan memfokuskan sinar matahari yang masuk kolektor sehingga akan meningkatkan temperatur dalam kolektor dan panci.

Gambar 5. Grafik perbandingan kolektor segi enam, segi lima dan segi empat besar

Gambar 7. Grafik perbandingan kolektor segi enam besar dan segi enam kecil

3.2. Analisis Kompor Surya dengan Luas Kolektor 0,16 m2 Apabila penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suharta (2005) terlihat adanya perbedaan. Jika Herliyani Suharta dengan kompor surya tipe kotak ukuran 55×55 cm dan tinggi 21 cm menggunakan satu reflektor dapat menanak nasi 1,5 kg beras dalam waktu 2 – 3 jam hingga nasi matang dengan intensitas matahari rata-rata 900 – 1000 W/m2, akan tetapi pada penelitian ini dengan kompor surya tipe segi enam dengan panjang sisi 24,8 cm dan tinggi = 25 cm menggunakan enam sisi reflektor dapat mendidihkan air 1,5 L dalam waktu kurang dari 2 jam dengan intensitas sinar matahari rata-rata 1100 W/m2. Hasil penelitian ini dapat dibandingkan dengan penelitian sejenis yang telah dilakukan Mulyanef dan Gusliyadi (2008). Dari kedua penelitian tersebut diperoleh perbedaan performansi kompor surya yang dibuat. Dari penelitian tersebut, untuk memasak nasi dengan volume beras 160 ml dan air 320 ml diperlukan waktu memasak 60 menit dengan intensitas surya rata-rata 1100 W/m2. Akan tetapi jika menggunakan sebuah cermin pemantul dengan luas kolektor sebesar 0,39 m2 dapat memanaskan air 750 ml sampai temperatur 85°C dalam waktu 90 menit dengan intensitas cahaya matahari rata-rata 700 – 800 W/m2 dari penelitian yang telah dilakukan Mulyanef (2007). Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya tersebut, pada penelitian ini diperoleh hasil yang lebih baik karena dapat mendidihkan air 1,5 L sampai temperatur 100°C dalam waktu 105 menit dengan intensitas sinar matahari rata-rata 1100 W/m2 dan efisiensi lebih dari 50%.

2

Untuk variasi luas kolektor 0,16 m dan luas total reflektor 0,7396 m2 model kompor yang mempunyai kinerja yang bagus juga pada hari kedua. Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 6 berikut.

Gambar 6. Grafik perbandingan kolektor segi enam, segi lima dan segi empat kecil Dari grafik itu dapat dilihat bahwa kinerja kompor surya dengan bentuk segi enam juga mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan bentuk yang lain. Hal ini dikarenakan semakin banyak sisi pada bagian kolektor dan reflektor maka semakin banyak cahaya matahari yang dipantulkan reflektor dan masuk ke kolektor sehingga memanaskan air yang berada dalam kolektor secara konveksi.

3.4. Analisis Kelayakan Teknis 3.3. Analisis Perbandingan Uji Kompor Surya Semakin cepat kompor mendidihkan air maka daya efektif kompor juga semakin besar. Energi untuk memanaskan air pada kompor surya adalah sekitar 452,51 kJ. Besarnya efisiensi dapat ditentukan dengan menggunakan entalpi dan luas bagian kolektor dengan luas bagian reflektor. Untuk meningkatkan efisiensi kompor surya, bentuk panci harus bisa menyerap energi matahari sebesar-besarnya serta kontak antara panci dengan bahan yang akan dimasak harus diusahakan agar semaksimum mungkin sehingga panas dari panci dapat tersalur ke bahan yang akan dimasak secara maksimal. Untuk perancangan alat dibuat sesuai hasil uji, yaitu kompor surya dengan bentuk segi enam 0,16 m2 karena mempunyai kinerja yang baik.

Oleh karena kompor surya dengan bentuk segi enam dapat mendidihkan air lebih cepat maka akan dibandingkan antara segi enam yang besar dan kecil dalam bentuk grafik berikut untuk mengetahui pengaruh luas bagian kolektor dan reflektor. Dari penelitian ini diperoleh efisiensi kompor surya berbentuk segi enam dengan luas kolektor dan reflektor 1,9984 m2 sebesar 3,4% dan dengan luas kolektor dan reflektor 0,7396 m2 sebesar 7,3%. Sedangkan dengan luas kolektor 0,36 m2 sebesar 19% dan dengan luas kolektor 0,16 m2 sebesar 41%. Oleh karena itu, perbedaan bentuk kompor dan luasnya mempengaruhi seberapa besar efektif kompor tersebut digunakan untuk memasak. K-50

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Kompor surya yang dibuat berdasarkan hasil uji mempunyai spesifikasi seperti ditunjukkan dalam Tabel 3 berikut.

Begitu juga untuk memperoleh sinar matahari yang banyak maka kompor surya cukup diletakkan di bagian atas rumah yang panas dan aman atau di halaman rumah yang panas. Oleh karena itu, penggunaan kompor surya ini sangat mudah dan tidak rumit dalam pengoperasiannya.

Tabel 3. Spesifikasi kompor surya

3.5. Analisis Kelayakan Ekonomi dan Dampak Lingkungan Faktor penting dalam perkembangan sumber daya manusia, diantaranya adalah kesehatan. Dengan memperkenalkan cara memasak menggunakan tenaga matahari dapat dipakai sebagai alternatif untuk mengurangi paparan polutan dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesehatan bagi pemakai energi fosil. Energi ramah lingkungan akan memberikan keuntungan lebih bagi konsumen yang menggunakan kompor surya untuk memasak. Proses pembakaran pada kompor energi fosil adalah pembakaran tidak sempurna sehingga dapat menghasilkan polutan karbon monoksida (CO) dan karbondioksida (CO2). Jenis bahan bakar dan tungku pembakaran mempengaruhi proses pembakaran dan tingkat emisi gas CO dan CO2.

Dari spesifikasi tersebut, kompor surya yang dibuat mudah untuk dibawa kemana-mana dan dipindahkan dengan aman. Bagian luar kolektor dari kayu dilengkapi dengan engsel untuk memudahkan dalam membawa. Bagian reflektor juga mudah dipasang dan dilepas dari bagian kayu kolektor dengan sudut kemiringan yang sudah dibuat tetap. Demikian juga, antara bagian aluminium kolektor dengan bagian kayu kolektor mudah dipasang dan dilepas. Bahan yang digunakan juga mudah diperoleh. Oleh karena itu, secara teknis kompor surya ini mudah dan aman digunakan. Begitu pula, jika suatu saat kompor surya ini tidak dipakai maka setiap bagian konstruksinya dapat digunakan untuk keperluan yang lain, misalnya sebagai alas untuk tempat makanan atau tempat menyimpan air. Setiap kompor surya dapat memberikan daya efektif 70 – 130 W berdasarkan perhitungan dan setiap hari kompor dapat digunakan selama 5 jam (9:00 - 14:00 WIB). Jika diasumsikan kompor surya bisa digunakan selama 146 hari dalam setahun (40%) maka dalam 1 tahun satu kompor akan menyediakan energi termal sebesar (1×130×146×5×3600=) 341640000 J/s atau 341,64 MJ/s. Hal ini setara dengan 0,0949 MWh.

Tabel 5. Faktor emisi CO dan CO2 hasil pembakaran beberapa jenis bahan bakar [9] No. 1. 2. 3. 4.

Jenis bahan Faktor emisi CO bakar (kg/TJ) Kayu bakar 30.500 Briket batubara 26.600 Minyak tanah 19.600 LPG 17.200

Faktor emisi CO2 (kg/TJ) 112.000 97.500 71.900 63.100

Di kehidupan masyarakat Indonesia ada 4 jenis bahan bakar fosil yang sebagian besar digunakan untuk memasak, yaitu minyak tanah, gas LPG, briket batubara dan kayu bakar (biomassa). Dari semua jenis bahan bakar tersebut akan dibandingkan dengan kompor energi surya dari sudut pandang nilai ekonomi dan nilai lingkungannya. Perbandingan ini penting dan memudahkan konsumen untuk memilih bahan bakar untuk memasak. a. Memasak dengan kayu bakar (biomassa padat) Memasak dengan kayu bakar dinilai boros dan menimbulkan emisi CO dan CO2 yang sangat besar. Untuk satu kali memasak, dibutuhkan sedikitnya 1,5 kg kayu dengan daya bakar yang besar. Diperkirakan setiap keluarga menggunakan 135 kg kayu bakar per bulan. Selain itu, memasak dengan kayu bakar itu harus ditunggu, tidak bisa ditinggal [2]. Penggunaan satu kompor surya diasumsikan akan mengurangi konsumsi 40% kayu bakar per tahun yang digunakan oleh satu keluarga. Bila setiap keluarga menggunakan 135 kg kayu bakar per bulan, maka berarti telah diselamatkan 54 kg kayu bakar per bulan. Berdasarkan hasil pengamatan UNDP (2001), kayu bakar dapat menimbulkan emisi CO2 dan besarnya energi kayu bakar kayu yang dipindahkan ke dalam panci memasak hanya 5 – 15%. Untuk aplikasi praktis efisiensi kompor kayu (η) = 10%. Konsumsi kayu bakar dihitung dari energi yang disediakan oleh kompor surya dan mengubah energi ini

Tabel 4. Perbandingan tipe bahan bakar [2]

Dengan memperhatikan besarnya energi termal yang digunakan dalam kompor energi surya, maka kompor surya dapat digunakan masyarakat sebagai metode alternatif dalam memasak. Bagi konsumen yang mempunyai banyak kegiatan maka bisa memasak sambil melakukan aktivitas utamanya. Dalam menggunakan kompor surya, konsumen bisa meninggalkannya dan mengambil masakannya setelah kira-kira 2 jam. K-51

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

menjadi energi biomassa yang sama dengan energi efektif kompor surya, seperti dijelaskan dalam persamaan berikut. 𝑃×𝑡 𝐸= 𝜂 (1)

menjaga kesehatan. Jika briket batubara digunakan untuk mendidihkan air 1,5 L maka akan menimbulkan emisi 4,4·10-2 kg CO2 karena energi untuk mendidihkan air 1,5 L adalah sebesar 452,51 kJ. Emisi CO dan CO2 dari kompor bahan bakar batubara yang masih cukup besar menuntut partisipasi masyarakat dalam mengurangi emisi gas rumah kaca tersebut. Alternatif termurah yang dapat dilakukan bersama-sama dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca adalah gerakan bersama penghematan energi dengan menggunakan kompor energi surya.

dengan E = energi biomassa (J) t = waktu penggunaan dari kompor surya (s) P = daya efektif kompor surya = 130 W = 130 J/s η = efisiensi memasak dengan kayu bakar; η = 10% The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa faktor emisi karbon dari kayu bakar atau biomassa padat adalah 29,9 kg C/GJ atau 0,0299 kg C/MJ (IPCC, 1996). Penangkapan massa emisi karbon dapat dihitung dengan persamaan berikut. 𝑚C = 𝑃 × 𝑡 × 0,299 kg C/MJ (2) dengan mC = massa emisi karbon (kg) Penangkapan massa emisi karbon dapat dikonversi menjadi massa emisi karbondioksida dengan menggunakan persamaan berikut. 𝑚CO 2 = 𝑚C × 44/12 kg CO2 /kg C (3) Untuk kompor surya dengan daya P = 130 W setiap kompor dan diasumsikan waktu penggunaan dalam 1 tahun adalah 146 hari (40%) maka dengan mengunakan persamaan energi biomassa sebesar 341640 kWs/tahun untuk setiap kompor atau sekitar 341 MJ/tahun. Besarnya penangkapan massa emisi CO2 dari kayu bakar atau biomassa dapat dihitung dengan menggunakan persamaan yaitu 374 kg CO2/tahun untuk satu kompor surya. Berdasarkan data dari IPCC (2007), faktor emisi kayu bakar 112.000 kg CO2/TJ. Jika kayu bakar digunakan untuk mendidihkan air 1,5 L maka akan menimbulkan emisi 5,1·10-2 kg CO2. Oleh karena itu, dengan menggunakan kompor surya dapat mengurangi emisi tersebut. Jika kayu diperoleh di lokasi yang subur, tentu ada harapan sumber energi itu bisa berkesinambungan. Akan tetapi, tidak semua masyarakat yang menggunakan bahan bakar kayu itu berada di lokasi yang subur. Di daerah terpencil dan tidak subur, masyarakat sering dihadapkan ketiadaan pilihan untuk memanfaatkan kayu sebagai sumber energi. Kompor surya menjadi penting peranannya, jika kayu makin sulit didapat. Dengan kompor tenaga surya, biaya bahan bakar bisa ditekan lebih murah. Namun diperlukan waktu memasak yang lebih lama dari biasanya.

c. Memasak dengan minyak tanah Minyak tanah adalah produk hasil destilasi sederhana dari minyak mentah, yang dikenal dalam bahasa Inggris kerosene. Harga minyak tanah di pasaran mencapai Rp 8.500,00/liter. Akan tetapi saat ini minyak tanah sulit didapatkan di pasaran. Dengan 1 liter minyak tanah bisa dipakai memasak selama 2 – 3 jam[2]. Jika dalam 1 hari konsumen menggunakan 2 liter minyak tanah maka dalam 1 hari akan mengeluarkan uang Rp 17.000,00. Dengan kompor surya yang bisa digunakan selama 146 hari dalam setahun (40%) maka dalam 1 tahun satu kompor surya dapat menghemat pemakaian 292 liter minyak tanah atau mengurangi pengeluaran dengan Rp 2.482.000,00. Selain itu, apabila minyak tanah digunakan untuk mendidihkan air 1,5 L maka akan menimbulkan emisi CO2 3,3·10-2 kg karena faktor emisi minyak tanah 71.900 kg CO2/TJ. Dengan menggunakan kompor surya akan menghemat pengeluaran uang dan juga akan membantu mengurangi emisi gas CO dan CO2. d. Memasak dengan LPG (elpiji) Kompor gas memiliki kelebihan, yaitu waktu panasnya tidak lama, mudah meregulasi pijar panas, berpijar cepat sesuai kebutuhan dan sumber panas terlihat. Seperti banyak ditemui di Indonesia, elpiji ini menjadi pilihan utama keluarga kelas menengah ke atas. Elpiji merupakan gas yang dicairkan untuk mempermudah dan memperkecil volume penampungan. Bila dibandingkan dengan minyak tanah dan kayu bakar, daya pemanasan elpiji lebih tinggi sehingga memasak lebih cepat matang. Elpiji lebih efektif dibandingkan bahan bakar lainnya. Saat ini harga resmi per tabung elpiji untuk massa 3 kg di daerah bisa mencapai Rp 14.500 per tabung. Tabung dengan massa 3 kg ini bila digunakan untuk memasak selama 2 – 3 jam per harinya maka 1 tabung elpiji dapat dipakai untuk 3 – 5 hari. Harga kompor gas paling murah harganya Rp 350.000,00 [2]. Jika dalam 1 bulan konsumen menggunakan 7 tabung elpiji 3 kg maka akan mengeluarkan uang Rp 101.500,00. Dengan kompor surya yang bisa digunakan selama 146 hari dalam setahun (40%) maka dalam 1 tahun satu kompor surya dapat menghemat pengeluaran dengan Rp 487.200,00. Selain segala bentuk keuntungan dan kemudahan yang ditawarkan dengan penggunaan LPG sebagai bahan bakar terutama untuk rumah tangga, ternyata ada faktor-faktor yang harus dipertimbangkan yaitu dari segi emisi yang dihasilkannya. Hasil pembakaran LPG yang tidak sempurna ter-

b. Memasak dengan briket batubara Briket batu bara telah dikembangkan oleh B2TE Balai Besar Teknologi Energi BPPT di Serpong, Tangerang. Briket ini tanpa karbonisasi bertipe sarang tawon dan telur yang dilengkapi dengan penyulut sehingga memudahkan proses penyalaan kompor briket batu bara. Briket tipe ini aman, tidak bisa meledak, selama proses tidak perlu dipantau dan tidak menimbulkan jelaga. Harga briket batubara ini Rp 2.500,00 per kg. Harga kompor berkisar Rp 80.000 sampai Rp 200.000. Penggunaan 1 – 1,8 kg briket batubara sama dengan 1 liter minyak tanah, tergantung pada efisiensi kompor atau tungku briket batu bara yang digunakan. Dibandingkan dengan kompor minyak tanah (menghasilkan emisi karbon monoksida sekitar 19.600 kg/TJ), kompor briket batubara menghasilkan emisi karbon monoksida lebih besar yaitu sekitar 26.600 kg/TJ [9]. Oleh karena itu, tidak disarankan dipakai di dalam dapur tertutup untuk K-52

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

sebut menghasilkan emisi CO sebesar 17.200 kg/TJ dan CO2 sebesar 63.100 kg/TJ. Apabila LPG digunakan untuk mendidihkan air 1,5 L maka akan menimbulkan emisi 3,3·10-2 kg CO2 karena energi untuk mendidihkan air 1,5 L adalah sebesar 452,51 kJ. Standard kualitas udara yang dikeluarkan oleh lembaga perlindungan lingkungan internasional (EPA, 2000), batas standard lingkungan untuk polutan CO sebesar 9 ppm (nilai per jam dari rata-rata dalam 8 jam) dan untuk polutan CO2 sebesar 35 ppm (nilai per jam dari rata-rata dalam 1 hari). Emisi gas CO2 dan CO berperan penting dalam gejala pemanasan global atau dikenal sebagai gejala rumah kaca yang diikuti oleh penipisan lapisan ozon, telah menimbulkan ketidak-teraturan iklim dunia. Dampak ini dapat berpengaruh terhadap pola iklim di indonesia, mengganggu ekosistem dan merusak SDA hayati. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan energi yang berbasis pada sumber energi terbarukan seperti energi surya, harus menjadi pertimbangan yang utama dalam pengelolaan dan pemakaian sumber energi di masa datang karena ramah lingkungan. Dana untuk pembuatan alat pemasak dari tenaga matahari tersebut tidak banyak dan jika sudah tidak penelitian lagi atau sudah memasuki tahap produksi, apalagi produksi massal, harga per paket pemasak matahari, tidak lebih dari Rp 300.000,00 atau sebanding dengan harga sebuah kompor gas. Selain itu kompor matahari juga relatif lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar memasak yang lain saat ini. Perincian biaya pembuatan kompor surya berdasarkan penelitian ini dapat ditunjukkan dalam Tabel 6 berikut.

mudah dan aman. Begitu juga dari segi ekonomi, kompor surya harus relatif murah harganya dibandingkan dengan bahan bakar fosil.

4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan analisis data dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Dari variasi bentuk geometri, diperoleh semakin banyak sisi reflektor maka semakin baik kinerja kompor surya. Oleh karena itu, untuk ke depannya dapat dikembangkan model kompor surya dengan banyak reflektor. Akan tetapi, secara teknis harus mudah dan aman serta dari segi ekonomi, harus relatif murah harganya dibandingkan dengan bahan bakar fosil. 2. Kompor surya segi enam dengan luas kolektor 0,36 m2 dan luas total reflektor 1,6384 m2 dapat mendidihkan air 1,5 liter dalam panci selama 100 menit dan dengan luas kolektor 0,16 m2 dan luas total reflektor 0,7396 m2 diperlukan waktu 105 menit dengan sudut kemiringan reflektor 65° dan intensitas sinar matahari ±1100 W/m2. 3. Penggunaan kompor surya akan mengurangi emisi CO dan CO2 ke lingkungan pada pemakaian bahan bakar fosil.

DAFTAR PUSTAKA [1] Anonim. 2010. "Thermal conductivity of some common materials". http://www.engineeringtoolbox. com. 2 April 2010 [2] Anonim. 2010. "Energy and Economic Statistics of Indonesia 2009". http://www.esdm.go.id. 17 Mei 2010 [3] Anonim, 2009. "The Solar Cooking Archive". http://solarcooking.org/default.htm. 21 Agustus 2009. [4] Boyle, G. 2004. Renewable Energy. Oxford: Oxford University Press. [5] Danielsson, J and Elamzon, J. 2006. Development of a Technical, Economical and Environmental Sustainable Solar Oven Technology – A Field Study in SriLangka. Sweden: Halmstad University Press. [6] Dessus, B. and Pharablod, F. 2000. Solenergi. Italy: Omnigraf International. Environmental Protection [7] Agency. 2000. "National Primary and Secondary Ambient Air Quality Standards". Code of Federal Regulations, Title 40, Part 50, Washington: U.S. Government Printing Office. [8] Holman, J.P. 1995. Perpindahan Kalor. Edisi 6. Diterjemahkan oleh E. Jasjfi. Jakarta: Erlangga. [9] IPCC. 2007. "Pedoman Inventarisasi Gas Rumah Kaca". Viewed in http://www.ipcc.ch/publications_ and_data.htm. 20 Juli 2010 [10] IPCC. 1996. "Reference Manual Energy of Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories". Chapter 1. Viewed in http://www.ipcc-nggip.iges.or.jp/public/gl/ guidelin/ch1ref2.pdf. 15 Mei 2010 [11] Kurt, H., Atik, K., Özkaymak, M., Recebli, Z. 2008. Thermal Performance Parameters Estimation of Hot Box Type Solar Cooker by Using Artificial Neural Network. International Journal of Thermal Sciences, 47, 192 – 200.

Tabel 6. Biaya pembuatan kompor surya

3.6. Pengembangan Kompor Surya di Masa Depan Bagi masyarakat dengan tingkat perekonomian tinggi, kompor surya penting juga. Selaras dengan prinsip "go green", kompor surya mampu menjadi pilihan gaya hidup. Oleh karena itu, untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dalam memasak digunakan energi alternatif dari sinar matahari yang dianggap layak dari segi teknis, ekonomi, dan lingkungan diperlukan partisipasi aktif masyarakat dan pemerintah. Dari hasil penelitian ini maka untuk ke depannya dapat dikembangkan model kompor surya dengan banyak reflektor yang mendekati bentuk parabola. Akan tetapi, dalam penggunaan dan pengoperasiannyasecara teknis harus K-53

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[12] Mulyanef dan Gusliyadi. 2008. Kajian Eksperimental Kompor Tenaga Surya Tipe Box Menggunakan Konsentrator Cermin Datar pada Empat Sisi Kolektor. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II, 17-18 November 2008, Universitas Lampung.

[13] Rahardjo, I. dan Fitriana, 2008. "Analisis Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Indonesia" dalam http://www.geocities.com/markal_bppt/publish/pltkcl/p lrahard.pdf. 20 Agustus 2009

K-54

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

KINERJA TURBIN MIKROHIDRO TIPE PROPELER VANES KAPASITAS 1000 WATT Muhammad Firdausi 1), M. Dwi Trisno 2), Dahmir Dahlan 3)

Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri – ISTN 1,2) Jl. Moh. Kahfi II, Jagakarsa, Jakarta 12640 1,2) Phone: 0062-21-7270092, Fax: 0062-21-7866954 1,2) Program Studi Magister Teknik Industri, Sekolah Pascasarjana – ISTN 3) Jl. PLN Duren Tiga, Pasar Minggu, Jakarta 12760 3) Phone: 0062-21-79195268, Fax: 0062-31-8417659 3) e-mail; [emailprotected] 1) , [emailprotected] 2), [emailprotected] 3)

ABSTRAK Keterbatasan pemerintah dalam memenuhi perluasan jaringan listrik sampai ke daerah terpencil menjadikan pembangkit listrik tenaga air sebagai solusi alternatif. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut telah dilakukan perancangan, pembuatan dan pemasangan Turbin Air Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Desa Palasari, Kabupaten Bogor. Turbin dirancang dengan spesifikasi mampu membangkitkan daya listrik sebesar 1000 Watt pada putaran (n) 750 rpm, dengan tinggi efektif air (He) = 1,5 m dan debit aliran air (Q) = 0,1 m3. Untuk mengetahui kinerja turbin telah dilakukan pengujian kinerja di lokasi pemasangan. Kinerja yang dimaksud dalam kegiatan ini adalah efisiensi turbin (ƞt), yaitu perbandingan antara output berupa energi mekanik turbin dan input berupa energi potensial dan kinetik zat cair yang dalam hal ini air. Pengujian dilakukan dengan mengukur debit air dan pengukuran daya turbin, kemudian dilakukan perhitungan efisiensi turbin. Pengukuran debit aliran dilakukankan dengan teknik bendungan. Daya turbin (Nt) ditentukan dengan melakukan pengukuran torsi (T) dan putaran (n) pada poros. Variasi debit air diperoleh dengan mengatur bukaan sudu pengarah (vanes). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada kondisi ketinggi air (He) 1,2 m dan pembukaan sudu pengarah 100 % tercatat debit aliran air (Q) 0,09 m3/s, daya turbin (Nt) 847,77 Watt pada putaran (n) 639,71 rpm, diperoleh efisiensi turbin (ƞt) 72.17%. Kata kunci: turbin propeler, vanes, head, debit, daya turbin, efisiensi turbin. kinerja instalasi tersebut. Kinerja yang dimaksud dalam kegiatan ini adalah efisiensi turbin, yaitu perbandingan antara output berupa energi mekanik turbin dan input berupa energi potensial dan kinetik zat cair yang dalam hal ini air.

1. PENDAHULUAN Keterbatasan pemerintah dalam memenuhi perluasan jaringan listrik sampai ke daerah terpencil menjadikan pembangkit listrik tenaga air sebagai solusi alternatif. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut telah dilakukan perancangan, pembuatan dan pemasangan Turbin Air Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Desa Palasari, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat (2011). Unit turbin dirancang untuk mampu dibawa dan dipindahkan dengan mudah, mampu dipasang dan dioperasikan dengan mudah, dengan perawatan yang minimal. Instalasi tersebut dirancang untuk membangkitkan daya listrik sebesar 1000 Watt pada putaran 750 rpm, dengan tinggi efektif air He = 1,5 m dan debit aliran air Q = 0,1 m3. Secara skematik, instalasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 dan foto pada Gambar 2. Bagian-bagian utama instalasi terdiri dari: 1. Sebuah kolam air, berasal dari aliran sebuah bak penampung air. 2. Sebuah Vanes yang dilengkapi dengan pintu pengatur debit aliran, 3. Sebuah turbin air jenis propeller-van dan 4. Sebuah Generator Air yang ditampung di kolam berfungsi sebagai sumber energi potensial, yang kemudian dikonversikan menjadi energi kinetic melalui pipa pesat. Sisa terkecil energi potensial dan energi kinetic inilah yang kemudian digunakan untuk memutar turbin. Melalui sistem transmisi berupa roda turbin melalui poros turbin, daya turbin ditransmisikan ke generator untuk menghasilkan listrik. Kegiatan ini dilakukan, untuk memvalidasi data-data diatas. Oleh sebab itu, kegiatan ini ditujukan untuk menguji

generator Turbin poros

sudu pengarah propeler Head

Draft tube

Gambar 1. Diagram skematik turbin air

Gambar 2. Instalasi PLT- Mikrohidro, Palasari, Bogor K-55

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

2. METODOLOGI

2.1. Pengukuran Debit Air

Perubahan energi potensial air menjadi energi akhir yang menggerakkan turbin secara skematik dapat dilihat seperti Gambar 3, sehingga efisiensi turbin (ήt) yang sesungguhnya dapat didekati dengan hubungan:

Pada instalasi yang sudah terpasang, dan disesuaikan kondisi aktual di lapangan, pengukuran debit aliran yang praktis dan mungkin dilaksanakan adalah dengan teknik bendungan seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

t 

Nt EP2  Ek 2

(1)

Dimana: N1 : Daya turbin (W) EP2 : Daya potensial air pada titik 2 EP2 = mgH2 (W) EK2 : Energi kinetik air pada titik 2

(2) Gambar 4. Pengukuran debit dengan teknik bendungan [1]

1 2 EK2 = mv2 (W) 2

(3) Dengan metoda tersebut, menurut [1] besarnya debit aliran Q dapat didekati dengan hubungan: Q = 1,84 LH3/2 (m3/s) (8) Dimana: L : lebar bendung (m) H : tinggi muka air terhadap tinggi bendung (m)

m H2 g Q p V2 A2

: laju atiran massa air = Q. p (kg/s) (4) : tinggi muka air di titik 2 (m) : percepatan gravitasi (m/s2) : debit aliran air (m3/s) : massa jenis air (kg/m3) : kecepatan air di titik 2 = Q/A2 (m/s) (5) : Luas penampang saluran pipa pesat di titik 2 (m2) Persamaan 1 hanya bisa digunakan bila penampang saluran di titik 2 selalu dipenuhi oleh air, mengingat perhitungan harga kecepatan didefinisikan pada persamaan 5. Kondisi ini akan menyulitkan mengingat pada pengujian debit rendah, sangat diragukan apakah penampang 2 seluruhnya dipenuhi air atau tidak.

2.2. Kalibrasi Dinamometer. Daya turbin Nt ditentukan dengan melakukan pengukuran torsi T dan putaran n pada poros, sehingga daya turbin dapat dihitung sbb: Nt = T

2

(9)

Dimana: T: torsi poros (N.m) n: putaran poros (rpm) Dalam pengujian ini, pengukuran dilakukan pada poros yang merupakan sambungan dengan poros generator. Pengukuran torsi dilakukan dengan menggunakan Hydraulic Dynamometer dimana simulasi pembebanan dilakukan dengan memvariasikan debit pompa air, sedangkan putaran diukur dengan Stroboscop. Torsi yang dihasilkan langsung dapat dibaca pada torsimeter yang terkalibrasi. Diagram kalibrasi ditunjukkan pada Gambar 5.

1

H2

2n (W) 60

H1

Diagram Kalibrasi Dinamometer

Roda Turbin Torsi Kalibrasi (N.m)

35

Gambar 3. Skematik diagram konversi energi air

30 25 20 15 10 5 0 0

Dalam hal kondisi tersebut dijumpai dalam pengujian, maka kinerja turbin ditentukan dengan hubungan:

t 

Nt EP1

5

10

15

Torsi Pembacaan (N.m)

20

25

Y= 1,1625 x + 6,0186

Gambar 5. Diagram Kalibrasi Dinamometer

(6)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dimana: EP1 : adalah daya potensial air pada titik 1 EP1 = m.g.H1 (7) Persamaan 6 dan 7 dapat digunakan dengan asumsi bahwa daya kinetik air pada titik 1 dan kerugian sepanjang pipa pesat (dan titik 1 s/d 2 ) dapat diabaikan.

3.1. Data Pengujian Dengan mengacu pada Gambar 3, data-data pengukuran pada setiap pengujian dapat dilihat pada Tabel 1. K-56

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 1. Data pengujian No. 1 2 3 4 5 6

Debit, Q (m3/s) 0.06 0.07 0.08 0.09 0.09 0.08

H1 (m) 0.94 0.93 0.92 0.91 0.91 0.93

H2 Torsi Tp, Putaran, Pembukaan (m) (N.m) n (rpm) Katup (%) 0.08 2.86 346.00 25 0.11 2.86 560.29 50 0.13 3.43 562.00 75 0.17 4.86 589.71 100 0.22 5.71 639.71 100 0.11 5.71 543.71 75

3.1.1. Perhitungan Daya Input Gambar 7. Grafik Efisiensi Turbin Hasil Pengujian

Berdasarkan hasil pengamatan selama pengujian, asumsi bahwa penampang saluran pada titik 2 selalu dipenuhi air dan ketelitian pengukuran H2 sangat diragukan. Untuk itu sebagai daya input digunakan daya potensiai air pada titik 1. Contoh perhitungan untuk pengujian No. 5: - Laju aliran massa air, m = Q x p = 0,1 (m3/s) x 997,8 (kg/m3) = 99,78 (kg/s) - Daya potensiai air, Ep1 = m x g x H1 = 99,78 (kg/s) x 9,81 (m/s2) x 1,2 (m) = 1174.6102 (W)

Gambar 8. Grafik Hubungan antara Debit vs Pembukaan Katup hasil pengujian

3.1.2. Perhitungan Daya Output Daya output adalah daya turbin yang dihitung dari hasil pengukuran torsi Tp yang sudah dikalibrasi menurut Gambar 5, dan putaran poros. Contoh perhitungan untuk pengujian No. 5: - Torsi kalibrasi, TK = 1,1625 x Tp + 6,0186 = 1.1625 x 5.71 (N.m) + 6,0185 = 12.66 (N.m) - Daya turbin, Nt = (Tk x 2.π.n) /60 = (12.66 (N.m) x 2x3.14/639.71)/60 (s-1) = 847.77 (W)

3.2. Pembahasan Berbagai kendala di lapangan memberikan hasil pengujian yang tidak seratus persen memuaskan. Berikut ini beberapa penjelasan berkaitan dengan kondisi di lapangan selama proses pengujian: 3.2.1. Pengukuran Debit Air Pengukuran debit aliran dengan teknik bendungan idealnya dilakukan pada kondisi aliran yang relatif tenang (berkembang penuh). Untuk itu letak bendungan harus cukup jauh dari keluaran turbin. Kondisi ini memerlukan kanal yang cukup panjang, yang hampir tidak mungkin dilaksanakan. Disamping itu buangan saluran air yang keluar dari turbin tidak konstan, dikarenakan pipa buangnya lebih kecil dari pipa pesat turbin, sehingga, kesulitan yang timbul adalah pengukuran tinggi muka air yang keluar dari pipa pesat, dimana permukaan air bergejolak cukup signifikan. Dalam kondisi seperti ini ketelitian pengukuran sangat tergantung pada ketajaman visual pengamatan.

3.1.3. Perhitungan Efisiensi Turbin Efisiensi turbin adalah perbandingan daya output dan input Contoh perhitungan untuk pengujian No. 5: - Efisiensi turbin, TH = Nt / Ep1 = 847.77 (W) /1174.6102 (W) = 0,7217 Dengan cara yang sama, hasil-hasil perhitungan untuk setiap pengujian dapat dilihat pada Table 2, Gambar 7 dan Gambar 8.

3.2.2. Pengukuran Torsi Pengukuran torsi pada satu seri pengujian sebaiknya dilakukan pada suatu harga kecepatan putaran dan tinggi muka air di kolam H1 yang tetap, khususnya pada harga kecepatan putaran operasional (750 rpm). Dalam pengukuran torsi banyak kendala-kendala yang dialami seperti; - tinggi muka air di kolam H1 yang fluktuatif yang berakibat pada fluktuasi harga kecepatan putaran, - tidak tersedianya mekanisme untuk mempertahankan tinggi muka air kolam H1 pada harga yang konstan,

Tabel 2. Perhitungan hasil pengujian Pemb. Debit, No. Katup Q (%) (m3/s) 1 25 0.06 2 50 0.07 3 75 0.08 4 100 0.09 5 100 0.09 6 75 0.08

H1 (m) 0.94 0.93 0.92 0.91 0.91 0.93

Torsi Kal. Tk, (N.m) 9.34 9.34 10.00 11.67 12.66 12.66

Putara, n (rpm) 346.00 560.29 562.00 589.71 639.71 543.71

Daya Turbin Nt.(W) 338.25 547.73 588.48 720.01 847.77 720.55

Efisiensi (%) 28.80 46.63 50.10 61.30 72.17 61.34

K-57

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

- adanya kebocoran minor pada bendungan, sehingga permukaan air cepat menurun. - pembukaan katup aliran dengan cara manual yang ketelitiannya cukup diragukan sehingga pengujian repetitif tidak mungkin dilakukan. Namun demikian, dengan segala keterbatasan yang ada, hasil-hasil pengujian menunjukkan besaran-besaran yang cukup komprehensip dan reasonable.

4.2. Saran Setiap seri pengujian tidak bisa dilaksanakan pada harga head statik yang konstan, karena tidak tersedianya mekanisme pengaturan tinggi muka air di kolam. Untuk pengembangan selanjutnya perlu ditambahkan sistem pengaturan debit dan tinggi muka air pada instalasi adalah agar turbin beroperasi pada kondisi yang aman sesuai dengan kondisi desain.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

4.1. Kesimpulan

[1] Victor L. Streeter, E. Benjamin Wylie, dan Arko Prijono, Mekanika Fluida, Edisi Delapan, Jilid 2, Ertangga, 1991. [2] BPPT, Nindya Karya, dan ISTN; Laporan Pengujian Implementasi Turbin Cross Flow Kapaitas 10 kW, Kampung Cuibeureum, Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. 2005.

Dengan variasi prosentase pembukaan katup (25%, 50%, 75% dan 100%) diperoleh variasi debit air. Berdasarkan data debit air dan daya turbin yang dihasilkan, diperoleh nilai efisiensi turbin antara 28,80% (pembukaan 25%) dan 72,17% (pembukaan 100%). Hasil pengujian menunjukkan bahwa kinerja turbin sudah baik sesuai dengan rujukan yang ada.

K-58

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

KARAKTERISTIK TEKANAN DAN ALIRAN SEKUNDER DI DALAM RECTANGULAR ELBOW 90º Sutardi dan Puti S. Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri ITS Surabaya Indonesia 60111, Phone: 031-5922941; 031-5946230 1) Email: [emailprotected] Phone: 0062-31-8439040, Fax: 0062-31-84176581,2)

ABSTRAK Elbow 90° merupakan saluran melengkung membentuk sudut 90°. Adanya elbow pada instalasi perpipaan akan menimbulkan pressure drop yang lebih besar dibandingkan aliran yang melewati perpipaan lurus. Pressure drop yang lebih besar ini disebabkan oleh friction loss dan secondary flow. Hal ini menyebabkan kerugian energi aliran (headloss) yang lebih besar sehingga perlu dilakukan usaha untuk mengurangi pressure drop yang terjadi di dalam elbow. Studi dilakukan dengan menggunakan sebuah rectangular elbow 90º dengan radius ratio (rm/Dh) 1.875 tanpa dan dengan penambahan dua sudu pengarah (guide vanes) menggunakan ReDh  1,4 x 105. Parameter yang diukur adalah tekanan stagnasi dan tekanan statis. Tekanan stagnasi diukur menggunakan Pitot tube, sedangkan tekanan statis diukur menggunakan inclined manometer yang dihubungkan dengan wall pressure tap. Studi numerik menggunakan software Fluent 6.3.26 dan Gambit 2.30 juga dilakukan untuk memberikan informasi visualisasi aliran yang melintasi rectangular elbow 90°. Hasil studi menunjukkan bahwa penambahan dua sudu pengarah pada elbow meningkatkan kerugian tekanan sebesar 2,6 kali dibandingkan dengan kerugian tekanan di dalam elbow tanpa sudu pengarah. Sebaliknya penambahan dua sudu pengarah menghasilkan selisih Cp antara dinding inner dan outer elbow sebesar 31,19%. Hasil simulasi numerik tentang kontur tekanan dan kecepatan aliran menunjukkan kesesuaian yang baik dengan hasil eksperimen. Aliran sekunder dijumpai pada kelengkungan elbow dan sudut antara dinding elbow yang saling tegak lurus. Kata kunci: Rectangular elbow 90º, sudu pengarah, kerugian tekanan, aliran sekunder. aliran utama dan menyebabkan energi aliran akan berkurang. Pada elbow 90°, aliran sekunder terjadi akibat perbedaan distribusi tekanan di sepanjang sisi inner dan outer. Ini mengakibatkan aliran akan bergerak dari sisi outer wall ke sisi inner wall. Selain itu secondary flow pada rectangular elbow juga terjadi pada sisi corner akibat interaksi boundary layer dan endwall flow yang akan menghasilkan penyumbatan aliran (blockage effect) dan mengurangi effective flow area. Hal inilah yang membedakan aliran sekunder pada circular elbow dan rectangular elbow. Beberapa penelitian terdahulu mengenai aliran melintasi elbow 90° telah banyak dilakukan. Cheng [1] menganalisa separasi aliran yang terjadi pada circular elbow. Dengan cara menginjeksikan cairan berwarna pada aliran yang melewati circular elbow 90°. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah daerah yang mengalami separasi berada pada sisi inner dan sisi outer elbow. Hal ini diperkuat juga oleh penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Patel [2] untuk mendapatkan distribusi tekanan di sepanjang circular elbow 90°. Didapatkan hasil bahwa tekanan pada sisi inner mempunyai Cp negatif dan tekanan pada sisi outer mempunyai Cp positif. Dapat dikatakan bahwa sisi inner mempunyai tekanan rendah dibandingkan sisi outer. Separasi aliran pada sisi inner terjadi pada daerah downstream, sedangkan separasi pada sisi outer terjadi pada daerah upstream. Danbon dan Solliec [3] melakukan penelitian mengenai profil kecepatan di daerah downstream circular elbow 90°. Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa kecepatan mak-

1. PENDAHULUAN Instalasi perpipaan pada dunia industri maupun pada konstruksi bangunan saat ini banyak sekali ditemukan. Instalasi perpipaan sebagai saluran fluida, dimana bentuk saluran tersebut tidak hanya lurus, namun juga berbelok menyesuaikan kondisi lapangan. Pada kondisi instalasi yang berbelok tersebut diperlukan suatu sambungan (fitting) perpipaan untuk menyambung antara pipa yang satu dengan yang lain. Salah satu contoh fitting perpipaan adalah elbow 90°, yang merupakan saluran melengkung membentuk sudut 90°. Aliran yang melintasi elbow 90° mengalami pressure drop yang lebih besar dibandingkan dengan aliran yang melintasi pipa lurus dengan kecepatan yang sama. Dengan adanya pressure drop maka terjadi kerugian energi yang lebih besar sehingga daya yang dibutuhkan instalasi seperti pompa dan blower untuk menanggulangi kerugian energi tersebut akan semakin besar. Oleh karena itu dalam perancangan instalasi perpipaan, usaha untuk mengurangi terjadinya pressure drop sangatlah penting. Pressure drop pada elbow dipengaruhi oleh nilai jari-jari kelengkungan elbow, gesekan (friction loss) dalam pipa, separasi 2D (separation loss) serta separasi 3D (secondary flow) yang mungkin terjadi. Gesekan disebabkan karena adanya interaksi antara fluida dengan dinding bagian dalam elbow 90°. Separasi aliran terjadi karena aliran tidak mampu melawan adverse pressure gradient (APG), sehingga sebagian aliran akan terseparasi dan berbalik arah (back flow) dari K-59

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

simum berada pada sisi outer wall elbow. Ini menunjukkan bahwa terjadi ketidakseragaman distribusi tekanan dan profil kecepatan aliran di dalam elbow sepanjang sisi inner wall dan outer wall. Distribusi tekanan dan kecepatan yang tidak seragam ini akan menyebabkan aliran sekunder (secondary flow). Fenomena terjadinya aliran sekunder juga pernah diteliti oleh Marn dan Primoz [4] dengan melakukan studi numerik untuk mengamati karakteristik aliran yang melintasi circular elbow 90°. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa vortex bergerak dari sisi inner wall menuju sisi outer wall, yang bisa disebut dengan secondary flow. Salah satu usaha untuk mengurangi pressure drop yang terjadi pada elbow 90° adalah dengan menambahkan sudu-sudu pengarah (guide vanes). Sudu pengarah akan membantu mengarahkan aliran serta mengurangi gangguan yang mungkin terjadi yaitu dengan mengurangi terjadinya separasi aliran serta aliran sekunder pada elbow. Liou dkk [5] melakukan penelitian tentang pengaruh jumlah inlet guide vane terhadap flow field pada side dump combustor. Dari penelitiannya didapatkan bahwa dengan menambahkan satu buah vane maka friction factor akan menurun. Namun dengan ditambahkan dengan dua dan tiga vane maka friction factor akan lebih tinggi. Studi kali ini difokuskan pada studi eksperimen dan numerik pada pengaruh penambahan dua sudu pengarah didalam rectangular elbow 90º terhadap distribusi tekanan aliran didalamnya. Visualisasi aliran dengan menggunakan pemodelan numerik digunakan untuk memperjelas diskripsi aliran yang terjadi, dan dapat memberikan informasi tentang adanya vortex dan aliran sekunder lainnya di dalam elbow 90º.

(a)

(b)

(c)

Gambar 1. Instalasi penelitian. (a) Blower dan seksi uji; (b) elbow tanpa sudu pengarah; (c) elbow dengan dua sudu pengarah

2. METODE 2.1. Peralatan dan Metoda Eksperimen Gambar 2. Diagran skematis elbow dengan dua sudu pengarah

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mekanika Fluida Jurusan Teknik Mesin ITS. Peralatan penelitian berupa instalasi elbow dan perlengkapannya (Gambar 1). Udara digerakkan oleh sebuah blower hisap dengan kapasitas 15 m3/menit dan putaran 2870 RPM. Udara dilewatkan sebuah honey comb untuk mengurangi derajat turbulensi. Model uji berupa elbow 90o, baik dengan dan tanpa dengan dua sudu pengarah. Radius kelengkungan dalam elbow sebesar 100 mm, sedangkan radius kelengkungan luar sebesar 150 mm. Penampang lintang elbow 50 mm horisontal dan 100 mm vertikal. Dalam eksperimen ini digunakan kecepatan freestream 32.95 m/s, yang berkaitan dengan bilangan Reynolds, berdasar karakteristik panjang diameter hidrolik (Dh), sebesar 140000. Detail dari alat ukur bisa dilihat pada pustaka [6]. Gambar 2 menunjukkan beberapa lokasi yang dikaji didalam studi ini searah streamline. Tabel 1 menunjukkan ukuran-ukuran penting dari elbow, sementara Tabel 2 menunjukkan lokasi-lokasi pengukuran profil kecepatan terkait Gambar 2.

Tabel 1. Geometri elbow (dalam mm) a b L1 L2

= = = =

100 50 100 540

Li Le Dh Ri Ro

= = = = =

810.6 888.7 66.7 100.0 150.0

Tabel 2. Lokasi pengukuran profil kecepatan didalam elbow Section 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

2.2. Metoda Numerik Pada studi numerik digunakan software Fluent dan Gambit. Model turbulen yang digunakan dan kriteria konvergensi secara detail dapat dilihat pada [7]. K-60

xi/Li 0.00 0.12 0.23 0.35 0.42 0.51 0.59 0.67 0.75 0.84 0.92 1.00

xe/Le 0.00 0.11 0.26 0.41 0.48 0.55 0.62 0.70 0.77 0.85 0.92 1.00

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

sesuaian yang baik dengan yang diperoleh dari hasil eksperimen. Pada sisi inner terjadi daerah tekanan rendah yang ditunjukkan dengan kontur warna biru, sedangkan pada sisi outer terjadi daerah bertekanan tinggi yang ditunjukkan dengan kontur warna kuning Peran sudu pengarah terlihat pada distribusi tekanan statis yaitu mengurangi perbedaan tekanan di sisi inner dan outer. Dengan adanya dua sudu pengarah, satu elbow seperti terbagi menjadi tiga elbow dengan radius ratio yang semakin kecil. Masing-masing elbow mempunyai sisi inner dan outer. Masing-masing sisi inner tetap sebagai daerah bertekanan rendah dan begitu pula masing-masing sisi outer tetap sebagai daerah bertekanan tinggi.

3. HASIL DAN ANALISA 3.1 Distribusi Tekanan Gambar 3 menunjukkan distribusi koefisien tekanan (Cp) pada rectangular elbow 90° tanpa sudu pengarah dari hasil eksperimen dan numerik. Pengukuran dilakukan pada midspan, baik inner maupun outer wall. Variabel x menyatakan posisi titik pengukuran searah streamline dan Dh adalah diameter hidrolik dari elbow. Kecenderungan dari distribusi Cp hasil eksperimen dan numerik menunjukkan kesesuaian yang baik. Distribusi Cp pada dinding inner dan outer pada sisi lengkung menunjukkan hal yang sangat sesuai dengan prediksi, dimana tekanan pada sisi lengkung luar lebih besar daripada tekanan pada sisi lengkung dalam. Perbedaana tekanan pada lengkung luar dan dalam tersebut sebagai potensi terjadinya aliran sekunder didalam elbow 90°. Oleh karenanya, pemasangan sudu pengarah diharapkan untuk mengurangi besar potensi terjadinya aliran sekunder tersebut dengan mengurangi besarnya perbedaan tekanan. Distribusi Cp ini sangat bersesuaian dengan distribusi tekanan yang ditunjukkan dalam bentuk kontur tekanan (Gambar 4). Pada sisi inner terjadi daerah bertekanan rendah sedangkan pada sisi outer terjadi daerah bertekanan tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan kontur warna biru tua dengan nilai kuantitatif rendah dan kontur berwarna merah dengan nilai kuantitatif tinggi. Gambar 5 menunjukkan distribusi wall pressure coefficient (Cp) hasil eksperimen dan hasil simulasi numerik pada midspan dinding inner dan outer dengan penambahan dua buah sudu pengarah. Secara kualitatif, distribusi Cp elbow dengan dua sudu pengarah (Gambar 5) serupa dengan distribusi Cp tanpa sudu pengarah (Gambar 3). Namun demikian, perbedaan antara tekanan pada dinding lengkung luar dengan tekanan pada dinding lengkung dalam untuk elbow dengan sudu pengarah jauh diperkecil. Hal ini berakibat pada penurunan potensi terjadinya aliran sekunder didalam elbow dengan sudu pengarah. Secara keseluruhan, terjadi peningkatan kerugian tekanan sebesar kurang lebih 2.6 kali untuk elbow dengan sudu pengarah dibandingkan dengan elbow tanpa sudu pengarah.

Gambar 4. Kontur tekanan statis (ps(g)), (N/m2) hasil simulasi numerik di midspan elbow tanpa sudu pengarah

Gambar 5. Distribusi wall pressure coefficient (Cp) inner dan outer wall elbow dengan dua sudu pengarah. (eksperimen dan numerik)

Gambar 3. Distribusi wall pressure coefficient (Cp) inner dan outer wall elbow tanpa sudu pengarah (eksperimen dan numerik).

Gambar 6. Kontur tekanan statis (ps(g)), (N/m2) hasil simulasi numerik di midspan elbow dengan dua sudu pengarah.

Hasil simulasi numerik kontur tekanan statis pada sisi midspan untuk elbow dengan sudu pengarah ditunjukkan pada Gambar 6. Hasil ini menunjukkan hasil yang ber-

Gambar 7 menunjukkan distribusi Cp searah radial sebagai fungsi posisi r/b, dimana r koordinat searah radial dan b = lebar elbow (= 50 mm). Pengukuran dimulai dari sisi K-61

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

lengkung dalam (inner) (A) sampai lengkung luar (outer) (A’). Pengukuran dilakukan untuk tiga penampang elbow: inlet elbow (A-A’), 45º elbow (B-B’), dan outlet elbow (C-C’). Secara umum dapat difahami bahwa ketika memasuki elbow, perbedaan tekanan antara inner dan outer cukup kecil karena masih berada pada daerah saluran lurus. Pada potongan B-B’, tekanan menunjukkan perbedaan tertinggi, karena berada pada saluran melengkung. Perbedaan tekanan kembali rendah ketika mendekati outlet elbow, dimana aliran memasuki saluran lurus kembali. Dengan penambahan dua sudu pengarah, terlihat bahwa distribusi tekanan pada B-B’ terjadi penurunan. Hal ini dikarenakan pada posisi 45° elbow dengan penambahan dua sudu pengarah dibagi menjadi 3 ruang. Ruang 1 adalah ruang yang dibatasi oleh solid surface inner elbow dan sudu pengarah, ruang 2 adalah ruang diantara dua sudu pengarah dan ruang 3 adalah ruang diantara solid surface outer elbow dan sudu pengarah. Ketiga ruang masing-masing mempunyai daerah bertekanan rendah pada sisi inner dan daerah bertekanan tinggi pada sisi outer. Dengan adanya pembagian ruang tersebut mengakibatkan selisih tekanan (∆Cp) antara sisi inner dan outer dari elbow berkurang. Pada potongan C-C’, distribusi tekanan mulai uniform. Hal ini terlihat dari distribusi tekanan statis searah radial yang tidak terjadi kenaikan yang siknifikan, baik pada elbow tanpa atau dengan penambahan dua sudu pengarah. Keadaan ini bersesuaian dengan hasil visualisasi numerik (Gambar 4 dan 6). Secara umum, dengan adanya sudu pengarah, maka perbedaan tekanan antara dinding inner dan outer elbow sebesar kurang lebih 31,19%.

elbow tanpa dan dengan penambahan dua sudu pengarah. Pada section 3 terlihat bahwa kecepatan maksimum aliran berada pada sisi inner terutama pada elbow tanpa sudu pengarah. Hal ini dikarenakan aliran berada pada daerah favorable pressure gradient sehingga seolah-olah terbentuk streamtube yang konvergen. Penambahan dua sudu pengarah menyebabkan aliran terbagi dalam tiga ruang. Ruang pertama adalah ruang yang dibatasi oleh solid surface inner elbow dan sudu pengarah, ruang kedua adalah ruang di antara dua sudu pengarah, dan ruang ketiga adalah ruang diantara solid surface outer elbow dan sudu pengarah. Dengan adanya tiga ruang tersebut menyebabkan distribusi kecepatan lebih uniform daripada elbow tanpa sudu pengarah. Pada section 4 terjadi defleksi lokasi kecepatan maksimum dari sisi inner menuju sisi outer pada elbow terutama untuk elbow tanpa sudu pengarah. Pada elbow dengan dua sudu pengarah ditunjukkan hal yang berbeda, dimana profil kecepatan tidak mengindikasikan adanya pengaruh geometri saluran yang berupa radius kelengkungan 90º karena distribusi kecepatan yang masih cenderung seragam. Adanya aliran berkecepatan rendah pada section 4 disebabkan adanya gesekan antara dinding sudu pengarah dengan fluida. Hal ini juga mengakibatkan terjadinya wake pada daerah trailing edge dari dua sudu pengarah tersebut.

Gambar 7. Data eksperimen distribusi wall pressure coeficient (Cp) tegak lurus streamline, elbow tanpa dan dengan dua sudu pengarah. 3.2 Profil Kecepatan Perkembangan profil kecepatan dari data eksperimen didalam elbow tanpa dan dengan dua sudu pengarah ditunjukkan pada gambar 8. Pada section 2 profil kecepatan mulai menunjukkan adanya pengaruh dari radius kelengkungan elbow dan penambahan dua sudu pengarah. Pada section ini terlihat kecepatan aliran maksimum berada di sisi inner, dimana pada saat aliran berada pada sisi inner mendekati inlet elbow maka aliran akan memasuki daerah favorable pressure gradient sehingga akan mengalami percepatan. Berbeda dengan kondisi aliran pada sisi outer yang merupakan daerah adverse pressure gradient dimana aliran mengalami perlambatan. Keadaan ini berlaku pada

Gambar 8. Distribusi profil kecepatan section rectagular elbow 90° tanpa dan dengan dua sudu pengarah pada semua section (data eksperimen). K-62

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

akan bertambah. Hal ini mengakibatkan bertambahnya efek gesekan akibat aksi viskos dari fluida yang mengalir. Sebagai konsekuensinya, meskipun aliran sekunder yang menghasilkan ukuran vortex yang besar bisa dihindari dengan adanya sudu pengarah ini, tetapi munculnya vortex-vortex (pusaran aliran) kecil (aliran sekunder) yang terbentuk pada sisi corner tidak dapat dihindari (Gambar 9b). Selain terbentuknya vortex pada sudut antara sudu pengarah dengan dinding saluran (Gambar 9b), maka adanya sudu pengarah juga membangkitkan adanya pertumbuhan aliran sekunder pada leading edge dari sudu pengarah tersebut (Gambar 10). Terjadinya aliran sekunder pada leading edge dari sudu pengarah dikarenakan adanya perkembangan boundary layer pada sisi lower dan upper dan pada sisi sudu pengarah serta adanya titik stagnasi. Titik dimana mulai terjadinya separasi disekitar leading edge dari sudu pengarah disebut sebagai saddle point. Pada daerah ini juga terjadi fenomena horse shoe vortex (3D flow separation) seperti yang terlihat pada gambar 11. Terjadinya horse shoe vortex ini merupakan akibat dari interaksi antara boundary layer pada dinding upper dan lower elbow dengan sisi sudu pengarah, atau biasa disebut dengan endwall effect. Bertemunya boundary layer ini akan menyebabkan aliran terjebak (blockage effect) kemudian akan terseparasi. Separasi material lapisan batas (boundary layer) ini selanjutnya menggulung (rolled up) dan membentuk horse shoe vortex yang menyelimuti sekeliling bodi sudu pengarah.

3.3 Aliran sekunder Aliran Sekunder didalam elbow tanpa sudu pengarah Struktur aliran sekunder untuk elbow tanpa sudu pengarah ditunjukkan pada Gambar 9a. Pada section 4 (outlet elbow) terdapat dua buah vortex yang simetri yaitu terletak di sisi upper pada daerah inner dan sisi lower pada daerah inner. Pusat vortex yang pertama terletak di dekat sudut A yaitu titik pertemuan antara dinding radius dalam dengan dinding upper (A-B) dengan arah CW (clock wise). Sedangkan vortex yang kedua terletak di sudut C, yaitu titik pertemuan antara dinding radius dalam dengan dinding lower (C-D) dengan arah CCW (counter clock wise). Pada posisi paling dekat dengan dinding upper (A-B) dan dinding lower (C-D), arah aliran sekundernya adalah dari dinding radius luar (B-D) menuju ke dinding radius dalam (A-C). Yang terakhir inilah yang merupakan karakter terpenting pada setiap aliran sekunder. Daerah midspan merupakan daerah yang jauh pusat vortex sehingga menunjukkan bahwa pada daerah midspan tidak begitu terpengaruh oleh lapis batas-lapis batas dinding. Pada daerah sudut pertemuan antara dinding upper (A-B) dan dinding radius dalam (A-C), dapat dilihat adanya aliran sekunder yang begitu kuat yang ditandai dengan adanya vektor kecepatan yang secara tiba-tiba berputar menuju dinding radius dalam dan kemudian ke midspan.

Gambar 10. Aliran sekunder pada lower wall dan leading edge dari sudu pengarah

Gambar 9. Vortex pada sudut elbow section 4: (a) elbow tanpa sudu pengarah: (b) elbow dengan dua sudu pengarah (hasil simulasi numerik) Aliran Sekunder didalam elbow dengan sudu pengarah Penambahan sudu pengarah merupakan salah satu usaha untuk mengurangi terjadinya aliran sekunder. Sudu pengarah berfungsi untuk mengurangi besarnya aliran sekunder yang disebabkan adanya perbedaan distribusi energi pada sisi inner dan outer. Namun demikian dengan adanya sudu pengarah maka permukaan dinding yang akan dilalui fluida

Gambar 11. Aliran sekunder akibat penambahan sudu pengarah pada lower wall dan leading edge sudu pengarah K-63

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[3] Danbon, F. & Solliec, C., 2000, “Aerodynamic Torque of Butterfly Valve-Influence of an Elbow on The Time-Mean and Instantaneous Aerodynamic Torque”, J. of Fluids Engineering, Vol. 122, hal. 337-344. [4] Marn, J. & Primoz, T., 2006, “Laminar Flow of Shear-Thickening Fluid in 90° Pipe Bend”, Fluid Dynamics Research, Vol. 38, hal. 295-312. [5] Liou, T. M. & Lee, H. L., 2001, “Effect of Guide-Vane Number in a Three-Dimensional 60 Deg Curved Side-Dump Combuster Inlet”, J. of Fluids Engineering, Vol. 123, hal. 211-218. [6] Sutardi & Amalina R., 2011, “Studi Eksperimen dan Numerik tentang Pressure Drop Aliran didalam Rectangular Elbow 90º dengan Guide Vane pada RE = 140000”, Seminar Nasional Teknik Mesin 6, Universitas Kristen Petra, 16 Juni, Surabaya, Indonesia. [7] Puti, S., 2010, “Studi Eksperimen dan Numerik tentang Pengaruh Penambahan Dua Buah Guide Vanes Terhadap Pressure Drop Aliran di Dalam Horizontal Rectangular Elbow 90º, “Studi Kasus Untuk Bilangan Reynolds, ReDh = 1,4 x 105”, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, FTI-ITS, Surabaya.

4. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan dapat diambil dari hasil studi eksperimen dan numerik aliran udara didalam rectangular elbow 90º. 1. Penambahan dua sudu pengarah pada elbow meningkatkan kerugian tekanan sebesar ~ 2,6 kali dibandingkan dengan kerugian tekanan di dalam elbow tanpa sudu pengarah. 2. Penambahan dua sudu pengarah menghasilkan selisih Cp antara dinding inner dan outer elbow sebesar ~ 31,19%. 3. Hasil simulasi numerik dan hasil eksperimen dalam hal kontur tekanan dan kecepatan aliran menunjukkan kesesuaian yang cukup baik. 4. Aliran sekunder berupa corner vortex dan horse shoe vortex terbentuk pada sekitar sudu pengarah.

DAFTAR PUSTAKA [1] Cheng, D. Y., 1994, “Laminar Flow Elbow System and Method”, U.S. Patent Documents, No. 5,323,661. [2] Kim, W. J. & Patel, C., 1994, “Influence of Streamwise Curvature on Longitudinal Vortices Imbeded in Turbulent Boundary Layers”, J. Computer Fluid, Vol. 23, hal. 647-673.

K-64

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

KARAKTERISTIK TEKANAN DAN ALIRAN SEKUNDER DI DALAM ASYMMETRIC FLAT-WALLED DIFFUSER 20° Sutardi, Ahmad Ubaidillah M. Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri

ITS Surabaya Indonesia 60111, Phone: 031-5922941; 031-5946230 1) Email: [emailprotected] Phone: 0062-31-8439040, Fax: 0062-31-84176581,2)

ABSTRAK Diffuser merupakan salah satu komponen teknik yang berfungsi untuk meningkatkan tekanan aliran fluida dengan cara memperlambat kecepatan aliran. Performa diffuser dapat ditunjukkan dengan nilai pressure recovery coefficient (Cpr) fluida yang mengalir di dalamnya. Namun, pengaruh adverse pressure gradient (APG) menyebabkan boundary layer berkembang dengan cepat sehingga dapat mengakibatkan separasi aliran dan Cpr menjadi rendah. Studi ini dilakukan dengan eksperimen dan numerik untuk aliran turbulen di dalam asymmetric flat-walled diffuser 20°. Bilangan Reynolds berdasarkan tinggi inlet diffuser dan kecepatan maksimum pada inlet diffuser adalah 12,9 x 104. Asymmetric diffuser memiliki panjang L1 = 500 mm, lebar span (b) = 100 mm dan tinggi inlet diffuser (W1) = 50 mm. Tekanan stagnasi dan tekanan statis diukur menggunakan inclined manometer dan digunakan untuk mendapatkan profil kecepatan dan distribusi tekanan. Studi numerik dengan software Fluent 6.3.26 digunakan sebagai perbandingan dengan studi eksperimen. Hasil studi menunjukkan bahwa terjadi separasi aliran disekitar x/L1= 0,02. Separasi menyebabkan nilai Cpr menjadi turun. Profil kecepatan dan distribusi Cp dari studi numerik bersesuaian dengan baik dengan hasil eksperimen. Aliran sekunder akibat separasi aliran mengakibatkan pressure drop yang lebih besar. Kata kunci: Asymmetric flat-walled diffuser, pressure recovery coefficient, separasi, pressure drop kinetik aliran menjadi energi potensial tekanan aliran yang baik. Kenaikan tekanan maksimum bisa diperoleh bila aliran dalam kondisi inviscid (ideal flow), dimana efek viskositas diabaikan. Untuk aliran yang nyata (real flow) efek dari viskositas tidak bisa diabaikan, sehingga kenaikan tekanan yang diperoleh didalam diffuser selalu lebih rendah dibandingkan untuk kasus aliran ideal. Oleh karena itu, kajian/studi tentang aliran fluida didalam diffuser untuk kasus aliran yang nyata masih tetap berlangsung secara intensif dalam rangka untuk menjaga agar kerugian aliran akibat dari viskositas dan separasi aliran didalam diffuser tersebut bisa diminimalkan. Pengendalian aliran didalam diffuser secara pasif pernah dilakukan oleh Reinhard [1]. Didalam kajiannya, Reinhard menggunakan metode numerik untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan splitter didalam diffuser terhadap kenaikkan tekanan yang terjadi. Telah dilaporkan bahwa semakin kecil aspect ratio dari diffuser, maka kemampuannya dalam meningkatkan tekanan juga berkurang. Penambahan splitter (pemisah aliran) didalam sebuah diffuser mempunyai kontribusi positif dalam hal pengurangan potensi terjadinya separasi aliran. Hal ini bisa menjaga nilai kenaikkan tekanan tetap tinggi. Di lain pihak, penambahan splitter ini mempunyai andil dalam hal peningkatan efek gesekan aliran didalam diffuser, yang akhirnya akan mengurangi kemampuan diffuser tersebut untuk meningkatkan tekanan. Oleh karena itu, optimasi penggunaan splitter didalam diffuser masih terus dalam kajian oleh para ahli mekanika fluida. Selain pengendalian pasif, maka pengendalikan perilaku aliran fluida didalam sebuah diffuser juga bisa dilakukan secara aktif. Salah satu metode yang telah dilakukan ialah

1. PENDAHULUAN Diffuser merupakan komponen sistem saluran fluida yang berfungsi untuk megurangi laju aliran didalam saluran. Pengurangan laju aliran ini dimaksudkan untuk membatasi kecepatan maksimum aliran yang diijinkan untuk jenis saluran tertentu, seperti pipa, saluran persegi, saluran berbentuk oval, dan sebagainya. Dengan pengurangan kecepatan ini diharapkan tingkat kebisingan dan getaran yang diakibatkan oleh aliran bisa dikurangi. Sebagai konsekuensi dari penurunan kecepatan ini, aliran didalam diffuser mengalami peningkatan tekanan. Peningkatan tekanan searah dengan aliran fluida ini disebut sebagai gradien tekanan balik (adverse pressure gradient) yang sering disingkat sebagai APG. Aliran yang mengalami adverse pressure gradient rentan terhadap terjadinya separasi. Hal ini akan lebih parah lagi bila ditambah dengan tegangan geser yang terjadi pada dinding cukup besar. Oleh karenanya, perlakuan terhadap aliran di daerah yang mengalami APG perlu perhatian khusus. Dalam hal ini, sudah banyak kajian/studi tentang berapa besar pengaruh APG ini terhadap terjadinya separasi. Sebuah diffuser dikatakan memiliki kualitas yang baik bila mampu meningkatkan tekanan aliran fluida didalamnya. Ukuran peningkatan tekanan ini bisa dilihat dari kenaikan tekanan dari posisi masuk ke posisi tepat di keluaran diffuser, katakan po – pi, dimana pi adalah tekanan pada posisi inlet diffuser sedangkan po adalah tekanan pada saat keluar dari diffuser. Untuk harga pi tertentu, maka semakin tinggi tekanan po yang diperoleh menandakan bahwa diffuser tersebut memiliki kemampuan mengkoversikan energi K-65

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

pengendalian secara aktif menggunakan hisapan (suction) dan hembusan (blowing) yang dilakukan oleh Raghunathan dan Cooper [2]. Meskipun peningkatan tekanan bisa diperoleh untuk konfigurasi sudah hisap dan sudut hembus tertentu, kemungkinan separasi aliran akibat sudut hembus yang kurang optimal masih bisa terjadi. Oleh karenanya, kajian penggunaan pengendalian aktif seperti ini juga masih perlu dikaji lebih lanjut. Dengan menggunakan vortex generator, peningkatan nilai koefisien tekanan (pressure coefficient, Cp) didalam asymmetric diffuser sebesar ~ 0.2 telah dilaporkan [3]. Hal ini memberi harapan baru tentang kemungkinan peningkatan kemampuan diffuser dalam hal meningkatkan tekanan menggunakan metode pasif. Oleh karena itu, kombinasi pengontrolan pasif dan aktif sangat memungkinkan untuk menghasilkan peningkatan tekanan didalam diffuser yang besar. Kajian separasi aliran / aliran sekunder didalam diffuser merupakan langkah awal untuk mengetahui konfigurasi diffuser yang optimal yang akan dikendalikan alirannya, baik secara pasif maupun secara aktif. Studi kali ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tekanan dan aliran sekunder didalam sebuah asymmetric flat-walled diffuser 20° untuk bilangan Reynolds ReW1 = 12,9 x 104. Disamping itu, distribusi profil kecepatan didalam diffuser juga dibahas didalam studi ini.

Gambar 1. Instalasi penelitian. 2.2. Metoda Numerik

2. METODE

Pada studi numerik digunakan software Fluent 6.3.26 secara 2 dimensi dan Gambit 2.2. Model turbulen yang digunakan adalah standar k-ε, dengan kriteria konvergensi sebesar 10-6. Secara detail metoda ini dapat dilihat pada [4].

Secara umum, metode yang digunakan didalam studi ini telah diuraikan oleh penulis didalam paper [4]. Oleh karena itu, hanya sebagian kecil yang diuraikan didalam paper ini.

3. HASIL DAN ANALISA

2.1. Peralatan dan Metoda Eksperimen

3.1 Profil Kecepatan

Studi dilakukan di Laboratorium Mekanika Fluida Jurusan Teknik Mesin, FTI, ITS. Peralatan penelitian berupa instalasi diffuser dan perlengkapannya (Gambar 1). Udara digerakkan oleh sebuah blower hisap dengan kapasitas 2300 m3/jam dan putaran motor 2800 rpm. Model uji berupa difuser dengan panjang 500 mm, lebar inlet 100 mm, dan tinggi inlet 50 mm. Pengukuran tekanan dilakukan menggunakan manometer miring yang diisi dengan minyak merah dengan specific gravity (SG) = 0.804. Manometer tersebut dihubungkan baik ke pressure tap pada dinding test section (penampang uji) maupun pada Pitot tube, untuk mendapatkan kecepatan dan tekanan stagnasi. Dalam eksperimen ini digunakan kecepatan freestream sekitar 37.51 m/s, yang berkaitan dengan bilangan Reynolds (ReW1) sebesar ReW1 = 12,9 x 104, didasarkan pada tinggi diffuser inlet dan kecepatan maksimum pada diffuser inlet. Tabel 1 menunjukkan ukuran-ukuran penting dari test section.

Gambar 2 menunjukkan distribusi profil kecepatan di dalam diffuser pada angka Reynolds sebesar 12,9 x 104, baik dari eksperimen maupun dari simulasi numerik. Hasil dari eksperimen dan dari simulasi numerik menunjukkan kesesuaian yang cukup baik untuk distribusi kecepatan ini. Distribusi kecepatan tersebut dengan jelas menunjukkan gejala aliran terseparasi, terutama distribusi kecepatan dari simulasi numerik. Pada gambar 2 tersebut terlihat bahwa pada posisi x/L1 = 0.2, sebagian aliran di dekat dinding sudah mengalami aliran balik (back flow), sehingga bisa diperkirakan separasi aliran sudah dimulai pada posisi 0.0 < x/L1 < 0.2. Profil kecepatan dari hasil eksperimen pada lokasi yang sama tidak bisa menunjukkan adanya indikasi aliran balik tersebut. Hal ini bisa dimaklumi bahwa pengukuran kecepatan menggunakan Pitot-static tube tidak bisa mendeteksi adanya aliran balik. Bila sebuah Pitot-static tube dikenai aliran balik (back flow) maka yang bisa diinformasikan hanyalah nilai nol, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 tersebut. Gambar 3 menunjukkan struktur vortex dan vektor kecepatan dari hasil simulasi numerik didalam diffuser yang sedang dikaji. Dari gambar 3 terlihat dengan jelas posisi titik separasi pada dinding yang divergen. Ukuran vortex yang besar tersebut sangat erat kaitannya dengan kemampuan diffuser untuk menaikkan tekanan dari inlet ke outlet diffuser. Semakin besar ukuran vortex, maka kemampuan diffuser untuk menaikkan tekanan akan menurun.

Tabel 1. Spesifikasi dari Test Section Bahan Panjang diffuser (L1) Panjang downstream channel (L2) Panjang upstream channel (L3) Lebar span (b) Tinggi inlet (W1) Tinggi outlet (W2) Sudut divergensi (θ)

Akrilik transparan 500 mm 500 mm 300 mm 100 mm 50 mm 232 mm 20°

K-66

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 3. Struktur vortex dan vektor kecepatan di dalam diffuser 20° dari simulasi numerik (kecepatan dalam m/s) Aliran vortex yang juga merupakan aliran terseparasi biasa disebut juga sebagai bentuk aliran sekunder. Aliran ini dinamakan aliran sekunder karena secara umum arah alirannya tidak sama dengan arah aliran utama. Dalam hal diffuser yang sedang didiskusikan, aliran utama searah dengan sumbu x (Gambar. 1), sementara aliran vortex merupakan aliran yang bersirkulasi didalam diffuser tersebut. Dalam kasus aliran dua dimensi, aliran vortex hanya bergerak melingkar pada bidang x-y. Tidak demikian halnya untuk aliran tiga dimensi. Untuk kasus yang terakhir ini, kalau aliran utama (main flow) searah dengan sumbu x, maka aliran sekunder yang berupa vortex bisa merupakan aliran melingkar pada bidang x-z, y-z, maupun kombinasi keduanya. Apapun bentuk aliran vortex ini, baik 2-D maupun 3-D, maka ia selalu merupakan bagian (regime) aliran yang mengalami disipasi energi kinetik melalui aksi turbulen dan viskos. Gambar 4 menunjukkan distribusi koefisien tekanan (coefficient of pressure, Cp) aliran didalam diffuser secara numerik (dinding divergen (upper wall) dan dinding datar (lower wall)) dan dari hasil eksperimen (lower wall), serta Cp untuk aliran inviscid sebagai perbandingan. Distribusi Cp untuk upper wall dari hasil eksperimen belum bisa di-plotkan didalam studi ini.

Gambar 2. Profil kecepatan pada beberapa cross section x/L1 hasil eksperimen dan numerik untuk ReW1 = 12,9 x 104, u/Umax local Dua hal yang kontraproduktif dari terbentuknya vortex didalam diffuser terhadap kemampuan peningkatan tekanan. Pertama, terbentuknya vortex tersebut mengakibatkan terbangkitnya tingkat turbulensi aliran yang besar, dimana hal ini memicu terjadinya disipasi energi kinetik dari aksi turbulen dan viskos. Disipasi energi kinetik ini sangat dipengaruhi oleh efek viskos dari fluida sehingga bersifat non-reversible. Disipasi dari energi kinetik turbulen ini berakhir pada terbentuknya panas, dimana hal ini merupakan bagian dari losses (kerugian) energi dari aliran. Kedua, terbentuknya vortex tersebut mengakibatkan aliran seperti terblokir (blockage effect). Hal ini mengakibatkan luasan efektif aliran berkurang sehingga menimbulkan percepatan aliran secara lokal. Sebagai konsekuensi, maka terjadilah penurunan tekanan secara lokal yang berakibat terhadap kemampuan diffuser untuk meningkatkan tekanan fluida di dalamnya akan menurun. K-67

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Pada gambar 4 tersebut terlihat bahwa Cp maksimum yang bisa dicapai dari geometri diffuser ini ialah sekitar 0.95, yaitu untuk kasus aliran inviscid. Sebaliknya, untuk kasus aliran riil/nyata, Cp maksimum yang bisa dicapai hanya sekitar 0.38 (numerik) dan sekitar 0.36 (eksperimen). Perbedaan Cp maksimum hasil eksperimen dan numerik terhadap Cp maksimum untuk kasus aliran inviscid dikarenakan bahwa didalam aliran inviscid tidak ada efek gesekan dan tidak terjadi vortex didalam diffuser. Sedangkan didalam aliran riil (eksperimen dan numerik), pengaruh dari viskositas tidak bisa diabaikan dan didalamnya terbentuk vortex. Seperti telah disebutkan didepan bahwa efek viskositas dan terbentuknya vortex tersebut sebagai penyebab terjadinya losses/kerugian didalam ailran, baik kerugian momentum, tekanan, maupun energi. Pada gambar 4 juga terlihat bahwa hasil simulasi numerik untuk Cp mempunyai kesesuaian yang cukup baik dengan harga Cp dari hasil eksperimen, meskipun dalam hal ini hanya ditunjukkan distribusi Cp untuk dinding datar (tidak divergen). Hal ini mengindikasikan bahwa model turbulen jenis standar k- cukup baik digunakan untuk memprediksi karakteristik tekanan pada dinding diffuser yang sedang dikaji. Untuk kasus pada dinding yang divergen, prediksi Cp menunjukkan adanya diskontinyuitas tekanan pada lokasi perubahan luas penampang (x/L1 = 0.0 dan 1.0). Dalam hal ini, diskontinyuitas yang lebih kuat berada pada x/L1 = 0.0.

Cpr 

po  pi 1 U i2 2

.

(1)

dimana po dan pi, telah didefinisikan pada § “Pendahuluan”,  = densitas fluida, dan Ui = kecepatan maksimum pada x/L1 = 0.0 (inlet diffuser). Oleh karena itu, harga Cpr ini identik dengan harga Cp pada posisi streamwise x/L1 = 1.0. Untuk kasus aliran inviscid, Cpr ini dengan sendirinya identik dengan harga Cp maksimum. Sebaliknya, untuk kasus aliran riil, maka Cpr ini tidak selalu sama dengan harga Cp maksimum. Untuk kasus didalam studi ini, harga Cpr  0.26 (eksperimen) dan 0.27 (numerik), dimana harga-harga ini lebih rendah daripada harga Cp maksimum ( 0.38).

4. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan dapat diambil dari hasil studi eksperimen dan numerik aliran udara didalam asymmetric flat-walled diffuser 20° untuk ReW1 = 12,9 x 104, diantaranya: 1. Profil kecepatan menunjukkan bahwa aliran mengalami backflow pada daerah di dekat dinding divergen sedangkan pada daerah di dekat dinding datar tidak terjadi back flow. Back flow terjadi sampai pada outlet diffuser. 2. Titik separasi berada di rentang 0.0 < x/L1 < 0.2. 3. Separasi aliran menyebabkan koefisien tekanan (Cp) dan pressure recovery coefficient (Cpr) menjadi rendah. 4. Hasil dari simulasi numerik menunjukkan kesesuaian yang baik dengan hasil eksperimen untuk kecepatan dan Cp khususnya untuk kasus Cp pada dinding datar (lower wall).

DAFTAR PUSTAKA [1] Reinhard, W., 2006, “Influence of Aspect Ratio on Diffuser Performance”, Institute for Thermodynamics and Energy Conversion, Vienna University of Technology, 05 Juni 2012, http:// www.zid.tuwien.ac.at/projekte/2006/06-302-2.pdf. [2] Raghunathan, S. & Cooper, R. K., 2000, “Passive Boundary Layer Control With Slots in Short Diffusers”, J. Fluids Engineering, Vol. 122, hal. 177-179. [3] Törnblom, O., Herbst, A., & Johansson, A. V., 2003, “Separation Control in a Plane Assymetric Diffuser by Means of Streamwise Vortices-Experiment”, Modelling and Simulation, 6 Maret 2006, http://www.nmri.go.jp/ turbulence/pdf. [4] Sutardi & Ahmad Ubaidillah M., 2011, “Studi Eksperimen dan Numerik Karakteristik Boundary Layer didalam Asymmetric Flat-Walled Diffuser 20°”, Prosiding Seminar Nasional Thermofluid 2011, Univ. Gajah Mada, Yogyakarta, Okt. 04.

Gambar 4. Distribusi koefisien tekanan (Cp) pada sisi upper wall dan lower wall hasil eksperimen dan numerik beserta Cp untuk aliran inviscid. Didefinisikan besaran pressure recovery coefficient (Cpr) sebagai:

K-68

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

STUDI NUMERIK PERPINDAHAN PANAS ALIRAN YANG MELINTASI (CROSSFLOW) SILINDER SIRKULAR TUNGGAL PADA REGIME SUB-CRITICAL Arif Kurmiawan1) Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nipember FTI-Teknik Mesin, Surabaya 60111. Indonesia 1) Phone: 081-8520706 1) E-mail : [emailprotected])

1)

ABSTRAK Aliran yang terjadinya pada silinder sirkular ditandai dengan adanya titik stagnasi, separasi shear layer dan terbentuknya wake. Karakteristik flow regimes alirannya bisa berupa unsteady laminar (regime terbentuknya vortex shedding), transitional ( regime dengan pola aliran transisi menuju turbulen pada daerah wake) dan sub-critical ( regime terbentuknya turbulen pada shear layer). Besarnya nilai Reynolds number sangat berpengaruh pada karakteristik flow regimes aliran ini, sedangkan proses perpindahan panasnya banyak dipengaruhi oleh nilai Prandtl number. Besarnya nilai heat transfer ditunjukkan dengan parameter Nusselt number. Penelitian ini menggunakan studi numerik dengan memodifikasi kuantitas turbulen, yaitu pada turbulent viscosity dengan melakukan interpret udf (user define function). Hasil studi numerik yang berupa Nusselt number akan dibandingkan dengan nilai Nusselt number hasil eksperimen. Metode yang digunakan adalah 2-D, steady dan unsteady, RANS (Reynolds-Averaged Navier Stokes) dengan 3 pemodelan,yaitu standard k-є, standard k-ω, dan SST k-ω turbulence model. Studi numerik menunjukkan hasil yang signifikan pada proses perpindahan panas di titik stagnasi. Kata kunci: Nusselt number, turbulent viscosity, titik stagnasi. mereduksi perhitungan level turbulen dengan cara menaikkan produksi disipasi energi atau menurunkan produksi turbulent kinetic energy. Penelitian yang telah dilakukan dengan memodifikasi turbulent viscosity digunakan untuk mengananalisis perpindahan panas pada titik stagnasi.[8] Studi ini menggunakan parameter data hasil eksperimen[9] yang akan dibandingkan dengan data hasil simulasi numerik. Reynolds number eksperimen sebesar ReD = 35950, diameter silinder sirkular (D) 25 mm, turbulence intensity Tu = 0.34%, kecepatan v = 25 m/s, Strouhal number St = 0.16, frekuensi 216 Hz. Property fluida menggunakan udara Pr = 0.7, dengan kondisi temperatur dinding silinder sirkular dijaga konstan pada temperatur Tw 310 ºC, temperatur freestream T~ = 28 ºC. Pengukuran eksperimen pada Nusselt number front stagnation point diperoleh hasil sebesar Nufsp = 184. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh modifikasi turbulent viscosity pada hasil simulasi numerik dengan membandingkan data hasil simulasi dengan data hasil eksperimen.

1. PENDAHULUAN Aliran yang melintasi (cross flow) silinder sirkular pada range Reynolds number tertentu yaitu ReD ≥ 40 kemungkinan besar akan terjadi fenomena aliran yang dikenal dengan istilah vortices,periodik vortex, vortex shedding dan karman vortex street akibat adanya separasi aliran.[1][2][3] Pada downstream di belakang silinder sirkular di wake region adalah area yang merupakan tempat yang signifikan terjadinya peningkatan heat transfer.[1][4][5] Pada daerah itu, mixing layer fluida pada permukaan silinder sirkular lebih sering terjadi karena adanya rotasi dan sirkulasi (swirling atau stirring) dari aliran fluida. Regime sub-critical berada pada range Reynolds number sekitar 300 < ReD < 2x105. Pada regime ini akan terjadi turbulent wake, separasi shear layer, periodic vortex dan untuk Reynolds number yang cukup tinggi akan terbentuk laminar boundary layer yang terseparasi di upstream silinder sirkular dengan kondisi karakteristik aliran yang cenderung turbulence. Nilai Strouhal numbernya konstan pada St = ± 0.2. Dari hasil studi dan penelitian tentang periodic vortex[1][2][3][4][5], proses terjadinya diawali dengan adanya separasi kemudian terbentuk vorticity yang banyak dipengaruhi oleh adanya adverse pressure gradient dan shear stress (gaya viskos) serta gaya-gaya aerodinamik seperti drag force dan lift force. Diketahui bahwa fenomena aliran yang mengarah pada terbentuknya periodic vortex flow dapat meningkatkan heat transfer, dalam hal ini adalah dapat meningkatkan nilai dari Nusselt number, dimana Nusselt number merupakan parameter yang mengindikasikan terjadinya proses heat transfer yang nilainya sangat dipengaruhi oleh Reynolds number dan Prandtl number. Modifikasi turbulent viscosity[6][7] dimaksudkan untuk

2. METODOLOGI 2.1. Konsep dan Persamaan Dasar Pada studi ini, aliran diasumsikan sebagai 2-D (dua dimensi), fully developed, external flow, setting simulasi steady dan unsteady, incompressible of Newtonian fluid dan viscous fluid. Persamaan dasar aliran dan perpindahan panas:  Mass Conservation ∂ρ + ∇ ρu = 0 (1) ∂t  Continuity ∇. u = 0  Momentum Conservation (Navier Stokes) K-69

(2)

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia ∂u ∂t

1

+ u. ∇ u = − ρ ∇p − g + ν∇²u

 Energy ∂T ρCp ∂t + ρCp u. ∇ T = k∇²T  Nusselt Number hconv D 𝑁𝑢 = k fluid

dimana

(3)

2

𝜌𝑃𝑘 = 𝑅: ∇𝑈 = −3 𝜌𝑘 ∇. 𝑈 + 2𝜇𝑡 𝑆

2

dengan Sij = ½(𝜕jUi + 𝜕iUj)  Spesific Dissipation Rate (є)

(4)

𝜕𝑡 𝜌𝜀 + ∇. 𝜌𝑈𝜀 =

2

− 3𝜇𝑡 ∇. 𝑈

(5)

𝐶𝜀 1 𝜌 𝑃𝑘− 𝐶𝜀 2 𝜌𝜀 𝑇

+ ∇. ((𝜇 +

 Turbulent viscosity(Eddy viscosity) 𝜇𝑡 = 𝐶𝜇 𝜌𝑘𝑇𝑡  TurbulentTime Scale (Tt)

2.2 Model dan Metode Numerik

𝑇𝑡 = 𝑚𝑖𝑛 Simulasi menggunakan metode RANS (Reynoldsaveraged Navier-Stokes) model, software FLUENT 6.3 dengan 3 model turbulen yaitu standard k-є, standard k-ω, dan SST k-ω turbulence models. Computation domain dibuat sesuai dengan geometri kasus dari aliran fluida dan perpindahan panas yang akan diteliti, yaitu aliran melintasi (cross flow) silinder sirkular dalam sebuah wind tunnel dengan kondisi aliran konveksi paksa (force convection) 2-D. Model meshing menggunakan quadrilateral map, seperti pada Gambar 1.

𝑘

,

2

𝜀 3𝐶𝜇

2

𝜇𝑡 )∇𝜀 𝜎𝜀

(6) (7)

3 8𝑆2

(8)

 Model Konstan Cε1 = 1.44; Cε2 = 1.92; σε = 1.3; Cμ = 0.09 Modifikasi turbulent viscosity pada standard k-ω:[6][7]  Turbulent Kinetic Energy 𝜕𝑡 𝜌𝑘 + ∇. 𝜌𝑈𝑘 = 𝜌𝑃𝑘 − 𝐶𝜇 𝜌𝜔𝑘 + ∇. ( 𝜇 + 𝜎𝑘 𝜇𝑡 ∇𝑘), dimana 2 2 𝜌𝑃𝑘 = 𝑅: ∇𝑈 = −3 𝜌𝑘 ∇. 𝑈 + 2𝜇𝑡 𝑆 2 − 3 𝜇𝑡 ∇. 𝑈 2 dengan Sij = ½(𝜕jUi + 𝜕iUj) (9)  Spesific Dissipation Rate (ω) 𝜕𝑡 𝜌𝜔 + ∇. 𝜌𝑈𝜔 = 𝑇1

𝛾1 𝐶𝜇 𝑘

𝜌𝑃𝑘 −

∇. (𝜇 + 𝜎𝜔 𝜇𝑡 )∇𝜔 )  Turbulent viscosity(Eddy viscosity) 𝜇𝑡 = 𝐶𝜇 𝜌𝑘𝑇𝑡  TurbulentTime Scale (Tt) 𝑇𝑡 = 𝑚𝑖𝑛

1 𝐶𝜇 𝜔

,

𝛽1 𝐶𝜇

𝜌𝜔 +

𝛼

(10) (11) (12)

6 𝐶𝜇 𝑆

 Model Konstan σk = 0.5; σω = 0.5; γ1 = 5/9; β1 = 0.075; Cμ = 0.09 Sebelum melakukan simulasi pada FLUENT, maka harus dilakukan setting sesuai kasus dan parameter data yang akan disimulasikan. Dalam studi ini menngunakan parameter data eksperimen seperti yang sudah dijelaskan pada bagian pendahuluan. Simulation setting yang digunakan pada FLUENT bisa dilihat pada tabel 2. Tabel 1. Simulation Setting Settings Simulation type Solver

Gambar 1. Computation domain and model meshing (quadrilateral map) FLUENT mengunakan metode finite volume dan teknik implisit dalam menyelesaikan persamaan-persamaan aliran fluida dan perpindahan panas pada kasus yang terjadi. Setting FLUENT dalam kasus yang terjadi pada penelitian ini adalah sbb: pressure discretization menggunakan STANDARD method, velocity-pressure coupling discretization menggunakan SIMPLEC method, dan QUICK discretization scheme digunakan untuk menyelesaikan persamaan momentum, turbulent kinetic energy dan persamaan energi. Turbulence model yang dipakai pada studi ini adalah standard k-є, standard k-ω, dan SST k-ω turbulence models. Pada standard k-є dan standard k-ω dilakukan modifikasi turbulent viscosity, sedangkan pada SST k-ω menggunakan persamaan dasarnya dan tanpa melakukan modifikasi. Modifikasi turbulent viscosity pada standard k-є:[6][7]  Turbulent Kinetic Energy

Temporal discretization Turbulence model turbulen viscosity Pressure Pressure-velocity coupling Momentum Turbulent kinetic energy (for k-ω model) Turbulent dissipation rate (for SST) Specific dissipation rate Energi

Pemilihan 2-D, Steady dan Unsteady Double precision, Pressure based and implicit 2nd order k-є, k-ω and SST; modifikasi STANDARD SIMPLEC QUICK QUICK QUICK QUICK 10-7

Inlet Parameter: A. Fluida: Udara:ReD = 35950; Pr = 0.7, T~ = 28 ºC,v=25m/s B. Silinder Sirkular: diameter (D) = 25 mm, Tw 310 ºC

𝜕𝑡 𝜌𝑘 + ∇. 𝜌𝑈𝑘 = 𝜌𝑃𝑘 − 𝜌𝜀 + ∇. ((𝜇 + 𝜇𝑡 )∇𝑘 ,

K-70

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakteristik Aliran Karakteristik aliran ditandai dengan adanya titik stagnasi, separasi, shear layer dan periodic vortex. Karakteristik aliran pada regime sub-critical ReD = 35950 yaitu shear layer pada bagian atas dan bawah permukaan silinder mengulung membentuk small-scale vortices(eddy) disertai terbentuknya laminar boundary layer yang terseparasi melalui upstream bagian depan silinder.

Gambar 5. Surface Nusselt number (NuФ) pada ReD = 35950 hasil simulasi steady dengan dan tanpa modifikasi, serta data eksperimen[9].

Gambar 2. Kontur aliran pada unsteady k-ω SST turbulent model (tanpa modifikasi turbulent viscosity) Pada downstream di belakang silinder sirkular terjadi turbulent wake dan periodic vortec seperti pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Istilah yang dipakai pada studi numerik ini adalah T-Lim (T-Limited) yang menunjukkan bahwa model turbulen yang dipakai dalam bentuk modifikasi. Sedangkan T-Ave menunjukkan bahwa simulasi dilakukan pada kondisi unsteady. Pada Gambar 4 dan Gambar 5 terlihat jelas bahwa heat transfer yang terjadi sebelum dilakukan modifikasi pada turbulent viscosity hasil simulasi menunjukkan nilai yang berada di atas hasil data eksperimen baik pada aliran steady dan unsteady. Sedangkan hasil simulasi yang menggunakan modifikasi pada turbulent viscosity menunjukkan hasil yang sangat signifikan dimana nilainya hampir mendekati hasil pada eksperimen terutama nilai heat transfer pada titik stagnasi Nusselt number front stagnation point (Nufsp). Pengaruh dari metode modifikasi turbulent viscosity adalah bahwa modifikasi turbulent viscosity dapat menurunkan besarnya nilai turbulent kinetic energy, atau dalam hal ini adalah dapat meningkatkan terjadi disipasi. Kondisi ini dapat diperjelas dengan melihat kontur level turbulent kinetic energy seperti terlihat pada Gambar 6,7,8 dan 9.

Gambar 3. Kontur aliran pada unsteady standard k-є turbulent model (tanpa modifikasi turbulent viscosity) 3.2 Hasil Simulasi Numerik Perpindahan Panas

Gambar 6. Kontur Level turbulent kinetic energy pada steady standard k-є turbulent model (tanpa modifikasi turbulent viscosity) Gambar 4. Surface Nusselt number (NuФ) pada ReD = 35950 hasil simulasi unsteady dengan dan tanpa modifikasi, serta data eksperimen[9].

Dari Gambar 6,7,8 dan 9 tampak jelas bahwa simulasi numerik yang menggunakan metode modifikasi turbulent viscosity dapat menurunkan level turbulent kinetic energy K-71

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

terutama di titik stagnasi, sedangkan pada wake region juga berpengaruh tapi tidak terlalu signifikan jika dibandingkan pengaruhnya di titik stagnasi.

Tabel 2. Nusselt number front stagnation point (Nufsp) Nufsp eksperimen =184 Perbedaan Steady Standard k-є ( Nufsp =233.48) 26.89 % Unsteady Standard k-є (Nufsp =233.48) 26.89% Standard k-є T-Lim (Nufsp =178.28) -3.1% Unsteady Standard k-є T-Lim (Nufsp =180.28) -0.02% Steady Standard k-ω( Nufsp =378.32) 105.6% Unsteady Standard k-ω (Nufsp = 494.37) 168.7% Standard k-ω T-Lim (Nufsp =182.32) -0.91% Unsteady Standard k-ω T-Lim (Nufsp =181.29 ) -1.47% Steady k-ω SST ( Nufsp =187.28) 1.78% Unsteady k-w SST ( Nufsp =188.35) 2.36%

Gambar 7. Kontur Level turbulent kinetic energy pada steady standard k-є turbulent model (dengan modifikasi turbulent viscosity)

3. KESIMPULAN

Gambar 8. Kontur Level turbulent kinetic energy pada steady standard k-ω turbulent model (tanpa modifikasi turbulent viscosity)

 Pengaruh penggunaan metode modifikasi dapat menurunkan besarnya level turbulent kinetic energy, sehingga juga mereduksi besarnya nilai heat transfer. Jika diaplikasikan pada simulasi numerik hasilnya adalah dapat memberkan prediksi yang lebih akurat pada proses perpindahan panas di titik stagnasi.  Model turbulen k-ω SST bisa digunakan untuk memprediksi proses perpindahan panas pada aliran yang melintasi silinder sirkular dengan hasil yang cukup akurat meskipun tanpa menggunakan modifikasi turbulent viscosity pada ReD yang cukup tinggi di sub-critical regime. Model k-ω SST juga cukup akurat memprediksi perpindahan panas pada Reynolds number yang lebih rendah seperti yang pernah diteliti oleh penulis.[10]  Untuk memprediksi proses perpindahan panas yang menggunakan model turbulen standard k-є dan standard k-ω baik aliran steady dan unsteady hasilnya akan lebih akurat jika menggunakan metode modifikasi turbulent viscosity.

Gambar 9. Kontur Level turbulent kinetic energy pada steady standard k-ω turbulent model (dengan modifikasi turbulent viscosity)

DAFTAR PUSTAKA [1] Sanijai, S., and Goldstein, R. J., Forced convection heat transfer from a circular cylinder in crossflow to air and liquids, International Journal of Heat and Mass Transfer 47 (2004) 4795–4805. [2] Sarkar, S., et. al. , Unsteady wake dynamics and heat transfer in forced and mixed convection past a circular cylinder in cross flow for high Prandtl numbers, International Journal of Heat and Mass Transfer 54 (2011)3536-3551. [3] Roshko A., On the Development of Turbulent Wakes From Vortex Streets, (1953) Supersedes NACA TN 2913. [4] Beaudan, P. and Moin, P. (1994), Numerical Experiments on The Flow past a Circular Cylinder at Sub-Critical Reynolds Number, Research in Stanford University California. [5] Kieft, R., et. al., Near-wake effects effects of a heat input on the vortex-shedding mechanism, International Journal of Heat and Fluid Flow 28 (2007) 938-947. [6] Durbin, P. A., On the k-є stagnation point anomaly, International Journal Heat and Fluid Flow, Vol. 17, no.1, February 1996

Besarnya nilai heat transfer yang terjadi pada aliran yang melintasi silinder sirkular tunggal pada titik stagnasi ada hubungannya dengan besarnya heat flux, yang dirumuskan dengan persamaan sbb: 𝜇 𝑡 𝐶𝑝 𝑞𝑡 = 𝑃𝑟 ∇𝑇 (13) 𝑡

dimana T=temperatur Dari persamaan ini dapat dipahami bahwa dengan memodifikasi μt (turbulent viscosity) yaitu pada parameter T-Limited atau pada parameter TurbulentTime Scale (Tt) dapat berpengaruh untuk mereduksi besarnya heat transfer yang terjadi. Besarnya perbandingan nilai Nusselt number front stagnation point (Nufsp) hasil simulasi dan eksperimen bisa dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa modifikasi turbulent viscosity memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada proses terjadinya heat transfer di titik stagnasi. Yang menarik adalah pemodelan menggunakan k-ω SST dapat memprediksi perpindahan panas di titik stagnasi dengan hasil yang cukup akurat meskipun tanpa menggunakan modifikasi turbulent viscosity. K-72

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[7] Medic, G. and Durbin, P. A., Toward Improved Prediction of Heat Transfer on Turbine Blades, Journal of Turbomachinery, 2002, Vol. 124, 187-192. [8] Szczepanic, K., et. al., A Numerical Study of Heat Transfer from a Cylinder in Crossflow, 15th Australasian Fluid Mechanics Conference, 13-17 December 2004 [9] Scholten, J. W. and Murray, D. B., Unsteady Heat Transfer and Velocity of a Cylinder in Cross Flow – I.

Low Freestream Turbulence, International Journal of Heat and Mass Transfer, 1998, 41, (10), 1139-1148. [10] Kurniawan, A., Studi Numerik Pengaruh Prandtl Number dan Reynolds Number pada Aliran Unsteady Melintasi (Cross Flow) Silinder Sirkular Tunggal Terhadap Karakteristik Aliran dan Perpindahan Panas, 2012, Seminar Nasional SCIETEC, Universitas Brawijaya Malang.

K-73

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PERANCANGAN FUEL GAS TREATMENT UNTUK PLTG Toto Supriyono1), Bambang Ariantara2) Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung Jalan. Dr. Setiabudi No. 193 Bandung Phone: 022-2019352, Fax: 022-2019329 E-mail : [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Pembangkit listrik Tenaga Gas, PLTG biasanya menggunakan penggerak utama turbin gas untuk menggerakkan generatornya sehingga dihasilkan listrik. Bahan bakar yang dapat digunakan untuk mengoperasikan turbin gas adalah salah satu bahan bakar cair (Destilate oil) atau gas alam (natural gas). Bahan bakar gas (BBG/natural gas) harus melewati beberapa perlakuan (treatment) terlebih dahulu sebelum disuplai langsung ke dalam ruang bakar turbin gas untuk mengurangi berbagai kandungan partikel dan uap air yang terdapat di dalam BBG tersebut yang dapat menurunkan unjuk kerja turbin gas. Dengan proses perlakuan terhadap BBG ini, diharapkan nantinya keluaran daya turbin untuk menggerakan generator dapat terjaga sesuai spesifikasi turbin gas. Dalam kegiatan ini telah dilakukan perancangan sistem treatment BBG dan pemilihan peralatan utamanya (fuel gas treatment unit, FGTU) untuk sistem turbin gas (PLTG) yang akan menghasilkan keluaran daya listrik minimal 40 MW. Perancangan FGTU mengacu pada spesifikasi turbin gas dari General Electric tipe LM6000PG, standar atau General Specification tentang Fuel Gas Treatment Unit yang diterbitkan oleh Total Exploration and Production (TEPI, GS EP MEC 214), serta ASME untuk pipa bertekanan, ASME B31.8. FGTU ini dirancang untuk dapat melakukan proses filtrasi partikel, minyak dan kandungan air. Sistem FGTU terdiri atas scrubber, filter, coalescer, booster compressor dan proteksi keadaan darurat. FGTU yang dikaji dirancang untuk mengalirkan natural gas sebanyak 30 mmscfd, tekanan operasi turbin gas sekitar 60 barg dan temperatur BBG masuk sebesar 30 C. Spesifikasi FGTU yang diinginkan adalah dapat memfilter 100% 10 micron (atau lebih besar) droplet, 100% 3 micron (atau lebih besar) partikel padat (solid). Kata kunci: fuel gas, treatment, gas turbine, power plant. 72,500 KVA @ 0.8 pf, 15oC cooling air, 11,500 volts, 50 Hz, mampu membangkitkan daya listrik pada kapasistas penuh secara kontinyu pada berbagai kondisi temperatur lingkungan walaupun tanpa dilengkapi pengkondisian udara Generator ini tidak memerlukan fan dan sistem pendingin air siklus tertutup. Turbin gas ini dilengkapi dengan sistem dua bahan bakar, yaitu sistm bahan bakar cair dan gas yang dikontrol secara elektronik. Untuk operasi beban penuh (full-load operation), bahan bakar gas haruek disuplai pada tekanan 55.85 barg, 21 C dan 57.23 barg, 121 C. Bahan bakar gas yang disuplai harus memenuhi spesifikasi sebagai berikut:

1. PENDAHULUAN Pembangkit listrik Tenaga Gas, PLTG kapasitas besar biasanya menggunakan penggerak utama turbin gas untuk menggerakkan generatornya sehingga dihasilkan listrik. Bahan bakar yang dapat digunakan untuk mengoperasikan turbin gas adalah salah satu bahan bakar cair (Destilate oil) atau gas alam (natural gas). Bahan bakar gas (BBG/natural gas) harus melewati beberapa perlakuan (treatment) terlebih dahulu sebelum disuplai langsung ke dalam ruang bakar turbin gas untuk mengurangi berbagai kandungan partikel dan uap air yang terdapat di dalam BBG tersebut yang dapat menurunkan unjuk kerja turbin gas. Dengan proses perlakuan terhadap BBG ini, diharapkan nantinya keluaran daya turbin untuk menggerakan generator dapat terjaga sesuai spesifikasi turbin gas. Dalam kegiatan ini telah dilakukan perancangan sistem treatment BBG dan pemilihan peralatan utamanya (fuel gas treatment unit, FGTU) untuk sistem turbin gas (PLTG) yang akan menghasilkan keluaran daya listrik minimal 40 MW. General Electric gas turbine model LM6000PG adalah mesin turbin gas dua poros yang terdiri atas kompressor tekanan rendah 14 tingkat, turbin dua tingkata tekanan tinggi dan turbin lima tingkat tekanan. Mesin ini dilengkapi dengan filter udara yang terbuat dari stainless steel untuk proteksi benda asing yang dapat masuk ke dalam turbin yang dapat menyebabkan keruskan pada komponen turbin. Generataor yang digunakan menggunkan tipe Air-cooled open air, Brush 2-pole BDAX 7-340ERJ generator rated at

Komposisi bahan bakar gas (% mol) - CH4 : 80 - 99%. - C2H6 : 5 - 20% - C3H8 : 5 - 20% - C4H10 : 5 - 10% Temperature 25 deg C Wobbe: 45 - 60 Specific Gravity: 0.6 – 0.7 Tekanan tingkat keadaan stedi: 5585 kPag untuk operasi beban penuh. Black start: 1900 kPag. Variasi tekanan yang diizinkan: 2% of 5585 kPag +/-138 kPag (Peak to Peak) untuk frekuensi di atas 20 Hz. Frekuensi tidak diperbolehkan pada 20 Hz dan di bawahnya.. Amplitudo fluktuasi tekanan tidak boleh melebihi +/- 5%. Jika ada peningkatan tekanan K-74

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

(seperti saat boot-strap start), maka laju kenaikan tekanan tidak boleh melebih 10 Psig per detik. Temperatur minimum: 28°C di atas dew point bahan bakar gas. Temperatur maksimum: 121 deg C Persyaratan filtrasi: 3 micron absolute. Fuel Gas Purity Requirements: Liquids: Bahan bakar yang disuplai harus 100% bebas cairan (100% free of liquids). Particulates: Filter gas atas separasi inertial diperlukan pada level filtrasi 5 micron atau di bawahnya pada efisiensi 99.5%. Total partikel (particulate) tidak boleh melebihi 30 ppm by weight. Pipa yang digunakan sebaiknya terbuat dari stainless steel pada sisi downstream. Sulfur and alkali metals: Tidak ada spesifikasi kandungan sulfur dalam bahan bakar gas. Kandungan sulfur dan alkali metal tidak berpengaruh langsung terhadap turbine gas namun berkaitan dengan persyaratan emisi gas buang. Bahan bakar gas yang disuplai harus 100% bebas kontimasi bahan berikut ini: - Tar, lamp black, coke - Water, salt water - Sand, clay - Rust - Iron sulfide - Scrubber oil or liquid - Compressor lube oil - Naphthalene - Gas hydrates

scrubber yang akan menahan berbagai kandungan tidak dikehendaki masuk ke dalam turbin gas, seperti kandungan air, partikel dan minyak (oil). Jika suplai tekanan bahan bakar gas masih rendah di bawah FGTU booster kompresor perlu disediakan. Pressure control valve, PCV dan kontroler harus memberikan output variasi tekanan tidak lebih dari +/- 1% dari harga normal yang diinginkan keluar dari FGTU. Selama kondisi operasi transien, seperti starting up, acceleration, dan deceleration turbin gas, variasi tekanan tidak boleh melebihi ± 5% dari harga nominal. Temperatur bahan bakar gas meninggalkan FGTU harus memenuhi pesryaratan berikut: Temperatur 30° lebih tinggi dari dew points air dan hydrocarbons pada kondisi operasi antara starting up dan beban maksimum. Temperatur gas harus di atas 0°C dan di bawah 85°C. Tingkat pertama dari treatment gas adalah peralatan separasi. Filtrasi harus dipasang setelah PCV dan separator. Scrubber harus dirancang untuk membuang 100% dari 10 micron (atau lebih besar) droplets. Separator harus dilengkapi dengThe separators shall be n automatic drain valve, hand drains dan vent valves, beberapa instrument seperti pressure dan temperatur indicator serta differential pressure indikator. Setiap filter harus dirancang untuk aliran maksimum di tambah 20% dan tidak memerlukan pemeliharaan sebelum 4000 jam operasi, serta memungkinkan diganti tanpa mengganggu operasi. Jika digunakan valve transfer intelok, maka jenis valve harus “tight shut off”. Jenis filtrasi yang digunakan adalah coalescer dengan spesifikasi: - 100% efficiency untuk membuang solid dengan ukuran 3 micron atau diatasnya. - 100% efficiency untuk membuang liquid droplets dengan ukuran 10 micron size dan di atasnya. - 99% efficiency untuk membuang liquid droplet dengan ukuran 5 – 10 micron.

Perancangan FGTU mengacu pada spesifikasi turbin gas dari General Electric untuk mesin tipe LM6000PG seperti telah dijelaskan di atas, standar atau General Specification tentang Fuel Gas Treatment Unit yang diterbitkan oleh Total Exploration and Production (TEPI, GS EP MEC 214), serta ASME untuk pipa bertekanan, ASME B31.8. Menurut GS EP MEC 214 tentang Fuel Gas Treatment, suplai tekanan gas keluar dari FGTU harus cukup untuk mengalirkan gas ke dalam turbin gas pada laju aliran minimal 120 % dari laju aliran bahn bakar gas normal.

Pemasangan booster compressor dipertimbangkan jika tekanan gas keluar FGTU masih dibawah tekanan gas masuk turbn gas yang diinginkan. Menurut standard API, jenis kompresor yang dapat digunakan adalah kompresor sentryfugal atau reciprocating. Tekanan keluar kompresor harus dapat diatur dengan ekpansi. Sedikitnya harus ada dua ekspansi yang harus disediakan, masing-masing dimensi harus dapat mengalirkan gas pada laju maksimum. Penurunan temperatur gas dapat dilakukan menggunakan pendingin udara, satu pendingin udara atau penukar kalor sudah cukup untuk digunakan jika pendinginan menggunakan udara. Jika pendinginan menggunakan air yang digunakan, maka harus disediakan dua penukar kalor, masing -masing mempunyai kapasitas yang sama. Jika diperlukan pemanas gas, maka jenis pemanas gas yang digunakan dapat secara elektrik atau menggunakan fluida yang bertemperatur lebih tinggi seperti minyak, uap, air atau gas). Pemanas gas harus dirancang untuk menaikkan temperature minimal 30°C aliran maksimum gas ditambah 20%. FGTU harus berbentuk “single skid assembly” yang dapat dipindahkan dengan mudah menggunakan satu alat angkat. FGTU harus dirancang untuk operasi kontinyu dan untuk minimal operasi sebagai berikut:

Gambar 1. Fuel Gas Treatment Unit sederhana Gambar 1 di atas memperlihatkan fuel gas treatment secara skematik. Fuel gas treatment terdiri atas berbagai valve untuk mengatur laju aliran gas, valve untuk control tekanan, valve untuk keperluan safety, heater untuk memanaskan gas hingga temperatur sekitar 60 C dan tabung baja bertekanan tinggi yang dalamnya terdapat filter dan K-75

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

- 40000 jam untuk penggantian scrubber internals - 10000 jam untuk inspeksi pemeliharaan - 4000 jam antara penggantian catridge filter. Isolasi diperlukan untuk semua perlatatan FGTU yang temperaturnya di atas 50 C.

gas keluar kompresor dari 120 C menjadi 60 C. - Pressure control valve, PCV, untuk menjamin tekanan gas keluar FGTU sebesar 56 – 58 barg. FGTU ini dirancang untuk dapat melakukan proses filtrasi partikel, minyak dan kandungan air. Sistem FGTU terdiri atas scrubber, filter, coalescer, booster compressor dan proteksi keadaan darurat. FGTU yang dikaji dirancang untuk mengalirkan natural gas sebanyak 30 mmscfd, tekanan operasi turbin gas sekitar 60 barg dan temperatur BBG masuk sebesar 30 C. Spesifikasi FGTU yang diinginkan adalah dapat memfilter 100% 10 micron (atau lebih besar) droplet, 100% 3 micron (atau lebih besar) partikel padat (solid).

2. METODOLOGI Kegiatan ini telah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: - Studi spesifikasi turbin gas yang akan digunakan, yaitu turbin gas tipe GE LM6000 PG – 50 Hz. - Mempelajari spesifikasi gas (gas analysis) yang akan disuplai ke turbin gas. Gas yang akan digunakan adalah disuplai dari Total E&P Indonesie. - Mempelajari spesifikasi perlatatan atau bahan yang akan dibutuhkan seperti scrubber, catridge filter, berbagai valve dan kontrol valve, dan booster kompressor. - Melakukan perancang untuk estimasi kapasitas FGTU, sizing tangki bertekanan, sizing pipa dan pemilihan pipa, pemilihan booster kompresor, dsb.

4. KESIMPULAN Dari perancangan yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Tekanan gas masuk 50 barg, sedangkan temperatur gas masuk 30 C. b. FGTU dirancang untuk mengalirkan gas hingga 24 mmcsfd. c. FGTU dilengkapi dengan booster kompresor untuk menaikkan tekanan daro 50 barg hingga 60 barg (rasio kompresi 1.2). d. Scrubber harus dapat membuang 100% droplets berukuran 10 micron atau di atasnya. e. Filter harus dapat membuang 100% partikel berukuran 3 micron atau lebih besar. f. Coalescer harus dapat membuat 100% oil/minyak droplets berukuran 10 micron atau di atasnya. g. Emergency Shut Down Valve, ESDV dipasang sebelum filter untuk menghentikan aliran gas ketika terjadi keadaan darurat.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2 memperlihatkan skema FGTU yang dirancang. FGTU terdiri atas: - Emergency shut down valve, yang berfungsi menghentikan aliran gas jika terjadi keadaan darurat seprti turbin gas mati mendadak, ada sinyal kebakaran, dsb. - Dua tangki scubber filter untuk menfilter kadungan uap air, partikel dan minyak yang masih terkadung dalam bahan bakar gas. - Dua unit booster kompressor untuk menaikkan tekanan gas dari 50 barg menjadi 60 barg. - Pendingin udara (air cooler), untuk menurunkan temperatur

Gambar 2. Skematik Fuel Gas Treatment

K-76

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

UCAPAN TERIMA KASIH

[1] GE Energy, 2xLM6000 PG – 50 Hz, Gas Turbine Generator Package, 718251, R0, July, 2010. [2] Total E&P Indonesie, General Specification, GS EP MEC 214, January, 2005 [3] Nayyar, Piping Handbook, 7th ed, Mc Graw Hill, 2000.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada PT Teamworx Indonesia dan PT IMECO yang telah memberikan berbagai fasilitas kepada penulis untuk mempelajari dan merancang sistem fuel gas treatment ini.

K-77

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PEMODELAN NUMERIK 2D DAN UJI EKSPERIMEN TENTANG KARAKTERISTIK ALIRAN DAN UNJUK KERJA HELICAL SAVONIUS BLADE DENGAN VARIASI OVERLAP RATIO 0,1 ; 0,3 DAN 0,5. Wawan Aries Widodo 1), Dwi Septyan Waluyo2), Wilhansen Sindhu Kamarga3), Aditya Sayudha Prabowo4), Merdeka Alamsyah5), Abdul Manan6) Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 Phone: +62 85630219711) E-mail : [emailprotected])

ABSTRAK Pemanfaatan energi angin sebagai energi alternatif ramah lingkungan di Indonesia masih tergolong sedikit. Salah satu penyebab adalah karakteristik arah angin di Indonesia yang memiliki kecenderungan berubah-ubah dikarenakan letak geografis Indonesia. Maka dari itu guna meningkatkan pemanfaatan energi angin, diperlukanlah penelitian mengenai Vertcal Axis Wind Turbin (VAWT). Salah satu jenis VAWT adalah Helical Savonius Blade. Penelitian mengenai Helical Savonius Blade dilakukan dengan metode pemodelan numerik 2D menggunakan software FLUENT dan uji seksperimen. Pemodelan numerik 2D dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik aliran yang melintasi turbin Savonius dengan variasi overlap ratio 0,1;0,3 dan 0,5 serta variasi posisi 90o, 45o, 0o. Range velocity inlet pada FLUENT disesuaikan dengan uji eksperimen yang dilakukan pada wind tunnel. Uji eksperimen dimaksudkan untuk mengetahui unjuk kerja turbin secara perhitungan teoritis dan perhitungan riil. Unjuk kerja turbin dinyatakan dalam nilai coefficient of power (Cp). Nilai Cp didapatkan dengan menggunakan pemodelan numerik 2D dan uji eksperimen. Berdasarkan pemodelan numerik 2D, nilai Cp tertinggi secara umum dimiliki oleh overlap ratio 0,1 sebesar 0,284. Sedangkan berdasarkan uji eksperimen nilai Cp terbesar tetap dimiliki overlap ratio 0,436 (perhitungan teoritis) dan 0,091 (perhitungan riil). Kata kunci: Helical Savonius Blade, overlap ratio, coefficient of power merik dapat diketahui bagaimana pengaruh overlap ratio terhadap karakteristik aliran. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Joao Vicente Akwa, dkk (2011) tentang “Discussion on the verivication of the overlap ratio influence on performance coefficient of a Savonius wind rotor using computational fluid dynamics”.

1. PENDAHULUAN Karakteristik arah angin di Indonesia memiliki kecenderungan berubah-ubah dikarenakan letak geografis Indonesia yang terletak diantara jalur pertemuan angin. Selain itu perubahan intensitas matahari pada musim peralihan juga berpengaruh terhadap kecepatan angin. hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian mengenai turbin angin yang dapat menerima angin dari segala arah, Vertical Axis Wind Turbine (VAWT). VAWT memiliki banyak jenis, salah satunya adalah turbin Savonius. Turbin Savonius pada umumnya memiliki bentuk blade lurus setengah lingkaran yang dibelah. Namun pada penelitian ini bentuk turbin Savonius akan dilakukan modifikasi bentuk dasarnya dengan menggunakan twist angle (sudut puntir) sebesar 90o. Perubahan bentuk dasar dimaksudkan untuk meningkatan performa turbin. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Gorlov (2001) berjudul ”Limit of the turbine efficiency for free fluid flow”. Turbin Savonius juga akan dilakukan modifikasi dengan tidak menggunakan poros tengah, tetapi dengan menggunakan pelat atas-bawah (end plate), sehingga terdapat celah antar sudu (overlap distance). Perbandingan antara overlap distance dengan diameter blade disebut dengan overlap ratio. Adanya overlap ratio juga berpengaruh terhadap performa turbin jika dibandingkan dengan turbin yang menggunakan poros tengah. Perbandingan ini telah dilakukan penelitian oleh M.A. Kamoji, dkk (2009) dengan judul ”Performance test on helical savonius rotors”. Karakteristik aliran pada turbin dapat diketahui dengan melakukan pemodelan numerik 2D dengan menggunakan software FLUENT. Dengan menggunakan pemodelan nu-

Gambar 1. Desain Helical Savonius Blade Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik aliran yang melewati celah antar sudu turbin serta mengetahui performa turbin baik melalui perhitungan teoritis maupun perhitungan riil, dinyatakan dengan nilai coefficient of power (Cp). Melalui perhitungan akan diketahui nilai Cp terbesar diantara overlap ratio 0, ; 0,3 dan 0,5. Manfaat penelitian ini adalah untuk pengembangan turbin angin sumbu vertikal (VAWT) guna pemanfaatan energi angin sebagai energi alternatif di Indonesia. Penelitian ini juga merupakan kerjasama dengan perwira-perwira siswa STTAL untuk penelitian lanjutan dan pengembangan turbin angin yang kemungkinan akan diaplikasikan untuk pos-pos TNI-AL di pulau-pulau terluar. K-78

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Nilai TSR didapatkan berdasarkan perbandingan antara kecepatan di ujung blade (U) dengan kecepatan di depan turbin (V1). Secara perumusan TSR dapat ditulis:

2. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan dua metodologi yaitu metodologi secara pemodelan numerik dan metodologi secara uji eksperimen.

(4) dimana: TSR : tip speed ratio U : Kecepatan turbin

Metode Pemodelan Numerik Pemodelan numerik 2D dilakukan dengan cara memvariasikan overlap ratio sebesar 0,1; 0,3 dan 0,5 serta posisi dengan variasi sudut 90o, 45o, dan 0o.

Metode Uji Eksperimen Uji eksperimen dilakukan pada sebuah model turbin helical savonius di dalam lorong angin (wind tunnel). Kecepatan angin yang dijadikan sebagai referensi awal adalah nilai putaran kipas wind tunnel yang menyebabkan turbin berputar. Putaran awal kipas wind tunnel adalah 1050 rpm dan divariasikan dengan kenaikan 10 rpm hingga 1160 rpm (sebanyak 12 variasi kecepatan). Dalam pengujian eksperimen dilakukanlah pengukuran kecepatan angin di depan turbin dan di belakang turbin dengan menggunakan anemometer, putaran turbin dengan menggunakan tachometer, serta pengukuran daya turbin dengan menggunakan generator yang dihubungkan avometer untuk tegangan listrik (voltase) dan arus listrik. Uji eksperimen akan menghasilkan dua data mengenai nilai coefficient of power secara perhitungan teoritis dan perhitungan riil. Perhitungan teoritis hanya menggunakan data kecepatan di depan dan di belakang turbin sebagai acuan. Sedangkan perhitungan riil, melibatkan data voltase dan arus yang dibangkitkan oleh generator, sehingga lebih banyak aspek yang berpengaruh. Secara perumusan nilai daya riil dapat ditulis :

FLOW DIRECTION

Gambar 2. Variasi sudut posisi turbin Geometri pada GAMBIT menggunakan kondisi batas (boundary conditions) seperti berikut:

Gambar 3. Boundary conditions GAMBIT

(5)

Pada GAMBIT dilakukanlah proses meshing agar dapat disimulaskani dengan menggunakan FLUENT. Simulasi dilakukan pada FLUENT dengan model turbulensi (viscous model) k-ω SST, model penyelesaian (solver model) adalah unsteady, dan diskritisasi menggunakan second order upwind. Pemodelan numerik 2D akan menunjukkan bagaimana karakteristik aliran fluida disekitar celah antar sudu turbin dengan visualisasi pathlines. Dalam menentukan nilai coefficient of power (Cp) digunakanlah metode perhitungan berdasarkan kecepatan di depan turbin dan kecepatan di belakang turbin. Secara perumusan Cp dapat ditulis : (1)

dimana: V : Voltase (V) A : Arus (mA) Skema dan Spesifikasi Alat Pengujian dilakukan dengan menggunakan model turbin angin jenis helical savonius blade dengan twist angle sebesar 90o. Adapun skema model turbin adalah sebagai berikut:

2 3

(2) 1

(3)

2

dimana: PT : Power teoritis V1 : Kecepatan di depan turbin / Vin (m/s) V2 : Kecepatan di belakang turbin / Vout (m/s) PR : Power sesungguhnya (watt) CP : coefficient of power

4

5

Gambar 4. Model helical savonius blade Keterangan gambar: 1. Blade 2. Pelat 3. Clamp C

Hasil yang didapatkan dari pemodelan numerik adalah grafik antara nilai Cp dengan nilai tip speed ratio (TSR). K-79

4. Poros 5. Baut pengikat

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Spesifikasi: 1. Diameter blade (DBlade) : @ 90 mm 2. Tinggi blade (HBlade) : 180 mm 3. Twist angl : 90o 4. Diameter pelat (DPelat) : 225 mm 5. Tinggi clamp (HClamp) : 270 mm 6. Panjang poros (LPoros) : 110 mm 7. Panjang wind tunnel (LWT) : 1800 mm 8. Lebar wind tunnel (WWT) : 675 mm 9. Tinggi wind tunnel (HWT) : 675 mm 10. Celah sudu (overlap distance) : 9 mm (overlap ratio 0,1) 11. Celah sudu (overlap distance) : 27 mm (overlap ratio 0,3) 12. Celah sudu (overlap distance) : 45 mm (overlap ratio 0,5)

Gambar 8. Grafik Cp vs TSR (θ = 90o)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pemodelan numerik 2D dan uji eksperimen, didapatkanlah data mengenai nilai Vin, Vout, Cp dan TSR. Melalui data tersebut dapat diplot menjadi grafik serta visualisasi karakteristik aliran sehingga dapat dilakukanlah analisa pada ketiga jenis model turbin. Pemodelan Numerik 2D (θ = 90o)

Gambar 9. Grafik Cp vs Kecepatan (θ = 90o)

Berdasarkan hasil simulasi pada FLUENT didapatkanlah visualisasi sebagai berikut:

Hasil visualisasi menunjukkan bahwa pada posisi 90o menghasilkan daerah wake di belakang turbin yang cukup besar. Besarnya perbedaan Vin & Vout akan memperbesar nilai Cp. Secara trend grafik menunjukkan bahwa overlap ratio 0,1 memiliki trend lebih tinggi dari 0,3 dan 0,5 dikarenakan vortex lebih kecil dibandingkan lainnya. Vortex mengakibatkan olakan, sehingga kecepatan di belakang turbin semakin besar. Semakin kecil kecepatan di belakang turbin, maka perbandingan antara Vin dan Vout semakin besar, maka bertambah pula nilai Cp pun semakin besar. Pemodelan Numerik 2D (θ = 45o)

Gambar 5. Overlap ratio 0.1 (θ = 90o)

Berdasarkan hasil simulasi pada FLUENT didapatkanlah visualisasi sebagai berikut:

Gambar 6. Overlap ratio 0.3 (θ = 90o)

Gambar 10. Overlap ratio 0.1 (θ = 45o)

Gambar 7. Overlap ratio 0.5 (θ = 90o)

Gambar 11. Overlap ratio 0.3 (θ = 45o) K-80

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 12. Overlap ratio 0.5 (θ = 45o)

Gambar 16. Overlap ratio 0.3 (θ = 0o)

Gambar 13. Grafik Cp vs TSR (θ = 45o) Gambar 17. Overlap ratio 0.5 (θ = 0o)

Gambar 14. Grafik Cp vs Kecepatan (θ = 45o) Hasil visualisasi posisi 45o menunjukkan bahwa daerah wake yang tercipta tidak sebesar apabila dibandingkan dengan posisi 90o. Secara trend grafik menunjukkan bahwa overlap ratio 0,5 memiliki trend lebih tinggi dari 0,3 dan 0,1 dikarenakan vortex lebih kecil dibandingkan lainnya. Vortex mengakibatkan olakan, sehingga kecepatan di belakang turbin semakin besar. Semakin kecil kecepatan di belakang turbin, maka perbandingan antara Vin dan Vout semakin besar, maka bertambah pula nilai Cp pun semakin besar.

Gambar 18. Grafik Cp vs TSR (θ = 0o)

Pemodelan Numerik 2D (θ = 0o) Berdasarkan hasil simulasi pada FLUENT didapatkanlah visualisasi sebagai berikut:

Gambar 19. Grafik Cp vs Kecepatan (θ = 0o) Hasil visualisasi menunjukkan bahwa pada posisi 0o menghasilkan daerah wake di belakang turbin yang cukup kecil dibandingkan 90o dan 45o. Secara trend grafik menunjukkan bahwa overlap ratio 0,1 memiliki trend lebih tinggi dari 0,5 dan 0,3. Secara visualisasi overlap ratio 0,1 memiliki daerah wake di belakang turbin lebih sedikit lebih besar dibandingkan 0,5 sehingga kecepatan di belakang turbin lebih kecil. Semakin kecil kecepatan di belakang turbin, maka perbandingan antara Vin dan Vout semakin besar, maka bertambah pula nilai Cp pun semakin besar.

Gambar 15. Overlap ratio 0.1 (θ = 0o) K-81

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Uji Eksperimen (perhitungan teoritis) Berdasarkan hasil uji eksperimen perhitungan secara teoritis didapatkanlah hasil sebagai berikut:

Gambar 23. Grafik Cp vs Kecepatan (perhitungan riil) Hasil eksperimen menunjukkan bahwa hanya ada dua turbin saja yang dapat dilakukan eksperimen perhitungan riil dengan membangkitkan daya generator. Turbin dengan overlap ratio 0,5 memiliki celah paling besar sehingga memungkinkan loses akibat energi angin hanya melewati tanpa memberikan momentum untuk dapat memutar turbin. Secara umum trend grafik terlihat bahwa overlap ratio 0,3 lebih besar nilai Cp dibandingkan 0,1. Namun pada kondisi kecepatan lebih tinggi, untuk nilai Cp terbesar dimiliki oleh overlap ratio 0,1.

Gambar 20. Grafik Cp vs TSR (perhitungan teoritis)

4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Gambar 21. Grafik Cp vs Kecepatan (perhitungan teoritis)

Dari penilitian yang telah dilakukan dengan metode pemodelan numerik 2D dan uji eksperimen, dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain : 1. Secara umum turbin dengan overlap ratio 0,1 memiliki performa yang lebih dibandingkan 0,3 dan 0,5 yang ditunjukkan oleh besarnya nilai coefficient of power (Cp). 2. Nilai Cp terbesar hasil pemodelan numerik adalah 0,284 dengan overlap ratio 0,1 sedangkan nilai terendahnya adalah 0,099 dengan overlap ratio 0,3. 3. Nilai Cp terbesar hasil uji eksperimen perhitungan teoritis adalah 0,436 dengan overlap ratio 0,1 sedangkan nilai terendahnya adalah 0,247 dengan overlap ratio 0,5. 4. Nilai Cp terbesar hasil uji eksperimen perhitungan riil adalah 0,091 dengan overlap ratio 0,1 sedangkan nilai terendahnya adalah 0,031 juga dengan overlap ratio 0,1. 5. Semakin besar kecepatan, maka semakin besar pula nilai Cp yang dihasilkan. 6. Nilai Cp pada kondisi riil sangat jauh berbeda dengan kondisi teoritis dikarenakan proses pembuatan pada turbin dan pemilihan material turbin.

Hasil eksperimen menunjukan bahwa secara umum trend grafik yang berurutan dimana overlap ratio 0,1 memiliki nilai Cp paling tinggi, kemudian diikuti 0,3 dan 0,5. Hal ini dipengaruhi oleh faktor luas sapuan energi angin (swept area) yang dipengaruhi oleh besarnya nilai diameter turbin. Nilai diameter dipengaruhi oleh besarnya celah antar sudu (overlap distance). Swept area akan mempengaruhi besarnya nilai daya teoritis. Selain itu, semakin besarnya celah antar sudu, memungkinkan energy angin melewati celah tersebut sehingga kecepatan di daerah belakang turbin semakin besar, atau dengan kata lain daerah wake semakin kecil. Uji Eksperimen (perhitungan riil) Berdasarkan hasil uji eksperimen perhitungan secara riil didapatkanlah hasil sebagai berikut:

Saran Dari penelitian yang telah dilakukan ini, dapat disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam proses pembuatan turbin perlu diperhatikan tentang permasalahan misalignment yang ditimbulkan dengan tidak adanya poros tengah. 2. Diperlukan adanya penelitian mengenai material yang cocok digunakan sebagai bahan dasar pembuatan turbin agar dapat mempermudah turbin berputar dalam kecepatan rendah.

Gambar 22. Grafik Cp vs TSR (perhitungan riil) K-82

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[2] Akwa, J.V, Gilmar Alves da Silva Junior, Adriane Prisco Petry,. Discussion on the verivication of the overlap ratio influence on performance coefficients of a Savonius wind rotor using computational fluid dynamics, Renewable Energy 2012:38:141-149. [3] Gorban Alexander, N, Gorlov Alexander, .M, Silantyev Valentine, M, Limits of the Turbine Efficiency for Free Fluid Flow, Journal of Energy Resources Technology, Vol 123, Desember 2001, 311-317.

Ucapan Terima Kasih Atas selesainya penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kemendikbud yang telah memberikan dana sehingga penelitian dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA [1] Kamoji, M.A, S.B, Kedare, S.V, Prabhu, Performance test on helical Savonius rotors, Renewable Energy 2009;34:521–529.

K-83

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

OPERASI PUTARAN DAN JUMLAH SUDU PADA SISTEM PEMBANGKIT ENERGI TERBARUKAN BERBASIS TURBIN ALIRAN SUNGAI SUMBU HORISONTAL 1)2)3)

Ridway Balaka1), Aditya Rachman2), Jenny Delly3)

Jurusan Teknik Mesin, Universitas Haluoleo, Kendari, 93232, Indonesia. E-mail : [emailprotected]), [emailprotected]), [emailprotected] 3)

ABSTRAK Turbin sudu horisontal telah banyak digunakan dalam pemanfaatan energi kinetik aliran untuk menghasilkan energi terbarukan yang bersih di beberapa domain, seperti angin, sungai dan laut. Karakteristik operasi putaran adalah salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam tahap pendesainan turbin. Hal ini disebabkan oleh salah satu persyaratan sinkronisasi antara karakteristik putaran turbin dan generator. Jika persyaratan ini tidak dapat dipenuhi, energi dari turbin tidak akan layak diterima oleh generator. Hal ini mungkin akan menyebabkan efisiensi pembangkit secara keseluruhan menjadi rendah yang sangat berpotensi menghasilkan aplikasi teknologi menjadi tidak memiliki nilai keekonomian. Jumlah sudu merupakan salah satu aspek penting yang lain dalam fase pendesainan turbin. Diyakini bahwa jumlah sudu tidak hanya menentukan kinerja, konstruksi dan biaya pembuatan turbin, tetapi juga karakteristik operasi putaran. Penelitian ini mencoba menginvestigasi hubungan jumlah sudu dan operasi putaran turbin aliran sungai sumbu horisontal. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi parametrik dengan menggunakan teori Blade Elemen Momentum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa turbin yang memiliki jumlah sudu banyak memiliki daerah putaran lebih rendah daripada turbin yang bersudu sedikit. Hal ini disebabkan untuk mendapatkan gaya angkat pada putaran tinggi, sudut serang ( attack angle ) harus berada pada titik di mana cukup untuk menghasilkan gaya angkat. Hal ini tampaknya tidak dapat dipehuni oleh turbin bersudu banyak pada putaran tinggi. Diskusi lebih lanjut mengenai alasan di balik hasil investigasi ini, yang mengkaitkan dengan perilaku hidrodinamik, akan dicoba untuk dieksplorasi dalam studi ini. Disarankan bahwa, untuk merancang turbin horizontal dengan jumlah sudu banyak, dibutuhkan rasio tranmisi lebih tinggi dibdaningkan dengan rasio untuk turbin dengan jumlah sudu yang lebih rendah. Kata kunci: turbin sungai, desain, jumlah sudu, operasi putaran, rasio transmisi, hidrodinamik. sian (Research, Development dan Demontration (RD&D)), turbin aliran air yang dilakukan saat ini ataupun yang sudah diberhentikan dari tahap pembuktian konsep sampai tahap komersialisasi. Hasil dari survei ini menunjukan adanya kecenderungan penggunaan turbin sumbu horisontal yang lebih banyak dibdaningkan dengan turbin vertikal. Dalam mekanisme konversi energi pada turbin horisontal modern, energi kinetik aliran diterima oleh sudu untuk menghasilkan gaya angkat (lfit). Gaya ini digunakan untuk menghasilkan torsi, yang digunakan untuk menggerakkan poros generator untuk menghasilkan listrik [8] [9]. Mekanisme konversi energi dalam generator didasarkan pada produksi gaya gerak listrik (GGL) dinamis induksi. Hukum Faraday menyatakan bahwa GGL akan timbul ketika magnet permanen digerakan relatif terhadap konduktor, atau sebaliknya, untuk memberikan penggaruh perubahan fluk. Jumlah GGL yang timbul sebdaning dengan perubahan laju fluks. Jika konduktor tersebut dihubungkan melalui beban listrik, arus akan mengalir. Dari penjelasan diatas, laju perubahan fluks memiliki peran yang sangat penting dalam menghasilkan gaya gerak listrik (GGL) induksi untuk menghasilkan arus listrik. Sehingga, karakteristik putaran dari generator adalah aspek penting dalam menentukan daya output. Hal ini karena karaktersitik putaran akan menentukan jumlah gerakan relatif dari magnet terhadap konduktor, atau sebaliknya, untuk menghasilkan laju perubahan fluks. Dengan demikian, dalam tahap desain sistem teknologi berbasis turbin horisontal arus sungai, karakteristik putaran turbin harus dapat memenuhi kebutuhan putaran generator.

1. PENDAHULUAN Pembangkit listrik berbasis turbin aliran sungai merupakan salah satu teknologi pembangkit yang memiliki sifat desentralisasi, bersih dan terbarukan dan yang memiliki potensi untuk menyediakan kebutuhan energi untuk masyarakat didaerah yang sulit dijangkau oleh listrik. Prinsip kerja dari teknologi ini adalah pengkonversian energi kinetik aliran air menjadi listrik. Teknologi ini membutuhkan perbedaan ketingian (head) yang relatif lebih kecil atau tidak sama sekali, sehingga membutuhkan pekerjaan sipil relatif lebih sedikit dan mengakibatkan dampak lingkungan yang relatif lebih kecil dibdaningkan dengan teknologi pembangkit listrik tenaga air konvensional [1]. Sudu adalah salah satu elemen yang penting pada sistem teknologi ini karena komponen ini memiliki peran dalam menerima energi kinetik dari aliran dan mengubanhya menjadi putaran poros generator. Konfigurasi sudu yang paling umum digunakan adalah sistem sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Beberapa literatur yang memberikan infomasi tentang keberhasilan dari beberapa proyek pembangkit listrik dari aliran air seperti seperti sungai, pasang surut dan arus laut dengan menggunakan turbin sumbu horizontal dan vertikal dapat ditemukan di [2], [3], [4], [5] dan [6]. Turbin horisontal memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan turbin vertikal. Beberapa keunggulan tersebut adalah efisiensi yang lebih tinggi, start awal yang lebih mudah, fluktuasi torsi yang lebih sedikit dan kecepatan putaran yang lebih tinggi [7]. Studi [7] melaporkan sebuah survei terhadap penelitian, pengembangan dan pendemonstraK-84

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Jika tidak, perubahan laju fluks tidak akan mencapai seperti yang diharapkan, sehingga kinerja generator secara keseluruhan akan tidak akan optimal. Parameter desain jumlah sudu sepertinya tidak hanya menentukan kinerja turbin, biaya pembuatan dan konstruksi, tetapi juga karakteristik putaran turbin. Dalam beberapa penelitian [10,11,12,13,14] pada turbin angin sumbu horisontal, dengan menggunakan metode eksperimen dan komputasi, terdapat indikasi adanya kontribusi putaran terhadap prilaku penggaruh jumlah sudu terhadap kinerja turbin. Hasil studi-studi ini menunjukkan bahwa turbin dengan jumlah sudu banyak akan memiliki kinerja yang baik pada putaran rendah, sedangkan turbin bersudu sedikit akan memiliki kinerja yang baik pada putaran yang besar. Dalam domain aliran air, beberapa literatur [2,3,5,6] menunjukkan beberapa proyek pada teknologi pembangkit berbasis turbin sumbu horisontal, pada beberapa aplikasi aliran seperti pasang surut, arus laut dan arus sungai, yang dilakukan oleh beberapa perusahaan dan beberapa universitas. Beberapa referensi ini memberikan informasi secara detail dari jumlah sudu yang digunakan dalam proyek tersebut. Namun, tampaknya penjelasan mengenai hubungan jumlah sudu dan putaran tidak dapat ditemukan dalam referensi-referensi ini. Sebuah referensi yang mungkin relatif lebih mendalam dalam memberikan informasi mengenai hubungan antara putaran dan jumlah sudu pada turbin horizontal aliran air dapat ditemukan di [4]. Studi ini menunjukkan serangkaian proyek percobaan lapangan pada turbin sumbu horizontal sungai yang dilakukan oleh Nothern Territory University (NTU) Australia. Proyek ini menunjukkan bahwa variasi jumlah sudu selalu disertai dengan pergantian rasio dalam sistem transmisi. Turbin bersudu banyak memerlukan nilai rasio yang lebih besar daripada turbin bersudu sedikit, demikian pula sebaliknya. Hal ini dapat menunjukan bahwa, penggantian rasio tranmisi adalah untuk menjaga putaran generator pada nilai tertentu, ketika jumlah sudu divariasikan. Meskipun referensi ini menunjukkan pemahaman tentang hubungan antara putaran dan jumlah sudu pada turbin horisontal aliran sungai, diskusi tentang fenomena di balik hasil investigasi tampaknya kurang dieksplorasi. Penelitian ini bertujuan untuk meginvestigasi hubungan antara jumlah sudu dan putaran operasi pada turbin horizontal aliran sungai. Penelitian ini juga mencoba untuk mengeksplorasi secara mendalam alasan di balik fenomena dari hasil investigasi. Penelitian ini dilakukan dengan studi parametrik dengan menggunakan persamaan matematika dari teori Blade Elemen Momentum.

aliran air, dengan mengunakan perbedaan ketinggian yang kecil, atau hampir tidak ada sama sekali adalah mirip dengan mekanisme kerja turbin angin. Menurut [17 dalam [2]], persamaan matematika dari turbin aliran air adalah analogi dengan turbin angin. Menurut [18], persamaan Blade Element Momentum dapat diterapkan ke domain air karena persamaan-persamaan dasar yang membangun model ini dapat diterapkan bukan hanya angin (udara), namun juga air. Dalam kaitannya dalam mendukung tujuan dari studi ini, selain kemungkinan penerapan model dalam domain air, model ini menggdanung parameter dari jumlah sudu dan parameter putaran (untuk detail dijelaskan pada paragrapparagrap berikutnya), sehingga sangat memungkinkan untuk mendapatkan hubungan kedua parameter tersebut.

Gamber 1. Persamaan Blade Element Momentum [Digambar oleh Rachman, diadopsi dari gambar di [8,9,19]

2. METODOLOGI

Gambar 2. Gambar detail gaya-gaya pada elemen sudu. Digambar oleh Rachman, diadopsi dari gambar di [8,9,19]

Teori Blade Element Momentum Persamaan ini dapat dimanfaatkan dalam merancang sudu dan dalam mengevaluasi kinerja turbin angin horisontal. Persamaan ini juga memungkinkan pengguna untuk mengevaluasi gaya (lift) yang bekerja pada sudu, torsi dan daya pada poros pada sudu dengan berbagai kecepatan angin [15]. Persamaan ini sangat memungkinkan untuk diterapkan kedalam kasus turbin aliran air. Salah satu alasannya adalah adanya persamaan dalam prinsip kerja antara turbin angin horisontal dan turbin aliran air [16]. Mekanisme kerja turbin aliran sungai yang murni mengekstrasi energi kinetik dari

Paragrap-paragrap berikut menjelaskan pengembangan persamaan Blade Element Momentum yang didapatkan di [8,9,19] Persamaan ini dibangun oleh dari dua teori, yaitu teori Momentum dan teori Blade Element. Dalam teori Momentum, gaya dorong (thrusts) dan torsi untuk setiap elemen sudu diformulasikan sebagai K dT = 16 ρ V0 2 K+4 2 Π r dr (1) dQ = 16 V0 K-85

1

K+4

Π ρ Ω a′ r 3 dr

(2)

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Dimana V0 adalah kecepatan fluida (m / s), Ω adalah putaran dari turbin (rad / s), ρ adalah massa jenis air (Kg/m3), r adalah jari-jari dari setiap elemen sudu (m), dan a' adalah faktor induksi putaran, yang didefinisikan sebagai a′ = ω / 2 Ω (3) dimana, ω adalah kecepatan putaran aliran setelah sudu (rad/s) dan K adalah koefisien tahanan, didefinisikan sebagai P −P K = 11 22 (4) 2

memasukkan parameter putaran turbin (Ω), jumlah sudu (B), kecepatan aliran (V0), massa jenis air (ρ), lebar sudu (C), jari-jari turbin (R) dan data dari koefisien lift dan drag (CL dan CD) sebagai fungsi dari sudut serang (α) dan bilangan Reynolds. Dalam investigasi ini, faktor tip loss (rugi-rugi diujung sudu) dimasukan kedalam perhitungan. Faktor ini dimasukan kedalam perhitungan gaya-gaya pada sudu dengan menggunakan metode perkiraan Prdantl sebagai berikut 2 R−r .B.Vrel TL = Π arccos exp 2 V1 R (16) Nilai torsi total adalah R dQ = rh r dL (17) Data penelitian Dalam investigasi ini, parameter jari-jari (R) dari turbin yang dimasukan adalah 0.5 meter. Pemilihan penampang sudu adalah aerofoil dengan jenis NACA 0012. Data koefisien lift dan drag (CL dan CD) diperoleh dari studi di [20]. Lebar sudu (c) adalah 0.1 m dan dijaga konstan sepanjang sudu. Sudut blade (θ) adalah 0 ° dan dijaga konstan sepanjang sudu. Kecepatan air (V0) adalah 2 m/s. Nilai putaran turbin (Ω) divariasikan 0-180 Putaran per Menit (RPM). Jumlah sudu (B) divariasikan sebesar 3, 6, 8 dan 12. Hasil penelitian ini disajikan dalam grafik yang menunjukkan nilai torsi pada variasi putaran dan jumlah sudu. Alasan menyajikan grafik hubungan diatas adalah untuk mengetahui hubungan variasi jumlah sudu terhadap putaran turbin melalui prilaku torsi yang terjadi. Grafik ini diharapkan dapat mengindikasikan bagaimana hubungan operasi putaran terhadap variasi jumlah sudu supaya torsi dapat dihasilkan. Untuk memperoleh informasi tambahan yang dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan alasan di balik hasil investigasi, studi ini menghitung data dari kecepatan aliran aksial pada sudu (V1) dan sudut serang (α). Data tambahan ini didapatkan selama proses perhitungan torsi dengan menggunakan persamaan Blade Element Momentum. Data–data dari kecepatan aliran aksial pada sudu (V1) dan sudut serang (α) diambil nilai rata rata dari elemen-elemen sepanjang sudu. Program MATLAB digunakan untuk mempermudah perhitungan torsi dan data-data tambahan, Salah satu alasanya adalah karena kebutuhan proses iterasi dalam perhitungan (lihat Persamaan (12) sampai (15)).

ρV 1

Dimana, P1 adalah tekanan aliran statis (kg/m2) di daerah tepat sebelum sudu, P2 adalah tekanan aliran statis tepat setelah sudu (kg/m2) dan V1 adalah kecepatan aksial aliran pada sudu (m / s), yang didefinisikan sebagai 4 V1 = V0 K+4 (5) Dalam teori Blade Element, untuk jumlah sudu sebesar B, nilai gaya angkat (lift), gaya dorong (thrust) dan torsi untuk setiap elemen sudu diformulasikan sebagai 1 dT = B 2 ρ Vrel 2 CL cos φ + CD sin φ c dr (6) 1

dL = B 2 ρ Vrel 2 CL sin φ − CD cos φ c dr (7) dQ = r dL (8) dimana c adalah lebar sudu (m), φ adalah sudut relatif (º), CL adalah koefisien angkat aerofoil (lift coefficient), CD adalah koefisien drag aerofoil (drag coefficient) dan Vrel adalah kecepatan relatif (m / s), yang dirumuskan oleh V Vrel = sin1φ (9) Sudut aliran relatif (φ), memiliki hubungan sebagai berikut , V φ = arctan V 1 (10) rot

Dimana, Vrot adalah kecepatan putaran angin (rad / s), yang didefinisikan sebagain Vrot = Ω r (1+ a′) (11) Koefisien lift dan drag (CL dan CD) merupakan fungsi dari sudut serang (α) dan bilangan Reynolds (Re). Sudut serangan (α) didefinisikan sebagai sudut antara garis tengah penampang sudu (c) dan kecepatan angin relatif (Vrel) (lihat Gambar 2). Sudut ini memiliki hubungan α = φ - θ, dimana θ adalah sudut sudu (sudut pitch). Untuk menghitung gaya-gaya dan torsi pada sudu, keterbatasan dari teori Blade Element adalah kebutuhan asumsi pada beberapa parameter yang dimasukan, seperti kecepatan relatif (Vrel), koefisien angkat dan drag koefisien (CL dan CD) dan sudut relatif (φ). Dengan menggabungkan persamaan-persamaan gaya angkat (lift) dan gaya dorong (thrust) dalam teori Momentum dan teori Blade Element, yang selanjutnya penggabungan ini disebut dengan teori Blade Element Momentum, dapat diperoleh persamaanpersamaan berikut yang dapat digunakan untuk untuk memperbaiki beberapa asumsi sebelumnya. 16 K K+4 2

B V rel 2 C L cos φ + C D sin φ c

=

2V 0 2 Π r

atau K i+1 dan 4 a′ K+4

= =

= F∗

F ∗ K i +4 2

Gambar-gambar berikut adalah data hasil penelitian yang berupa, torsi (Q), sudut serang (α) dan kecepatan aliran aksial pada sudu (V1) pada kecepatan air (V0) 2 m / s dalam variasi jumlah sudu (B) 3 , 6, 8 dan 12 buah dan putaran (Ω) 0-80 RPM. Turbin dengan sudu 12, memiliki daerah putaran antara 046 RPM dalam menghasilkan torsi. Torsi maksimum dicapai (1200 N.m) diperoleh pada saat turbin berpoerasi pada 25 RPM. Turbin dengan sudu 8 memiliki daerah putaran antara 0- 55 RPM. Torsi maksimum (850 N.m) diperoleh pada saat turbin beroperasi pada 29 RPM. Turbin dengan sudu 6 memiliki daerah putaran antara 0- 65 RPM. Torsi maksimum (462 N.m) diperoleh saat turbin berpoerasi pada 37. Turbin dengan 3 sudu memiliki daerah putaran 0-80 RPM. Torsi maksimum yang dihasilkan adalah 346 N.m pada putaran 49

(12) (13)

16

B ρ V rel 2 C L sin φ − C D cos φ c 8 V0Π ρ Ω r

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

= Q∗

(14)

atau 4 a ′(i+1) = ( K (i+1) + 4) Q∗ (15) Dengan bantuan persamaan-persamaan di atas, untuk menghitung gaya-gaya dan torsi pada sudu hanya perlu untuk K-86

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

RPM. 1200

3 B

Torsi (N.m)

6 B 8 B

800

12 B

Gambar 6. Ilustrasi sudut serang pada bagian melintang sudu (hydrofoil) pada putaran tinggi dan rendah untuk turbin dengan jumlah sudu besar

400

0 0

20

40

60

80

RPM

Gambar 3. Koefisien kinerja dalam variasi jumlah sudu di V0 1 m / s

Gambar 7. Ilustrasi sudut serang pada bagian melintang sudu (hydrofoil) pada putaran tinggi dan rendah untuk turbin dengan jumlah sudu kecil

90 3 B

Pada putaran tinggi, sudut serang untuk turbin bersudu banyak sangat kecil, mendekati nol atau bahkan negatif. Hal ini menyebabkan, nilai koefisien gaya angkat untuk turbin bersudu banyak adalah kecil untuk putaran tinggi. Hal ini disebabkan nilai koefisien gaya angkat untuk NACA 0012 akan bernilai rendah pada sudut serang yang rendah. Hal ini menyebbakan pada putaran tinggi nilai torsi yang dihasilkan mendekati nol. Untuk turbin bersudu lebih kecil, nilai sudut serang pada putaran tinggi memiliki kecenderungan bernilai relatif sedang ( disekitar 15 º). Hal ini menyebabkan nilai koefisien angkat akan tinggi yang menyebabkan tingginya gaya angkat pada putaran tinggi. Hal ini terjadi karena nilai koefisien gaya angkat untuk NACA 0012 akan maksimum pada sudut serang 15º. Dari kajian diatas, turbin bersudu lebih sedikit sangat mungkin untuk beroperasi pada putaran yang lebih tinggi dari pada turbin bersudu lebih besar. Hai ini disebabkan oleh kemampuan turbin bersudu lebih kecil untuk menghasilkan torsi pada putaran yang lebih besar dibdaningkan turbin bersudu lebih banyak. Dari fenomena sudut serang yang relatif lebih rendah pada operasi putaran yang lebih tinggi untuk turbin bersudu lebih banyak, paragraf berikut mencoba untuk menjelaskan keterkaitanya dengan pengaruh jumlah sudu. Pada putaran tinggi, kecepatan sudu pada turbin bersudu banyak jauh lebih rendah dibdaningkan dari pada turbin bersudu yang lebih sedikit (lihat Gambar (6) & (7)). Menurut penjelasan dalam teori Blade Elemen, sudut relatif merupakan penjumlahan dari sudut serang dan sudut sudu, yang merupakan fungsi dari kecepatan pada sudu dan kecepatan putaran. Kombinasi dari kecepatan putaran tinggi, yang disebabkan oleh putaran operasi tinggi, dan kecepatan sudu rendah sangat memungkinkan untuk menghasilkan sudut relatif rendah. Sudut relatif yang rendah sangat memungkinkan untuk menghasilkan sudut serang yang rendah, bahkan negatif. Salah satu alasan pada fenomena kecepatan sudu yang lebih rendah pada putaran yang lebih tinggi untuk turbin bersudu banyak adalah pengaruh tahanan (blockade effect). Hal ini disebabkan oleh banyaknya intraksi antara permukaan sudu dengan aliran akibat banyaknya sudu.

Sudut Serang (o)

6 B 60

8 B 12 B

30

0 0

20

40 RPM

60

80

Gambar 4. Koefisien kinerja dalam variasi jumlah sudu di V0 1 m/s 2

V1 (m/s)

1.5 3 B 1

6 B

8 B 0.5

12 B

0 0

20

40

60

80

RPM

Gambar 5. Koefisien kinerja dalam variasi jumlah sudu di V0 1 m/s Dari fenomena hasil investigasi diatas, turbin yang memiliki sudu yang lebih sedikit memiliki daerah operasi putaran yang lebih besar dibdaningkan dengan turbin bersudu sedikit. Paragraf berikut mencoba untuk menjelaskan alasan. mengenai hasil hubungan antara jumlah sudu dan daerah operasi putaran. K-87

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Untuk turbin bersudu sedikit, karena penggaruh interaksi permukaan dan aliran relatif lebih kecil, dibdaning dengan turbin bersudu banyak, penggaruh tahanan lebih kecil. Hal ini menyebabkan kecepatan sudu pada putaran tinggi relatif lebih besar yang memungkinkan turbin beropeasi pada sudut serang yang relatif lebih besar dibdaning dengan turbin bersudu banyak.

[6]

[7]

4. KESIMPULAN DAN SARAN Studi ini telah menginvestigasi penggaruh jumlah sudu terhadap operasi putaran turbin aliran sungai horisontal. Berikut ini beberapa kesimpulan yang dapat diambil. Jumlah sudu kecil, memungkinkan turbin untuk beroperasi pada putaran yang lebih tinggi, sebaliknya, sangat sulit untuk turbin bersudu banyak beroperasi pada putaran yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan turbin bersudu lebih sedikit untuk menghasilkan torsi pada putaran yang lebih tinggi dari pada turbin bersudu lebih banyak. Salah satu penyebab dari fenomena ini adalah turbin bersudu banyak memiliki sudut serang yang relatif kecil, bahkan negatif pada putaran yang besar. Hal ini disebabkan oleh kecepatan sudu yang kecil, yang disebabkan oleh penggaruh hambatan sudu pada putaran yang besar. Sebaliknya, untuk turbin bersudu kecil, sangat memungkinkan untuk mendapatkan sudut serang yang relatif lebih besar pada putaran tinggi, sebagai akibat dari rendahnya penggaruh hambatan sudu. Operasi putaran yang rendah menyebabkan turbin bersudu banyak memerlukan rasio transmisi yang lebih besar dibdaningkan dengan turbin bersudu sedikit. Hal ini sangat memungkinkan untuk menyebabkan konsekuensi kehilangan efisiensi pada sistem tansmisi akibat besarnya nilai rasio pada turbin bersudu banyak, sehingga sangat memungkinkan untuk mempengaruhi kimerja sistem secara keseluruhan. Selain itu, dibutuhkan dimensi sistem transmisi yang besar yang mungkin akan menambah masa pada sistem secara keseluruhan. Masa yang besar pada sistem tranmisi akibat dari kebutuhan rasio yang besar dan masa besar akibat banyaknya jumlah sudu akan mempengaruhi pertimbangan konstruksi pada sistem turbin horisontal bersudu banyak secara keseluruhan.

[8]

[9]

[10]

[11]

[12]

[13]

[14]

[15] [16]

DAFTAR PUSTAKA

[17]

[1] Khan MJ, Iqbal MT, Quaicoe JE, (2007), River current energy conversion systems: Progress, prospects and challenges Renewable and Sustainable Energy Reviews 12 - 2177–2193 [2] Guney MS ,Kaygusuz K, (2010), Hydrokinetic energy conversion systems: A technology status review, In Journal of Renewable dan Sustainable Energy Reviews. Article in Press, www.elsevier.com/locate/rser [3] Sornes K (2010), Small-scale Water Current Turbines for River Applications, available online http://www.zero.no/publikasjoner/small-scale-water-cu rrent-turbines-for-river-applications.pdf [4] Anyi M, Kirke B (2010), Evaluation of small axial flow hydrokinetic turbines for remote communities, In Energy for Sustainable Development 14 , p 110–116, [5] Li D, Wang S , Yuan P, (2010) An overview of development of tidal current in China: Energy resource, conversion technology dan opportunities, In Renewable

[18]

[19]

[20]

K-88

dan Sustainable Energy Reviews, Article in Press, www.elsevier.com/locate/rser Rourke F O, Boyle F, Reynolds A, (2010), Marine current energy devices: Current status dan possible future applications in Ireldan, In Renewable dan Sustainable Energy Reviews 14, p 1026–1036 , www.elsevier.com/locate/rser Khan MJ, Bhuyan G , Iqbal MT, Quaicoe JE, (2009), Hydrokinetic energy conversion systems dan assessment of horizontal dan vertical axis turbines for river dan tidal applications: A technology status review, Journal of Applied Energy 86, 1823–1835, www.elsevier.com/locate/apenergy Burton T, Sharpe D, Jenkins N, Bossanyi E, (2001), Wind Energy Hdanbook , John Wiley & Sons, Ltd Baffins Lane, Chichester West Sussex, PO19 1UD, Engldan Manwell J.F, McGowan J.G, Rogers A.L, (2002), Wind Energy Explained; Theory , Design dan Application, University of Massachusetts, Amherst, USA JOHN WLEY & SONS, LTD Nishizawa Y (2011). An Experimental Study of the Shapes of Rotor for Horizontal-Axis Small Wind Turbines, Wind Turbines, Ibrahim Al-Bahadly (Ed.), ISBN: 978-953-307-221-0, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/articles/show/title/an-expe rimental-study-of-the-shapes-of-rotor-for-horizontal-ax is-small-wind-turbines Rachman A (2010), Parametric Study of a Horizontal Axis Ducted Wind Turbine, Master Engineering Thesis, University of Wollongong, Faculty of Engineering. NSW Australia Atmadi S , Fitroh A J (2010), Analisis dan Optimasi Sudu SKEA 5 KW untuk Pemompaan, Jurnal Teknologi Dirgantara , Vol 8 no 2, Desember, Hal 108 – 115 Wang SH, Cheng SH (2008) ,”Blade number effect for a ducted wind turbine”, In Journal Mechanical Science Technology 22/Clark RH, 2007, Elements of tidal-electric engineering. Wiley-IEEE Press; Swanson J, Visser K (2002), Improving the Efficiency of Small Wind Turbines by Optimizing Blade Number dan Solidity, available online www.clarkson.edu/ reu/archives/2002/abstracts/Swanson.pdf Lanzafame R, Messina M (2010), Horizontal axis wind turbine working at maximum power coefficient continuously, In Journal Renewable Energy 35/301– 306 Li Y, Sander SM, 2010, Numerical analysis of the characteristics of vertical axis tidal current turbines, Journal of Renewable Energy Clark RH, (2007), Elements of tidal-electric engineering. Wiley-IEEE Press; Rachman A, Balaka R, Delly J, (2011), A mathematical model for predicting the performance of a horizontal axis river current turbine with consideration of the Blade Parameters, In Proceeding International Conference dan Exhibition Sustainable Energy dan Advanced material 2011 (ICESEAM 2011), 3-4 October, ISSN 2088-8864, p 66. Duran, S (2005), Computer–aided design of horizontal–axis wind turbine blades, Master’s thesis, Middle East Technical University, Ankara, Turkey. Available online iats09.karabuk.edu.tr/press/bildiriler_ pdf/IATS09_06-01_1290.pdf. Sutrisno (1995), Lift and drag characteristics of hydrofoils with different dihedral angle, Forum Teknik, Jilid 19 No 2 Agustus, available online i-lib.ugm.ac.id/ jurnal/download.php?dataId=106

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PENGUJIAN PRESTASI KOMPOR INDUKSI Syahbardia Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik,Universitas Pasundan Jalan Setiabudhi No, 193 Bandung 40153. Indonesia Phone: 022-2019433,022-2019352, Fax: 022-2019329 E-mail : [emailprotected]

ABSTRAK Pemanasan induksi pertama dikenal sebagai rugi-rugi panas pada mesin listrik dan transformator. Kemudian fenomena rugi-rugi disipasi panas ini dimanfaatkan untuk pengembangan design tungku pencairan logam, oven heat treatment dan pengelasan logam, dan ditemukanlah tungku induksi, oven induksi dan penyambungan logam dengan pemanas induksi. Berdasarkan kelebiham-kelebihan yang dimiliki sistem pemanas induksi, maka dewasa ini banyak kompor-kompor rumah tangga yang ada dipasaran merupakan jenis kompor induksi. Kompor induksi adalah salah satu produk modern dan sangat bermanfaat bagi orang banyak terutama ibu-ibu rumah tangga. Kompor induksi ini faktor keselamatannya lebih tinggi dan lebih lebih efisien dari kompor listrik, minyak, dan gas. Penggunaan cukup dengan menggunakan energi listrik, produk ini memiliki kelebihan salah satunya adalah pada saat memasak dipegang dari setiap posisi tidak menimbulkan panas sama sekali. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian efisiensi kompor induksi untuk pemanasan air pada beberapa kondisi pada variasi volume air dari 1 liter air sampai 5 liter air. Dari hasil pengujian dan perhitungan, efisiensi maksimum terjadi pada volume air 4 liter air yaitu sebesar 88,2% dengan waktu pemanasan air 14 menit. Sedangkan efisiensi maksimum rata-rata terjadi pada volume air 4 liter yaitu sebesar 83,6%. Hasil penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa kompor induksi merupakan kompor rumah tangga yang memiliki efisiensi konversi energi yang tertinggi dibandingkan dengan kompor-kompor rumah tangga yang lainnya. Kata kunci: kompor induksi

1. PENDAHULUAN

2. METODOLOGI

Pemanasan induksi idenya berkembang menggunakan prinsip induksi elektromagnetik yang pertama kali ditemukan oleh Michael Faraday pada tahun 1831. Pemanasan induksi pertama dikenal sebagai rugi-rugi panas pada mesin listrik dan transformator. Kemudian fenomena rugi-rugi disipasi panas ini dimanfaatkan untuk pengembangan design tungku pencairan logam, oven heat treatment dan pengelasan logam, dan berkembanglah tungku induksi, oven induksi dan penyambungan logam dengan pemanas induksi. Berdasarkan kelebiham-kelebihan yang dimiliki sistem pemanas induksi, maka dewasa ini banyak kompor-kompor rumah tangga yang ada dipasaran merupakan jenis kompor induksi. Dari brosur, beberapa artikel majalah menjabarkan keunggulan-keunggulannya dibandingkan dengan kompor konvensional. Salah satunya adalah besarnya kemampuan dalam mengkonversikan energi listrik menjadi termal, atau lebih dikenal dengan istilah efisiensi konversi energi. Berdasarkan latar belakang tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui prestasi kompor induksi. Prestasi kompor induksi diketahui dengan studi referensi serta pengujian prestasi, memilih satu sample kompor induksi yang ada dipasaran. Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti yaitu: Mengetahui prinsip kerja kompor induksi, mengetahui prosedur pengujian prestasi dan besarnya efisiensi dari studi referensi dan pengujian prestasi kompor induksi. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah menambah wawasan peneliti dan para pembaca tentang kompor induksi, dan mempunyai pertimbangan yang lebih banyak dalam pemilihan alternatif kompor induksi dengan kompor konvensional yang telah terlebih dahulu dikenal.

2.1. Studi referensi Berdasarkan hukum Ampere pembangkitan medan magnet dapat timbul jika kumparan dialirkan arus listrik, sesuai dengan persamaan: Besarnya garis-garis medan magnet berbanding lurus dengan permeabilitas dari material core:

 Hdl  Ni  F

  HA

(1)

(2)

Kerapatan medan magnet objek berkurang semakin dekat ke pusat core dari permukaan. Menurut Hukum Faraday, arus yang dihasilkan pada permukaan core konduktif memiliki hubungan yang berlawanan dengan arus pada sirkuit induksi. Arus pada permukaan core dinamakan arus eddy

Gambar 1. Skematis pembangkitan arus eddy K-89

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 1. Tabel efisiensi beberapa jenis kompor dari brosure kompor induks

merupakan panci yang terbuat dari logam ferromagnetic. Fungsi dan jenis lapisan-lapisan panci khusus ini tidak hanya untuk menkonversikan energi magnet menjadi termal saja: 1) 18/10 stainless steel adalah non-reaktif terhadap makanan dan mudah dibersihkan. 2,3,4) 1145 aluminium alloy seri 1145 dengan lapisan 3004 alumini um antara untuk peme rataan panas 5) 18/10 stainless steel untuk superior bond.

Efficiency of Cooking Methos Cooking Method Efficiency Induction 90% Halogen 58% Electric 47% Gas 40%

E

rum

d d N dt dt

(3)

Akibatnya, energi listrik yang disebabkan oleh arus eddy yang diinduksi dan langsung dikonversi menjadi energi panas:

E2 P  i2R R

(4)

Besarnya resistansi ditentukan dari resistivitas () dan permeabilitas () dari core. Konversi energi listrik ke termal selain akibat arus eddy juga disebabkan hysteresis, besarnya <10% dari energi induksi. Secara umum kompor induksi memiliki bagian utama: Power source AC, Rectifier, Filter, Inverter, Heating coil dan core atau heat load. power source

rectifier

filter

inverter

coil

Gambar 3. Penampang panci 6) 7)

stainless steel untuk proses induksi magnetik yang efisien 18/10 stainless steel tahan pitting & berkarat

heat load

Gambar 2. Diagram blok bagian utama kompor induksi Power source atau sumber listrik AC berasal dari generator/jaringan AC. Tegangan standard bisa 120 V, 220 V atau 380 V, frekuensi 50 Hz atau 60 Hz. Untuk power biasanya tegangan diturunkan supaya arusnya naik dengan transformator. Rectifier atau penyearah, merupakan konvertor elektronik mengubah listrik AC menjadi DC menggunakan Dioda. Jumlah diode yang digunakan bisa dua jika transformatornya memiliki CT, empat buat disusun menjadi jembatan diode, atau enam buah jika sumber listrik AC tiga phasa. Filter atau penyaring listrik DC agar ripplenya sekecil mungkin. Dapat jenis pasif dengan koninasi beberapa kapasitor dan induktor. Atau jenis aktif menggunakan komponen utama transistor Inverter merupakan konverter elektronik mengubah listrik DC menjadi AC. Menggunakan komponen utama transistor atau tryristor. Jenis inverter yang digunakan ada tiga macam: current source inverters = CSI, Variable voltage inverters = VMI dan pulse-width-modulated = PWM. Jenis yang terakhir memiliki efisensi yang tinggi, oleh karena itu yang paling banyak digunakan. Coil merupakan pembangkitan medan magnet, jenisnya ada dua yaitu: bentuk spiral untuk tegangan tinggi arus rendah sedang bentuk spring untuk arus yang tinggi. Heat load merupakan komponen yang menimbulkan arus eddy, akibat dipotong oleh garis-garis medan magnet yang arah dan besarnya berubah-ubah. Untuk kompor induksi

Gambar 4. Jenis coil pemanas induksi 2.2. Prosedur Pengujian Metoda pengujian yang dilakukan adalah dengan pemanasan air yang dikenal dengan istilah boiling water test. Parameter pengukuran yang menunjukan hasil pengukuran dari alat ukur, parameter-parameter itu antara lain: 1. waktu pendidihan air dan waktu operasi 2. energi listrik yang digunakan 3. arus 4. tegangan 5. daya 6. temperatur air Parameter pengujian adalah parameter yang di bakukan dalam melakukan pengujian. Dimana terdapat dua parameter pengujian yaitu: 1. Parameter tetap adalah kondisi awal yang dibuat tetap untuk setiap pengujian. 2. parameter yang berubah, adalah parameter yang diubahubah untuk mendapatkan data yang diinginkan. Parameter tersebut adalah mengubah volume air Peralatan pengujian yang digunakan adalah: 1. 1 unit kompor induksi 1800 W 2. 1 buah panci kompor induksi 3. Termocople K-90

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

4. Gelas ukur 250 ml 5. Power analyzer 6. Stop watch Prosedur pengujian kompor induksi: a. Menghidupkan kompor induksi dengan cara menekan tombol power pada posisi on. b. Setting temperatur yang diinginkan dan kemudian meletakkan panci yang berisi air pada kompor induksi dan waktu mulai di catat c. Mengukur temperatur pada beberapa titik yang telah ditentukan setiap 60 detik sampai air mendidih d. Mengulangi langkah diatas dengan massa air yang berbeda. Instalasi pengujian untuk pengujian kompor induksi diperlihatkan seperti gambar berikut ini:

Tabel 3. Data pengujian kapasitas 3-liter

Termokopel suhu lingkungan Termokopel suhu air

Tabel 4. Data pengujian kapasitas 4-liter panci Keramik AC

Alat ukur listrik Induktor

Gambar 5. Instalasi pengujian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.Data hasil pengujian dan perhitungan Tabel 1. Data pengujian kapasitas 1-liter

Tabel 5. Data pengujian kapasitas 5-liter

Tabel 2. Data pengujian kapasitas 2-liter

K-91

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

3.2.Analisis dan Diskusi Dengan melihat kurva Gambar 3-1, bahwa kelakuan kompor induksi efisiensi cenderung konstan setelah beberapa menit kompor dihidupkan sampai mendidih. Efisiensi maksimum mendekati dari studi referensi. Efisiensi yang tinggi tersebut terjadi, karena rugi-rugi panas jauh lebih kecil dibandingkan dengan kompor konvensional. Rugi-rugi panas kecil karena perbedaan temperatur dinding dengan lingkungan tidak terlalu besar dibandingkan dengan kompor konvensional. Perpindahan panas dari sumber panas yaitu bagian bawah panci keair dengan modus perpindahan panas konduksi. Sehingga laju perpindahan panasnya lebih besar dibandingkan modus-modus yang lain. Gambar 3-3 memperlihatkan juga bahwa efisiensi maksimum terjadi tidak pada kapasitas maksimum kompor, tetapi pada kapasitas  80% kapasitasnya. Hal ini merupakan sesuatu yang umum terjadi. Biasanya designer merancang produk kondisi operasi optimal bukan pada kapasitas maksimumnya.

Gambar 6. Kurva efisiensi vs waktu untuk berbagai volume air

4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: 1. Prinsip kerja kompor induksi berdasarkan hukum Ampere dan hukum Faraday 2. Konversi energi listrik ketermal akibat efek Arus Eddy dan Hysteresis 3. Besar efisiensi maksimum dari hasil pengujian 88,2 % 4. Efisiensi maksimum terjadi pada kapasitas terpasang 80 %

Gambar 7. Kurva efisiensi rata-rata vs volume air

DAFTAR PUSTAKA [1] AN9012, “Induction Heating System Topology Review”, FAIRCHILD SEMI CODUCTOR, July, 2000 [2] Renesas Technology Europe “Induction Cooking Basics”, 2008 [3] Frianto, Decky. 2010. “Pengujian prestasi kompor Induksi”. Bandung: Laporan Tugas Akhir Jurusan Teknik Mesin UNPAS. [4] ”High Frequency Induction Heating”, http://www.richieburnett.co.uk/indheat.html [5] Rhoades, Nathan “A Fundamental Overview of Heating by Induction”, April 22, 2006 [6] ”The Induction Heating Guide”, www.inductionatmospheres.com

Gambar 3. Kurva efisiensi maksimum vs volume air

K-92

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

KOMPOSIT PARTIKEL SERBUK GERGAJI KAYU ( SAWDUST) DENGAN RESIN UREA FORMALDEHID SEBAGAI BAHAN BAKU UTAMA BOX SPEAKER Sugeng Slamet Jurusan Teknik Mesin Universitas Muria Kudus Jl. Gondangmanis PO. Box 53, Bae-Kudus Phone : (0291) 443844 Fax : (0291) 437198 E-mail: [emailprotected]

ABSTRAK Penggunaan bahan komposit untuk mencipta produk terus mengalami peningkatan seiring dengan kualitas komposit yang semakin unggul. Sifat mekanis komposit dirancang dengan kekuatan dan kekakuan yang tinggi, dapat memberikan kekuatan dan kekakuan spesifik yang melebihi beberapa kali lipat baja dan aluminium, terhindar dari korosi dan penampilan yang menarik. Salah satu produk yang memanfaatkan bahan komposit adalah box speaker yang menggunakan partikel serbuk gergaji kayu (sawdust) dengan resin urea formaldehid sebagai pengikat serbuk. Metode penelitian yang diterapkan adalah membuat komposit dari serbuk kayu yang berbeda. Adapun serbuk kayu yang digunakan adalah serbuk kayu trembesi (Samanea Saman) dengan serbuk kayu sengon laut (Albazia Falcaria) yang banyak dibudidayakan, namun serbuk kayunya belum banyak dimanfaatkan. Varibel penelitian yang diteliti adalah kerapatan/density papan partikel, sifat mekanis/bending dan pengujian bunyi yang dihasilkan/acoustic. Spesimen produk dikerjakan dengan mesin hot press dengan perbandingan tekanan kompaksi 2 : 1 dan 3 : 2. Hasil pengujian menunjukkan tingginya densitas bahan komposit menggunakan partikel kayu berbanding terbalik dengan modulus patah bahan. Hal ini disebabkan kekakuan/stiffness bahan komposit meningkat. Besarnya nilai modulus patah turun hingga mencapai 94,44% untuk partikel kayu trembesi dan 95,31% untuk partikel kayu sengon laut pada perbandingan kompaksi 2 : 1. Semakin besar densitas bahan komposit partikel kayu semakin rendah modulus patah bahan tersebut. Bahan dengan densitas lebih besar menunjukkan sifat akustik yang lebih baik untuk semua jenis partikel kayu yang diuji. Kata kunci: Komposit, sawdust, akustik, box speaker, densitas 2. Pengaruh densitas papan partikel terhadap sifat akustik yang dihasilkan.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.3. Manfaat Penelitian

Bahan utama kayu banyak digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti konstruksi rumah, meubelair, panel-panel, accecories dan lainnya. Kebutuhan kayu dari tahun ke tahun semakin meningkat setelah bahan baku logam. Peningkatan kebutuhan ini tidak dapat diimbangi dengan persediaan yang cukup, dikarenakan regulasi sektor kehutanan dan perdagangan kayu diperketat untuk melindungi kelestarian alam dan ekosistem yang ada. Sementara itu pada sisi lain, limbah kayu baik yang berupa serpihan/tatal kayu dan serbuk/partikel kayu hampir tidak dimanfaatkan secara optimal, seringkali limbah kayu tersebut hanya digunakan untuk bahan bakar yang rendah nilai ekonominya. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomi limbah kayu tersebut adalah dengan menjadikan sebagai bahan baku pembuatan papan partikel/bahan komposit. Produk yang dihasilkan dari pemanfaatan papan partikel serbuk kayu cukup luas selain untuk produk meubel juga untuk box speaker.

1. Penelitian ini merupakan konstribusi positif bagi pengembangan produk khususnya dibidang material teknik untuk memproduksi box speaker. 2. Material baru ini sepenuhnya memanfaatkan limbah/ sampah yang tidak mempunyai nilai ekonomis sama sekali. 3. Penelitian ini merupakan sumbangsih perguruan tinggi kepada masyarakat untuk pengembangan wirausaha.

1.4. Tinjuan Pustaka Komposit dirancang dengan kekuatan dan kekakuan tinggi, dapat memberikan kekuatan dan kekakuan spesifik yang melebihi bahkan dapat beberapa kali lipat dibandingkan dengan baja dan aluminium, komposit terhindar dari korosi serta memberikan penampilan dan kehalusan permukaan lebih baik ( Malau V, 2000 ). Penambahan filler (serbuk gergaji kayu) ke dalam matriks bertujuan mengurangi densitas, meningkatkan kekakuan dan mengurangi biaya per unit volume. Filler ditambahkan ke dalam matriks dengan tujuan meningkatkan sifat mekanis melalui penyebaran tekanan yang efektif di antara serat dan matriks ( Han, 1990).

1.2. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan data pengaruh perbandingan tekanan kompaksi pada komposit serbuk kayu terhadap sifat mekanis terutama kekuatan bending. M-1

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Komposit yang berkualitas tinggi hanya dapat dicapai bila serbuk kayu terdistribusi dengan baik di dalam matriks. Dalam kenyataan, afinitas antara serbuk kayu dengan plastik sangat rendah karena kayu bersifat hidrofilik sedangkan plastik bersifat hidrofobik. Akibatnya komposit yang terbentuk memiliki sifat-sifat pengaliran dan moldability yang rendah dan pada gilirannya dapat menurunkan kekuatan bahan (Han, 1990). Han (1990), Strak dan Berger (1997) dan Oskman dan Clemons (1997), meneliti faktor-faktor yang berperan penting dalam pembuatan komposit serbuk kayu plastik, yaitu tipe dan bentuk bahan baku, jenis kayu, nisbah filler dan matrik, jenis dan kadar compatibilizer serta kondisi saat pengadonan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai batas tertentu terjadi peningkatan kekuatan komposit dengan makin kecil ukuran serbuk yang digunakan, tipe, nisbah serbuk dan plastik, kadar air serta jenis kayu berpengaruh nyata terhadap sifat-sifat komposit yang dihasilkan. Setyawati (2003) meneliti pengaruh ukuran nisbah serbuk kayu dengan matriks, serta kadar compatibilizer terhadap sifat fisis dan mekanis komposit kayu polipropilena daur ulang. Hasil menunjukkan pola yang sama dengan komposit yang menggunakan polipropilena murni, yaitu sifat-sifat komposit meningkat dengan makin halusnya ukuran partikel. Sulaeman (2003), meneliti deteriosasi komposit kayu plastik polipropilena daur ulang oleh cuaca dan rayap. Hasil penelitian menunjukkan komposit kayu plastik daur ulang dapat terdegradasi oleh cuaca, akan tetapi tahan terhadap serangan rayap. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan serbuk kayu sebagai filler dalam pembuatan komposit kayu plastik adalah jenis kayu, ukuran serbuk serta nisbah antara serbuk kayu dan plastik. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sifat dasar dari serbuk kayu itu sendiri. Kayu merupakan bahan yang sebagian besar terdiri dari selulosa (40-50%), hemiselulosa (20-30%), lignin (20-30%) dan sejumlah kecil bahan-bahan anorganik dan ekstraktif. Karenanya kayu bersifat hidrofilik, kaku serta terdegradasi secara biologis. Sifat-sifat tersebut menyebabkan kayu kurang sesuai bila digabungkan dengan plastik, karena itu dalam pembuatan komposit kayu plastik diperlukan bantuan coupling agent (Febrianto, 1999).



2.3. Diagram alir penelitian Mulai

Menyiapkan bahan utama penelitian ( matrik dan resin urea formaldehid, mesin press )

-

Jenis serbuk kayu A

Jenis serbuk kayu B

Tekanan kompaksi 2 : 1 dan 3 : 2

Tekanan kompaksi 2 : 1 dan 3 : 2

Pengujian bending dan densitas papan komposit

Pembuatan benda uji untuk uji akustik

Analisis data dan Pembahasan

Penyusunan laporan akhir

Selesai

Gambar 1. Diagram alir penelitian 2.3.1. Pengujian bending Uji lengkung ( bending test ) merupakan salah satu bentuk pengujian untuk menentukan mutu suatu material secara visual. Selain itu uji bending digunakan untuk mengukur kekuatan material akibat pembebanan. Contoh uji berukuran 5 x 20 cm pada kondisi kering udara. Lebar bentang (jarak penyangga) 15 kali tebal nominal, tetapi tidak kurang dari 15 cm.

2.1. Alat dan Bahan

-

(1)

Keterangan: ρ adalah massa jenis (kg/m3) m adalah massa (kg) V adalah volume (m3)

2. METODOLOGI -

m V

Serbuk kayu Hot press machine Resin urea formaldehid. Osiloskop (GW Instek GDS-1102, Max Frekuensi 100 MHz) Amplifier (tipe GM 022, Frekuensi output 50 – 10 KHz, Impedansi output 8 ohm) Speaker diameter 8 inc Timbangan digital AFG (Audio Frekuensi Generator) Microphone

20 5

15

2.2. Macam pengujian

2

Gambar 2. Ukuran Bahan Uji Bending (ISO 8335 – 1987)

Perhitungan Densitas Massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda. Rumus untuk menentukan massa jenis adalah

Nilai MOR papan partikel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (ISO 8335-1987): M-2

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

MOR 

Densitas komposit serbuk kayu

3.P.L 2.b.h 2

Keterangan: MOR P L B H

(2) 800

= modulus patah (kg/cm2) = beban sampai patah (kg) = panjang bentang (cm) = lebar contoh uji (cm) = tebal contoh uji (cm)

700 600 500 Densitas ( kg/m3) 400

300

Kayu Trembesi

200

Kayu Sengon laut

100

2.3.2. Pengujian akustik

2 : .1

AFG

Amplifier

(Audio Frekuensi Generator)

( Output ke Box Speaker )

Osiloskop

3 : .2

Perbandingan kompaksi

Alur pengujian akustik dengan mengguanakan alat-alat di atas adalah:

Amplifier ( Input dari Microphone )

Gambar 3. Skema pengujian akustik Gambar 5. Densitas dan modulus patah terhadap perbandingan kompaksi Dari data pada Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa papan partikel kayu trembesi dengan tekanan kompak 2:1 merupakan papan komposit berkerapatan sedang (Medium Density particleboard) dengan nilai 0,73 gr/cm3. Sedangkan papan partikel untuk perlakuan lainnya menunjukkan klasifikasi papan partikel berkerapatan rendah (Low Density particleboard). Selain dari kerapatan, sifat fisis dan mekanis papan partikel kayu trembesi dan sengon laut dengan tekanan kompaksi 2:1 juga menunjukkan modulus patah (MOR) yang memenuhi standar FAO yaitu sebesar 225 dan 300 kg/cm2. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan yang diberikan saat pressing sangat menuntukan tingkat kepadatan papan pastikel (Density). Densitas bahan komposit serbuk kayu mempengaruhi modulus elastisitasnya (MOE) dan modulus patahnya (MOR). Makin tinggi densitas bahan komposit serbuk kayu akan meningkatkan sifat kekakuan bahan yang menyebabkan sifat getas pada bahan. Gambar 5 menunjukkan densitas yang besar berbanding terbalik dengan nilai modulus patahnya. Sedangkan hasil pengujian akustik bahan komposit serbuk kayu trembesi (Samanea Saman) dan sengon laut (Albazia Falcaria) sebagai berikut: Dari gambar 5.3 tersebut di atas, menunjukkan bahwa input frekuensi yang diberikan mulai dari 30 Hz sampai ≤ 100 Hz mengalami penurunan output frekuensi untuk semua jenis komposit partikel dan perbandingan kompaksi. Besarnya tekanan kompaksi 2:1 relatif lebih tinggi output frekuensi yang ditimbulkan. Ini menunjukkan bahwa tekanan kompaksi 2:1 yang diberikan pada komposit partikel kayu menghasilkan densitas yang lebih tinggi dan sifat akustik bahan komposit tersebut lebih baik. Begitu pula sebaliknya bahwa tekanan kompaksi 3:2 akan memberikan densitas yang rendah pada komposit partikel kayu, sehingga akustik bahan komposit tersebut kurang baik.

Gambar 4. Spesimen uji akustik Spesimen benda uji ISO-354 (measurement of sound absorbtion in a reverberation room) yaitu pengujian material dalam ruang dengung untuk mendapatkan koefisien absorbsi sebagai standar pengujian pada berbagai frekuensi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian terhadap densitas dan modulus patah adalah sebagai berikut: Tabel 1. Densitas dan modulus patah (MOR) komposit Bahan komposit Kayu Trembesi Kayu Trembesi Kayu Sengon Laut Kayu Sengon Laut

Densitas (kg/m3) 733,3 433,3 433,3 283,3

Modulus patah (kg/cm2) 300 5400 225 4800

Gambar 5 menunjukkan kerapatan dan modulus patah pada masing-masing jenis bahan komposit serbuk kayu yang berbeda. M-3

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 2. Data pengujian akustik papan komposit kayu sengon laut

Gambar 6 menunjukkan bahwa peningkatan amplitudo pada papan partikel baik kayu trembesi dan kayu sengon dengan tekanan kompaksi 2:1 menunjukkan peningkatan nilai yang signifikan dengan penambahan frekuensi. Sedangkan pada papan partikel kayu trembesi dan sengon dengan tekanan kompaksi 3:2 tidak menunjukkan peningkatan nilai seiring dengan penambahan frekuensi. Namun perlu diperhatikan peningkatan amplitudo dan frekuensi maksimal di capai pada nilai 1000 Hz relatif berimbang, namun penambahan frekuensi di atas nilai 1000 Hz menunjukkan peningkatan amplitudo cenderung tidak teratur/tidak seimbang. Dengan demikian peningkatan tekanan kompaksi dari 3:2 ke 2:1 akan meningkatkan densitas dan nilai akustik yang lebih baik. Sehingga perlakuan tersebut di rekomendasikan untuk dapat diterapkan pada pembuatan papan partikel serbuk kayu untuk bahan baku box speaker. Selain keunggulan tersebut, peningkatan densitas akibat dari peningkatan tekanan kompaksi akan menurunkan nilai mekanis bahan, di mana bahan partikel relatif keras-getas. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kekakuan bahan (stiffness).

Sengon laut tebal 2 cm Sengon laut tebal 1 cm Frekue Tinggi Frekuensi Tinggi Frekuensi nsi in gelombang out (Hz) gelombang out (Hz) (Hz) (mV) (mV) 30 3,2 99 60 285 40 2,4 100 62 381 60 5,6 121 64 579 100 6,8 160 66 768 1000 6,8 489 80 1000 2000 5,6 1370 254 160 Tabel 3. Data pengujian akustik papan komposit kayu trembesi Trembesi tebal 2 cm Frekue Tinggi Frekuensi nsi in gelombang out (Hz) ( Hz) (mV) 30 8 118 40 8,4 122 60 6,8 127 100 7,2 196 1000 6,8 666 2000 5,6 1250

Trembesi tebal 1 cm Tinggi Frekuensi gelombang out (Hz) (mV) 9 300 10 370 11 590 17 1020 23 2680 123 1000

4. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Peningkatan tekanan kompaksi dari 3:2 ke 2:1 akan meningkatkan densitas bahan untuk kedua jenis partikel kayu yang di uji. 2. Peningkatan densitas bahan menunjukkan nilai berbanding terbalik dengan kekuatan bahan. Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan sifat kekakuan bahan (stiffness). 3. Bahan dengan densitas lebih besar menunjukkan sifat akustik yang lebih baik untuk semua jenis partikel kayu yang diuji.

Uji akustik komposit serbuk kayu 5000 4000 kayu trembesi 2:1

Frekuensi out (Hz)

3000

kayu sengon laut 2:1 kayu trembesi 3:2

2000

kayu sengon laut 3:2 1000 0 30

40

60

100

1000

2000

-1000 -2000

Tinggi gelombang (mV)

Frekuensi in (Hz)

DAFTAR PUSTAKA

260 240 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0

[1] Febrianto F, 1999, Preparation and Properties Enhancement Of Moldable Wood Biodegradable Polymer Composites, Kyoto University, Japan. [2] Han GS, 1990, Preparation and Physical Properties Of Moldable Wood Plastic Composites, Kyoto University, Japan. [3] Malau V. 2000, Bahan Teknik, Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta [4] Oksman K, Clemons C, 1997, Effect of elastomerss and couplingagent on impact performance of wood flourfilled polypropilene, Wisconsin, USA. [5] Setyawati D, 2003, Komposit Serbuk Kayu Plastik Daur Ulang: Teknologi Alternatif Pemanfaatan Limbah Kayu dan Plastik, IPB, Bogor. [6] Strak NM, Berger M. J. 1997. Effect of particle size on properties of wood-flour reinforced polypropylene composites. Di dalam: Fourth International Conference on Woodfiber-Plastic Composites. Madison, 12 –14 Mei 1997. Wisconsin: Forest Product Sociaty. hlm 134-143. [7] Sulaeman, R. 2003. Deteriorasi Komposit Serbuk Kayu Plastik Polipropilena Daur Ulang Oleh Cuaca Dan Rayap, IPB, Bogor.

sengon 3 : 2 Trembesi 3 : 2 Sengon 2 : 1 Trembesi 2 : 1 30

40

60

100

1000

2000

Frekuensi in (Hz)

Gambar 6. Hasil uji akustik komposit serbuk kayu Pada input frekuensi sebesar ≥ 100 Hz mengalami kenaikan output frekuensi untuk semua jenis komposit partikel kayu. Kenaikan output frekuensi terlebih lebih besar pada tekanan kompaksi 2:1. Tinggi rendahnya suara menghasilkan frekuensi sedangkan keras lemahnya suara menghasilkan amplitude yang terukur pada tinggi gelombang (mV). Respon dikatakan baik jika besarnya amplitude di imbangi dengan besarnya frekuensi. Jika nilai amplitudo meningkat namun tidak diimbangi dengan nilai frekuensi maka mengalami penurunan drastis (drop). M-4

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

STUDI WAKTU DAN PROSES PEMBUATAN TERALIS JENDELA DI PT X I Wayan Sukania1), Oktaviangel2), Julita3) Program Studi Teknik Industri, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara1) Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik dan Komputer Universitas Kristen Krida Wacana2,3) Jl. Letjen S Parman No. 1 Jakarta1) Tanjung Duren Raya No. 4 Jakarta2,3) Phone: 021 56725481) , 021 56457262,3) E-mail: [emailprotected], [emailprotected])

ABSTRAK Teralis jendela merupakan salah satu alat pengaman rumah yang sangat penting untuk mengamankan bukaan rumah atau jendela dari orang luar atau binatang yang ingin masuk kedalam tanpa seijin pemilik rumah. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa proses pembuatan teralis jendela relative mudah, hal ini dibuktikan dengan banyaknya bengkel jasa pembuatan tralis. Namun untuk mencapai produktifitas yang optimal diperlukan metode yang tepat dan stasiun kerja yang efektif. Untuk itu dilakukan investigasi di PT X pada tgl 22 Oktober 2011. Melalui peta proses operasi, peta aliran proses dan diagram aliran proses diketahui bahwa kegiatan yang dominan adalah operasi (mengelas dan mengukur) selama 283 menit dan menunggu proses lebih lanjut selama 153 menit. Hal ini disebabkan karena untuk 1 produk dikerjakan oleh seorang operator, pengukuran dan pemotongan bahan dilakukan sebagian demi sebagian. Usulan yang diberikan adalah pembuatan produk melalui kelompok kerja. Kata kunci: operasi, metode, waktu, makalah, seminar nasional, teknik mesin 7. produksi. Demikian pula produk teralis untuk melengkapi rumah. Rumah adalah kebutuhan utama setiap orang, pada umumnya ketika membeli rumah tidak langsung dilengkapi dengan pagar, teralis jendela maupun canopy, karena semua itu adalah aksesoris tambahan diluar spesifikasi yang diberikan oleh developer. Menempati rumah baru yang masih kosong tanpa pagar dan teralis jendela rasanya kurang nyaman dan tidak aman. Pagar besi rumah, teralis jendela ataupun canopy sebagai aksesoris rumah juga berguna untuk memberikan rasa aman. Dengan adanya pagar, rumah memiliki batas dengan lingkungan sehingga aman dari gangguan luar. Peluang ini yang menyebabkan tumbuh suburnya jasa bangkel las yang melayani pembuatan teralis. Perdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa tingkat kesulitan untuk membuat teralis jendela sangat tergantung pada kerumitan desainnya. Untuk tipe teralis sederhana terrgolong tidak sulit membuatnya, mengingat bahan, jumlah komponen serta peralatan kerja cukup sederhana. Fakta lainnya adalah para pekerja tidak perlu kursus banyak agar mampu membuat teralis. Namun bagaimana metode produksi teralis yang tepat, bagaimana urutan pekerjaannya dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk membuat teralis sederhana adalah data yang sangat diperlukan oleh instansi atau pabrik yang ingin menggeluti bisnis teralis. Oleh karena itu penelitian ini akan mendeskripsikan aktifitas pembuatan teralis dengan menggunakan kamera video, peta proses operasi, peta aliran proses serta diagram aliran.

1. PENDAHULUAN Dalam setiap kegiatan yang dilakukan manusia, baik kegiatan harian maupun kegiatan berproduksi pasti memerlukan metode, waktu dan tempat. Agar kegiatan mencapai tujuan yang terbaik maka diperlukan metode terbaik, tempat terbaik dan waktu terbaik [1]. Analisa waktu diperlukan untuk menentukan lamanya waktu menyelesaikan tugas kerja agar bisa ditentukan waktu yang sebaik-baiknya. Analisa waktu juga untuk menentukan waktu kelonggaran yang diperlukan oleh para pekerja sehingga operator dapat bekerja dengan kondisi yang wajar. Penelitian waktu sebaiknya diikuti pula dengan penelitian gerakan pekerja dalam melakukan suatu kegiatan karena membantu menemukan gerakan-gerakan yang efisien dan gerakan yang tidak perlu dilakukan. Penelitian gerakan dapat dilakukan secara langsung mengamati pekerja maupun dengan merekam ke dalam kamera video kemudian menganalisanya dengan memutar dalam kecepatan lambat. Faktor ketiga yang harus dipertimbangkan adalah kondisi kerja yang meliputi tempat atau stasiun kerja dan lingkungan kerja. Faktor ketiga sangat menentukan karena waktu menyelesaikan pekerjaan tentunya lebih lama apabila tempat kerja tidak memadai dan lingkungan kerja tidak mendukung. Untuk mengetahui apakah suatu proses kerja telah bejalan dengan optimal maka diperlukan peta kerja. Peta kerja merupakan suatu alat yang menggambarkan kegiatan kerja secara sistematis dan jelas. Melalui peta-peta ini dapat dilihat semua langkah atau kejadian yang dialami oleh suatu benda kerja dari mulai masuk ke pabrik (berbentuk bahan baku), kemudian menggambarkan semua langkah yang dialaminya, seperti transportasi, operasi mesin, pemeriksaan dan perakitan, sampai akhirnya menjadi produk jadi, baik produk lengkap atau merupakan bagian dari suatu produk lengkap. Maka pemahaman seksama terhadap suatu peta kerja akan memudahkan memperbaiki metoda kerja dari suatu proses

2. PETA KERJA Peta kerja adalah suatu alat yang menggambarkan kegiatan kerja secara sistematis dan jelas [2]. Lewat peta-peta ini, dapat dilihat semua langkah atau kejadian yang dialami oleh suatu benda kerja dari mulai masuk ke pabrik (berM-5

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

bentuk bahan baku), kemudian menggambarkan semua langkah yang dialaminya seperti transportasi, operasi mesin, pemeriksaan dan perakitan, sampai akhirnya menjadi produk jadi, baik produk lengkap atau merupakan bagian dari suatu produk lengkap. Pemahaman yang seksama terhadap suatu peta kerja akan memudahkan memperbaiki metoda kerja dari suatu proses produksi. Pada dasarnya semua perbaikan tersebut ditujukan untuk mengurangi biaya produksi secara keseluruhan. Dengan demikian peta ini merupakan alat yang baik untuk menganalisis suatu pekerjaan sehingga mempermudah perencanaan perbaikan kerja. Peta-peta kerja dibagi kedalam dua kelompok besar berdasarkan kegiatannya, yaitu pertama peta-peta kerja yang digunakan untuk menganalisis kegiatan kerja keseluruhan. Yang termasuk peta kerja keseluruhan adalah: Peta Proses Operasi (OPC), Peta Aliran Proses (FPC), Peta Proses Kelompok Kerja (GPC), Diagram Alir (FD) dan Assembly Chart (AC). Sedangkan yang termasuk peta kerja setempat adalah: Peta Pekerja dan Mesin, Peta Tangan Kanan-Tangan Kiri Peta kerja keseluruhan melibatkan sebagian besar atau semua sistem kerja yang diperlukan untuk membuat produk yang bersangkutan. Sedangkan peta kerja setempat menggambarkan kegiatan kerja setempat, menyangkut hanya satu sistem kerja saja yang biasanya melibatkan orang dan fasilitas dalam jumlah terbatas. Kedua peta kerja akan terlihat saling berhubungan erat apabila untuk menyelesaikan suatu produk diperlukan beberapa stasiun kerja, dimana satu sama lainnya saling berhubungan, misalnya suatu perusahaan perakitan memiliki beberapa mesin produksi atau stasiun kerja. Dalam hal ini kelancaran proses produksi secara keseluruhan akan sangat tergantung pada kelancaran setiap stasiun kerja. Maka untuk memperbaiki proses secara keseluruhan pertama-tama harus memperbaiki atau menyempurnakan setiap sistem kerja yang ada sedemikian rupa sehingga didapatkan suatu urutan kerja yang paling baik. Dan untuk menjaga agar pekerjaan tetap berada dalam wilayah kerja yang normal maka tidak cukup dengan mengoptimasi lay out saja, namun perlu tambahan pertimbangan anatomi [3].

Contohnya pekerjaan menyerut kayu dengan mesin serut, pekerjaan mengeraskan logam, pekerjaan merakit. Dalam prakteknya, lambang ini juga bisa digunakan untuk menyatakan aktivitas administrasi. Pemeriksaan Suatu kegiatan pemeriksaan terjadi apabila benda kerja atau peralatan mengalami pemeriksaan baik untuk segi kualitas maupun kuantitas. Lambang ini digunakan jika kita melakukan pemeriksaan terhadap suatu objek atau membandingkan objek tertentu dengan suatu standar. Suatu pemeriksaan tidak menjuruskan bahan kearah menjadi suatu barang jadi. Contohnya mengukur dimensi benda, memeriksa warna benda, membaca alat ukur tekanan uap pada suatu mesin uap. Transportasi Suatu kegiatan transportasi terjadi apabila benda kerja, pekerja atau perlengkapan mengalami perpindahan tempat yang bukan merupakan bagian dari suatu operasi. Contohnya benda kerja diangkut dari mesin bubut ke mesin skrap untuk mengalami operasi berikutnya, suatu objek dipindahkan dari lantai atas lewat elevator. Menunggu Proses menunggu terjadi apabila benda kerja, pekerja ataupun perlengkapan tidak mengalami kegiatan apa-apa selain menunggu (biasanya sebentar). Contohnya objek menunggu untuk diproses atau diperiksa, peti menunggu untuk dibongkar, bahan menunggu untuk diangkut ke tempat lain. Penyimpanan Proses penyimpanan terjadi apabila benda kerja di simpan untuk jangka waktu yang cukup lama. Lambang ini digunakan untuk menyatakan suatu objek yang mengalami penyimpanan permanen, yaitu ditahan atau dilindungi terhadap pengeluaran tanpa izin tertentu. Contohnya dokumen-dokumen atau catatan-catatan disimpan dalam brankas, bahan baku disimpan dalam gudang. Aktivitas gabungan Selain kelima lambang standar diatas, dapat digunakan lambang lain apabila merasa perlu untuk mencatat suatu aktivitas yang memang terjadi selama proses berlangsung dan tidak terungkapkan oleh lambang-lambang tadi yaitu aktifitas gabungan. Kegiatan ini terjadi apabila antara aktivitas operasi dan pemeriksaan dilakukan bersamaan pada suatu tempat kerja.

3. LAMBANG PETA KERJA Menurut catatan sejarah, peta-peta kerja yang ada sekarang ini dikembangkan oleh Gilberth. Pada saat itu untuk membuat suatu peta kerja, Gilberth mengusulkan 40 buah lambang yang bisa dipakai. Pada tahun berikutnya jumlah lambang tersebut disederhanakan sehingga hanya tinggal 4 macam saja. Namun pada tahun 1947 American Society of Mechanical Engineers (ASME) membuat standar lambang-lambang yang terdiri atas 5 macam lambang yang merupakan modifikasi dari yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Gilberth. Lambang-lambang tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

4. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian untuk mengetahui proses pembuatan teralis jendela dilakukan di sebuah bengkel di Jakarta Barat. Pengambilan data lapangan dilakukan dengan melakukan pengukuran area kerja, membuat denah tempat kerja dan merekam aktifitas responden pekerja dengan kamera video. Melalui pemutaran ulang video diperoleh berbagai proses yang dilakukan untuk membuat teralis. Elemen gerakan yang terjadi dan waktu setiap elemen gerakan tersebut dengan mudah diukur. Beberapa gerakan kombinasi yang berlangsung sangat cepat diidentifikasi sebagai sebuah gerakan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2011.

Operasi Suatu kegiatan operasi terjadi apabila benda kerja mengalami perubahan sifat, baik fisik maupun kimiawi. Mengambil informasi maupun menberikan informasi pada suatu keadaan juga termasuk operasi. Operasi merupakan kegiatan yang paling banyak terjadi dalam suatu mesin atau sistem kerja. M-6

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

5. DATA DAN PEMBAHASAN Peninjauan ke lapangan dilakukan untuk mendapatkan ukuran dan denah area kerja, mencatat seluruh peralatan dan bahan yang dipakai serta proses dan lamanya waktu setiap proses yang dilakukan dalam pembuatan teralis. Seluruh kegiatan disajikan kedalam peta proses operasi (Gambar 2), peta aliran proses (Tabel 13) dan diagram aliran (Gambar 4). Secara umum pembuatan teralis memerlukan beberapa tahapan dan peralatan kerja, mulai dari pengukuran dimensi batang besi sesuai dengan desain pesanan menggunakan meteran, pemotongan bahan dengan gergaji atau gerinda, pembentukan dengan cara diketok menggunakan palu, merakit komponen dengan cara dilas menggunakan mesin las listrik, merapikan permukaan bagian yang dilas dengan

Gambar 1. Pembuatan Teralis Sederhana Batang besi kecil 0.2

4.0

O-16

O-17

Batang besi kecil Diukur,ditandai (meteran, 0.2 batu)

Dipotong (mesin gerinda potong)

4.7

2.0

O-12

O-13

O-14 I-8

Batang besi kecil Diukur,ditandai (meteran, 0.5 batu)

Dipotong (mesin gerinda potong)

Diketok (palu)

2.6

1.9

O-8

O-9

O-10 I-6

Batang besi kecil Diukur,ditandai (meteran, 0.5 batu)

Dipotong (mesin gerinda potong)

Diketok (palu)

1.0

0.7

O-4

O-5

O-6 I-3

Lempeng besi Diukur,ditan1.2 dai (meteran, batu)

O-1

Diukur (meteran)

1.4

O-2 I-1

Diketok (palu)

3.7

O-3

Dilas (mesin las)

I-2

Diperiksa ukurannya

O-7 I-4

Diperiksa dan dirakit (mesin las)

I-5

Diperiksa ukurannya

3.0

O-11 I-7

Diperiksa dan dirakit (mesin las)

16.5

O-15 I-9

Diperiksa dan dirakit (mesin las)

6.9

O-18 I-10

Diperiksa dan dirakit (mesin las)

2.8

O-19

Dilas bagian yg belum dilas (mesin las)

1.1

O-20

Dilas bagian belakang (mesin las)

15

O-21

Diratakan permukaannya (gerinda)

60

O-22

Dihaluskan (dempu) dan ampelas)

30

O-23 I-11

Dicat (cat & kuas)

120

O-24

Dikeringkan

Dipotong (mesin gerinda potong)

Diketok (palu)

3.2

dempul ampelas

cat

Gambar 2. Peta Proses Operasi Pembuatan Teralis M-7

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●

gerinda tangan, memeriksa secara visual hasil pengelasan, mengoleskan dempul pada bagian sambungan las, mengampelas seluruh permukaan, melapisi permukaan teralis dengan cat dan menunggu teralis sampai kering. Kegiatan operasi dan pemeriksaan ada yang berdiri sendiri tapi ada juga kegiatan yang merupakan gabungan antara operasi dan pemeriksaan. Dilihat dari waktu maka proses pengeringan menghabiskan waktu terbanyak diikuti dengan menghaluskan dempul, meratakan permukaan dan merakit dengan las. Terlihat masih ada aktivitas menunggu yang memakan waktu cukup lama. Kegiatan menunggu adalah kegiatan tidak produktif dan seharusnya diminimalkan. Sedangkan stasiun kerja terdiri dari beberapa ruang yaitu ruang penyimpanan bahan baku, ruang meja kerja untuk proses pembentukan dengan menggunakan palu, area tempat pengelasan, ruang gerinda potong, ruang gerinda tangan, ruang pengecatan dan ruang pengeringan akhir. Berdasarkan pengamatan lapangan diketahui beberapa kelemahan proses pembuatan teralis yaitu: a. Proses pemotongan batang besi dilakukan sebagian demi sebagian terbatas pada yang diperlukan saat itu saja. Perbaikan proses dapat dilakukan dengan jalan yaitu proses pemotongan batang besi ini dilakukan sekaligus atau semua proses pemotongan digabungkan menjadi satu proses. Hal ini membutuhkan tambahan berupa gambar teknik dari teralis yang akan dibuat, sementara gambar teknik yang memadai biasanya tidak disiapkan oleh

Waktu (mnt)

Lempeng besi diambil dari gudang Lempeng besi diukur sesuai kebutuhan Lempeng diketok dengan palu Dipindahkan ke bagian pengelasan Lempeng dilas membentuk kerangka Hasil kerangka diperiksa ukurannya Menunggu komponen lain (besi kecil) dipotong Perakitan & pengelasan batang besi pd rangka Hasil kerangka diperiksa ukuran jarak besi Menunggu komponen lain (besi kecil) dipotong Perakitan & pengelasan batang besi pd rangka Menunggu komponen lain (besi kecil) dipotong Perakitan & pengelasan batang besi pd rangka Menunggu komponen lain (besi kecil) dipotong Perakitan & pengelasan batang besi pd rangka Pengelasan bagian atas rangka yg belum dilas Pengelasan bagian bwh rangka yg belum dilas Dipindahkan ke ruang gerinda Menunggu diratakan dengan gerinda Diratakan permukaannya dengan gerinda Dihaluskan dgn ampelas Dipindahkan ke ruang pengecatan Menunggu giliran dicat Rangka dicat Dibawa ke tempat pendinginan Dikeringkan

LAMBANG

Jumlah

URAIAN KEGIATAN

Jarak (m)

Tabel 1. Peta Aliran Proses Pembuatan Teralis

3 2 6 2 6 -

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 -

0.6 1.2 1.4 0.4 3.7 1 2.5 3.2 0.3 5 3 6.9 16.5 4.1 6.9 2.8 1.1 0.3 15 15 60 0.2 120 30 0.3 120

operator. Jadi semua batang besi yang akan dipotong dikumpulkan semua dan dipotong terlebih dahulu sesuai ukuran dan jumlah yang dibutuhkan. Setelah pemotongan barulah dilakukan perakitan. Hal ini akan lebih menghemat waktu operasi dan pekerjaan juga menjadi lebih sederhana. b. Karena proses pemotongan batang besi dilakukan sedikit-sedikit, maka pengetokan besi juga menjadi terpotong-potong pengerjaannya. Untuk itu, sebaiknya proses pengetokan juga dilakukan sekaligus supaya lebih cepat dan pekerjaan lebih sederhana. c. Pembuatan teralis dari persiapan sampai selesai hanya dilakukan oleh satu orang. Supaya dapat mempersingkat waktu, sebaiknya pengerjaan teralis ini dilakukan oleh sekelompok operator, misalnya dua orang. Pembagian kerja misalnya pekerja pertama bertugas memotong batang besi dan pekerja lainnya merakit teralis dengan mesin las. Dengan demikian pekerjaan menjadi lebih cepat. Ringkasan Kegiatan Jumlah Operasi 15 Pemeriksaan 2 Operasi dan pemeriksaan 10 Total 27 M-8

Waktu (Menit) 218,9 1,3 65,1 285,3

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

1

1 Gudang lempeng besi

2

3

2

Mesin Las

Ruang Pengetokan Besi

1 Ruang Pemeriksa an

2

4

1 Mesin Las

Ruang Pemeriksaan

2

5 3 6 4

Ruang Pengelasan Gudang batang besi

7 8 9 3 5

Ruang Gerinda Potong

Ruang Gerinda

10 11

Ruang Pendinginan

4

Ruang Pengecatan 13

12

5

6

Gambar 3. Diagram Aliran Pembuatan Teralis Untuk mempercepat proses pembuatan teralis maka salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk kelompok kerja, artinya untuk menyelesaikan satu unit teralis ditangani secara bersama-sama oleh beberapa pekerja.

6. KESIMPULAN Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa proses pembuatan teralis melibatkan beberapa sarana kerja seperti meteran, gerinda, palu mesin las. Sedangkan bahan baku berupa batang besi, kawat las, dempul dan cat. Berdasarkan waktu diketahui bahwa proses paling panjang adalah proses pengeringan menghabiskan waktu terbanyak (120 menit) diikuti dengan menghaluskan dempul (60 menit), meratakan permukaan dengan gerinda (15 menit) dan menghaluskan permukaan dengan ampelas (60 menit). Kegiatan menunggu adalah kegiatan tidak produktif dan kegiatan ini masih terlihat pada proses pembuatan teralis yang disebabkan pekerja harus menyelesaikan komponen sebelumnya untuk dirakit.

DAFTAR PUSTAKA [1] I Wayan Sukania., Perbaikan Metode Perakitan Steker Melalui Peta Tangan Kiri dan Tangan Kanan, Prosiding TINDT 2012 FT Untar [2] Sutalaksana, Iftikar Z.; Ruhana Anggawisastra dan John H. Tjakraatmadja. (1979). Teknik Tata Cara Kerja. Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung. Bandung. [3] Nurmianto.(1998), Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT. Guna Widya, Jakarta.

M-9

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PENGARUH PERUBAHAN TEGANGAN DAN TEMPERATUR TERHADAP PEMBENTUKAN PORI PADA ALUMINIUM FOIL DENGAN METODA ANODISASI SEDERHANA DALAM LARUTAN ASAM ASETAT 0.2 M Dewin Purnama Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Jakarta Kampus Baru UI Depok 16424 Email: [emailprotected]

Abstrak Perkembangan ilmu dan teknologi material dewasa ini memacu dikembangkan material dengan karakter sesuai yang diharapkan antara lain ulet, keras, tahan korosi, tahan panas, ringan dan lain sebagainya. Aluminium salah satu material yang menarik perhatian untuk dikaji karena dapat membentuk anodic porous alumina yang memiliki sifat khas yaitu keteraturan strukturnya yang terbentuk. Anodic porous alumina sangat banyak digunakan baik dalam sektor yang sederhana dan inovatif. Teknologi yang saat ini sangat penting untuk pembuatan anodic porous alumina adalah proses anodizing. Sifat dan struktur aluminum oksida tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel proses anodisasi seperti waktu anodisasi, jenis dan konsentrasi larutan elektrolit, tegangan dan rapat arus, serta temperatur. Pembentukan anodic porous alumina dari aluminium foil dilakukan dengan metoda anodisasi sederhana. Proses anodisasi dilakukan dalam larutan elektrolit asam asetat 0,2 M dengan waktu anodisasi 30 menit yang dilakukan dengan pada temperatur 4oC, 22oC dan 40oC dan tegangan 10 V, 40 V, 70 V, 90 V dan 120 V. Pengamatan ukuran diameter pori dilakukan dengan alat measuring microscope sedangkan pengukuran ketebalan oksida dilakukan dengan alat SEM. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ukuran diameter pori aluminium oksida yang terbentuk dan ketebalan lapisan oksida pada aluminium akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur dan tegangan anodisasi. Rata-rata ukuran diameter pori yang terbentuk minimal terjadi pada temperatur 4oC dan tegangan 10 volt yaitu 269,4 m dan rata-rata ukuran diameter pori maksimal yang terbentuk terjadi pada temperatur 22oC dan tegangan 90 V. Rata-rata ketebalan lapisan oksida minimal terjadi pada temperatur 4oC dan tegangan 10 volt yaitu 0,38797 m dan rata-rata ketebalan lapisan oksida maksimal terjadi pada temperatur 40oC dan tegangan 90 volt yaitu 16,83 m Kata kunci: Anodisasi, Aluminium foil, Asam Asetat, Lapisan Oksida, Diameter Pori, Ketebalan Lapisan Oksida. Pembuatan anodic porous alumina dapat dilakukan dengan proses elektrokimia yang melibatkan oksidasi anodik dari lembaran alumunium murni sehingga didapatkan lapisan alumina yang porous, baik dalam skala mikro maupun nano [4]. Salah satu teknologi yang saat ini sangat penting untuk pembuatan anodic porous alumina adalah proses anodizing, yang dapat mengubah permukaan aluminium menjadi alumunium oksida yang sangat keras, tahan lama, dan memiliki ketahanan korosi tinggi [5]. Anodisasi dilakukan dengan proses elektrokimia, dengan prinsip sel elektrolisa, dimana aluminium berperan sebagai anoda, katodanya adalah logam inert, saling dihubungkan dalam larutan elektrolit tertentu dan diberi arus searah selama beberapa saat. Akibat dari proses elektrokimia tersebut, aluminium akan teroksidasi dan akan membentuk lapisan tipis Al2O3 yang protektif terhadap serangan korosi lebih lanjut [5]. Dalam proses anodisasi, media elektrolit merupakan salah satu hal penting untuk menghasilkan hasil akhir yang optimal baik dari segi ketahanan korosi dan abrasi. Larutan elektrolit yang digunakan merupakan larutan asam, yang memiliki konsentrasi tertentu. Larutan asam yang umum digunakan adalah asam sulfat dan asam kromat. Larutan asam lain pun dapat digunakan selain kedua larutan tersebut, yaitu asam oksalat, asam sulphosalicylic, asam sulphophtalic

1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi material dewasa ini sangat cepat, makin efektif dan efisien. Saat ini dikembangkan material dengan karakter sesuai yang diharapkan antara lain ulet, keras, tahan korosi, tahan panas, ringan dan lain sebagainya serta memiliki kecenderungan menuju dimensi yang makin kecil bahkan dengan ukuran nanometer. Sifat atau karakteristik material sangat ditentukan oleh struktur material itu sendiri [1]. Salah satu material yang menarik perhatian untuk dikaji adalah aluminium karena dapat membentuk anodic porous alumina yang memiliki sifat khas yaitu keteraturan strukturnya yang terbentuk [2] dan aluminium adalah unsur yang memiliki afinitas kimia terhadap oksigen yang tinggi. Anodic porous alumina sangat banyak digunakan baik dalam sektor yang sederhana dan inovatif. Salah satu penggunaannya adalah sebagai membran untuk penyaringan mikro dalam lingkungan yang agresif, menggantikan membran polimer, dan sebagai tempat kabel nano baik yang berbahan logam maupun semi konduktor dimana keteraturan struktur sangat diperlukan [3].

M-10

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

dan duranodic, asam fosfat, asam boric, ammonium tartrate dan ammonium borate [6]. Pada anodisasi aluminium dengan asam oxalate dan malonic ketebalan lapisan oksida lebih tebal ~1.3–1.4 kali dibandingkan dengan logam yang bereaksi untuk membentuk lapisan tersebut. Lapisan oksida yang terbentuk secara alami mempunyai ketebalan sekitar 23 nm. Sedangkan setelah proses anodisasi, ketebalan lapisan oksida dapat mencapai kurang dari 0,5 m hingga 150 m [7]. Namun dalam literatur tersebut, tidak disebutkan kalau asam asetat dapat digunakan sebagai larutan elektrolit padahal elektrolit ini lebih ramah lingkungan. Untuk itu dalam penelitian ini penulis menggunakan larutan asam asetat sebagai media elektrolit. Keunggulan dari proses ini adalah menciptakan produk akhir yang tahan lama dan tahan cuaca dengan biaya perawatan rendah. Secara umum lapisan oksida hasil dari proses anodisasi memiliki karakteristik sebagai berikut [8]: a. Keras (Al2O3), sebanding dengan sapphire b. Transparan c. Insulatif dan tahan terhadap beban d. Rentang warna yang luas e. Tidak ada serpihan (flake) pada permukaan State of the art dari penelitian tentang pembuatan lapisan anodic porous alumina adalah bagaimana mengatur proses dan variable proses anodisasi yang menentukan seperti misalnya jenis dan komposisi elektrolit, tegangan dan rapat arus, temperatur proses agar didapat struktur honeycomb dengan ukuran pori yang berskala mikrometer atau nanometer. Penelitian mengenai tema ini telah banyak dilakukan jika dilihat dari banyaknya jurnal penelitian yang membahas tentang lapisan porous alumina, oleh sebab itu dilakukan studi literatur mengenai perkembangan penelitian tersebut.

tupperware lalu memasukkan beaker glass ukuran 500 ml yang berisi larutan asam asetat ke dalam tupperware tersebut. Kontrol temperatur dilakukan menggunakan termometer. 5. Sampel dianodisasi pada tegangan 10 Volt dengan kecepatan magnetic stirrer sebesar 500 rpm pada temperatur 4oC selama 30 menit kemudian dibilas dengan aquades dan dikeringkan dengan menggunakan hair dryer 6. Untuk proses anodisasi pada tegangan 40, 70, 90 dan 120 volt pada temperatur 4oC, tahapan proses sama seperti langkah nomor 4 dan 5 7. Untuk proses anodisasi pada temperatur 22oC dan 40oC, secara garis besar langkahnya sama dengan temperatur 4 o C, namun perlu penyesuain temperatur yang diinginkan.

Tujuan Penelitian

Pengujian yang dilakukan adalah Pengujian Karakterisasi Ketebalan Lapisan dan Pengujian Karakterisasi Ukuran Diameter Pori dengan menggunakan alat SEM (scanning electron microscope).

Mengetahui pengaruh variabel perubahan temperatur dan tegangan terhadap pembentukan porous aluminum oxide hasil anodisasi dalam larutan asam asetat (CH3COOH)

Gambar 1. Rangkaian sel anodisasi penelitian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pengamatan Visual

Aluminum foil kemurnian tinggi dipotong dengan ukuran yang disesuaikan dengan penjepit dudukan sampel. Kemudian direndam kedalam larutan Acetone selama 5 detik. Selanjutnya dibilas dengan air yang mengalir dan di rendam dalam larutan ethanol 95%, kemudian dikeringkan hair dyer selama 3 menit untuk selanjutnya dilakukan proses isolasi. Percobaan anodisasi pada penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Menyiapkan larutan asam asetat (CH3COOH) 0,2 M sebanyak 500 ml. 2. Memasukkan lembaran Aluminium foil setelah dilakukan preparasi permukaan ke dalam alat penjepit sampel 3. Menyusun rangkaian sel elektrokimia untuk anodisasi sampel aluminium foil dalam larutan yang telah disiapkan. Rangkaian disusun dengan menghubungkan kutub positif dari power supply DC ke anoda aluminium foil dan menghubungkan kutub negatif power supply DC ke katoda logam timbal. Skema rangkaian dapat dilihat pada Gambar 1. 4. Menyiapkan kondisi temperatur larutan yaitu 4oC. Preparasi dilakukan dengan memasukkan es batu kedalam

Pengamatan visual ini bertujuan untuk melihat kecenderungan perubahan sampel secara fisik. Pada pengujian dengan temperatur 4oC, di permukaan sampel sudah terdapat pori yang dapat dilihat dengan kasat mata, dimana ukuran pori tersebut makin membesar pada tegangan 40 volt dimana daerah pinggir dari permukaan sampel sudah mengalami pelarutan dan ukuran porinya lebih besar jika dibandingkan dengan ukuran sampel pada tegangan 10 volt. Selanjutnya pada tegangan 70 volt kondisi permukaan yang terekspos dengan larutan elektrolit mengalami kehancuran setelah dianodisasi selama 30 menit tetapi sampel tidak terlepas dari bagian aluminium foil, sedangakan kondisi sampel pada tegangan 90 volt, daerah pinggir dari sampel mengalami pelarutan sempurna, sehingga sampel yang terekspos dengan larutan elektrolit hampir terlepas dari aluminium foil tetapi pada bagian tengahnya masih terlihat utuh namun terlihat pori dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan sampel pada tegangan 40 volt.

M-11

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Pada temperatur 22oC, kondisi permukaan sampel pada tengangan 10 volt sudah terlihat pori yang ukurannya hampir sama dengan sampel yang dianodisasi pada temperatur 4oC, namun pada temperatur 22oC, di permukaan sampel terdapat beberapa ukuran pori yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran pori disekitarnya. Selanjutnya pada sampel dengan tegangan 40 volt, terlihat lubang-lubang pada permukaan sampel dan dibagian pinggirnya sudah mulai mengalami pelarutan. Sedangkan pada pengujian anodisasi pada tegangan 90 volt dan 120 volt, sampel mengalami kehancuran di mulai dari bagian tengah, kondisi ini berbeda dengan sampel yang dianodisasi pada temperatur 4oC, dimana pelarutan sampel dumulai dari bagian pinggir. Waktu pengujian untuk kedua sampel tersebut hanya dilakukan selama 14 menit untuk sampel pada tegangan 90 volt dan 10 menit untuk sampel pada tegangan 120 volt, karena apabila diteruskan sampel akan larut semua. Pada temperatur anodisasi 40oC, kondisi permukaan sampel pada tegangan 10 volt secara kasat mata tidak terlihat pori atau lubang dan juga tidak terjadi perubahan warna pada permukaan. Sedangkan pada percobaan dengan variasi tegangan yang lebih tinggi sampel mengalami kehancuran, tetapi masih terdapat sisa-sisa aluminium pada bagian pinggirnya. Secara umum kerusakan sampel dominan terjadi untuk kondisi anodisasi pada variasi temperatur dan tegangan yang lebih tinggi.

Diameter Pori VS Tegangan

Diameter Pori (mikron)

3000 2500 4 oC

2000

22 oC

1500 1000

40 oC

500 0 10 volt

40 volt

90 volt

Tegangan (volt)

Gambar 2. Pengaruh tegangan vs diameter pori Diameter Pori VS Temperatur 3000

Diameter Pori (mikron)

2500

10 volt

2000

3.2. Pengamatan Diameter Pori Berdasarkan hasil pengamatan menggunakan Scanning electron microscope (SEM). Ukuran pori untuk masingmasing sampel yang dianodisasi pada temperatur 4oC, 22oC dan 40oC dengan variasi tegangan 10, 40 dan 90 volt dapat dilihat pada Tabel 1.

1000

500

0 4 oC

Tabel 1. Hasil pengukuran diameter pori lapisan oksida pada variasi temperatur dan tegangan yang berbeda Potensial/Temperatur 10 volt 40 volt 90 volt

4oC 269.4 485.2 486

40 volt 90 volt

1500

22oC 367.4 1106.6 2416

22 oC Te mpe ratur (oC )

40 oC

Gambar 3. Pengaruh temperatur vs diameter pori

40oC 422.4 1327.6 1108

Peningkatan ukuran diameter pori pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan GD Sulka pada tahun 2008. Dimana peningkatan tegangan akan mengakibatkan rapat arus juga meningkat, dan sebaliknya, pada tegangan tinggi maka rapat arus juga semakin meningkat dan temperatur juga akan ikut meningkat, sehingga diameter pori juga akan semakin besar. Peningkatan tegangan akan meningkatkan ketebalan barrier layer yang akan menginisiasi benih-benih pori di dekat batas antara oksida dan larutan. Benih ini muncul karena lapisan oksida yang bersifat insulator dikenai tegangan yang tinggi sehingga ketika rusak akan menimbulkan benih pori. Ukuran pori terkecil terjadi pada temperatur anodisasi 4oC, tegangan 10 volt yaitu 269,4 m dan ukuran pori terbesar terjadi pada temperatur anodisasi 22oC, tegangan 90 volt yaitu 2416 m

Hasil pengukuran diameter pori lapisan oksida pada temperatur 4oC, 22oC dan 40oC ukuran diameter pori cenderung meningkat seiring dengan kenaikan tegangan anodisasi. Pada temperatur 22oC, ukuran diameter pori meningkat secara signifikan seperti ditunjukkan pada Gambar 3, tetapi pada temperatur 40oC ukuran diameter pori menurun setelah tegangan 40 volt., hal ini disebabkan oleh ukuran pori yang kurang merata dan tidak seragam pada setiap sampel. Kenaikan ukuran pori yang cukup signifikan terjadi pada sampel anodisasi tegangan 10 volt dibandingkan dengan tegangan 40 volt, selanjutnya pada tegangan 90 volt perubahan ukuran pori jika dibandingkan degan tegangan 40 volt tidak mengalami perubahan yang drastis. Penyebab dari ketidakteraturan pori adalah adanya partikel yang tidak larut pada logam aluminium yaitu partikel FeAl3 yang umumnya ada di aluminium foil hasil pengerolan [9].

3.3. Pengamatan Ketebalan Lapisan Oksida Hasil pengamatan dan pengukuran ketebalan lapisan oksida dilakukan dengan menggunakan alat SEM (scanning electron microscope). Pengujian ketebalan oksida dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tegangan

M-12

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

pada temperatur 4oC menyebabkan kenaikan ketebalan ratarata lapisan oksida. Ketebalan lapisan oksida mengalami kenaikan berturut-turut 0,388 m, 1,048 m, dan 1,564 m pada tegangan 10 volt, 40 volt dan 90 volt. Pada temperatur 22oC justru menunjukkan hal sebaliknya, makin tinggi tegangan menyebabkan penurunan ketebalan rata-rata lapisan oksida. Ketebalan lapisan oksida mengalami penurunan berturut-turut 3,69 m, 2,11 m, dan 1,08 m pada tegangan 10 volt, 40 volt dan 90 volt. Pada temperatur 44oC menunjukkan hasil pengujian ketebalan oksida, makin tinggi tegangan menyebabkan kenaikan ketebalan rata-rata lapisan oksida. Ketebalan lapisan oksida mengalami kenaikan berturut-turut 13,06 m, 15,74 m, dan 16,83 m pada tegangan 10 volt, 40 volt dan 90 volt. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 2.

reaksi sehingga pada daerah tertentu akan diperoleh lapisan yang lebih rendah maupun semakin tinggi, hal ini juga semakin dimungkinkan dengan adanya proses agitasi yang dilakukan selama reaksi berlangsung. Peningkatan rapat arus akan meningkatkan ketebalan lapisan oksida, maka dapat diperkirakan dengan adanya perubahan rapat arus selama proses anodiasi memungkinan menjadi peyebab tidak meratanya temperatur pada larutan, walaupun telah mengalami agitasi dengan kecepatan 500 rpm. Faktor lain yang menyebabkan terbentuknya variasi ketebalan adalah preparasi sampel. Sampel aluminium foil yang digunakan sangat tipis dan cukup sulit untuk memastikan bahwa lapisan oksida pada permukaan sampel pada saat proses anodisasi telah rata (flat). Kurang meratanya lapisan oksida pada permukaan hasil anodisasi diperkirakan dapat memicu variasi ketebalan lapisan oksida yang terbentuk. Selanjutnya, variasi ketebalan ini juga dapat disebabkan oleh adanya inklusi atau zat pengotor yang masih terdapat pada permukaan sampel. Walaupun pada awal proses telah dilakukan proses degreasing, masih terdapat kemungkinan pengotor yang tidak larut dan tetap berada pada permukaan. Atau dapat juga inklusi baru menempel pada permukaan sampel selama rentang waktu antara proses degreasing dengan proses anodisasi itu sendiri. Permukaan yang terkontaminasi oleh inklusi akan lebih singkat waktu reaksinya dibanding dengan permukaan yang bersih pada waktu proses anodisasi yang sama. Hal ini terjadi karena dibutuhkan waktu tambahan di awal reaksi pada lapisan yang mengandung inklusi supaya pengotor yang ada larut terlebih dahulu bersama larutan, baru kemudian lapisan tersebut mengalami reaksi anodisasi dengan asam asetat.

Tabel 2. Hasil pengukuran ketebalan lapisan oksida pada variasi temperatur dan tegangan yang berbeda Tegangan\Temperatur 4oC 0.38797 10 volt 1.04832 40 volt 1.56478 90 volt

22oC 3.69 2.11 1.08

40oC 13.06 15.74 16.83

4. KESIMPULAN a. Ukuran diameter pori aluminium oksida (Al2O3) pada permukaan aluminium akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur dan tegangan anodisasi. Rata-rata ukuran diameter pori yang terbentuk minimal terjadi pada temperatur 4oC dan tegangan 10 volt yaitu 269,4 m dan rata-rata ukuran diameter pori maksimal yang terbentuk terjadi pada temperatur 22oC dan tegangan 90 volt. b. Ketebalan lapisan oksida pada aluminium akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur dan tegangan anodisasi. Rata-rata ketebalan lapisan oksida minimal terjadi pada temperatur 4oC dan tegangan 10 volt yaitu 0,38797 m dan rata-rata ketebalan lapisan oksida maksimal terjadi pada temperatur 40oC dan tegangan 90 volt yaitu 16,83 m

Gambar 4. Pengaruh temperatur vs tebal lapisan oksida Variasi ketebalan lapisan oksida yang terjadi pada hasil anodisasi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti temperatur, rapat arus, tegangan dan berbagai faktor lainnya dapat mempengaruhi lapisan oksida yang dihasilkan. Pada penelitian ini sebagian besar faktor faktor tersebut dibuat tetap, kecuali tegangan dan temperatur. Variasi ketebalan ini dapat terjadi karena perubahan tegangan yang diikuti oleh perubahan rapat arus yang terjadi selama penelitian. Hal ini terjadi karena selama 30 menit percobaan anodiasi pada temperatur anodisasi 4oC dengan perubahan tegangan 10 volt, 40 volt dan 90 volt, rapat arus yang dihasilkan bervariasi antara 13,4 mA/cm2 – 0,16 A/cm2. Sedangkan pada temperatur anodisasi 22oC dengan perubahan tegangan yang sama dengan sebelumnya, rapat arus yang dihasilkan bervariasi antara 19,8 mA/cm2 – 0,22 A/cm2. Selanjutnya pada temperatur anodisasi 40oC, rapat arus yang dihasilkan bervariasi antara 2,6 mA/cm2 – 0,25 A/cm2. Ketika terjadi penurunan atau peningkatan arus, kemungkinan larutan elektrolit yang sedang bereaksi dengan permukaan sampel akan mengalami penurunan ataupun peningkatan mobilitas

DAFTAR PUSTAKA [1] Herbert Gleiter, Nanostrutured Materials, Journal Advanced Materials, Volume 4, tahun 1992 [2] Patermarakis G; Papandreadis N (1993), Study on the kinetics of growth of porous anodic Al2O3 film on Al metal Electrochim, Acta 38:2351-2355 [3] N. Itoh, N. Tomura, T. Tsujj, M. Hongo, Microporous Mesoporous Mater. 20 (1998) 333 [4] Y. Li, Y. Kanamori, K. Hane, A new method for fabrication nano-porous aluminum grating array, Microsystem Technologies 10 (2004) 272

M-13

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[5] J.R. Davis et all, Aluminum and Aluminum Alloys, ASM Specialty Handbook, 1993 [6] V.F Henley, Anodic Oxidation of Aluminium & Its Alloys (U.K.: Pergamon Press., 1982) [7] S.J. Garcia-Vergara, dkk, Tracer studies of anodic films formed on aluminium in malonic and oxalic acids, Applied Surface Science 254 (2007) 1534–1542

Verlag Marketing & Kommunikation GmbH. Germany.2003. [9] ASM Handbook Volume 9, Metallography and Microstructure (USA: ASM International., 2000) [10] G.D Sulka, Nanostructured Materials in Electrochemistry: Highly Ordered Anodic Porous Alumina Formation by Self-Organized Anodizing. (Wiley, 2008)

[8] Aluminium Handbook 2. “Forming, Casting, Surface Treatment, Recycling and Ecology”. Aluminium-

M-14

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

ALTERNATIF PROSES PRODUKSI PRODUK SARANGAN DANDANG BAHAN STAINLESS STEEL DENGAN METODE RUBBER FORMING Nur Husodo, Eddy Widiyono, Winarto, Budi Luwar S, 1.2.3.4.) Progdi D3 Jur. Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri 1.2.3.4.) Institut Teknologi Sepuluh Nopember ( ITS ) Surabaya 1.2.3.4.) Jl. Arif Rahman Hakim , Keputih-Sukolilo, Surabaya 60111 1.2.3.4.) No.telp./fax. 031-5922942 / 031-5932625 Email: [emailprotected]), [emailprotected] 2) [emailprotected] 3), [emailprotected])

ABSTRAK Keunggulan metode pembentukan lembaran logam dengan menggunakan metode rubber forming adalah cetakan yang simpel dan hasil deformasi plastisnya merata dan halus. Sehingga produk yang dihasilkan mempunyai kualitas yang lebih baik. Penerapan metode ini dilakukan pada sentra industri kecil sayangan dengan produk sarangan dandang berbahan stainless steel. Lembaran logam stainless steel diletakkan diantara cetakan bawah (die) dan karet poliuretan. Akibat penekanan pada material karet maka karet akan mengalami deformasi elastis. Deformasi elastic karet akan menekan ke segala arah pada lembaran logam sehingga terjadi deformasi plastis sesuai dengan bentuk permukaan cetakan. Pada penelitian ini dilakukan perencanaan pembuatan cetakan, rumah cetakan, plat sebagai dummy, pemilihan poliuretan dan proses pembuatan sarangan dandang. Juga dilakukan perhitungan gaya pembentukan produk sarangan dandang. Serta penelitian pengukuran bersarnya deformasi plastis yang terjadi pada produk sarangan dandang. Juga analisa kualitas dari produk sarangan dandang. Dari hasil percobaan yang telah dilakukan maka gaya yang dibutuhkan untuk mendeformasi plat dengan tebal 0,255mm dan ∅240 mm adalah 56 tonf. Sedangkan dari perhitungan didapat gaya aksial (Fa) yang terjadi adalah 59964,58 kgf, gaya radial (Fr) yang terjadi adalah 46126,6 kgf. Kualitas hasil deformasi plastis pada produk sarangan dandang mempunyai kualitas yang baik tanpa kerutan (wrinkle). Kata kunci: rubber forming,cetakan, Poliuretan, deformasi plastis, sarangan dandang. menggunakan material fleksibel, seperti rubber atau poliuretan. Poliuretan digunakan karena tahan terhadap abrasi, tahan terhadap ujung yang runcing (burr), atau sudut yang tajam dari plat, dan tahan aus. [3] Pembuatan cetakan pada metode rubber forming telah dilakukan beberapa kali diantaranya adalah Kurniawan Abadi (1999) perencanaan cetakan proses bulging (rubber forming) pada pembuatan produk sambungan pipa radiator. Metode rubber forming ini diterapkan pada produk industri kecil yang diproduksi oleh PT ATAK di Waru, Ngingas, Sidoarjo. Akibat gaya penekanan pada karet poliuretan mengakibatkan karet poliuretan mengalami deformasi ke segala arah dan meneruskan gaya kesegala arah juga dan dinding pipa akan terjadi deformasi sesuai posisi lekukan yang ada pada die. Hasil deformasinya sangat merata. Tekanan kearah circumferensial sebesar 7,96 kg/mm2 dan gaya tekan 9023 kgf dengan urethane diameter 38mm dan panjang 75mm [4]. Penelitian dilanjutkan oleh M.Silkhuddin (2000) Perencanaancetakan bulging Untuk Pembuatan Alur yang Menggelembung Pada Komponen Tutup As Roda Mobil Kijang Super. Tekanan yang dibutuhkan kearah circumferensial adalah 0,523 kg/mm2 dan gaya tekan aksial adalah 857,4 kgf. bahan yang digunakan untukcetakan adalah AISI 1020 HR, untuk karetnya adalah karet Uretan dengan tipe k-167 dan pegas yang digunakan adalah tipe SWS 17-30 (untuk penahannya / ejector) dan tipe SWS 17-45 (untuk strippernya). Proses pembuatan tutup as roda mobil kijang di PT ATAK – Waru – Sidoarjo, yang awal dalam pembuatannya menggunakan proses rolling untuk alur penggelembungnya. [5]. Juga oleh Heru Cahyono (2000) ”Perencanaan Proses Pembuatan Omega Spring dengan Bulging” dengan mesin press hidrolik berkapasitas 200 Ton. Proses Bulging

1. PENDAHULUAN Metode rubber forming adalah salah satu proses pembentukan benda kerja dengan bahan baku plat logam (sheet metal forming). Keunggulan metode pembentukan lembaran logam ini adalah hasilnya relative bagus, perubahan bentuk (deformasi plastis) lembaran plat logam akan terjadi dengan merata. Mengingat bahwa perubahan lembaran logam akan mengalami deformasi secara bersama seiring dengan perubahan bentuk dari material karet (rubber). Keunggulan lain adalah cetakan nya relative sederhana. Komponen utama adalah karet sintetis poliuretan, cetakan dan tanpa menggunakan punch. Sehingga proses pembuatan cetakannya lebih cepat. Keunggulan proses rubber forming ini sangat potensial untuk dapat diterapkan pada industri kecil sayangan. Salah satu komponen produk sayangan yang dapat diterapkan dengan metode rubber forming adalah komponen sarangan dandang. Harapannya industri kecil akan mampu mengadopsi proses rubber forming didalam aktivitas manufakturnya. Rubber forming adalah proses drawing bahan lembaran logam yang menyelubungi sebuah punch (male punch) dengan memanfaatkan material lembaran karet (rubber). Proses ini mengeliminasi kebutuhan akan biaya yang mahal dan mengeliminasi pasangan cetakan yang berpasangan. [1]. Proses rubber forming menurut James G. Bralla adalah sebuah metode bending dan forming yang menggunakan cetakan dengan bentuk sederhana yang menggantikan pasangan die dengan bahan lembaran karet. Pasangan die yang terdiri hanya bentuk blok logam yang sederhana atau blok logam yang melawan komponen yang dibentuk [2]. Rubber forming adalah salah satu kumpulan cetakan yang M-15

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

menggunakan punch dari bahan elastis sebagai penekan untuk membentuk kontur omega sehingga material dari kawat stainless steel dengan diameter 1,5 mm terbentuk sesuai bentuk die. [6] Maulana Arief Wahyudi dan Gogor Wicaksono Herlambang (2000) “Perencanaan Proses Pembuatan Komponen Alat Pelubang Kertas dengan Tool Blanking dan Bulging”. Material produk menggunakan pelat baja dengan ketebalan 2 mm. Dari perencanaan didapatkan bahwa untuk pelat lonjoran 1000 X 100 mm2 dapat menghasilkan 10 buah produk. Kapasitas mesin press 16 Ton. Gaya pemotongan untuk proses blanking terbesar adalah 11,827 kgf dan gaya aksial untuk proses bulging adalah 15172,24 kgf. Sifat mekanis bahan kekuatan tarik 31.39 kg/mm2, bahan punch karet poliuretan tipe K-167. [7] Pada penelitian ini dilakukan upaya alternative proses produksi sarangan dandang dengan menggunakan rubber forming. Proses rubber forming ini dilakukan untuk diperkenalkan pada industri kecil sayangan yang ada di Kesambi, Porong, Sidoarjo. Produk sarangan dandang terbuat dari bahan baja tahan karat (stainless steel) dengan ukuran pada dandang sebesar kapasitas dandang 2 kg. Tujuan dari penelitian ini adalah upaya untuk mencari alternative produksi yang lebih efisien dan efektif. Lebih efisien karena cetakan yang diperlukan hanya satu pada bagian bawah yaitu komponen die. Sedang bagian atasnya cukup dengan menggunakan karet poliuretan yang mempunyai sifat elastic.

Bahan produk sarangan dandang adalah lembaran baja tahan karat, dengan kekuatan tarik sebesar sebesar 40,41 kgf/mm2. Dimensi tebal adalah 0,225 mm. diameter 224 mm.

2. METODOLOGI PENELITIAN

Gambar 3. Dimensi bahan baku materil stainless steel sebagai bahan baku produk sarangan dandang

2.3. Bentuk Produk Penampang dari produk sarangan dandang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Penampang sarangan dandang 2.4. Tahap Proses Rubber forming Prosedur proses rubber forming dapat diuraikan sebagai berikut Tahap 1 Material baja stainless steel berdiameter 224 mm dan dimensi tebal 0,225 mm

224 mm

2.1. Diagram alir Tahap 2 Tempatkan plat yang akan dibentuk di atas cetakan.

Diagram alir penelitian proses produksi sarangan dandang berbahan baja tahan karat (stainless steel) dengan metode rubber forming dapat dilihat pada Gambar 1. Dengan memanfaatkan karet poliuretan yang mempunyai sifat elastic, maka sifat elastic karet tersebut akan mampu meneruskan gaya ke segala arah dan akan menekan bahan plat baja tahan karat sehingga terbentuk produk sesuai bentuk permukaan pada cetakan (Die)

Gambar 4. Penampang susunan cetakan, penahan dan plat stainless steel yang akan dibentuk produk sarangan dadang

Mulai

Peninjauan lapangan dan pengumpulan data

StudiI Literatur dan Referensi

Tahap 3 Kemudian karet Poliuretan ditempatkan di atas plat yang akan dibentuk

Gambar desain Cetakan

Perhitungan gaya

Pemilihan Bahan

Pembuatan Cetakan

Percobaan dan pengujian

tidak

Hasil

ya

Gambar 5. Karet poliuretan ditempatkan diatas plat yang akan dibentuk

Analisa

Pembahasan

Tahap 4 Selanjutnya, diatas poliuretan dipasang dummy yang berguna untuk melindungi poliuretan dari benturan langsung dari punch yang bisa membuat aus poliuretan.

Selesai

Gambar 1. Diagram alir proses pembentukan sarangan dandang dengan metode rubber forming 2.2. Bahan Produk

M-16

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

menekancetakan gaya tekan dari mesin hidraulik. Diketahui diameter (D)cetakan 260 mm

Adummy = πr2 = 3,14 .16900 = 53066 mm2 Pdummy

Gambar 6. Penempatan dummy plat diatas karet poliurethan

= =

Tahap 5 Pada tahap ini dilakukan penekanan pada dummy oleh punch sehingga karet poliuretan tertekan dan menekan plat dibawahnya, maka plat akan membentuk alur yang ada pada cetakan

= 1,130 kg/mm2 3.3. Tekanan Deformasi Poliuretan Berdasarkan properties umum dari poliuretan maka diketahui harga Syp=10 Mpa=1,02 kg/mm2. Dan menurut Ugural, C. Ansel K = E (untuk elastic properties) E = σ/ε, diketahui untuk ε = n/2 (n =1) = 1,02 / 0,5 = 2,04 ≈ 2 Maka K=2kg/mm2, n=1 Tegangan kearah circumferensial, σ1 menurut Ugural, C. Ansel:

Gambar 7. Hasil dari tahap proses 5 Tahap 6 Dilakukan pergantiancetakan untuk digunakan dalam proses curling sehingga ujung dari sarangan tidak runcing.

σ1

Gambar 8. Pengantian cetakan untuk untuk proses curling Tahap 7 Pada proses ini dilakukan pengeluaran produk daricetakan.

2K

P

=

=

50.1,33

0,606.130 66,5 = 78,78 = 0,84 kg/mm2

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Percobaan Penekanan Pada Poliuretan Berdasarkan hasil uji coba yang telah dilakukan menggunakan gaya 60.000kgf. Dan diketetahui diameter piston hidraulik 120 mm, maka: =

[

Sedangkan tekanan yang dibutuhkan untuk mendeformasi karet dengan tebal karet to=50 mm dan jarijari awal ro= 130 mm adalah

Gambar 9. Produk sarangan dandang hasil dari proses rubber forming

Phidraulik

n

]n 3 3 2.2 1 1 = [ ] 3 3 = 1,33Kg/mm2 =

3.4. Gaya Pada Proses rubber forming Diketahui pada perhitungan sebelumnya: Tekanan (P) = 1,13 kg/mm2 Dengan punch karet sebagai media yang menstransfer energy, dan berasumsi bahwa karet bersifat incompresibel (tekanan sama kesegala arah), maka gaya radial yang dibutuhkan: Fr = P.Ab, dimana Ab adalah penampang luasan daerah bulging, dan didekati dengan rumus: Ab = 2.π.r.hb = 2.3,14.130.50 = 40820 mm2 Fr = P.Ab

F/A kgf/mm2

= 6000 / (  602 ) kgf/mm2 = 5,307 kgf/mm2

3.2. Tekanan Pada cetakan Dikarenakan luasan rubber,cetakan, dan dummy sama maka tekanan yang terjadi juga sama. Gaya aksial yang

M-17

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

= 1,13 kg/mm2.40820 mm2 = 46126,6 kgf

∆H/Ht = 50/50 = 1 = 100 %

Sedangkan gaya aksial yang dibutuhkan adalah:

=

= P atau Fa =

Apabila ∆H/Ht < 20%, maka faktor pengali untuk E adalah 1, dan karena ∆H/Ht > 20%, maka faktor pengali untuk E adalah 1,2. Harga Fa dan Aa yaitu:

. Fr = P.Aa

Dimana: Aa = Luasan penampang silinder bagian dalam Ab = Luasan penampang daerah bulging P = Tekanan dalam, kg/mm2 Fa = Gaya aksial, kgf Fr = Gaya radial, kgf

Fa = 44575,44 kgf = 437135.7N = 963719.3lbf

Luasan penampang silinder bagian dalam, Aa = πr2

3.6. Perhitungan Rumah cetakan

Aa = 53066 mm2 E=

= 3,14 . (130)2

.

= 82,25 in2 = 11716,95Psi

Diketahui dari perhitungan sebelumnya: Tekanan (P) = 1,13 kg/mm2 Radius dalam (ri) = 132,5 mm Radius luar (ro) = 140,5 mm

= 53066 mm2 Fa = P .Aa = 1,13 kg/mm2 . 53066 mm2 = 59964,58 kgf 3.5. Perhitungan Punch dari bahan Poli urethane Perhitungan punch bahan poliuretan sebagai konsep dari shape factor secara numeris didefinisikan sebagai area yang terbebani dibagi dengan total area yang tidak terbebani yang bebas menggelembung. SF = d/4h, untuk silinder SF = 260 mm/4 . 50mm = 1,3

Gambar 7. Rumah die Tegangan yang terjadi pada rumah die bersifat circumferensial (ke arah keliling) dan untuk menghitungnya dilakukan dengan persamaan:

Modulus elastisitas poliuretan dapat dicari dengan menggunakan persamaan:

E= Dimana: Fa = Gaya aksial pada poliuretan (lb) Aa = Luas penampang poliuretan (in2) ∆H = Langkah kerja (kompresi) Ht = Tinggi total poliuretan yang bebas menggelembung, mm

Atau dapat ditulis:

=

Langkah kerja/kompresi dapat dicari dengan rumus

= 9,08 kg/mm2 = 12914,8 Psi ∆H =

= 12,9 ksi Dan untuk material σmax ≤

Dimana: ∆H = Tinggi/panjang langkah, mm Vb = Volume daerah bulging, mm3 Aa = Penampang melintang urethane, mm2

untuk harga N = 1,5

didapat harga tegangan ijin material Syp = kg/mm2 = 2 1816 kg/cm = 25829,59 Psi = 25,8 ksi, maka bahan yang sesuai adalah AISI 1020 dengan Syp = 30ksi 3.7. Perhitungan cetakan ( Die )

Didapat,

∆H =

Diketahui dari perhitungan sebelumnya: Fa = 59964,58 kgf = 588051.6 N

= 50 mm M-18

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

2 3 4 5

= ¼ π D2 = ¼ . 3,14 . (260mm)2 =53066 mm2

= = 16 ksi

Gambar 11. Hasil proses pembentukan rubber forming pada produk sarangan dandang vahan stainless steel

Sedangkan σc ≤

maka Syp = 1,5 .

Psi =

4. KESIMPULAN

2410,53 Psi = 24,1ksi. Maka direncanakan menggunakan AISI 1020 dengan Syp = 30 ksi

Dari hasil percobaan yang telah dilakukan maka gaya yang dibutuhkan untuk mendeformasi plat dengan tebal 0,255mm dan ∅240 mm adalah 56 tonf., Sedangkan dari perhitungan didapat gaya aksial (Fa) yang terjadi adalah 59964,58 kgf , gaya radial (Fr) yang terjadi adalah 46126,6 kgf. Kualitas hasil deformasi plastis pada produk sarangan dandang mempunyai kualitas yang baik tanpa cacat berupa kerutan ( wrinkle).

3.8. Pengujian rubber forming Berdasarkan hasil uji coba yang telah dilakukan menggunakan mesin press hidraulik dengan kapasitas 400 tonf,, dilakukan penekanan pada cetakan sesuai dengan Gambar 9.

Punch Mesin Hidraulik

Arah Penekanan (F)

DAFTAR PUSTAKA [1] John A. Schey, Introduction to manufacturing process, McGraw-Hill Book Company, New York, 1987. [2] James G. Bralla, Handbook of manufacturing processes, Industrial Press, Inc, 2007. [3] Kalpakjian, Serope, Manufacturing Engineering and Technology fourth edition, Addison – Wesley Publishing Company, New York. 2001 [4] Abadi, Kurniawan, Perencanaancetakan Proses Bulging Pada Pembuatan Sambungan Pipa Radiator, Tugas Akhir Jurusan Teknik Mesin, FTI, ITS Surabaya. 1999. [5] Silkhudin, M., Perencanaancetakan Bulging Untuk Pembuatan Alur Yang Menggelembung Pada Komponen Tutup As Roda Mobil Kijang Super, Jurusan Teknik Mesin, FTI, ITS Surabaya, 2000. [6] Heru Cahyono, Perencanaan Proses Pembuatan Omega Spring dengan Bulging” dengan mesin press hidrolik berkapasitas 200 Ton, Tugas Akhir, Diploma 3 Teknik mesin, FTI-ITS, Surabaya, 2000 [7] Maulana Arief Wahyudi dan Gogor Wicaksono Herlambang, Perencanaan Proses Pembuatan Komponen Alat Pelubang Kertas dengan Tool Blanking dan Bulging, Tugas akhir D3 Teknik Mesin, FTI-ITS, Surabaya. 2000 [8] Ansel C. Ugural – Saul K. Fenster, Advanced Strength and Applied Elasticity, New Jersey, USA, 1995 [9] [Mc. Pherson & Alexander Klemin (1946), Engineering Uses Of Rubber, New York, Reinhold.

Gambar 9. Uji Coba Penekanan Kemudian dari hasil penekanan didapatkan hasil kedalaman deformasi (h) dari sarangan dandang, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 10

Gambar 10. Analisa Uji Coba Penekanan Kemudian didapatkan data sebagai berikut: Tabel 1. Percobaan Penekanan plat pada cetakan No. 1

6,4 6,9 7,5 7,9

Dari percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa semakin besar gaya tekan yang dilakukan, maka kedalaman deformasi semakin dalam sehingga mengasilkan benda kerja yang bagus.

Gambar 8. penampang cetakan dan ukurannya Luasan die (A)

35 42 49 56

Gaya Tekan (F) (tonf) 28

Kedalaman Deformasi (h) (mm) 5,9 M-19

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[10] Wilson, Frank. W, Fundamental of Tool Design, Prentice – Hall of India Private Limited, New Delhi, 1973 [11] Suchy, Ivana, Handbook of Die Design, Mc. Graw Hill book Co, Inc, New York, 1998 [12] Schey, John. A, Introduction manufacturing processes third edition, Mc Graw – hill kogakusha, limited, Tokyo, 2000 [13] Wilson, Frank. W, Die Design Handbook 3rd, Mc. Graw Hill book co.inc, New York, 1964 [14] Deutchman, Aaron D. Machine Design: Theory and Practice. New York: Macmilan Publishing Co, Inc., 1975

Lampiran 1. Komponen metode rubber forming

Biodata Penulis Ir. Nur Husodo,MS Dosen D3 Teknik Mesin, FTI-ITS, Surabaya [emailprotected]

M-20

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

ANALISIS TINGKAT KEKASARAN PERMUKAAN HASIL PROSES MILLING PADA BAJA KARBON S45C Yunus Yakub, Ir. MT 1), Herry Syaifullah, ST2) Jurusan Teknik Mesin FTI – Institut Sains dan Teknologi Nasional-Cikini Jakarta 1,2) Jalan. Cikini Raya 74-76 Jakarta Pusat. Indonesia 1,2) Phone: 021-31-906481, Fax: 021-39-147081,2) E-mail : [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Dalam menghasilkan produk yang berkulitas industri manufaktur melakukan pengembangan dalam proses produksinya. Bukan hanya dimensi, tingkat kehalusan suatu permukaan memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu komponen produk khususnya yang menyangkut masalah gesekan pelumasan, keausan, tahanan terhadap kelelahan dan sebagainya. Namun, produsen suatu alat potong tidak ada yang memuat nilai tingkat kehalusan permukaan yang dihasilkan dari suatu proses pemotongan dengan parameter setting tertentu. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kekasaran permukaan hasil proses milling terhadap pengaruh variasi putaran spindle (spindle speed), kecepatan gerak potong (feed rate), dan kedalaman potong (depth of cut). Penelitian dilakukan dengan membuat spesimen benda uji dengan material baja carbon S45C menggunakan alat potong (cutter) jenis end mill cutter finishing 4 flute dan proses pemotongan dilakukan pada mesin milling. Kata kunci: Kekasaran permukaan, spindle speed, feed rate, depth of cut. Tingkat kehalusan suatu permukaan memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu komponen produk khususnya yang menyangkut masalah gesekan pelumasan, keausan, tahanan terhadap kelelahan dan sebagainya. Namun, produsen suatu alat potong tidak ada yang memuat nilai tingkat kehalusan permukaan yang dihasilkan dari suatu proses pemotongan dengan parameter setting tertentu. Dan pada umumnya produsen alat potong (cutter) hanya mencantumkan parameter putaran spindle (spindle speed), kecepatan gerak potong (feed rate), dan kedalaman potong (depth of cut) saja tanpa memuat nilai tingkat kekasaran permukaan hasil pemotongan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kekasaran permukaan hasil proses milling terhadap pengaruh variasi putaran spindle (spindle speed), kecepatan gerak potong (feed rate), dan kedalaman potong (depth of cut). Sehingga diketahui pengaruhnya terhadap tingkat kekasaran permukaan yang dihasilkan dari proses milling tersebut, agar menghasilkan produk yang memiliki tingkat kekasaran permukaan yang sesuai dengan tuntutan kualitas.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mesin milling merupakan salah satu mesin yang sangat diandalkan oleh industri manufaktur dalam membuat berbagai produknya. Mesin ini dapat memenuhi kebutuhan produksi untuk berbagai produk dengan bentuk yang kompleks. Seperti memproduksi perkakas-perkakas penting yaitu dies, mould, jig dan fixture yang memiliki tuntutan kualitas yang tinggi baik secara geometri maupun tingkat kekasaran/kehalusan permukaannya.

1.2. Pokok Masalah Permasalahan yang dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apa pengaruh variasi putaran spindle (spindle speed), kecepatan gerak potong (feed rate) dan kedalaman potong (depth of cut) terhadap tingkat kekasaran permukaan baja karbon S45C pada proses milling yang menggunakan jenis alat potong (cutter) End Mill Cutter 4 Flute HSS Finishing?.”

Gambar 1. Gerak Pemotongan Pada proses pemotongannya, mesin milling mempunyai tiga gerakan utama yaitu gerakan berputarnya alat potong/ spindle (main motion), kecepatan gerak potong (feed motion) dan kedalaman potong (adjusting motion/depth of cut). Berdasarkan gerakan tersebut, maka dalam prosesnya seseorang yang mengoperasikan mesin milling harus mengetahui dan mampu memperhitungkan parameter setting dari gerakan tersebut guna menghasilkan kualitas permukaan hasil potong yang baik atau tingkat kehalusan permukaan yang baik.

1.3. Maksud dan Tujuan Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kekasaran permukaan baja karbon S45C hasil M-21

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

pemotongan pada proses milling berdasarkan pengaruh variasi putaran spindel (spindle speed), kecepatan gerak potong (feed rate), dan kedalaman potong (depth of cut) dengan menggunakan alat potong (cutter) End Mill Cutter 4 Flute HSS Finishing. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi parameter setting untuk putaran spindle (spindle speed), kecepatan gerak potong (feed rate) dan kedalaman potong (depth of cut) terhadap tingkat kekasaran permukaan yang dihasilkan. 2. Memberikan alternatif dalam menentukan putaran spindle (spindle speed), kecepatan gerak potong (feed rate) dan kedalaman potong (depth of cut) yang sesuai sehingga dapat menghasilkan tingkat kekasaran permukaan sesuai tuntutan kualitas. 3. Sebagai bahan referensi bagi penelitian sejenis dalam rangka pengembangan pengetahuan yang lebih luas.

2. Persiapan material specimen benda uji, dimana material yang digunakan sebagai specimen benda uji adalah material S45C. Lalu melakukan pengujian tingkat kekerasan (hardness) pada material tersebut untuk memastikan tingkat kekerasan yang sesuai dengan karakteristik material S45C. Pengujian ini menggunakan mesin uji kekerasan (hardness tester).

2. METODOLOGI Metodologi yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari tahapan berikut : a. Observasi Lapangan Merupakan langkah awal yang dilakukan penulis untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan objek penelitian. b. Studi Literature Merupakan langkah penelusuran dan penelaah buku-buku referensi, untuk menambah wawasan teoritis yang lebih luas. c. Pengambilan Data Pengambilan data pengujian penelitian ini dilakukan di Laboratorium Machining Process Politeknik Manufaktur Astra Jakarta.

Gambar 3. Pengujian Kekerasan 3. Proses milling, yaitu dengan melakukan proses milling jenis pemotongan muka (facing) dengan menggunakan cairan pendingin (coolant) untuk menjaga ketahanan/ ketajaman mata potong dari alat potong (cutter), Dimana dilakukan klasifikasi pembuatan beberapa specimen benda uji berdasarkan variasi putaran spindle (spindle speed), kecepatan gerak potong (feed rate) dan kedalaman potong (depth of cut).

3. PROSES DAN HASIL PENGUJIAN 3.1 Proses Pengujian Tahapan proses pengujian yang dilakukan pada penelitian ini seperti tergambar pada gambar 2. diagram alur proses.

Gambar 4. Proses Milling Pemakanan Muka (Facing) 4. Pengukuran kekasaran, yaitu melakukan pengujian tingkat kekasaran pada specimen benda uji hasil dari proses milling, dan melakukan pencatatan data hasil pengujian.

Persiapan Instrumen Pengujian Persiapan Specimen Benda Uji Proses Milling Pengukuran Kekasaran Analisis dan Pembahasan

Kesimpulan

Gambar 5. Pengukuran Kekasaran

Gambar 2. Diagram Alur Proses Pengujian 5. Analisis dan pembahasan, yaitu melakukan analisa terhadap data hasil pengujian dimana data yang diperloleh diolah dengan melakukan perhitungan statistik, membuat tabel dan grafik. Sehingga dapat dilakukan pembahasan bagaimana hasil yang diperoleh dari penelitian pengujian tingkat kekasaran permukaan yang dilakukan.

Berikut adalah penjelasan tahapan proses pengujian yang dilakukan pada penelitian ini: 1. Persiapan instrumen pengujian, dimana persiapannya meliputi mesin milling, alat potong (cutter) end mill cutter yang digunakan. Serta data parameter yang digunakan. M-22

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

6. Kesimpulan, yaitu melakukan penyimpulan dari hasil penelitian yang mengacu pada pokok masalah.

Tabel 1. End Mill Cutter 4 Fluet Finishing YG-1 Tank Power

3.2. Data Instrumen Pengujian a. Material dan Desain Specimen Benda Uji Material yang digunakan sebagai specimen benda uji adalah jenis material S45C yang umum digunakan sebagai material berbagai produk permesinan. Karena material S45C memiliki keunggulan dalam kemampuan untuk proses permesinan (machine ability) & kemampuan untuk dilas (weld ability) yang baik, dan juga memiliki kemampuan untuk berbagai proses perlakuan panas (heat treatment). Material S45C adalah jenis baja karbon kekuatan menengah (medium strength steel / mild steel / medium carbon steel). (Sumber:www.qyg1.com/cctrl/news/file/ENDMILL_TAN K-POWER.pdf) d. Alat Uji Kekasaran Permukaan Alat uji kekasaran permukaan untuk menguji tingkat kekasaran permukaan pada specimen benda uji setelah proses milling dilakukan adalah dengan menggunakan alat uji kekasaran permukaan merk TESA RUGOSURF 10 Roughness Gauge terlihat pada Gambar 8. Alat uji ini merupakan jenis alat uji langsung (direct measure) menggunakan metode jarum peraba (stylus) sebagai sensor pembacanya dan angka tingkat kekasaran permukaan hasil pengujian dapat dilihat langsung pada layar digital (display-LCD).

Gambar 6. Desain Specimen Benda Uji b. Mesin Milling Dalam pengujian ini, mesin yang digunakan seperti terlihat pada Gambar 7. adalah jenis mesin milling yang memiliki sistim pengoperasian berbasis komputer (CNC) dengan merk MAKINO KE55. Mesin ini dipilih kerena memiliki konstruksi yang baik, sehingga faktor mesin yang dapat mempengaruhi hasil dari pengujian kekasaran permukaan lebih kecil. Selain itu, ketepatan dari parameter setting mesin yang dimasukkan (data input) juga sangat baik. Sehingga dalam pengambilan data pengujian akan menghasilkan data uji tingkat kekasaran permukaan yang akurat.

Gambar 8. TESA RUGOSURF 10 Roughness Gauge Berikut data spesifikasi alat uji kekasaran:  Merk : TESA RUGOSURF 10 Roughness Gauge  Buatan : Swiss  No. Product : 06930010  Display : LCD, 2 line of 16 characters  Roughness Parameter : ISO 4287-1997/JIS B0601 Ra Rq (RMS) Rt - Rz – Rc. Rsm – Rmr.  Jarak ukur : X-axis 16mm dan Z-axis 160μm  Stylus tip : Diamon tip  Tip radius : 5 μm, 90°  Panjang cut-off : 0,25. 0,8. 2,5 mm

Gambar 7. Mesin Milling MAKINO KE55 Berikut data spesifikasi mesin milling yang digunakan:  Merk : MAKINO KE55  Buatan : Singapore  Tahun : 2008  Speed Range Spindle Head : 45 - 4500 rpm  Feed Rate : 1 - 5000 mm/min  Daya motor : AC 3.7/5.5 kW 5/7.5 hp  Sistem kontrol : CNC Fanuc Japan

3.3 Data Hasil Pengujian

c. Alat Potong (Cutter) Alat potong (cutter) milling yang digunakan adalah jenis End Mill Cutter 4 Fluet Finishing Ø 20 mm merk YG-1 Tank Power dengan geometri mata potong dan karakteristik sesuai standar produk No. EP932200. Alat potong (cutter) jenis ini merupakan alat potong yang paling umum digunakan pada proses milling.

a. Data Pengujian Kekerasan Specimen Benda Uji Pengujian kekerasan dilakukan untuk mengetahui tingkat kekerasan material specimen benda uji yaitu meterial S45C. Sehingga dapat ditentukan setting parameter untuk proses milling. Berikut data hasil pengujian kekerasan yang dilakukan pada 4 bidang dimana masing-masing bidang dilakukan 2 titik pengujian: M-23

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 2. Data Hasil Pengujian Kekerasan No. 1 2 3 4 5 6 7 8

No. Bidang 1 2 3 4

= 4 x 0.15 x 450 (berdasarkan perhitungan RPM) = 270  Kecepatan gerak potong (feed rate) minimum 144 m/min dibulatkan menjadi 140 m/min.  Kecepatan gerak potong (feed rate) maksimum 270 menjadi 300 m/min  Dan kecepatan gerak potong (feed rate) menengah adalah (140 + 300)/2 = 220 m/min.

Tinggkat Kekerasan 25 HRc 27 HRc 26 Hrc 30 HRc 27 HRc 28 HRc 29 HRc 27 HRc

3. Kedalaman Potong (Depth of Cut)

Berdasarkan data pada Tabel 2. dapat diketahui tingkat kekerasan material specimen benda uji berdasarkan nilai kekerasan yang sering muncul (modus) yaitu 27 HRc. Ini berarti tingkat kekerasan meterial specimen benda uji sesuai dengan karakteristik material S45C yang memiliki tingkat kekerasan standar 20-30 HRc.

Nilai dari kedalaman pemotongan untuk jenis alat potong (cutter) end mill cutter finishing ditentukan berkisar antara 0.5 – 1.5 mm. Maka kedalaman potong untuk pengujian adalah 0.5 mm, 1 mm, dan 1.5 mm. Berikut ini adalah tabel variasi parameter dan banyaknya populasi specimen benda uji:

b. Data Tingkat Kekasaran Permukaan Sebelum melakukan pengujian tingkat kekasaran permukaan berdasarkan variasi putaran spindle (spindle speed) kecepatan gerak potong (feed rate) dan kedalaman potong (depth of cut) pada proses milling, perlu dilakukan perhitungan parameter setting untuk mendapatkan parameter yang sesuai. Berikut perhitungan untuk putaran spindle:  End Mill Cutter 4 Fluet Finishing Ø 20 mm  Material specimen S45C memiliki cutting speeds 30-45 m/min dengan menggunakan alat potong (cutter) High Speed Steel (HSS).

Tabel 3. Variasi Parameter dan Banyaknya Populasi Specimen Nomor Spindle Specimen Speed

1. Perhitungan Putaran Spindle (Spindle Speed) Dengan rumus persamaan berikut dan cutting speeds 30 m/min:

30(m / min) x320 n  480 20(mm) Dengan rumus persamaan berikut dan cutting speeds 45 m/min:

n

45(m / min) x320  720 20(mm)

 Putaran spindle minimum 480 RPM menjadi 450 RPM (paling minimum),  Putaran spindle maksimum 720 RPM menjadi 750 RPM (paling maksimum),  Dan putaran spindle menengah adalah (480 + 720)/2 = 600 RPM. 2. Perhitungan Kecepatan Gerak Potong (Feed Rate) CPT = 0.08 – 0.15 untuk End Mill Cutter pada Material S45C Dengan rumus persamaan berikut maka kecepatan gerak potong (feed rate) minimum. Feed (mm/min)= N x CPT x n = 4 x 0.08 x 450 (berdasarkan perhitungan RPM) = 144 Dengan rumus persamaan berikut maka kecepatan gerak potong (feed rate) maksimum. Feed (mm/min)= N x CPT x n

M-24

Feed Rate

Depth of Cut

Panjang Specimen

Jumlah Pengukuran

1

450

144

0.5

115

3

2

450

144

1

115

3

3

450

144

1.5

115

3

4

450

192

0.5

115

3

5

450

192

1

115

3

6

450

192

1.5

115

3

7

450

240

0.5

115

3

8

450

240

1

115

3

9

450

240

1.5

115

3

10

600

144

0.5

115

3

11

600

144

1

115

3

12

600

144

1.5

115

3

13

600

192

0.5

115

3

14

600

192

1

115

3

15

600

192

1.5

115

3

16

600

240

0.5

115

3

17

600

240

1

115

3

18

600

240

1.5

115

3

19

750

144

0.5

115

3

20

750

144

1

115

3

21

750

144

1.5

115

3

22

750

192

0.5

115

3

23

750

192

1

115

3

24

750

192

1.5

115

3

25

750

240

0.5

115

3

26

750

240

1

115

3

27

750

240

1.5

115

3

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 4. Data Hasil Pengukuran Tingkat Kekasaran Permukaan Tingkat Kekasaran Permukaan (Ra) II III

I No. Specimen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

2. Jumlah kuadrat putaran spindle (Sum of Square Spindle Speed): ∑

1

2

3

1

2

3

1

2

3

3.43 4.22 4.23 4.25 3.81 4.36 2.96 3.37 5.15 3.4 2.92 2.4 2.67 2.39 3.37 4.59 3.62 3.73 2.55 3.03 2.2 2.73 3.39 2.89 2.68 3.25 3.94

3.35 4.21 4.32 3.82 3.86 4.54 2.97 3.32 3.8 2.89 3.5 2.23 3.75 2.26 3.15 4.86 2.58 3.9 3.15 2.93 2.45 2.56 3.07 3.26 3.19 4.67 4.31

3.2 4.34 4.19 4.18 3.94 4.38 2.81 3.08 3.65 3.22 3.11 2.78 3.36 2.62 3.55 5.3 2.95 3.57 2.44 3.02 2.27 3.09 3.15 3.51 2.78 4.55 3.59

2.82 4.03 4.51 4.03 3.91 4.48 2.83 3.6 4.01 2.88 2.53 2.2 3.09 2.06 2.84 4.73 3.06 3.75 2.99 2.59 2.69 2.91 3.12 3.47 2.7 3.44 4.04

3.01 4.3 4.42 4.08 3.83 4.58 2.97 3.63 2.88 3.4 3.16 2.74 3.45 2.72 2.85 5.26 2.62 4.1 3.08 2.82 2.51 2.89 2.85 3.7 2.83 3.8 4.15

3.05 4.34 4.66 4.08 3.96 4.68 2.94 3.67 3.88 2.91 2.97 2.73 3.21 2.62 2.74 5.65 2.78 4.13 3.11 2.79 2.47 2.85 3.4 3.13 2.72 4.14 3.36

3.12 3.96 4.16 3.48 3.68 4.63 3.29 3.08 3.86 3.31 2.94 2.49 3.88 3.26 2.88 5.28 3.93 3.91 3.12 2.78 2.71 2.42 3.27 3.27 3.41 3.36 3.94

2.91 3.98 4.18 3.76 3.61 4.86 2.91 3.3 3.97 3.21 3.34 3.31 3.36 2.79 2.97 4.99 2.84 4.11 3.36 2.52 3.53 2.97 2.62 3.47 2.71 3.09 4.17

2.99 3.91 4.19 3.51 3.77 4.66 3.26 3.56 3.83 3.74 3.14 3.52 3.68 2.69 2.79 5.35 2.59 3.96 3.21 2.61 3.01 2.81 3.6 3.06 3.03 3.16 3.57

( (

)

(

)

(

)

)

3. Jumlah kuadrat kecepatan gerak potong (Sum of Square Feed Rate): ∑ (

) ( )

( (

)

)

4. Jumlah kuadrat kedalaman potong (Sum of Square Depth of Cut): ∑ (

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

)

(

(

4.1. Analisis Data Hasil Pengujian

)

(

)

)

5. Jumlah kuadrat dari putaran spindle (A) dan kecepatan gerak potong (B) (Sum of Square AB):

1. Perhitungan Analisis Data Untuk melakukan perhitungan analisis data, diperlukan data hasil pengujian tingkat kekasaran permukaan yang telah disusun sedemikian rupa untuk mempermudah pengambilan data perhitungan. Dan Tabel 5. menunjukkan data hasil pengukuran tingkat kekasaran permukaan yang telah disusun secara terpisah dari masing-masing faktor namun saling berkaitan.

∑∑ (

)

( ( ( (

Tabel 5. Tabel nilai tingkat kekasaran permukaan (Ra)

) ) )

( ( (

)

(

) )

(

) )

)

6. Jumlah kuadrat dari putaran spindle (A) dan kedalaman potong (C) (Sum- of Square AC): ∑∑ (

(

)

∑∑ (

(

) )

( (

) ) )

(

)

(

)

( (

) )

(

)

)

7. Jumlah kuadrat dari kedalaman potong (C) dan kecepatan gerak potong (B) (Sum of Square BC):

∑∑∑∑ )

( ( ( (

Berdasarkan data nilai tingkat kekasaran permukaan (Ra) dari Tabel 5. dan menggunakan rumus persamaan berikut dapat dihitung: 1. Jumlah kuadrat total (Sum of Square Total):

(

)

) )

M-25

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

(

)

(

)

( ( (

) )

(

(

)

( (

) )

(

Fα maka faktor mempunyai pengaruh terhadap variabel yang diuji dan bila Fo < Fα maka faktor tidak atau sedikit memberi pengaruh pada variabel respon dengan α yang telah ditentukan. Dengan demikian nilai dari Fo dan Fα pada Tabel 6. dapat dilihat dan disimpulkan apakah faktor berpengaruh atau tidak terhadap tingkat kekasaran permukaan.

) )

)

a. Berdasarkan variasi putaran spindle (spindle speed) atau faktor A, Fo = 60.84 > Fα = 3.35 maka H1 diterima bahwa putaran spindle (spindle speed) berpengaruh terhadap tingkat kekasaran permukaan dengan tingkat kepentingan 5%. b. Berdasarkan variasi kecepatan gerak potong (feed rate) atau faktor B, Fo = 23.96 > Fα = 3.35 maka H1 diterima bahwa kecepatan gerak potong (feed rate) berpengaruh terhadap tingkat kekasaran permukaan dengan tingkat kepentingan 5%. c. Berdasarkan variasi kedalaman potong (depth of cut) atau faktor C, Fo = 11.68 > Fα = 3.35 maka H1 diterima bahwa kedalaman potong (depth of cut) berpengaruh terhadap tingkat kekasaran permukaan dengan tingkat kepentingan 5%. d. Berdasarkan interaksi antara faktor A dan faktor B, Fo = 38.76 > Fα = 2.73 maka H1 diterima bahwa interaksi antara faktor A dan faktor B berpengaruh terhadap tingkat kekasaran permukaan dengan tingkat kepentingan 5%. e. Berdasarkan interaksi antara faktor A dan faktor C, Fo = 41.02 > Fα = 2.73 maka H1 diterima bahwa interaksi antara faktor A dan faktor C berpengaruh terhadap tingkat kekasaran permukaan dengan tingkat kepentingan 5%. f. Berdasarkan interaksi antara faktor B dan faktor C, Fo = 5.84 > Fα = 2.73 maka H1 diterima bahwa interaksi antara faktor B dan faktor C berpengaruh terhadap tingkat kekasaran permukaan dengan tingkat kepentingan 5%. g. Dan Berdasarkan interaksi tiga faktor A, B dan C Fo = 5.84 > Fα = 2.73 maka H1 diterima bahwa interaksi antara faktor A, B dan C berpengaruh terhadap tingkat kekasaran permukaan dengan tingkat kepentingan 5%. Untuk mengetahui nilai tingkat kekasaran permukaan (Ra) terkecil (halus) dan terbesar (kasar) berdasarkan interaksi dari ketiga faktor, yaitu putaran spindle (spindle speed), kecepatan gerak potong (feed rate) dan kedalaman potong (depth of cut). Nilai tingkat kekasaran permukaan (Ra) pada Tabel 5 di rata-rata untuk mempermudah pembacaan nilai tingkat kekasaran permukaan (Ra) seperti ditunjukkan pada Tabel 7.

8. Jumlah kuadrat dari putaran spindle (A), kecepatan gerak potong (B) dan kedalaman potong (C) (Sum of Square ABC): ∑∑∑

(

)

(

) (

( )

(

)

(

(

)

)

)

Jumlah kuadrat subtotal: ∑∑∑ (

) ( (

(

) ) )

(

)

( (

) )

Jumlah kuadrat error:

4.2. Pembahasan Hasil Analisis Data Hasil perhitungan analisis data nilai tingkat kekasaran permukaan (Ra) yang telah dihitung dirangkum dalam Tabel 6. berikut ini: Tabel 6. Tabel Analisis Variasi Tingkat Kekasaran Permukaan Source of Degree of Sum of Mean Fo Fα P Variation Freedom Squares Square A 2 6.18 3.09 60.84 3,35 Fo > Fα B 2 2.44 1.22 23.96 3,35 Fo > Fα C 2 1.19 0.59 11.68 3,35 Fo < Fα AB 4 7.88 1.97 38.76 2,73 Fo > Fα AC 4 8.34 2.08 41.02 2,73 Fo > Fα BC 4 1.19 0.30 5.84 2,73 Fo > Fα ABC 8 4.56 0.57 11.21 2,31 Fo < Fα Error 54 2.7439 0.05 Total 80 34.51 -

Tabel 7. Tabel Rata-rata Tingkat Kekasaran Permukaan Ra

RPM

Note: Fα (nilai kritis) berdasarkan tabel tingkat kepentingan (level of significance) α = 0.05

450 600 750

0.50 Feed rate 140 220 300 3.10 3.91 2.99 3.22 3.38 5.11 3.00 2.80 2.89

Depth Of Cut 1.00 Feed rate 140 220 300 4.14 3.82 3.40 3.07 2.60 3.00 2.79 3.16 3.72

1.50 Feed rate 140 220 300 4.32 4.58 3.89 2.71 3.02 3.90 2.65 3.31 3.90

Dari Tabel 7. diatas, terlihat bahwa nilai tingkat kekasaran permukaan dengan nilai Ra terkecil/permukaan “halus” terdapat pada interaksi putaran spindle 600 RPM, kecepatan gerak potong 220 m/min dan kedalaman potong 1 mm yaitu sebesar 2.60 μm. Dan nilai tingkat kekasaran permukaan dengan Ra terbesar/permukaan “kasar” terdapat pada

Dari hasil analisa variansi yang dilakukan terhadap data hasil pengukuran tingkat kekasaran permukaan yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 6. Harga Fo (Fobservasi) dibandingkan dengan harga Fα (Ftabel). Dimana bila Fo > M-26

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

interaksi putaran spindle 600 RPM, kecepatan gerak potong 300 m/min dan kedalaman potong 0.5 mm yaitu sebesar 5.11 μm. Atau dapat dilihat pada grafik Gambar 9. berikut ini:

Ra

6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00

6.00 5.00 4.00 3.00 2.60 2.00 1.00 0.00

5.11

Tabel 9. Tabel Tingkat Kekasaran Permukaan Faktor A dan C Ra

5.11

450 600 750

RPM ( A ) 2.60

RPM 450

Depth of cut ( C ) 1 1.5 3.79 4.26 2.89 3.21 3.22 3.28

RPM 450

Dari Tabel 9. diatas, terlihat bahwa nilai tingkat kekasaran pada interaksi potong 1 mm yaitu sebesar 2.89 μm. Dan nilai tingkat kekasaran Feed rate permukaan (Ra) terbesar (kasar) terdapat pada interaksi putaran 1.50 spindle 450 RPM, dan kedalaman potong 1.5 mm yaitu sebesar 4.26 μm. Atau dapat dilihat pada grafik Gambar 11.

RPM 600 RPM 600 permukaan (Ra) terkecil (halus) terdapat 140 220 300 140 220 300 140 220 140 300 220 300 140 220 300 140 220 300 RPM 750 RPM 600 750 RPM, dan kedalaman putaran spindle Feed rate

Feed rate

Feed Feed rate rate

Feed rate

0.50

1.00

1.50 0.50

1.00

Gambar 9. Grafik Rata-rata Tingkat Kekasaran Permukaan

5.00 4.00 3.00 Ra 2.00 1.00 0.00

Lalu berdasarkan interaksi dari dua faktor, bisa dilihat nilai tingkat kekasaran permukaan dan gambaran pengaruh dari masing-masing dua faktor yang Ra berinteraksi. Tabel 8. menunjukkan nilai tingkat kekasaran permukaan berdasarkan interaksi antara variasi putaran spindle (spindle speed) atau faktor A dengan variasi kecepatan gerak potong (feed rate) atau faktor B.

Ra RPM ( A )

450 600 750

5.00 4.26 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00

2.89

0.5

1

1.5

Depth of cut ( C )

Tabel 8. Tabel Tingkat Kekasaran Permukaan Faktor A dan B

4.2

2.89 RPM ( A ) 450 RPM ( A ) 600 RPM ( A ) 750 0.5 1

Tabel 10. menunjukkan nilai tingkat kekasaran permukaan berdasarkan interaksi antara variasi kedalaman potong (depth of cut) atau faktor C dengan variasi kecepatan gerak potong (feed rate) atau faktor B. Tabel 10.Tabel Tingkat Kekasaran Permukaan Faktor B dan C Ra Depth of cut (C)

5.00 4.00 3.00 2.81 RPM ( A ) 450 2.00 1.00 RPM ( A ) 600 0.00

0.5 1 1.5

140 3.11 3.33 3.23

Feed rate ( B ) 220 3.36 3.19 3.63

300 3.67 3.37 3.90

Dari Tabel 10. diatas, terlihat bahwa nilai tingkat 4.10 kekasaran permukaan (Ra) terkecil (halus) pada interaksi 2.81 kecepatan gerak potong 140 m/min dan kedalaman potong RPM ( A ) 450 0.5 mm yaitu sebesar 3.11 μm. Dan nilai tingkat kekasaran permukaan (Ra) (kasar) pada interaksi kecepatan RPMterbesar ( A ) 600 gerak potong 300 m/min dan kedalaman potong 1.5 mm sebesar 3.90 RPM ( A 140 ) 750 220 yaitu300 RPMμm. ( A Atau ) 750dapat dilihat pada grafik gambar 140 220 300 12. Selain bisa didapatkan hasil bahwa diterimanya Hipotesis Feed rate ( B ) Feed ratesatu ( B )(H1) dan gambaran pengaruh dari masing-masing faktor. Dapat ditentukan juga faktor yang paling berpengaruh dari ketiga faktor tersebut. Dapat dilihat dari tabel 6. bahwa FoA Gambar 10. Grafik Tingkat Kekasaran Permukaan Antara (spindle speed) = 60.84 > FoC (depth of cut) = 11.68 < FoB A dan B (feed rate) = 23.96. Yang berarti bahwa faktor putaran spindle (spindle speed) yang paling berpengaruh terhadap Tabel 9. menunjukkan nilai tingkat kekasaran permukaan tingkat kekasaran permukaan hasil proses milling. Dan berdasarkan interaksi antara variasi putaran spindle (spindle diikuti faktor kecepatan gerak potong (feed rate) yang speed) atau faktor A dengan variasi kedalaman potong (depth berpengaruh kedua. Sedangkan faktor kedalaman potong of cut) atau faktor C.

4.10

M-27

1.5

Depth of cut ( C )

Gambar 11. Grafik Tingkat Kekasaran Permukaan Antara A dan C

Feed rate ( B ) 140 220 300 3.85 4.10 3.43 3.00 3.00 4.00 2.81 3.09 3.50

Dari Tabel 8. diatas, terlihat bahwa nilai tingkat kekasaran permukaan (Ra) terkecil (halus) terdapat pada interaksi putaran spindle 750 RPM dan kecepatan gerak potong 140 m/min yaitu sebesar 2.81 μm. Dan nilai tingkat kekasaran permukaan (Ra) terbesar (kasar) terdapat pada interaksi putaran spindle 450 RPM dan kecepatan gerak potong 220 m/min yaitu sebesar 4.10 μm. Atau dapat dilihat pada grafik gambar 10. berikut ini:

5.00 4.00 3.00 2.00 Ra 1.00 0.00

0.5 3.33 3.90 2.90

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

(depth of cut) memiliki pengaruh yang lebih kecil dari kedua faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kekasaran permukaan hasil proses milling. 5.00 5.00 4.00 4.00 3.90 3.00Depth of 3.11 cut ( C ) Ra 3.00 3.11 2.000.5 2.00 1.00Depth of cut ( C ) 1.00 0.001 0.00

DAFTAR PUSTAKA

[1] Adrianto, Ruli (2010). Pengaruh Kecepatan Spindle, Kecepatan Pemakanan dan Kedalaman Pemakanan 3.90 Terhadap Tingkat Kekasaran Permukaan Benda Kerja Depth cut ( C ) Bubut CNC Pada Baja ST 40. Hasil of Pemesinan 0.5 Surakarta:skripsi USM. [2] Depth Degarmo, E. Paul. of cut ( C ) Black, JT. Kohser, Ronald A (2003). Materials and Processes in Manufacturing. Wiley. 1 [3] Dotson, Connie L. (2006). Fundamentals of Dimensional Depth of cut C ) Thomson Delmar Learning. 140 Metrology 5th (edition. Depth of cut 220 ( C ) 300 140 220 300 [4] 1.5 Groover, Mikell P. (2007). Fundamentals of Modern 1.5 Manufacturing 3th edition. John Wiley & Sons, Inc. Feed rate ( B ) Feed rate ( B ) USA. [5] Harinaldi (2005). Prinsip-prinsip Statistik untuk Teknik Gambar 12. Grafik Tingkat Kekasaran Permukaan antara B dan Sains. Penerbit Erlangga. Jakarta. dan C [6] Krar, Steve F. Gill, Arthur R. Smid, Peter (2010). Technology of Machine Tools. McGraw-Hill. 5. KESIMPULAN [7] Montgomery, Douglas C (2009). Design and Analysis of Experiment 7th edition. John Wiley & Soas (Asia) Pte  Bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat Ltd. kekasaran permukaan material baja karbon S45C pada [8] Munadi, Sudji (1988). Dasar-dasar metrologi industry. proses milling yang menggunakan jenis alat potong Depdikbud. Jakarta. (cutter) End Mill Cutter 4 Flute HSS Finishing sesuai [9] Rochim, Taufiq (1982). Teori dan Teknologi Proses urutan berikut: Pemesinan. Institut Teknologi Bandung. 1. putaran spindle (spindle speed) [10] Rochim, Taufiq (2001). Spesifikasi, Metrologi, dan 2. kecepatan gerak potong (feed rate) Kontrol Kualitas Geometrik. Institut Teknologi Ban3. kedalaman potong (depth of cut) dung.  Untuk mendapatkan hasil tingkat kehalusan permukaan [11] Widarto (2008). Teknik Pemesinan. Direktorat Pemyang “halus” dengan nilai Ra sekitar 2.60 μm, parameter binaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jensetting yang digunakan adalah putaran spindle 600 RPM, deral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah kecepatan gerak potong 220 m/min dan kedalaman Departemen Pendidikan Nasional. potong 1 mm. Sedangkan untuk mendapatkan hasil [12] www.aws.org/wj/mar04/ochi.html tingkat kehalusan permukaan yang “kasar” dengan nilai [13] www.custompartnet.com/wu/milling Ra sekitar 5.11 μm, maka parameter setting yang [14] www.sutton.com.au digunakan adalah putaran spindle 600 RPM, kecepatan gerak potong 300 m/min dan kedalaman potong 0.5 mm.

M-28

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH PREHEATING PADA PENGELASAN GMAW MULTILAYER TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA SA 516 GRADE Hari Subiyanto1), Wajan Berata2), Subowo3), Eddy Widiyano4) Jurusan Teknik Mesin FTI Institut Teknologi Sepuluh Nopember 1,2,3,4) Jalan. Arief Rachman Hakin 01, Surabaya 61111. Indonesia 1,2,3,4) Phone: 0062-31-5922941, Fax: 0062-31-59229411,2,3,4) E-mail : [emailprotected] 1,2,3,4)

ABSTRAK Baja SA-516 grade 60 termasuk baja karbon rendah, merupakan salah satu jenis baja untuk pembuatan Pressure Vessel dan Outer Cashing Turbine Nuclear. Jenis baja ini mempunyai sifat mampu las yang baik, tetapi retak las pada baja ini dapat terjadi dengan mudah mengingat tebal pelat (30 mm), nilai karbon ekuivalen Ceq = 0,38 dan pengendalian kadar hidrogen terkait parameter retak PCM = 0,23. Retak ini dipengaruhi tiga faktor utama; 1). terbentuknya phasa keras dan getas (martensite), 2). adanya tegangan dari luar maupun tegangan dalam (internal stress) dan 3). penggetasan logam akibat kelarutan gas hidrogen. Pecegahan terbentuknya phasa martensite dengan cara memperlambat kecepatan pendinginan las, yaitu dengan melakukan proses preheating pada logam yang akan dilas. Proses pengelasan menggunakan GMAW, dengan gas pelindung 80 % Ar-20 % CO2, dalam rangka melindungi kelarutan hidrogen pada logam las. Pada penelitian ini, proses pengelasan menggunakan Gas Metal Arc Welding (GMAW) dengan variasi temperatur pengelasan, preheat (32 oC, 90 oC, 150 oC, dan 200 oC). Spesimen yang digunakan adalah baja SA-516 grade 60 dengan ketebalan 30 mm, bentuk groove double V groove dan proses pengelasan multilayer/ multipass (11 layer). Hasil lasan tersebut diuji tarik, uji kekerasan, diamati struktur mikro/ makro dan lebar HAZ. Dari hasil penelitian, lokasi patahan dari pengujian tarik terjadi pada logam induk untuk semua spesimen variasi temperatur preheat, hal ini disebabkan karena adanya perbaikan pada hasil pengelasan multilayer dan preheat. Distribusi kekerasan dari daerah logam induk (BM), daerah pengaruh panas (HAZ) dan logam las (WM), nilai kekerasan semakin tinggi, sementara nilai kekerasan tertinggi terdapat pada kondisi pengelasan preheat 32 o C. Struktur mikro daerah pengaruh panas (HAZ) dan logam las (WM) pada layer 1 berbeda dengan dan layer 6, hal ini disebabkan pada layer 1 mengalami perubahan struktur mikro akibat adanya proses postheat/ pemanasan kembali akibat pengelasan pada layer Kata kunci: karbon ekuivalen EC, phasa martensite, tegangan, hidrogen, dan preheat. merupakan peristiwa perubahan bentuk hasil las sebagai akibat adanya pemuaian logam saat pemanasan yang tidak sebanding dengan penyusutan saat pendinginan. Kontraksi thermal saat pemanasan dan pendinginan dapat melewati deformasi plastik bahan (Kou, 2003). Sebaliknya jika distorsi dicegah dengan cara pencekaman pada benda kerja akan berdapak munculnya tegangan dalam dan bisa berlanjut tibulnya retak/patah jika tegangan yang terjadi melampaui kekuatan material.

1. PENDAHULUAN Proses pengelasan Gas Metal Arc Welding (GMAW), merupakan proses pengelasan dengan menggunakan electrode terumpan, dimana electrode juga berfungsi sebagai logam pengisi. Perlindungan logam las terhadap kontaminasi dengan atmosphere menggunakan selubung gas inert (argon, helium) atau menggunakan gas CO2, serta dapat pula menggunakan campuran diantaranya, lihat gambar 1). Penelitian mengenai pengaruh parameter las dengan menggunakan Gas Metal Arc Welding (GMAW) terhadap distorsi, menunjukkan bahwa kuat arus, kecepatan pengelasan dan panjang pengelasan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap laju distorsi (Rusdianto, 1999). Pengelasan baja lunak menggunakan GMAW dengan metal transfer type spray, menunjukkan bahwa arus dan tebal plat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap distorsi sudut, struktur mikro dan kekerasan pada daerah las, khususnya daerah HAZ (Awia, 2009). Pengelasan baja menggunakan GMAW, pengaruh perubahan arus dan tebal plat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap distorsi sudut arah longitudinal dan arah transversal (Sukendro, 2010). Deformasi yang terjadi pada hasil pengelasan sering disebabkan oleh adanya distorsi, lihat Gambar 2). Distorsi

Gambar 1. Skema peralatan las GMAW Semi Automatic[1]. Pendinginan cepat pada pengelasan baja karbon akan menyebabkan terbentuknya phasa martensite yang getas. Jika M-29

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

pada logam hasil pengelasan dikenai gaya internal maupun eksternal dan akhirnya tegangan yang terjadi melampaui kekuatan material maka akan terjadi keretakan atau sampai menyebabkan patah.

Dengan mempertimbangan factor-faktor diatas maka perlu dilakukan kajian tentang pengaruh preheat terhadap kekuatan sambungan las. Kekuatan sambungan dapat diketahui dengan cara uji tarik. Sambunggan las dikatakan kuat jika pada saat uji tarik tidak gagal/ patah dilokasi logam las, tetapi patah pada lokasi HAZ atau logam induk (diluar HAZ). Kualitas sambungan las sendiri sipengaruhi perubahan metalurgi selama proses pengelasan berlangsung. Kondisi ini dapat dicapai dengan memilih prosedur pengelasan yang sesuai.

2. METODOLOGI Pada penelitian ini akan dikaji pengaruh preheat pada pengelasan multilayer (11 layer) menggunakan las GMAW, lihat Gambar 4). Gambar 2. (a) Sambungan las antara dua plat; (b) proses pengkerutan selama pengelasan; (c) tegangan sisa arah tegak lurus dan sepanjang sumbu las dan (d) distrosi yang terjadi [3]. Usaha untuk menghindari terbentuknya phasa martensit dengan cara preheat, yaitu melakukan pemanasan benda kerja sebelum proses pengelasan berlangsung, agar kecepatan pendinginan lebih lambat. Preheat dilakukan jika logam induk yang dilas tebal dan karbon ekuivalen Ceq lebih dari 0,38% Material getas selain terbentuknya phasa martensite, bisa juga diakibatkan kelarutan hydrogen pada proses pengelasan. Terlarutnya hidrogen pada proses pengelasan disikapi dengan menghilangkan sumber-sumber hydrogen, dengan cara menghindar kan kandungan air, minyak baik pada logam induk maupun jenis elektroda. Preheat satu sisi bertujuan untuk menurunkan kecepatan pendinginan tetapi sekaligus juga untuk mengeringkan/menghilangkan kandungan hidrogen. Tinggi rendahnya temperatur preheat dengan mempertimbangkan tebal logam induk, karbon ekuivalen (Ce) dan helarutan hidrogen (Composition Parameter/ Pcm). Perlakuan preheat bisa juga dikaitkan/diselaraskan dengan temperature antar layer (interpass) pada pengelasan multilayer. Siklus pemanasan dan pendinginan las akan berdampak perubahan metalurgi di daerah HAZ dan logam las. Perubahan metalurgi pada pengelasan baja karbon dengan single layer maupun multi layer ditunjukan pada Gambar 3).

Gambar 4. Diagram alir penelitian Bahan yang digunakan baja karbon S516 Grade 60 merupakan baja karbon rendah dengan kekuatan tarik minimum 465 N/mm2. Material ini memiliki komposisi kimia sebagai berikut: C = 0.17 Cr = 0.03 Si = 0.21 Ni = 0.02 Mn = 0.97 Mo = <0.01 P = 0.009 V = <0.005 S = 0.009 Al = 0.032 Nb = <0.01 Ti = <0.005 Cu = 0.02 N = 0.006 Dengan pertimbangan, karbon ekuivalen (Ce), kelarutan hidrogen (Composition Parameter/Pcm) dan tebal logam induk, proses pengelasan dilakukan preheat/interpass. Temperatur preheat dan interpass ditentukan 32oC, 90oC, 150oC dan 200oC dengan jumlah layer 11. Proses pengelasan menggunakan Gas Metal Arc Welding (GMAW), dengan parameter las; arus listrik 185 – 225 Ampere, tegangan listrik 23 – 25 Volt, polaritas listrik DCEP/ DCRP, gas pelindung 80% Argon – 20% CO2 , elektroda AWS ER 70S-6 diameter 1,2 mm dan jenis metal transfer spray. Pengujian kekuatan tarik mengikuti benda uji (Test speciment) sesuai dengan ASME Section IX QW-463.1(c). Pengujian kekerasan dengan metode Vickers, pada lokasi layer 1, 5, dan 6. Lokasi ini dipilih mengingat distribusi kekerasan yang terjadi terpengaruh oleh efek preheat/ interpass dan post heat, seperti Gambar 5. Uji lebar daerah

Gambar 3. a) Transformasi daerah HAZ Pada pengelasan multilayer, b) Temperatur transformasi, dan c) Struktur mikro yang terbentuk[4]. M-30

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

pengaruh panas (HAZ) dan stuktur mikro juga dilakukan pada layer yang sama; layer 1, 5, dan 6.

regangan mengalami peningkatan dengan semakin tingginya temperature preheat/interpass, walaupun nilai tersebut merupakan regangan total dari daerah logam las, daerah pengaruh panas dan logam induk, Gambar 7.

Gambar 5. Lokasi uji kekerasa, uji lebar HAZ danstruktur mikro dilakuakan pada layer 1, 5, dan 6.

Gambar 7. Pengaruh preheat terhadap regangan Pengujian kekerasan pada layer 1 bertujuan untuk mengetahui distribusi kekerasan terhadap pengaruh preheat dan postheat dari layer selanjutnya. Pengujian pada layer 5 bertujuan untuk mengetahui distribusi kekerasan terhadap pengaruh preheat dan postheat dari layer 6. Pengujian pada layer 6 bertujuan untuk mengetahui distribusi kekerasan terhadap pengaruh preheat.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tarik menunjukkan lokasi patahan berada pada logam induk perlakuan untuk setiap perlakuan temperature preheat/interpass, 32oC, 90oC, 150oC dan 200oC, lihat Tabel 1 dan Gambar 5. Table 1. Kekuatan tarik

Gambar 8. Distribusi kekerasan dari layer 1, 5 dan 6 pada kondisi preheat 32oC.

a

b

Gambar 9. Distribusi kekerasan dari layer 1, 5 dan 6 pada kondisi preheat 90 oC.

c d a a induk baik untuk Gambar 6. Lokasi patahan pada logam setiap perlakuan maupun replikasi spisimen uji tarik dengan temperature preheat/ interpass; a. 32oC, b. 90oC, c. 150oC dan d. 200oC. Lokasi patahan dilogam induk, hal ini menunjukan mekanisme perubahan metalurgi pada daerah UAGC, SCGR, ICGC, dan SCGC, lihat gambar 3. Perubahan metalurgi ini menyebabkan peningkatan kekuatan tarik pada logam las maupun daerah pengaruh panas (HAZ), sehingga lokasi patahan terjadi pada lokasi terlemah yaitu logam induk. Perubahan metalurgi ini juga mempengarruhi nilai regangan,

Gambar 10. Distribusi kekerasan dari layer 1, 5 dan 6 pada kondisi preheat 150oC. M-31

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 11. Distribusi kekerasan dari layer 1, 5 dan 6 pada kondisi preheat 200oC.

Gambar 13. Grafik lebar HAZ sebenarnya pada layer 7 sampai dengan layer 11 pengujian Makro

Distribusi kekerasan di atas menunjukkan kenaikan nilai kekerasan pada daerah pengaruh panas dan logam las, Gambar 8. Kekerasan pada daerah pengaruh panas lebih rendah jika dibandingkan dengan logam las, baik untuk layer 1, 5, dan 6 dari setiap perubahan preheat/interpass 32oC, 90oC, 150oC dan 200oC. Kenaikan temperature preheat menyebabkan penurunan nilai kekerasan pada daerah pengaruh panas dan logam las las, baik untuk layer 1, 5, dan 6. Berdasarkan grafik hubungan nilai kekerasan antar layer 1, layer 5, dan layer 6 pada masing-masing variasi preheat dapat dilihat bahwa nilai kekerasan yang paling tinggi berada pada layer 1. Kekerasan pada layer 1 paling keras hal ini disebabkan karena pada layer 1 daerah pengisian logam las yang paling sempit sehingga masukan panas yang diterima paling kecil menyebabkan laju pendinginannya menjadi paling cepat dan ukuran butiran yang terbentuk menjadi paling halus. Sedangkan pada layer 6 memiliki daerah pengisian logam las yang terluas sehingga masukan panas yang diterima paling besar menyebabkan laju pendinginannya menjadi paling lambat (hal ini dapat dilihat berdasarkan gambar 5) dan ukuran butiran yang terbentuk menjadi paling besar sehingga nilai kekerasan yang didapat paling kecil. Besarnya temperatur preheat dan masukan panas juga berpengaruh pada lebar daerah pengaruh panas (HAZ), lihat gambar 11 dan 12. Semakin besar temperature preheat maka lebar daerah pengaruh panas (HAZ) semakin besar untuk setiap layer yang ada. Sementara semakin besar masukan panas maka lebar daerah pengaruh panas (HAZ) juga semakin besar. Daerah pengisian layer 6 lebih luas jika dibandingkan dengan layer yang lain, hal ini menunjukan masukan panas semakin besar dan lebar HAZ paling besar jika dibandingkan dengan layer lainya.

Besarnya temperatur preheat dan masukan panas juga berpengaruh pada perubahan metalurgi di daerah pengaruh panas. Perubahan metalurgi di layer 6 untuk setiap perubahan temperature preheat ditunjukan pada Gambar 14.

Gambar 14. Metalografi layer 6 untuk setiap perubahan temperature preheat; 32oC, 90oC, 150oC dan 200oC. Perubahan metalurgi inilah yang menjadi latar belakang perubahan sifat mekanik, termasuk nilai kekerasan dan kekuatan material. Perlakuan preheat/ interpass akan memperbaiki kekuatan pada logam las dan daerah pengaruh panas (HAZ) dan akhirnya lokasi patahan pada saat uji tarik terjadi di daerah logam induk.

4. KESIMPULAN Dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengelasan dengan perlakuan preheat/interpass, multi layer mampu memperbaiki kekuatan sambungan. Pada hasil pengujian tarik, semua spesimen uji patah di logam induk dan bukan di daerah pengaruh panas (HAZ) maupun logam las (WM). 2. Nilai kekerasan tertinggi terdapat pada logam las, dan nilai kekerasan antar layer yang tertinggi pada layer 1 dengan temperature preheat 32oC. 3. Lebar daerah pengaruh panas (HAZ) paling lebar pada layer 6 dengan temperatur preheat 200oC. 4. Ukuran butiran di daerah HAZ paling besar terjadi pada layer 6 dengan temperatur preheat 200oC. Struktur mikro HAZ dan logam las pada layer 1 berbeda dengan dan layer 6, akibat dari pengelasan multilayer.

Gambar 12. Grafik lebar HAZ sebenarnya pada layer 1 sampai dengan layer 6 pengujian Makro M-32

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[3] Groover, Mikell P., Fundamentals of Modern Manufacturing: Materials, Processes And Systems, 4th ed. John Wiley & Sons, Inc. 2010 [4] ASM Handbook Volume 6, Welding, Brazing, And Soldering, Published 1993 [5] AWS D1.1/D1.1M Book 1-2, Structural Welding Code - Steel, An American National Standard, 2010 [6] Kou, Sindo, Welding Metallurgy, 2th Edition, John Wiley and Sons, 2003.

DAFTAR PUSTAKA [1] Miller MIG Handbook, Guidelines For Gas Metal Arc Welding (GMAW), www. millerwelds.com 2010. [2] Sukendro Bs, Analisa Pengaruh Tebal Pelat Dan Kuat Arus Terhadap Distorsi Sudut Pada Pengelasan Multilayer Pelat Datar Dengan Metal Transfer Tipe Pulsa, Program Magister Bidang Studi Sistem Manufaktur Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2010

M-33

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

ANALISIS RELIABILITAS PADA SISTEM PRODUKSI LAMPU DEPAN HONDA SUPRA DI PT. XYZ Sunardi Tjandra Laboratorium Desain Produk, Teknik Manufaktur Universitas Surabaya Jalan Raya Kalirungkut, Surabaya 60293, Indonesia Phone: 0062-31-2981397, Fax: 0062-31-2981387 E-mail : [emailprotected]

ABSTRAK PT. XYZ memproduksi spare part sepeda motor berbahan dasar polimer. PT. XYZ ingin mengidentifikasi sub sistem mana yang reliabilitasnya rendah, terutama di departemen produksi. Tujuan penelitian ini adalah mencari sub sistem dengan reliabilitas terendah pada periode tertentu yang dapat mempengaruhi reliabilitas sistem produksi. Analisis dilakukan pada divisi injection sampai dengan metalizing. Analisis tidak mencakup metal cutting dan forming pada divisi blanking, proses packaging, dan proses recycle plastik. Karena varian produk PT XYZ sangat banyak, pada penelitian ini diambil satu jenis produk yaitu Lampu Depan Honda Supra X-125.Metode analisis menggunakan Markov Model berbantuan software Weibull++ evaluation version dan CARMS freeware. Langkah pertama adalah menentukan system effectiveness sistem produksi lampu depan Supra X-125. Sistem produksi tersebut adalah urutan proses pembuatan produk beserta mesin-mesin yang digunakan. Selanjutnya dilakukan functional breakdown sistem produksi, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi system effectiveness. Failure dan repair rate diperoleh dari hasil analisis Weibull++ berdasarkan data history card mesin yang digunakan. Pembuatan diagram Markov dan analisanya menggunakan software CARMS. Hasil analisis menunjukkan bahwa reliabilitas terendah dalam jangka waktu simulasi 30 hari terjadi pada sub sistem oven, divisi metalizing, yakni sebesar 0,676. Reliabilitas dari sistem produksi Lampu Depan Supra X-125 di PT. XYZ pada hari ke-30 adalah 0,5638. Kata kunci: analisis reliabilitas, Markov model, produksi.

1. PENDAHULUAN

1.2. Tujuan Penelitian

1.1. Latar Belakang

Tujuan penelitian ini adalah mencari sub sistem dengan nilai reliabilitas terendah pada periode waktu tertentu sehingga mempengaruhi nilai reliabilitas sistem produksi di PT. XYZ. Analisis dilakukan pada divisi injenction sampai dengan metalizing. Analisis tidak mencakup proses metal cutting dan forming pada divisi blanking, proses packaging, dan proses recycle plastik sisa proses injeksi ke dalam bentuk pallet. Karena varian produk dari PT XYZ sangat banyak, maka pada penelitian ini diambil salah satu jenis produk, yaitu Lampu Depan Honda Supra X-125 (assy). Penentuan produk ini juga didasari oleh data bagian workshop yang menunjukkan bahwa kerusakan komponen mould banyak terjadi pada mould mika lampu depan Honda Supra X-125. Contoh produk lampu depan Honda Supra X-125 dapat dilihat pada Gambar 2.

Seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna sepeda motor di Indonesia, PT. XYZ berusaha menyediakan spare part untuk semua merk sepeda motor berbahan dasar polimer seperti plastik dan mika. Spare part tersebut diproduksi melalui proses injection molding. Gambar 1 adalah contoh produk hasil proses injection molding PT. XYZ.

Gambar 1. Contoh Hasil Proses Injection Molding PT. XYZ Salah satu masalah yang sering terjadi di PT. XYZ adalah kerusakan komponen mould. Dengan banyaknya order, perusahaan harus menyediakan mould untuk masing-masing spare part, dengan jumlah masingmasing lebih dari satu buah mould (sebagai cadangan). Hal ini dikarenakan jika ada kerusakan mould, produksi tidak berhenti terlalu lama sampai mould selesai diperbaiki. Komponen mould yang rusak diperbaiki atau diganti pada bagian workshop. Meskipun sering terjadi kerusakan komponen mould, sebagai upaya meningkatkan produktivitasnya, PT. XYZ juga ingin mengidentifikasi sub sistem mana yang nilai reliabilitasnya rendah, terutama di departemen produksi komponen spare part.

Gambar 2. Lampu Depan Honda Supra X-125 Metode analisis reliabilitas sistem pada penelitian ini menggunakan metode Markov Model dengan bantuan software Weibull++ evaluation version dan freeware CARMS. M-34

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

exchanger [5]. Analisis ini meliputi investigasi penyebab kegagalan, prediksi probabilitas masa depan kegagalan, perencanaan, penjadwalan dan perhitungan keandalan dan kemudahan perawatan. Anatoly Lisnianski, dkk (2012) memaparkan model multi-state Markov untuk unit pembangkit listrik tenaga batubara [6]. Lisnianski mengusulkan sebuah metode untuk memperkirakan intensitas (laju) transisi antara tingkat kapasitas pembangkit berbagai unit berdasarkan pengamatan lapangan. Metode ini dapat diterapkan pada unit mana kapasitas pembangkitan output terdistribusi secara merata (uniform).

1.3. Review Penelitian Untuk setiap sistem, model Markov terdiri dari dua kondisi (state) yang teridentifikasi dalam bentuk transition probability atau peluang transisi dari satu kondisi ke kondisi lainnya atau pun peluang tetap berada pada kondisi semula. Peluang transisi ini akan sama di sepanjang waktu (stationery). Dalam analisis kehandalan, transisi tersebut biasanya terdiri dari kegagalan (failure) dan perbaikan (repair). Beberapa syarat agar metode Markov dapat diaplikasikan dalam evaluasi keandalan sistem, yaitu [1]:  Sistem berkarakter lack of memory, dimana kondisi sistem di masa mendatang tidak dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Artinya kondisi sistem saat evaluasi tidak dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya, kecuali kondisi sesaat sebelum kondisi saat ini.  Sistem harus stationery atau homogen, artinya perilaku sistem selalu sama disepanjang waktu atau peluang transisi sistem dari satu kondisi ke kondisi lainnya akan selalu sama disepanjang waktu. Dengan demikian maka pendekatan Markov hanya dapat diaplikasikan untuk sistem dengan laju kegagalan yang konstan.  State is identifiable. Kondisi yang dimungkinkan terjadi pada sistem harus dapat diidentifikasi dengan jelas. Apakah sistem memiliki dua kondisi (state) yakni kondisi beroperasi dan kondisi gagal, ataukah sistem memiliki 3 kondisi, yakni 100% sukses, 50% sukses dan 100% gagal. Vineyard, dkk (1998) menyampaikan teori dan metodologi yang memaparkan tentang karakteristik laju kegagalan (failure rate) dan laju perbaikan (repair rate), beserta distribusi data pada typical Flexible Manufacturing System (FMS) yang digunakan di sebuah industri manufaktur di Amerika Serikat [2]. Laju kegagalan dan laju perbaikan yang diperoleh mencakup sistem komponen mekanik, hidrolik, listrik, perangkat lunak elektronik, maupun faktor manusia (human). Data-data tersebut juga dilengkapi dengan distribusi teoritis yang sesuai. N. Keren, dkk (2003) mengusulkan sebuah metodologi yang menggunakan database reliabilitas peralatan-peralatan serta melakukan proses benchmarking untuk menetapkan prosedur perbaikan yang berkelanjutan [3]. Perbaikan berkelanjutan dapat dilakukan apabila semua pihak mau belajar dengan prinsip, “bagaimana orang lain dapat melakukannya”. Tujuan metode ini dapat dicapai apabila ada niat baik dan pendekatan secara terbuka dari para stakeholder, dengan tetap mengutamakan kepentingan bersama, serta saling berbagi informasi. M.C. Eti, dkk (2007) memaparkan aplikasi dari failure mode effect analysis, failure mode effect and criticality analysis, feedback information, supportive systems and risk analysis, pada pembangkit listrik termal Afam, dengan tujuan untuk mengurangi frekuensi kerusakan dan biaya perawatan [4]. Beliau melakukan integrasi RAMS (Reliability, Availability, Maintainability and Supportability) beserta analisis resiko untuk menghasilkan kebijakan dan prosedur perawatan di pembangkit listrik tersebut. Sistem atau komponen yang memiliki reliabilitas atau ketersediaan di bawah yang diinginkan dapat teridentifikasi. Komponen, yang memiliki tingkat kegagalan yang berlebihan, waktu perbaikan yang lama atau derajat ketidakpastian yang tinggi terkait dengan nilai-nilai tersebut, diidentifikasi. Sikos dan Klemeš (2010) melakukan analisis optimasi reliabilitas, ketersediaan dan pemeliharaan pada jaringan heat

2. METODOLOGI Metodologi dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. START

SYSTEM EFFECTIVENESS

FUNCTIONAL BREAKDOWN & SYSTEM BLOCK DIAGRAM ANALISIS DATA KERUSAKAN MESIN DENGAN SOFTWARE WEIBULL++

SYSTEM EFFECTIVENESS MODEL

MARKOV MODEL DEVELOPMENT

ANALISIS RELIABILITAS DENGAN SOFTWARE CARMS

KESIMPULAN

STOP

Gambar 3. Flow Chart Penelitian

3. PEMBAHASAN PT. XYZ memiliki 4 departemen, yaitu Departemen ACC & Finance Factory, Departemen Factory, Departemen R&D, dan Departemen HRD. Departemen Factory memiliki beberapa bagian. Bagian manufacturing memiliki tanggung jawab dalam perencanaan produksi dengan PPIC, pencapaian target produksi dan peningkatan produktivitas karyawan. Sedangkan bagian engineering mempunyai tanggung jawab untuk menyusun jadwal pemeliharaan dan perbaikan mesin, peralatan dan fasilitas produksi, mengawasi pelaksanaan pemeriksaan dan pemeliharaan berkala, perbaikan mesin-mesin produksi dan utility, serta mengawasi pelaksanaan pekerjaan perawatan atau perbaikan mould serta perbengkelan. Pada bagian engineering terdapat sie workshop dan utility. Sie workshop lebih difokuskan pada perbaikan dan pemeliharaan mould. Sedangkan sie utility difokuskan pada kerusakan mesin yang berkaitan dengan sistem elektronika dan kontrol. Pihak perusahaan menjadwalkan maintenance secara berkala, yaitu harian, mingguan, dan bulanan. Untuk mesin injeksi dilakukan general check up setiap tahun. Perusahaan juga memanfaatkan waste jam repair dengan melakukan training untuk meningkatkan kompetensi dari teknisi. M-35

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

3.1. System Effectiveness

Heater ditempatkan pada setiap mesin injeksi yang memproses komponen dengan material PMMA baik pada mesin Potenza 160B maupun Lien Yu. Komponen mika dan batok lampu dikerjakan di mesin Potenza, sedangkan komponen mika reflector dan batok kiri-kanan dikerjakan di mesin Lien Yu. PT. XYZ memiliki dua buah material heater sebagai cadangan.

Langkah awal yang dilakukan adalah menentukan system effectiveness dari sistem produksi yaitu bagaimana sistem produksi yang ada dapat menghasilkan produk lampu depan Supra X-125 yang baik. Sistem produksi yang dimaksud adalah urutan proses pembuatan produk lampu depan beserta mesin-mesin yang digunakan. Agar sistem produksi dapat didefinisikan, maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menentukan urutan proses produksi dari lampu depan Supra X-125. Hampir semua produk yang dihasilkan oleh PT. XYZ mempunyai urutan proses produksi yang serupa, terutama proses injection molding. Gambar 4 adalah gambar detail komponen penyusun lampu depan Supra X-125, dimana hampir semua komponennya dibuat melalui proses injection molding.

3.2. Functional Breakdown Functional Breakdown dan Block Diagram dari sistem produksi lampu depan Supra X-125 dapat dilihat pada gambar 5 dan 6 berikut ini. Pre-Heating

Injection

Pre-Heating

Injection

Assembly 2 Assembly 1

Cat Dasar

Metalizing

Gambar 5. Functional Breakdown Sistem Produksi Lampu Depan Honda Supra X-125. 5

6 Cat Dasar 1

Gambar 4. Komponen Lampu Depan Honda Supra X-125.

Cat Dasar 2 Heater

Keterangan Gambar 4: 1. Mika Lampu, material PMMA 2. Mika Reflector, material PMMA 3. Batok Kiri, material ASSAB 718 HH. 4. Batok Kanan, material ASSAB 718 HH. 5. Batok Lampu, material ASSAB 718 HH. 6. Cop, dibuat oleh divisi Blanking.

Material Heater

Potenza 160B Injection Process Lien Yu Manual Assembly 1 Mesin Cat + Pengecatan Kompresor + Drier Dasar Vacuum M/C Metalizing Oven M/C Manual Assembly 2

JUMLAH 2 unit 2 unit 2 unit

Oven 1 Vacuum

Oven 2

Produk

Oven 3

Gambar 6. Block Diagram dari Sistem Produksi Lampu Depan Honda Supra X-125. Tabel 2 berikut adalah faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan karena dapat mempengaruhi system effecttiveness dari sistem produksi di PT. XYZ. Tabel 2. Faktor Pengaruh System Effectiveness. Area Kondisi Operasional

Support Situation

Faktor Cuaca Stabilitas Voltase dan Air Suasana dan Lingkungan Kerja Posisi antar divisi Keberadaan suku cadang Keberadaan bahan baku Keberadaan tenaga maintenance Kebijaksanaan Perusahaan Metode Repair yang dipakai

Meskipun intensitas gangguannya tidak begitu tinggi, cuaca yang ekstrim sangat mempengaruhi system effectiveness dari proses produksi. Hal ini dikarenakan lokasi perusahaan di daerah dataran yang relatif rendah, serta tidak jauh dari laut. Hampir semua mesin yang digunakan; terutama mesin injeksi; menggunakan listrik sebagai supply-nya. Listrik yang tidak stabil dapat menyebabkan proses pemanasan oleh heater di mesin injeksi menjadi tidak sempurna. Hal ini berakibat pada hasil injeksi yang kurang baik pula. Sedangkan air, selain berfungsi sebagai pendingin pada mesin injeksi, juga digunakan untuk mencuci dan mengecat komponen. Karena proses assembly, pencucian, dan penggosokan dikerjakan secara manual, maka suasana dan lingkungan kerja sangat mempengaruhi kinerja tenaga kerjanya. Pada bagian metalizing, gas yang muncul saat pengecatan dan krom dapat mengganggu operator. Kebijaksanaan perusahaan juga dapat mempengaruhi kinerja karyawannya, salah satunya adalah jadwal kerja shift.

KET. PMMA PMMA ASSAB merakit cop & batok

5 set 1 unit 3 unit

Cat Dasar 3

Cat Dasar 5

Tabel 1. Sub-sistem Beserta Peralatan yang Digunakan PERALATAN

Lien Yu

Cat Dasar 4

Analisis reliability yang akan dilakukan tidak menyertakan proses pembuatan komponen cop yang dilakukan pada divisi Blanking karena proses pembuatan cop dilakukan di luar perusahaan.Urutan proses produksi secara umum untuk produk lampu depan Supra X-125 antara lain: a. Material Preparation, khusus untuk material PMMA diperlukan proses pre-heating sebelum masuk ke mesin injeksi. b. Injection Molding. c. Assembly 1, melakukan perakitan komponen batok lampu dengan cop. d. Painting/Metalizing, melapisi batok lampu dengan cat dasar dan chrome (sebagai reflector). Pada bagian ini juga terdapat proses pencucian dan penggosokan manual. Proses ini hanya dilakukan apabila batok lampu hasil injeksi mengandung kotoran atau minyak yang dapat mengakibatkan hasil metalizing menjadi jelek. e. Assembly 2, melakukan perakitan batok lampu dengan mika lampu. Tabel 1 berikut ini adalah pembagian proses produksi berdasarkan sub-sistem beserta peralatan pendukungnya.

SUB SISTEM Material Pre-Heating

Potenza 160B

proses pelapisan Chrome merakit batok & mika

M-36

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

3.3. Analisis Data Kerusakan Mesin Analisis data kerusakan mesin digunakan untuk memperoleh failure rate-nya. Data tersebut diambil dari History Card dari masing-masing mesin pada periode tahun 2006 sampai 2012. Tabel 2 adalah sebagian data kerusakan mesin injeksi Potenza periode tahun 2006 sampai 2010. Tabel 2. Sebagian Data Kerusakan Mesin Injeksi Potenza Periode tahun 2006-2010 No.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Kerusakan

Konsleting Valve rembes oli Korsleting Thermocouple rusak Temperatur tidak panas Elemen konsleting Panas elemen tidak normal Heater zone putus Elemen konsleting Temperatur tidak panas Ejector tidak fungsi Korsleting Temperatur heater abnormal Pintu tdk bisa tutup rapat Inject unit tidak bisa maju Limit Switch tidak membaca Temperatur oli panas Selang hidrolik inject bocor Ejector macet Kabel switch putus

Fail Time Time To Fail (hari) 26 82 122 137 178 185 200 220 223 230 234 284 289 296 305 323 329 330 352

Gambar 8. Grafik Probability of Failure dari Mesin Potenza Dari hasil analisis software Weibull++, dapat diketahui besar dari Mean Time Between Failure (MTBF) dari mesin Potenza. Seperti terlihat pada gambar 9, nilai MTBF dari mesin Potenza adalah 23,7731 hari. Dengan demikian, besar failure rate () dari mesin Potenza = 0.042 kerusakan/hari.

26 56 40 15 41 7 15 20 3 7 4 50 5 7 9 18 6 1 22

Dari data yang ada, selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui distribusi kegagalan dari mesin-mesin yang digunakan. Analisis data menggunakan bantuan software Weibull++. Seperti terlihat pada Gambar 7, hasil analisis dengan software Weibull++ menunjukkan bahwa distribusi kegagalan mesin Potenza yang paling sesuai adalah distribusi Weibull dengan 2 parameter, dengan nilai parameter beta () = 1,0303 dan eta () = 24,0638. Gambar 8 adalah grafik waktu terhadap probability of failure (unreliability) dari mesin Potenza.

Hasil analisis data dengan software Weibull++ pada mesin Lien Yu ditunjukkan pada Gambar 10. Distribusi kegagalan mesin Lien Yu yang paling sesuai adalah distribusi Weibull dengan 3 parameter, dengan nilai parameter beta () = 0,6951; eta () = 25,5121; gamma () = 0,885; rho () = 98.34%. Gambar 11 adalah grafik waktu terhadap probability of failure (unreliability) dari mesin Lien Yu.

Gambar 7. Nilai Parameter dari Distribusi Weibull Mesin Potenza

Gambar 10. Nilai Parameter dari Distribusi Weibull Mesin Lien Yu

Gambar 9. MTBF dari Mesin Potenza

M-37

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

3.6. Analisis Reliability Analisis reliability dilakukan dengan menggunakan bantuan software CARMS. Gambar 13 adalah grafik hasil simulasi CARMS dengan jangka waktu simulasi selama 30 hari. Tabel 5 adalah grafik hasil simulasi beberapa sub sistem pada state awal (semua beroperasi) dan state akhir (semua fail).

Gambar 11. Grafik Probability of Failure dari Mesin Lien Yu Nilai Mean Time Between Failure (MTBF) dari mesin Lien Yu adalah 33,3975 hari. Dengan demikian, besar failure rate () mesin Lien Yu = 0.03 kerusakan/hari. 3.4. System Effectiveness Model. Tabel 3 adalah System Failure and Repair Rates dari proses produksi Lampu Depan Honda Supra X-125 di PT. XYZ. Beberapa nilai failure rate dan repair rate diambil dari referensi. Pada sub sistem cat dasar terdapat 5 set mesin cat yang tersusun secara paralel. Karena data yang diperoleh kurang lengkap, maka diasumsikan 5 set mesin cat tersebut identik (memiliki nilai failure rate dan repair rate yang sama). Selain itu, diasumsikan 2 buah heater cadangan juga identik dengan 2 buah heater utama.

Gambar 13. Grafik Hasil Simulasi dari Software CARMS Tabel 5. Grafik Hasil Simulasi Setiap Sub Sistem Equipment

Tabel 3. System Failure and Repair Rates Equipment Heater [5] Potenza Lien Yu Cat Dasar Vacuum Oven

Failure Rate/hari 0.005 0.042 0.03 0.0024[7] 0.003[8] 0.024

State

P5

Repair Rate/hari 0.238 0.8 0.8 0.43[2] 0.13 0.19

Potenza

3.5. Markov Model Development.

P6

Tabel 4 pada halaman berikut ini adalah diagram Markov dari masing-masing sub sistem dari proses produksi lampu depan Honda Supra X-125. Tabel 4. Markov Diagram Sub Sistem Equipment

Markov Diagram P7

Heater Potenza Lien Yu

Lien Yu Cat Dasar P8

Vacuum Oven

M-38

Graph

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui nilai reliability masing-masing sub sistem (simulasi selama 30 hari). Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi reliabilitas sistem produksi Lampu Depan Honda Supra X-125, yang tidak dibahas pada penelitian ini adalah proses-proses yang dikerjakan secara manual, seperti pencucian hasil injeksi sebelum masuk ke proses metalizing. Ketidaklengkapan data failure dan repair time pada beberapa sub sistem juga sangat mempengaruhi hasil penelitian ini.

Tabel 6. Nilai Reliability Sub Sistem Equipment Heater Potenza Lien Yu Cat Dasar Vacuum Oven

State P1 P5 P7 P9 P15 P17

Reliability 0.958 0.95 0.964 0.972 0.978 0.676

DAFTAR PUSTAKA [1] Pukite, P., Modeling for Reliability Analysis, first edition, IEEE Press, New York, 1998. [2] Vineyard, M., Amoako-Gyampah, K., Meredith, J., R., “Theory and Methodology: Failure Rate Distributions for Flexible Manufacturing System – An Empirical Study”, European Journal of Operational Research, Vol.116, 1999, hal.139-155. [3] Keren, N., West, H.H., Rogers, W.J., Gupta, J.P.,. Mannan, M.S., “Use of Failure Rate Databases and Process Safety Performance Measurements to Improve Process Safety”, Journal of Hazardous Materials, Vol. 104, 2003, hal.75-93. [4] Eti, M.C., Ogaji, S.O.T., Probert, S.D., “Integrating Reliability, Availability, Maintainability and Supportability with Risk Analysis for Improved Operation of The Afam Thermal Power-Station”, Journal of Applied Energy, Vol. 84, 2007, hal.202-221. [5] Sikos, L., Klemeš, J., “Reliability, Availability and Maintenance Optimization of Heat Exchanger Networks”, Journal of Applied Thermal Engineering, Vol. 30, 2010, hal.63–69. [6] Lisnianski, A., Elmakias, D., Laredo, D., Haim, H.B., “A Multi-State Markov Model for a Short-Term Reliability Analysis of a Power Generating Unit”, Journal of Reliability Engineering and System Safety, Vol. 98,2012, hal.1–6 [7] Bentley, John, P., Reliability and Quality Engineering, 2nd edition, Addison Wesley, England, 1999. [8] Cadwallader, L.C., Selected Component Failure Rate Values from Fusion Safety Assessment Tasks, Idaho National Engineering and Environmental Laboratory, Nuclear Engineering Technologies Department, Lockheed Martin Idaho Technologies Company, 1998.

Reliability paling rendah terjadi pada sub sistem Metalizing yaitu pada equipment Oven, dimana nilai reliability-nya sebesar 0,676. Reliability dari sistem produksi Lampu Depan Supra X-125 di PT. XYZ pada hari ke-30 adalah: Rs = 0.958 x 0.95 x 0.964 x 0.972 x 0.978 x 0.676 = 0.5638

4. KESIMPULAN Dengan nilai reliabilitas yang rendah, pihak perusahaan harus segera mungkin melakukan perbaikan pada sub sistem yang mempunyai nilai reliabilitas di bawah 0.9, dalam hal ini sub sistem Metalizing, yaitu pada Oven. Meskipun oven yang ada berjumlah 3 buah, nilai repair rate yang rendah akan menurunkan nilai reliabilitasnya. Oleh karena itu, hendaknya perusahaan meningkatkan repair rate Oven dengan beberapa cara, seperti: menyediakan spare part, menyediakan tenaga kerja yang berkompetensi di bidang oven maupun kelistrikan, memperbaiki sistem perawatan/maintenance, menyediakan Standard Operational Procedure (SOP) dari mesin Oven, dan lainnya. PT. XYZ juga harus meningkatkan supports situation yang meliputi availability (keberadaan) suku cadang, bahan baku, maupun tenaga maintenance. Kondisi operasional maupun lingkungan sekitar oven juga mempengaruhi sistem kerjanya, seperti temperatur ruang yang relatif panas, serta bau yang timbul dari proses metalizing.

M-39

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PENGUKURAN KEKASARAN PERMUKAAN DENGAN METODE ELECTRONIC SPECKLE PATTERN INTERFEROMETRY (ESPI) DAN LINEAR BINARY PATTERN (LBP) Mohammad Khoirul effendi1), Agus Sigit Pramono2) Jurusan Teknik Mesin ITS 1,2) Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111. Indonesia 1,2) Phone: 0062-31-5922941, Fax: 0062-31-59229411,2) E-mail : [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Pengukuran kekasaran permukaan dengan pronsip kontak langsung menimbulkan beberapa masalah diantaranya keausan dan keterbatasan ukuran stylus. Untuk mengatasinya maka digunakanlah metode non-kontak misalanya Electronic Speckle Pattern Interferometry (ESPI) yang menggunakan cahaya laser He.. Hamburan cahaya pada permukaan obyek ukur akibat interferensi sinar laser akan membentuk pola spekel yang kemudian ditangkap oleh kamera charge coupled device (CCD). Pengolahan gambar yang direkam oleh CCD meliputi penentuan batas cropping image untuk proses penentuan nilai gray level secara otomatis, serta metode Linear Binary Pattern (LBP) untuk mereduksi daerah gelap pada gambar. Selanjutnya tiap gambar dirotasi untuk memperbanyak gambar sebagai masukkan untuk proses training dan testing. Gambar tersebut selanjutnya dicari nilai rata-rata gray level-nya kemudian nilai tersebut dirubah ke dalam nilai kekasaran permukaan dengan cara membandingkannya dengan nilai kekasaran standar. Sebagai verifikasi, alat Mitutoyo surftest 301 dan 401 juga dibandingkan dengan nilai kekasaran standar tersebut. Nilai kekasaran standar yang digunakan berkisar dari Ra 0.05 μm sampai dengan Ra 12,5 μm dari 21 pengukuran objek ukur hasil proses akhir pemesinan (Flat Lapping, Grinding, Horizontal Milling dan Vertical Milling). False Acceptance Ratio (FAR) dan False Rejected Ratio (FRR) adalah nilai yang dipakai untuk menilai unjuk kerja dari metode ini. Kata kunci: Kekasaran permukaan, ESPI, LBP, FAR, FRR. Poon dan Bhushan, 1995 [3], menyatakan bahwa stylus yang keras dan tajam akan merusak permukaan obyek ukur. Kerusakan yang terjadi disebut dengan micro-scratches. Dengan timbulnya micro-scrathes, maka hasil pengukuran yang terjadi menjadi tidak akurat, karena ujung stylus tip tidak mengukur permukaan melainkan menggores pada permukaan obyek ukur. Akibat adanya micro-scratches ini, maka apabila dilakukan pengukuran berulang pada permukaan yang sama akan dihasilkan nilai kekasaran yang berbeda-beda pula Untuk mengatasi kesemua masalah yang terjadi di atas, maka dikembangkanlah metode pengukuran kekasaran permukaan dengan cara non-kontak, salah satunya yakni dengan metode optik memakai laser.

1. PENDAHULUAN Kekasaran permukaan adalah suatu indikator penting untuk menetukan kualitas suatu produk. Dengan cara kontak langsung, pengukuran dilakukan dengan sebuah sensor (stylus) yang digerakkan di atas permukaan benda yang ingin diketahui kekasaran permukaanya. Metode ini memiliki beberapa kelemahan antara lain waktu pengukuran yang lama, keterbatasan ukuran stylus dan keausan yang terjadi akibat gesekan yang terjadi antara stylus dan permukaan benda kerja. Ketika stylus digunakan untuk mengukur kekasaran permukaan suatu benda kerja, maka stylus harus digerakkan berlahan-lahan sehingga waktu pengukuran menjadi relatif lebih lama. Disamping itu Radhakrishan, 1970 [1] dan Mc Cool, 1984 [2] mengungkapkan bahwa dalam pengukuran secara kontak, ukuran dari stylus tip mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil pengukuran kekasaran permukaan obyek ukur. Ukuran stylus tip yang tidak sesuai dengan karakteristik profil permukaan akan menghasilkan ketidakakuratan hasil pengukuran kekasaran permukaan obyek ukur. Dari hasil penelitiannya yang dilakukan ukuran stylus tip yang besar hanya sesuai digunakan pada profil permukaan yang mempunyai celah dan jarak puncak (peak) yang besar. Untuk permukaan yang mempunyai celah dan antar puncak (peak) yang kecil, maka ukuran stylus yang besar tentu akan menyebabkan ketidakakuratan hasil pengukuran kekasaran permukaan. Di sisi lain apabila stylus tip dibuat sangat kecil maka akan timbul masalah di proses manufakturnya serta keausan yang terjadi menjadi semakin tinggi. Keausan menjadi masalah lain yang perlu diperhatikan didalam proses pengukuran dengan metode kontak langsung.

2. METODOLOGI Metode yang dipakai untuk pengambilan gambar kekasaran permukaan adalah Electronic Speckle Pattern Interferometry (ESPI). Gambar tersebut kemudian diolah untuk mencari nilai gray level-nya. Untuk mencari nilai kekasaran permukaan, maka gray level tersebut dibandingkan dengan nilai kekasaran permukaan dari Mitutoyo Surftest 306 dan 401. Secara garis besar flowchart penelitian ini bisa dilihat pada Gambar 1. 2.1. Electronic Speckle Pattern Interferometry (ESPI) Metode Electronic Speckle Pattern Interferometry (ESPI) atau yang dikenal juga dengan sebutan TV Holography diciptakan sekitar tahun 1970-an. Prinsip dasar kerja ESPI telah dikembangkan oleh Macoski [4] di USA, Schowomma M-40

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[5] di Austria, dan Butters and Leendertz di England [6]. Selain digunakan untuk pengukuran kekasaran permukaan, metode ini juga digunakan untuk pengukuran teganganregangan, analisis vibrasi, serta pengujian tak merusak. START

Pengukuran kekasaran permukaan dengan metode ESPI

Image Processing

Training

Gambar 3. Set-up komponen optik untuk pengukuran kekasaran permukaan di atas meja rata. Pada kasus ini visualisasi gambar dari sinar interferensi yang ditangkap kamera akan menghasilkan warna hitam. Sebaliknya jika obyek ukur tidak mengalami deformasi, maka visualisasinya akan menghasilkan warna aslinya. Gambar hasil interferensi ini kemudian ditangkap oleh kamera charge coupled device (CCD) yang selanjutnya gambar tersebut diolah untuk menentukan nilai gray level-nya. Set-up pemodelan metode ESPI dalam percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 3. Set-up pengukuran pada gambar tersebut merupakan pengembangan dari model Twyman-Green laser interferometri yang dirancang untuk tes kurva permukaan. Pada penelitian ini, set-up perekaman gambar yang semula pada model Twyman-Green menggunakan Pyroviewer Camera diganti dengan CCD Camera, sedangkan TV Monitor diganti monitor komputer dan ditambah dengan CPU. Secara garis besar komponen-komponen peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Testing

FAR dan FRR

Tidak

FAR dan FRR < 30%

Kekasaran permukaan dengan satuan gray level

Verifikasi dengan Mitutoyo surftest 306 dan 401

END

Gambar 1. Flow chart penelitian a. Obyek ukur standar Secara umum prinsip kerja metode ini dapat dilihat pada Gambar 2. Ukuran sinar laser dari source diperbesar menggunakan Beam Expander (BE). Kemudian sinar yang telah diperbesar ini dibagi menjadi 2 bagian menggunakan Beam Splitter (BS). Sinar laser yang pertama akan diarahkan menuju obyek ukur sedangkan sinar yang lain dijadikan sinar acuan. Sinar yang memantul dari permukaan obyek ukur kemudian berinterferensi dengan sinar acuan menjadi sinar baru dengan nilai amplitudo, phase dan intensity yang beragam. Jika permukaan obyek ukur tersebut mengalami deformasi, maka jarak antara obyek ukur dan gambar akan berubah, sehingga phase dan intensity sinar laser yang dipantulkan pun akan berubah

Obyek ukur standar yang digunakan dalam penelitian ini adalah obyek ukur dengan kekasaran permukaan tertentu yang dihasilkan dari proses akhir pemesinan seperti yang terlihat pada Gambar 4. i. Lapping: Dengan nilai kekasaran permukaan (Ra) (0.005; 0.1; 0.2 µm). ii. Reaming: Dengan nilai kekasaran permukaan (Ra) (0.4; 0.8; 1.6 µm). iii. Grinding: Dengan nilai kekasaran permukaan (Ra) (0.005; 0.1; 0.2; 0.4; 0.; 1.6 µm). iv. Horizontal Milling: Dengan nilai kekasaran permukaan (Ra) (0.005; 0.1; 0.2; 0.; 0.8; 1.6; 3,2 ; 6,3; 12,5 µm). v. Vertical Milling: Dengan nilai kekasaran permukaan (Ra) (0.005; 0.1 ; 0.2; 0.4; 0.8; 1.6; 3,2; 6,3; 12,5 µm). vi. Turning: Dengan nilai kekasaran permukaan (Ra) (0.005; 0.1; 0.2; 0.4; 0.8; 1.6; 3,2; 6,3; 12,5 µm).

Gambar 2. Prinsip kerja metode ESPI

Gambar 4. Obyek ukur standar M-41

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Beam splitter ini terdiri dari dua kaca prisma berbentuk segitiga yang direkatkan satu sama lain menggunakan polyester, epoxy dll.

b. Laser He Ne + power supply-nya Laser He Ne adalah jenis laser dengan menggunakan gas netral biasa Helium-Neon sebagai medium aktifnya [7]. Keuntungan menggunaan laser jenis ini diantaranya adalah sangat kompak, mudah dipindahkan, dan mudah penggunaannya. Bentuk fisik dari laser He Ne dan power supply-nya dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Power supply dari laser ini menggunakan tegangan input 220 ac. Ringkasan karakteristik Laser He Ne diperlihatkan pada Tabel 1.

d. Beam expander Lensa beam expander adalah sebuah susunan lensa yang berfungsi untuk memperbesar cahaya laser. Susunan lensa ini terdiri dari dua lensa cembung yang biasa disebut susunan Galillean atau susunan Keplerian yang terdiri dari satu lensa cekung dan satu lensa cembung seperti yang terlihat pada Gambar 5. Pada penelitian ini susunan beam expander yang digunakan adalah tipe Galilean.

Gambar 5. Laser He Ne

Gambar 6. Power Supply Laser He Ne

Gambar 8. Beam expanders.

Tabel 1. Ringkasan Untuk Laser Helium-Neon Summary for Helium-Neon Laser Active Medium Neon Gas Output Wavelength 632.8 nm Power Range 0.1 mw – 100 mw Pulsed on or CW CW Excitation Electrical (500-3000-v DC) Polarization Unpolarization or Linier

e. Meja rata Untuk menghasilkan image kekasaran permukaan yang optimal, maka ketinggian dasar (base level) setiap komponen harus sama dengan yang lain, oleh karena itu diperlukanlah sebuah meja rata seperti yang terlihat pada Gambar 9.

c. Beam Splitter Beam splitter adalah salah satu optical device yang berfungsi untuk membagi sinar laser. Cahaya input yang tidak terpolarisasi akan dibagi menjadi dua buah cahaya yang dipolarisasikan dengan arah datar dan vertikal seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 9. Set-up alat-alat percobaan di atas meja rata. f. CCD kamera CCD kamera adalah sebuah device yang berfungsi memvisualisasikan sinar hasil interferensi antara sinar yang dipantulkan oleh obyek ukur dengan sinar acuan

Gambar 7. Beam splitter M-42

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

g. Central Processing Unit (CPU ) CPU adalah unit yang berfungsi untuk menyimpan, mengolah gambar hasil interferensi, melakukan perhitungan gray level serta verifikasi dengan hasil pengukuran kekasaran permukaan standar 2.2. Proses Pencitraan (Image Processing) Perekaman data permukaan obyek ukur dilakukan oleh kamera CCD. Image yang dihasilkan kamera CCD ditransformasikan kedalam data numerik. Gambar yang sudah terekam tersebut kemudian diolah melalui beberapa tahapan dengan software MATLAB untuk memperoleh informasi nilai gray level seperti yang terlihat pada Gambar 10.

Gambar 11. Contoh perubahan color image menjadi gray image 2.2.2. Perubahan Gray image menjadi Binary Image Langkah ini berfungsi untuk merubah Gray Image yang semula mempunyai range 0 sampai dengan 255 menjadi Binary Image dengan nilai 0 atau 1. Apabila nilai pada Gray Image > 50 maka nilai tersebut dirubah menjadi 1 pada Binary Image, sebaliknya nilai tersebut dirubah menjadi 0 mengikuti persamaan 2. Contoh gambar perubahan Gray Image menjadi Binary Image dapat dilihat pada Gambar 12.

START

Color Image

Gray Image

If Gray image(x,y) > 50 then Binary Image(x,y) = 1 else Binary Image(x,y) = 0

(2)

Binary image

Median Filter

X and Y projection

Cropping Image

Gambar 12. Contoh perubahan Gray Image menjadi Binary Image

Resizing Image

Linear Binary Pattern (LBP)

2.2.3. Median Filter Median Filter adalah suatu metode untuk menghilangkan noise pada gambar tanpa mengurangi ketajaman gambar tersebut. Nilai gambar output ditentukan oleh median dari nilai sekelilingnya mengikuti persamaan 3. Langkah ini menggunakan fungsi medfilt2 pada MATLAB dengan matrik 20x20 sebagai matrik filter-nya.Contoh gambar setelah melalui proses Median Filter ini bisa dilihat pada Gambar 13.

Rotating Image

Gray level sampling using Union Jack Pattern

END

y[m, n]  medianx[i, j ], (i, j )  w

Gambar 10. Flow chart pemprosesan gambar

(3)

Dimana w adalah nilai-nilai di sekeliling pusat sebuah matrix(m,n).

2.2.1. Perubahan color image menjadi gray image Tahap ini mengubah gambar berwarna (RGB) menjadi gambar grayscale dengan menghilangkan informasi warna dan saturasi, akan tetapi tetap mempertahankan informasi pencahayaan dari gambar tersebut. Perubahan ini mangacu pada rumus 1, dimana R G B adalah warna merah, hijau, dan biru dari suatu gambar berwarna. gray image  0.2989  R  0.5870  G   0.1140  B

(1)

Pada Matlab, proses ini bisa menggunakan fungsi rgb2gray dan hasil gray image dari proses ini bisa dilihat pada Gambar 11.

Gambar 13. Perubahan gambar Binary Image setelah mengalami proses Median Filter M-43

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

pendeteksian crack [9]. Forrmulasi LBP di dalam pengolahan gambar dapat dilihat pada rumus 4 dan 5 [10]

2.2.3. X and Y projection Proses ini berfungsi untuk menentukan batas kiri, kanan, atas, serta bawah cropping image. Proses penentuan batas ini bisa kita lihat pada Gambar 14. Pada gambar tersebut seluruh nilai 1 akan dikumpulkan baik pada sisi X dan Y untuk mendapatkan batas-batas seperti yang telah disebutkan di atas. Contoh X, Y projection bisa dilihat pada Gambar 14.

LBPxc , yc  

7

 si

n

 ic 2n

(4)

n 0

ic adalah nilai gray level dengan pusat xc , yc  dan fungsi s (x) didefinisikan sebagai Dimana

1 if sx    0 if

x0 x0

(5)

Salah satu contoh gambar hasil proses LBP dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 14. Contoh gambar X Y projection Gambar 16. Contoh penggunaan LBP dalam mengeliminasi bagian yang gelap dalam gambar.

2.2.3. Cropping Image Langkah ini berfungsi untuk memotong daerah hitam di sekeliling gambar surface roughnes berdasarkan batas-batas yang telah didapatkan dari langkah sebelumnya. Hasil dari proses Cropping image ini dapat dilihat pada Gambar 15

2.2.6. Rotating Image Proses ini berfungsi untuk memperbanyak jumlah gambar yang nantinya dipakai dalam proses training dan testing. Setiap gambar akan dirotasi dengan kelipatan 2 derajat sehingga nantinya untuk setiap gambar diperoleh 180 gambar replikasi. Kemudian 120 gambar dipakai untuk proses training dan sisanya dipakai untuk proses testing. Proses rotasi gambar ini menggunakan fungsi imrotate pada Matlab. Proses ini berfungsi untuk menghitung False Acceptance Ratio (FAR) dan False Rejected Ratio (FRR) yang merupakan nilai unjuk kerja dari metode ESPI didalam menghitung kekasaran permukaan. Contoh hasil proses rotasi gambar bisa dilihat pada Gambar 17.

Gambar 15. Contoh hasil Cropping Image 2.2.4. Resizing Image Hasil cropping image mempunyai ukuran yang sedikit bervariasi satu sama lain yang disebabkan oleh batas pada waktu cropping image. Proses ini berfungsi untuk menyamakan ukuran gambar sehingga nilai gray level-nya bisa dicari secara otomatis melalui pattern union jack. Semua ukuran gambar selanjutnya dirubah menjadi 256 x 256. 2.2.5. Linear Binary Pattern (LBP) LBP adalah salah satu teknik yang digunakan dalam image processing yang fungsi utamanya adalah mengeliminasi bagian yang gelap pada gambar. Bagian yang gelap ini terjadi akibat pengaruh perbedaan intensitas cahaya pada gambar tersebut. Variasi intensitas cahaya akan berpengaruh terhadap nilai gray level dari suatu gambar, dan jika tidak dihilangkan maka akan menurunkan keakuratan pengukuran. Aplikasi LBP banyak digunakan dalam berbagai penelitian semisal pengukuran kekasaran permukaan baja [8] dan

Gambar 17. Contoh hasil rotasi suatu gambar. 2.2.6. Gray Level Sampling using Union Jack Methods Untuk mengetahui gray level dari suatu gambar, maka digunakanlah methode sampling Union Jack. Dengan metode ini setiap gambar dinilai gray level-nya menggunakan 8 garis M-44

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

sampling kemudian kedelapan nilai tersebut dirata-rata. Contoh sampling kekasaran permukaan dengan metode union jack serta hasil nilai gray levelnya bisa dilihat pada Gambar 18 dan Gambar 19. 1

3

Gambar 18. contoh sampling gray level dengan metode Union Jack

Gambar 20. Alat Ukur Kekasaran Permukaan Mitutoyo Surftest 301

Gambar 19. Contoh hasil nilai Gray level 2.2.7. FAR dan FRR False Acceptance Ratio (FAR) dan False Rejected Ratio (FRR) adalah suatu nilai yang dijadikan tolak ukur unjuk kerja dari metode ini. Nilai gray level dari 120 gambar pada proses training dirata-rata, kemudian ke 60 gambar sisanya akan dijadikan masukan proses testing dengan metode euclidian distance. Euclidian distance adalah satu metode untuk menghitung jarak antara 2 buah objek berdasarkan nilai feature yang dimiliki ke-2 obyek tersebut, mengikuti persamaan 6.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Didalam proses training, 120 gambar diambil nilai gray level rata-ratanya, dilanjutkan tahap testing untuk mencari nilai FAR dan FRR. Rumusan Euclidian distance digunakan untuk menentukan jarak terdekat dari ke-60 gambar testing tersebut. Hasil nilai rata-rata gray level, FAR, FRR dapat dilihat pada Tabel 2. Proses selanjutnya adalah merubah nilai kekasaran permukaan dalam skala gray level menjadi skala mikro meter (μm). Untuk proses konversi tersebut, nilai gray level dihubungkan dengan nilai kekasaran standar melalui sebuah persamaan y = f(x). Dimana sumbu y adalah nilai kekasaran dalam satuan gray level, sedangkan sumbu x adalah nilai kekasaran standar dalam skala mikro meter (μm). Kedua nilai tersebut dicari persamaan garisnya dengan nilai R2 yang mendekati nilai 1. Persamaan yang berfungsi merubah nilai kekasaran permukaan dalam skala gray level ke skala mikron bisa dilihat pada persamaan 6. 1 / 0.0072  Lg  (6) Ra    122.98  Dimana: Ra = Nilai kekasaran permukaan dalam satuan panjang (μm) dan Lg = Nilai kekasaran permukaan dalam satuan gray level.

2

 xik  x jk  n

dij 

Gambar 21. Alat Ukur Kekasaran Permukaan Mitutoyo Surftest 401

(6)

k 1

3.2.5. Verifikasi Untuk proses verifikasi hasil pengukuran kekasaran permukaan metode ESPI ini, maka digunakanlah alat ukur pembanding yakni Mitutoyo Surftest 301 dan 401. Gambar ke-2 alat pengukuran kekasaran standar tersebut bisa dilihat pada Gambar 20 dan Gambar 21. Tahap pertama, data gray level dan data kekasaran permukaan standar dihubungkan dengan sebuah persamaan y fungsi x. Dimana y adalah kekasaran permukaan dalam skala gray level, sedangkan x adalah kekasaran permukaan standar dalam skala mikro meter (μm). Sedangkan tahap kedua adalah membandingkan nilai kekasasaran permukaan dari Mitutoyo surftest 301 dan 401 dengan kekasaran permukaan standar. Kedua tahap ini berfungsi sebagai data penunjang unjuk kerja dari metode ini selain nilai FAR dan FRR yang telah disebutkan di atas. M-45

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 2. FAR dan FRR metode ESPI Surface Roughness Standards (Comparator Surface Roughness) Hasil Proses Ra (µm) Flat Laping, 0.05 Grinding, 0.1 Horizontal Milling 0.2 dan Vertical Milling 0.4 0.8 1.6 3.2 6.3 12.5

Tabel 5. Kekasaran permukaan Surftest 401 FAR (%)

FRR (%)

0.11 0.125 0.134 0.164 0.192 0.201 0.22 0.273 0.29

0.092 0.107 0.116 0.146 0.174 0.183 0.202 0.255 0.281

Surface Roughness Standards Hasil Pengukuran (Comparator Surface Error Surftest 401 Roughness) Ra (µm) Ra (µm) Hasil Proses Ra (µm) 0.05 0.2 0.15 0.1 0.2 0.10 Flat Laping, 0.2 0.3 0.05 Grinding, 0.4 0.7 0.30 Horizontal Milling 0.8 1.0 0.20 dan Vertical 1.6 1.9 0.27 Milling 3.2 3.9 0.65 6.3 7.1 0.75 12.5 12.9 0.35 Rata-rata error Ra (0.05 – 12.5 µm) 0.313 Rata-rata error Ra (0.05 – 6.3 µm) 0.308 Rata-rata error Ra (0.05 – 3.2 µm) 0.245

Selanjutnya nilai kekasaran permukaan dari Mitutoyo surftest 301 dan 401 juga akan dicari persamaan garisnya dengan nilai kekasaran standar. Hal ini berfungsi sebagai verifikasi hasil pengukuran kekasaran metode ESPI dengan alat ukur standar. Hasil perbandingan nilai kekasaran permukaan metode ESPI, Mitutoyo surftest 301 dan 401 dapat dilihat pada Tabel 3, 4 dan 5.

4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1. Dari hasil pengolahan data didapatkan persamaan untuk menghitung konversi nilai kekasaran permukaan dari nilai Ra dalam satuan gray level ke dalam satuan mikron (µm) yaitu;

Tabel 3. Kekasaran permukaan metode ESPI Surface Roughness Standards Hasil (Comparator Surface Pengukuran Roughness) ESPI (µm) Hasil Proses Ra (µm) 0.05 0.046813 0.1 0.134498 Flat Laping, 0.2 0.275397 Grinding, 0.4 0.37347 Horizontal Milling 0.8 0.667528 dan Vertical 1.6 1.259332 Milling 3.2 1.815666 6.3 5.116388 12.5 26.26204 Rata-rata error Ra (0.05 – 12.5 µm) Rata-rata error Ra (0.05 – 6.3 µm) Rata-rata error Ra (0.05 – 3.2 µm)

Error Ra (µm)

1 / 0.0072

-0.0031867 0.0344978 0.0753969 -0.0265297 -0.1324724 -0.3406685 -1.3843338 -1.1836119 13.762042 1.200126 -0.3701135 -0.2538995

2.

Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa nilai kesalahan akan semakin bertambah besar dengan bertambahnya nilai kekasaran. Hal ini dikarenakan sudut hamburan dari obyek ukur yang acak dan besar sehingga gambar interferensi tidak tertangkap CCD kamera. Disamping itu adanya faktor blurr pada gambar menjadikan nilai gray level tidak lagi mencerminkan nilai kekasaran permukaan obyek.

3.

4.

Tabel 4. Kekasaran permukaan Surftest 301 Surface Roughness Standards Hasil (Comparator Surface Pengukuran Roughness) Surftest 301 Ra (µm) Hasil Proses Ra (µm) 0.05 0.081 0.1 0.268 Flat Laping, 0.2 0.300 Grinding, 0.4 0.394 Horizontal Milling 0.8 0.839 dan Vertical 1.6 1.773 Milling 3.2 3.515 6.3 7.079 12.5 12.908 Rata-rata error Ra (0.05 – 12.5 µm) Rata-rata error Ra (0.05 – 6.3 µm) Rata-rata error Ra (0.05 – 3.2 µm)

5. Error Ra (µm) 0.031 0.168 0.100 -0.006 0.039 0.173 0.315 0.779 0.408 0.224 0.201 0.119

 Lg  Ra    122.98  Dimana: Ra = Nilai kekasaran permukaan dalam satuan panjang (μm) dan Lg = Nilai kekasaran permukaan dalam satuan gray level. Secara garis besar kesalahan yang terjadi pada metode ini dikarenakan sudut hamburan sinar laser dari obyek ukur sangat acak dan besar, akibatnya sinar hasil interferensi tidak tertangkap CCD kamera. Oleh karena itu kemungkinan penggunaan lebih dari satu CCD kamera, dengan variasi sudut tangkap sangat dianjurkan untuk optimasi hasil pengukuran metode ESPI ini. Faktor blurr pada gambar yang tertangkap CCD kamera, juga menjadi faktor lain yang menentukan nilai kesalahan pada hasil pengukuran. Dengan adanya kesalahan tersebut, maka metode ESPI ini lebih cocok untuk kekasaran permukaan dengan nilai lebih kecil dari 3.2 mikron (µm). Hal ini dibuktikan dengan nilai FAR dan FRR yang semakin kecil untuk kekasaran dibawah 3.2 mikron. Pada penelitian ini gray level adalah satu-satunya feature yang digunakan dalam proses training maupun testing. Penggunaan feature lain misalnya arah guratan dll perlu dipertimbangkan sehingga Artificial Intelligence seperti fuzzy logic, neural network dll., bisa digunakan untuk menurunkan nilai kesalahan yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA [1] Radhakrishan, V., “Effect of stylus radius on the roughness values measured with tracing stylus instruments”, Wear Vol. 16, 1970, pp 325–335. [2] McCool, J. I., “Assessing the Effect of Stylus Tip Radius and Flight on Surface Topology Measurements”, J. Tribol. Trans. ASME vol 106, 1984, pp. 202-210. M-46

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[3] Poon, C. Y. & Bhushan, B., “Surface roughness analysis of glass-ceramic substrates and finished magnetic disks, and Ni-P coated Al-Mg and glass substrates”, Wear vol. 190, 1995, pp. 89 – 109. [4] Macovski A, Ramsey S D and Schaefer L. F., Time-lapse interferometry and contouring using television system, Appl. Opt., Vol. 10, 1971, pp.2722-2727. [5] Schwomma O, Holographisch–interferometrisches oder moiremetrissches verfahren, Austria patent 298 830, 1972. [6] N. Butters and J. A. Leeudertz, Holographic and video techniques applied to Engineering measurement, Transactions of the institute of measurement and control, Vol.4 (12), 1971, pp.349-354.

[7] C. Wykes, R. Jones, K. Creath, and X. L. Chen, Part VII, Speckle methods, Optical methods of engineering analysis, Ed, Gary L. Cloud, Cambridge University Press, 1998. [8] Mansono, M., et all, Inspection of Metallic Surfaces Using Local Binary Patterns, IEEE, 2011. [9] H. Yong and Z. Chun-Xia, A Local Binary Pattern Based Methods for Pavement Crack Detection, Journal of Pattern Recognition Research 1, 2010, pp. 140-147. [10] Marcel, S., On the Recent Use of Local Binary Patterns for Face Authentication, International Journal of Image and Video Processing Special Issue on Facial Image Processing, 2007.

M-47

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

SIMULASI 3D TEMPERATUR DAN KEAUSAN PAHAT PADA PROSES PEMBUBUTAN LOGAM Avita Ayu Permanasari1), Ongki Budi Anggriawan2) Jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya 1,2) Jalan. Mayjend Haryono 167, Malang 65145. Indonesia Phone: +62-341-587710, Fax: +62-341-551430 E-mail: [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Pada proses pemotongan logam dengan pembubutan, keausan pahat dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu beban yang bekerja pada pahat, temperatur yang ditimbulkan karena gesekan, dan gesekan antara pahat dan material yang dibubut. Keausan pahat bisa semakin besar sampai batas tertentu, sehingga pahat tidak bisa dipakai lagi karena meningkatnya temperatur pada ujung permukaan pahat. Tren penggunaan simulasi semakin meningkat dikarenakan mampu memprediksi dan menggambarkan mekanisme proses serta mendapatkan optimasi proses pemotongan. Studi yang dilakukan menggunakan simulasi 3 dimensi (3D) untuk memprediksi pengaruh gerak pemakanan (feed rate), dan kedalaman pemotongan (depth of cut) terhadap temperatur pemotongan dan keausan pahat. Variasi feeding yang dibuat 0.05; 0.16; 0.2 mm/put dan variasi depth of cut 0.5; 0.1 dan 1 mm. Dari hasil simulasi menunjukkan distribusi temperatur yang meningkat dengan naiknya depth of cut dan feeding. Oleh kerena itu keausan pahat juga akan semakin meningkat seiring meningkatnya distribusi temperatur. Temperatur pemotongan dan laju keausan pahat memiliki korelasi dalam proses pembubutan, karena temperatur pemotongan merupakan salah satu faktor yang digunakan untuk menentukan umur pahat. Kata kunci: feed rate, depth of cut, temperatur pemotongan, keausan. bahwa besarnya distribusi temperatur pahat terjadi disekitar permukaan bidang aktif pahat [3]. Dari latar belakang tersebut di atas, penulis mengembangkan simulasi 3 dimensi parameter pemotongan yang meliputi gerak pemakanan (feed rate) dan kedalaman pemotongan (depth of cut) terhadap temperatur dan keausan pahat dengan memanfaatkan software berbasis elemen hingga.

1. PENDAHULUAN Berbagai percobaan telah dilakukan untuk mengetahui sampai seberapa jauh berbagai variabel proses terhadap temperatur pemotongan. Untuk mengetahui secara lengkap pengaruh dari masing-masing variabel proses pemotongan terhadap temperatur kiranya diperlukan percobaan secara konvensional yang akan menelan banyak waktu dan biaya. Salah satu cara yang relatif sederhana akan tetapi mampu memberikan informasi yang cukup lengkap adalah dengan melakukan analisis dimensional dengan data pendukung yang didapat dari hasil serangkaian percobaan sederhana. Hampir seluruh energi pemotongan diubah menjadi panas melalui proses gesekan. Panas yang timbul tersebut cukup besar dan luas bidang kontak relatif kecil, maka temperatur pahat terutama bidang geram dan bidang utama akan sangat tinggi. Tekanan yang besar akibat gaya pemotongan serta temperatur yang tinggi, maka permukaan aktif dari pahat akan mengalami keausan yang berpengaruh terhadap kualitas produk, umur pahat, dan biaya permesinan [1]. Salah satu solusi alternatif untuk melakukan penelitian adalah melalui simulasi komputer. Penelitian tentang proses pemotongan yang baru, dikembangkan agar waktu yang dibutuhkan untuk trial and error dapat lebih kecil yang tentunya harus didasarkan pada pengetahuan empiris mengenai proses pemotongan. Simulasi dapat meningkatkan pengertian tentang proses pemotongan dan mengurangi jumlah eksperimen yang harus dilakukan, dimana pada eksperimen tradisional harus dilakukan desain alat potong, seleksi proses, evaluasi kemampuan permesinan dan penyelidikan tentang pembentukan geram [2]. Pemodelan 2 dimensi menggunakan finite element method dapat digunakan untuk mengetahui distribusi temperatur pemotongan pada proses bubut yang menunjukkan

2. METODOLOGI 2.1. Diagram alir Penelitian Untuk mengetahui hubungan feed rate dan depth of cut terhadap temperatur dan keausan pahat dengan simulasi komputer dilakukan dengan memodelkan proses pemotongan pada mesin bubut dengan memanfaatkan software berbasis metode elemen hingga. Langkah-langkah yang dilakukan dijelaskan oleh diagram alir pada Gambar 1. 2.2 Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas:  Gerak pemakanan (feed rate): 0,05 mm/put; 0,16 mm/put; 0,2 mm/put  Kedalaman pemotongan (dept of cut) : 0,1 mm; 0,5 mm; 1 mm 2. Variabel terikat: Variabel terikat dalam penelitian ini adalah temperatur dan keausan pahat. 3. Variabel terkontrol Variabel terkontrol dalam penelitian ini adalah:  Kecepatan pemotongan (cutting speed): 56 m/menit.  Temperatur lingkungan : 270C M-48

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 2. Dimensi benda Kerja Sifat mekanik material uji: Kekuatan tarik = 345 MPa Yield stress = 190 Mpa Elongation = 28 % Poisson’s ratio = 0,28  Spesifikasi material pahat Material pahat = HSS Tipe pahat = DNMA (gambar 3)

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian 4. Konstanta  Coefficient of friction: 0,5 - 0,7 Harga koefisien gesek diambil dari koefisien gesek yang umumnya digunakan pada proses pembubutan baja tanpa menggunakan pelumasan.  Heat transfer coefficient (k): 11 w/m2 k Harga koefisien perpindahan panas secara konduksi antara dua konta obyek.

Gambar 3. Tipe Pahat DNMA Sifat mekanik pahat: Modulus Elastisitas (E) = 214.109 Pa Rapat massa (ρ) = 7890 kg/m3 2.4. Pemodelan Pemotongan Pemotongan dimodelkan secara 3 dimensi dengan memberikan variasi feed rate pada 0,05 mm/put; 0,16 mm/put; 0,2 mm/put dan depth of cut sebesar 0,1 mm; 0,5 mm; 1 mm. Pola meshing benda kerja dan pahat ditunjukkan pada Gambar 4. Pahat dimodelkan sebagai rigid material sedangkan benda kerja dimodelkan sebagai plastis model dengan mengadopsi oxley’s equation.

Table 1. Work material properties Work Material; AISI 1045 (Oxley’s Equation - ỡ = ỡ ( ἐ,ἐ,T )) i) Flow stress data Temperature 20 300 400 600 800 900 1000 1200 Strain 0,05 0,1 0,2 0,4 0,6 0,8 Strain rate 1,6 8 40 ii) Thermal conductivity 50,71 W/mK Temperature 0C 100 - 1350 iii) Thermal expansion 1,2e-005 Temperature 0C 100 - 1350 iv) Heat Capacity 0,107 Temperature 0C 100 - 1350 v) Young Modulus 210000 Temperature 0C 100 - 1350

Pahat

2.3. Spesifikasi Material Benda Kerja dan Pahat Benda Kerja

 Spesifikasi material benda kerja Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Baja AISI 1015 yang berbentuk silinder dengan diameter 25,4 mm (Gambar 2).

Gambar 4. Pola meshing benda kerja dan pahat M-49

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Dari gambar 8 dapat diketahui bahwa dengan semakin meningkatnya depth of cut dan feed rate akan meningkatkan nilai temperatur pahat sebesar:  Pada depth of cut = 0,1 mm dengan variasi feed rate diperoleh nilai temperatur pahat: Feed rate = 0,2 mm/rev sebesar 55,030C Feed rate = 0,16 mm/rev sebesar 49,500C Feed rate = 0,05 mm/rev sebesar 39,350C  Pada depth of cut = 0,5 mm dengan variasi feed rate diperoleh nilai temperatur pahat: Feed rate = 0,2 mm/rev sebesar 309,970C Feed rate = 0,16 mm/rev sebesar 320,030C Feed rate = 0,05 mm/rev sebesar 223,910C  Pada depth of cut = 1 mm dengan variasi feed rate diperoleh nilai temperatur pahat: Feed rate = 0,2 mm/rev sebesar 481,690C Feed rate = 0,16 mm/rev sebesar 455,270C Feed rate = 0,05 mm/rev sebesar 454,850C Dapat diketahui bahwa dengan semakin besar depth of cut dan feed rate maka semakin besar gaya pemotongan, yang menyebabkan daya pemotongannya semakin meningkat. Hal ini terjadi karena hampir seluruh daya pemotongan ini diubah menjadi panas melaui proses gesekan antara pahat dengan geram dan geram dengan benda kerja. Panas ini sebagian besar terbawa oleh geram, sebagian merambat melalui pahat, dan sisanya melalui benda kerja menuju ke sekeliling daerah pemotongan. Jika gaya pemotongan semakin besar maka panas akan semakin naik yang menyebabkan temperatur pada pahat ikut naik. Dengan temperatur yang semakin tinggi akan menyebabkan umur pahat semakin pendek. Gambar 9 menunjukkan distribusi temperatur pahat dengan beragam variasi depth of cut dan feed rate yang terjadi di bidang potong utama. Dari contour warna dapat dilihat bahwa variasi tersebut berpengaruh terhadap temperatur pada pahat. Jika diamati contour warna pada pahat, dapat dilihat terdapat warna merah di sekitar ujung pahat yang menandakan bahwa terdapat kenaikan temperatur yang sangat tinggi akibat gesekan antara pahat dengan benda kerja. Semakin menjauh dari ujung pahat, warna merah tersebut secara bertahap berubah menjadi warna kuning kemudian semakin jauh dari ujung pahat akan berbah menjadi warna biru yang menandakan bahwa semakin menjauhi ujung pahat, temperatur semakin rendah. Selama proses pembentukan benda kerja berlangsung, pahat dapat mengalami kegagalan dari fungsinya yang normal karena berbagai sebab, yaitu keausan yang secara bertahap membesar pada bidang aktif pahat, retak yang menjalar sehingga menimbulkan patahan pada mata potong pahat, dan deformasi plastik yang akan mengubah bentuk atau geometri pahat. Kerusakan atau keausan pahat akan terjadi dan penyebabnya dikarenakan beberapa faktor yaitu proses abrasif dimana permukaan dapat rusak/ aus karena adanya partikel keras pada benda kerja yang menggesek bersama-sama dengan aliran material benda kerja pada bidang geram dan bidang utama pahat. Partikel-partikel keras dalam struktur baja yang berupa karbida, oksida akan mampu merusakkan permukaan pahat HSS yang sebagian besar strukturnya terdiri atas martensit. Proses abrasif merupakan faktor dominan sebagai penyebab keausan pada pahat HSS. Pada kecepatan potong yang tinggi (temperatur yang tinggi) ketahanan pahat atas proses oksidasi akan menurun.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil simulasi yang telah dilakukan dapat dilihat grafik pengaruh feed rate dan depth of cut terhadap temperatur pahat dengan variasi depth of cut sebesar 0,1; 0,5; 1 mm serta variasi feed rate sebesar 0,05; 0,16; 0,2 mm/rev pada Gambar 5 sampai dengan Gambar 8.

Gambar 5. Pengaruh Feed rate terhadap temperatur pahat pada Depth of cut 0,1 mm

Gambar 6. Pengaruh Feed rate terhadap temperatur pahat pada Depth of cut 0,5 mm

Gambar 7. Pengaruh Feed rate terhadap temperatur pahat pada Depth of cut 1 mm

Gambar 8. Pengaruh Depth of cut dan Feed rate terhadap temperatur pahat M-50

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Pahat dapat teroksidasi apabila temperaturnya cukup tinggi dan tidak ada perlindungan terhadap serangan oksigen dalam atmosfir. Akibatnya struktur material pahat akan lemah dan tidak tahan akan deformasi yang disebabkan oleh gaya pemotongan.

dengan contour warna ungu. Sedangkan kedalaman aus yang paling kecil sebesar 0,111 mm yang ditunjukkan dengan contour warna hijau. Hal ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya variasi depth of cut dan feed rate akan meningkatkan temperatur pahat yang menyebabkan keausan pada ujung pahat semakin dalam [4].

Gambar 10. Distribusi Kedalaman Keausan Pahat 4. KESIMPULAN Dari analisa hasil dan pembahasan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut: 1. Temperatur dan keausan pahat maksimum dicapai pada variasi a = 1 mm dan f = 0,2 mm/rev dengan temperatur sebesar 481,690C dan keausan sebesar 0,556 mm. 2. Dengan simulasi 3D, dapat dikembangkan optimasi parameter pemotongan untuk mencegah temperatur pahat yang terlalu tinggi yang dapat mempercepat keausan.

Gambar 9. Distribusi temperatur pada pahat Semakin tinggi temperatur kekuatan pahat akan menurun sehingga dapat terjadi proses deformasi plastik. Deformasi disebabkan adanya beban tekan yang akan mengubah mata potong pahat dan deformasi karena beban geser yang tinggi pada bidang geram sehingga menyebabkan proses keausan kawah (crater wear). Hasil dari simulasi juga mendukung fenomena tersebut dimana dengan semakin meningkatnya temperatur pada pahat, maka pahat dapat cepat mengalami keausan atau kerusakan pada ujung pahat [1]. Gambar 10 menunjukkan perubahan kedalaman aus pada variasi depth of cut dan feed rate. Kedalaman aus yang terjadi bervariasi mulai dari kedalaman yang kecil hingga besar yang ditunjukkan berupa contour warna pada daerah ujung pahat. Pada depth of cut 0,1 mm dan feed rate 0,05 mm/rev masih belum terlihat adanya keausan pada ujung pahat, tetapi dengan semakin meningkatnya variasi depth of cut dan feed rate kedalaman aus akan semakin bertambah dengan kedalaman aus paling besar sebesar 0,556 mm yang ditunjukkan

DAFTAR PUSTAKA [1] Rochim, Taufiq. 1993. Teori dan Teknologi Proses Pemesinan. Bandung: Laboratorium Teknik Produksi dan Metrologi Industri ITB. [2] Kalhori, Vahid. 2001. Modelling and Simulation of Mechanical Cutting. Lulea: Lulea University of Technology. [3] Grzesik, W. 2005. Finite Element Modelling of Temperature Distribution in the Cutting Zone in Turning Processes with Differently Coated Tools. Departement of Manufacturing Engineering and Production Automation, Technical University of Opol. [4] Nurhadiyanto, Didik.2002. “Analisis Pengaruh Kecepatan Pemakanan dan Kedalaman Potong terhadap Temperatur Pahat pada Mesin Bubut”. Jurnal Penelitian Saintek, Vol.7, No.1, pp 69-73.

M-51

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

UPAYA MENGHINDARI CHATTER PADA PROSES FACE MILLING DENGAN PENAMBAHAN STIFFENER PADA BENDA KERJA BERBENTUK KOTAK Oegik Soegihardjo 1), Suhardjono 2), Bambang Pramujati 3), Agus Sigit Pramono 4) Pascasarjana Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 1,2,3,4) Kampus ITS, Keputih, Sukolilo – Surabaya 60111. Indonesia 1,2,3,4) Jurusan Teknik Mesin Universitas Kristen Petra 1) Jalan. Siwalankerto 121-131, Surabaya 60236. Indonesia 1) Phone: 0062-31-2983465, Fax: 0062-31-8417658 1) E-mail : [emailprotected] 1), [emailprotected] 2), [emailprotected] 3), [emailprotected] 4)

ABSTRAK Peningkatan produktifitas dalam proses pemesinan terus dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi biaya pemesinan dan mempersingkat waktu produksi. Cara yang ditempuh untuk meningkatkan produktifitas antara lain dengan meningkatkan kedalaman potong (depth of cut) maupun dengan meningkatkan putaran spindle. Namun demikian ada batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam peningkatkan kedalaman potong (depth of cut) maupun putaran spindle, antara lain daya yang dimiliki oleh mesin perkakas, kemampuan pahat dan batas kestabilan (chatter) saat pemotongan/pemesinan. Timbulnya getaran yang masuk pada daerah tidak stabil (chatter) yang terjadi saat pemotongan harus dihindari, karena chatter akan meningkatkan kekasaran permukaan benda kerja dan memperpendek umur pahat. Pada benda kerja yang berongga dan berdinding tipis, misalnya crank case maupun casing untuk gear box, kecenderungan terjadinya chatter akan semakin besar. Terjadinya chatter bisa dihindari dengan meningkatkan kekakuan dinamik benda kerja yang akan dipotong. Salah satu upaya yang bisa dilakukan, adalah dengan penambahan stiffener. Penambahan stiffener merupakan cara yang praktis dan sangat mudah diterapkan dalam proses pemotongan. Dalam penelitian ini akan dikaji manfaat penambahan stiffener terhadap kekakuan benda kerja berongga berbentuk kotak. Dimensi benda kerja: panjang 400 mm, lebar 200 mm, tinggi 150 mm, dengan ketebalan 9 mm. Dimensi stiffener kayu: panjang 183 mm, lebar 60 mm, tinggi 40 mm. Kajian dilakukan dalam bentuk simulasi finite element analysis menggunakan software Ansys, yang diverifikasi dengan hasil eksperimen. Simulasi benda kerja tanpa stiffener menghasilkan frekuensi natural sebesar 372 Hz, yang bersesuaian dengan hasil eksperimen yang dilakukan Joko Utoro (2006), yang menghasilkan frekuensi natural sebesar 370 Hz. Penambahan stiffener pada benda kerja terbukti dapat meningkatkan kekakuan dinamik benda kerja sampai sekitar 16 kali lebih besar dibandingkan dengan kekakuan benda kerja sebelum ditambahkan stiffener. Kata kunci: chatter, stiffener, kekakuan dinamik benda kerja. Koenigsberger [3] mengungkapkan bahwa kekakuan dinamik struktur kolom berongga berdinding tipis dapat ditingkatkan dengan penambahan stiffener. Prinsip yang diungkapkan oleh Koenigsberger dapat diimplementasikan pada benda kerja berbentuk kotak. Utoro [4] melakukan eksperimen untuk membandingkan pengaruh penggunaan berbagai material stiffener terhadap chatter pada proses face milling untuk benda kerja bentuk kotak. Eksperimen menunjukkan bahwa penambahan stiffener meningkatkan batas kestabilan chatter. Penelitian yang penulis lakukan adalah melakukan simulasi untuk membandingkan kekakuan benda kerja berbentuk kotak tanpa penggunaan stiffener maupun dengan penggunaan stiffener. Simulasi akan dilakukan dengan metode elemen hingga (finite element method, FEM) menggunakan software Ansys. Bila simulasi memberikan hasil baik sesuai dengan hasil eksperimen, simulasi akan dikembangkan untuk berbagai dimensi maupun posisi stiffener. Hasil eksperimen Utoro [4] digunakan sebagai verifikasi terhadap simulasi yang penulis lakukan.

1. PENDAHULUAN Pada proses face milling, dimana benda kerja dicekam pada table dan pahat berputar dengan putaran tertentu, umumnya struktur benda kerja dianggap lebih kaku daripada pahat. Namun demikian untuk benda kerja yang berdinding tipis, anggapan ini tidak selalu tepat. Beberapa upaya sudah dilakukan untuk mengurangi terjadinya chatter pada proses face milling. Catania [1] melakukan eksperimen untuk menunjukkan bahwa pahat dengan geometri yang lebih pendek (memakai tool holder pendek), batas kestabilan chatter meningkat. Berdasarkan eksperimen ini disarankan agar proses pemotongan menggunakan pahat dengan geometri pendek. Namun demikian dalam praktek proses face milling juga dilakukan dengan geometri pahat yang panjang untuk menjangkau posisi pemotongan di dinding bagian dalam. Choudhury [2] berupaya mengurangi chatter dengan cara membuat non-uniform insert pitch (sudut yang berbeda antar mata pahat insert) pada pahat face milling. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa pada pahat dengan insert pitch yang berbeda (non uniform pitch), batas kestabilan terhadap chatter meningkat dibandingkan dengan pahat dengan pitch sama (uniform pitch). Untuk proses milling di industri, metode ini kurang praktis karena pahat dengan non uniform pitch perlu dipesan secara khusus.

1.1. Teori Tlusty-Polacek [3] Pada proses permesinan, chatter timbul sebagai akibat efek regeneratif. Pahat memotong permukaan benda kerja yang bergelombang y(t) yang diakibatkan oleh proses M-52

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

pemotongan sebelumnya yo(t). Sebagai akibatnya, maka tebal geram akan bervariasi yang menyebabkan perubahan gaya potong p(t) sebagaimana dinyatakan pada rumus berikut. ( ) ( ) ( ) (1) Di mana b adalah lebar geram dan r adalah koefisien kestabilan yang besarnya tergantung pada proses pemotongan. Teori Tlusty-Polacek mengasumsikan bahwa koefisien kestabilan r adalah konstan, dan getaran bersifat harmonik sehingga berlaku, ( ) ̂ ( ) ̂ (2) ( ) ̂

2. METODOLOGI Dalam simulasi dengan metode elemen hingga (FEM) menggunakan software Ansys, prosedur umum analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut [5]: a. PRE-PROCESSING, meliputi: - Element type definition, - Material properties definition - modeling b. SOLUTION, meliputi: - Apply boundary condition - Apply load - Define the type of analysis - Solve for result c. POST-PROCESSING - Read the result summary - Plot the calculated result of the modes of vibration - Plot the displacement of each mode of vibration Dalam simulasi yang dilakukan ini, properties material dari benda kerja berbentuk kotak berupa cast iron alloys dengan modulus elastisitas 170 Gpa, density 7800 kg/m3, Poisson’s ratio 0,30. Properties material stiffener berupa kayu (wood) dengan modulus elastisitas 15 Gpa, density 500 kg/m3, Poisson’s ratio 0,29. Data material diambil berdasarkan Moaveni [5]. Kontak antara dinding benda kerja dengan stiffener diasumsikan berupa suaian paksa (interference fit), dan disimulasi dengan contact pair dengan parameter yang bisa dipilih dalam contact wizard di software Ansys. Tipe analisis yang dipilih adalah modal analysis, dengan number of modes (modus getar) to extract = 5, pada rentang frekuensi 0 – 2000 Hz. Beban sebesar 10 N bekerja ke arah sumbu Y negatif. Arah gaya ini dipilih karena disesuaikan dengan arah gaya eksitasi yang diberikan pada saat eksperimen. Dimensi benda kerja: panjang 400 mm, lebar 200 mm, tinggi 150 mm, tebal dinding 9 mm. Dimensi stiffener: panjang 183 mm, lebar 60 mm, tinggi 40 mm. Dalam simulasi, dimensi model benda kerja maupun stiffener dibuat dengan skala 1:1 (sesuai dengan ukuran sebenarnya).

Substitusi persamaan (2) ke persamaan (1) menghasilkan (̂ ̂ ) (3) ̂

Ditinjau dari sistem getaran mesin perkakas dengan fungsi transfer ( ), maka ( ) ( ) atau (

(

)

(

)

)

(

)

(4)

Substitusi persamaan (3) ke dalam persamaan (4) dan menyusun ulang persamaan yang dihasilkan, diperoleh (

̂ (

)

(5)

)

Persamaan (5) merupakan closed-loop system dari ( ) ( ) self-excited vibrations [3], di mana dengan d adalah faktor arah. ̂ Parameter merupakan perban- dingan amplitudo. Batas kestabilan dicapai bila | |

̂

| |

|

( (

) )

|

(6)

( ) ( ) mempu- nyai Fungsi transfer komponen real dan imajiner. Karena harga imajiner pembilang dan penyebut persamaan (6) sama, maka persamaan (6) hanya ditentukan oleh harga real saja, dan dinyatakan sebagai, | |

̂

| |

|

( (

) )

|

(7)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN.

Karena | | Untuk harga

maka mempunyai harga 1 dan -1. maka solusi persamaan (7) adalah, ( ) (8) Dengan demikian batas lebar geram kritis adalah, (9) ( )

Gambar 1 adalah model benda kerja tanpa stiffener, sedangkan Gambar 2 adalah model benda kerja dengan stiffener.

1.2 Kekakuan dinamik. Kekakuan dinamik merupakan rasio antara gaya (P) dengan perpindahan (X) dalam fungsi frekuensi, dan dirumuskan dalam bentuk [3], ( ) (10) Jika sebuah sistem memiliki nilai kekakuan dinamik semakin besar, maka sistem tersebut semakin kaku. Untuk sistem yang semakin kaku, batas kestabilan terhadap chatter semakin meningkat.

Gambar 1. Model benda kerja tanpa stiffener M-53

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 2. Model benda kerja dengan stiffener

Gambar 6. Modus getar 2 benda kerja tanpa stiffener

Gambar 3 sampai dengan Gambar 9 (kecuali Gambar 5) adalah lima gambar mode shape (modus getar) yang diambil saat simulasi.

Gambar 7. Modus getar 3 benda kerja tanpa stiffener Gambar 3. Modus getar 1 benda kerja tanpa stiffener

Gambar 4. Modus getar 1 benda kerja tanpa stiffener (tampak atas)

Gambar 8. Modus getar 4 benda kerja tanpa stiffener

Modus getar 1 hasil simulasi ini sesuai dengan modus getar hasil eksperimen [4]. Modus getar hasil eksperimen dapat dilihat di Gambar 5.

Gambar 9. Modus getar 5 benda kerja tanpa stiffener Hasil dari simulasi yang dilakukan dan hasil eksperimen yang dipakai untuk memverifikasi harga frekuensi dan kekakuan, dapat dilihat pada Tabel 1. [4]

Gambar 5. Modus getar benda kerja tanpa stiffener hasil eksperimen [4] (tampak atas) M-54

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 10. Displacement ke arah sumbu Y benda kerja tanpa stiffener (modus getar 1).

Gambar 12. Displacement ke arah sumbu Y hasil simulasi benda kerja dengan stiffener untuk salah satu modus getar.

Tabel 1. Hasil simulasi dan eksperimen

Tabel 2. Hasil simulasi untuk berbagai stiffener

Kondisi

Frekuensi (Hz) Kekakuan (N/m) Sim Eks % Sim Eks % Tanpa stiffener 371,58 370 0,42 10.286,7 10.758,4 4,38 Dengan stiffener 202,35 200 1,18 161.773 175.116 7,62 Catatan: Sim : hasil simulasi FEM. Eks : hasil eksperimen [4]. % : perbedaan (dalam %) antara hasil simulasi dan eksperimen.

Stiffener 1 2 3 4 5 6

Mod. Elastisitas Density Frekuensi Kekakuan (GPa) (kg/m3) (Hz) (N/m) 13 470 189,97 81.560,1 15 500 191,55 82.749,9 30 900 221,11 170.414,3 75 1500 231,62 178.841,3 100 1500 245,80 180.021,2 200 1500 254,37 183.718,8

Hasil simulasi pada Tabel 2 menunjukkan bahwa material stiffener dengan harga modulus elastisitas dan density yang lebih besar, meningkatkan kekakuan benda kerja secara signifikan. Selama proses simulasi dan setelah membandingkan hasilnya dengan hasil eksperimen, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Pertama, ada satu hasil eksperimen [4] yaitu dengan stiffener kayu jati (frekuensi 422 Hz, kekakuan 264.644,9 N/m) yang hasilnya tidak bisa didekati dengan simulasi berdasarkan data modulus elastisitas dan density untuk kategori kayu (wood). Hal yang mungkin menjadi penyebab adalah harga modulus elastisitas dan density yang dipakai untuk simulasi sangat berbeda dengan harga modulus elastisitas dan density sebenarnya dari kayu jati yang dipakai pada saat eksperimen. Penyebab lain yang mungkin adalah asumsi interference fit (suaian paksa) antara benda kerja dengan stiffener yang dipakai untuk simulasi, tidak sama dengan kondisi suaian sebenarnya saat eksperimen dilakukan. Kedua, asumsi-asumsi yang diambil pada saat simulasi perlu dipilih dengan cermat agar sedapat mungkin bisa menggambarkan kondisi eksperimen yang dilakukan. Untuk itu eksperimen juga perlu dirancang dan dilakukan dengan baik agar kondisi eksperimen bisa lebih mudah didekati dalam simulasi. Ketiga, simulasi sangat membantu untuk melihat secara cepat bagaimana pengaruh perubahan berbagai parameter terhadap kondisi sistem yang ingin diamati.

Berdasarkan perbandingan antara hasil simulasi dengan hasil eksperimen, baik untuk benda kerja tanpa stiffener maupun dengan stiffener, sebagaimana tercantum pada Tabel 1, menunjukkan kesesuaian antara hasil simulasi dan hasil eksperimen. Perbedaan maksimal harga frekuensi antara hasil simulasi dan hasil eksperimen sebesar 1,18%. Sedangkan perbedaan maksimal harga kekakuan antara hasil simulasi dan hasil eksperimen sebesar 7,62%. Modus getar (mode shape) antara hasil simulasi (Gambar 3 dan Gambar 4) juga menunjukkan kesesuaian dengan modus getar hasil eksperimen (Gambar 5). Untuk benda dengan stiffener, hasil simulasi salah satu modus getar berikut displacement ke arah sumbu Y dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.

Gambar 11. Salah satu bentuk modus getar hasil simulasi benda kerja dengan stiffener.

4. KESIMPULAN

Tabel 2 adalah hasil simulasi untuk berbagai stiffener dengan harga modulus elastisitas dan density yang berbeda-beda. Namun demikian hasil simulasi di Tabel 2 perlu eksperimen lebih lanjut untuk melihat kesesuaian hasil simulasi dengan kenyataan.

Hasil simulasi FEM dapat dikategorikan sesuai dengan hasil eksperimen. Perbedaan hasil simulasi dan eksperimen untuk frekuensi benda kerja tanpa stiffener dan dengan M-55

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

stiffener, masing-masing adalah 0,42% dan 1,18%. Sedangkan perbedaan hasil simulasi dan eksperimen untuk kekakuan benda kerja tanpa stiffener dan dengan stiffener, masing-masing adalah 4,38% dan 7,62%. Penambahan stiffener dapat meningkatkan kekakuan benda kerja sampai sekitar 16 kali dibandingkan kekakuan benda kerja tanpa stiffener. Mode shape (modus getar) hasil simulasi sesuai dengan mode shape hasil ekesperimen.

[2] Choudhury, S.K., and Mathew, J., Investigations of the Effect of Non-uniform Insert Pitch on Vibration During Face Milling., International Journal of Machine Tools & Manufacturing, Vol. 35, No. 10. Pp 1435-1444, 1995. [3] Koenigsberger, F. and Tlusty, J., Machine Tool Structures., Volume 1, 1st edition, Pergamon Press Ltd, 1970. [4] Utoro, J., Studi Ekperimental Pengaruh Penggunaan Berbagai Material Stiffener Terhadap Chatter pada Proses Mengefreis Tegak untuk Benda Kerja berbentuk Kotak., Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, FTI Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2006. [5] Moaveni, S., Finite Element Analysis: Theory and Application with Ansys., 2nd edition, International Edition, Prentice Hall, Pearson Education International, Upper Saddle River, New Jersey, 2003.

DAFTAR PUSTAKA [1] Catania, G. and Mancinelli, N., Theoretical-experimental modeling of milling machines for the prediction of chatter vibration., International Journal of Machine Tools & Manufacture, 2011.

M-56

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

ANALISIS KOMPOSISI UNSUR, DENSITAS, DAN MIKROSTRUKTUR PADA SERBUK U10%Zr HASIL HYDRIDING DEHYDRIDING Masrukan *), Maman Kartaman *) dan Deni Mustika *) * Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir (PTBN), BATAN Kawasan Puspipitek, Serpong , Tangerang, 1310 Email : Masrukan [emailprotected]

ABSTRAK Analisis komposisi, densitas dan mikrostruktur pada serbuk U-10%Zr telah dilakukan dalam rangka pengembangan bahan bakar baru reaktor riset. Mula-mula dibuat serbuk bahan bakar paduan U-10%Zr melalui teknik hydriding-dehydriding, selanjutnya serbuk U-10%Zr yang diperoleh dikenai pengujian diantaranya pengujian komposisi unsur, denisitas dan mikrostruktur. Pecobaan ini diharapkan dapat menguasai teknologi pembuatan bahan bakar U-10% Zr terutama dalam teknik analisis unsur, densitas dan pengamatan mikrostruktur. Hasil analisis unsur dalam serbuk U-10%Zr menunjukkan bahwa kadar U yang terdapat di dalam serbuk adalah sebesar 93,047 % berat sedangkan hasil analisis unsur pengotor semua unsur yang terdeteksi masih memenuhi persyaratan untuk bahan bakar reaktor riset. Pada pengujian densitas diperoleh hasil sebesar 10,6563g/cc sedangkan hasil pemeriksaan mikrostruktur dengan menggunakan SEM menunjukkan bentuk serbuk yang tidak teratur. Kata kunci : Serbuk U-10%Zr, komposisi unsur, densitas, mikrostruktur

ABSTACT Analysis of the composition, density and microstructure of the powder U-10% Zr has been carried out in order to develop new research reactor fuel. At first, the fuel is made of powder alloy U-10% Zr through hydridingdehydriding technique, then powder U-10% Zr obtained by such testing are testing the elemental composition, denisitas, and microstructure. These experiments are expected to master the technology of making fuel U-10% Zr especially in elemental analysis techniques, density and microstructural observations. The results of elemental analysis in powder U-10% Zr showed that the content U is contained in the powder amounted to 93.047% by weight, while the results of elemental analysis of all elements of the detected impurities still meet the requirements for research reactor fuel. Density test results obtained on testing of 10.6563 g / cm3 while the results of microstructure examination using the SEM showed the irregular form of a powder consisting of phase with the phase-U , -U and hydride ZrHx. Key words: powder U-10% Zr, elemental composition, density, microstructure bahan bakar dilakukan pembuatan pelat elemen bakar (PEB) dengan cara mencampurkan serbuk U-Zr dengan serbuk Al dan dipresss sehingga menjadi PEB. PEB yang diperoleh dikarakterisasi sesuai persyaratan pembuatan PEB. Pengembangan bahan bakar paduan U-Zr juga telah dikembangkan oleh Bruno dkk yakni dengan membuat bahan bakar paduan yang terdiri dari logam U, Zr dan Nb dalam komposisi 4%Zr dan 2%Nb (U-4%Zr-2%Nb)[3]. Pembuatan bahan bakar paduan U-10%Zr dimulai dengan melebur U dan Zr sehingga menjadi ingot U-10%Zr. Ingot U-Zr yang terjadi dibuat serbuk denga cara hydridingdehydriding dan dimilling. Serbuk yang diperoleh ditambah serbuk Al untuk selanjutnya difabrikasi menjadi pelat elemen bakar (PEB). Untuk dapat dijadikan bahan bakar nuklir maka paduan U-Zr yang berbentuk serbuk harus memenuhi persyaratan kualitas diantaranya adalah: komposisi unsur, densitas serta mikrostruktur yang terjadi. Komposisi unsur di dalam serbuk bahan bakar akan menentukan sifat-sifat bahan bakar yang diperoleh misalnya sifat fisik, kimia maupun termal dimana sifat-sifat tersebut akan mempengaruhi kinerja bahan bakar pada saat difabrikasi maupun digunakan

1. PENDAHULUAN Paduan U-Zr merupakan salah satu paduan yang sedang dikembangkan untuk dibuat menjadi bahan bakar reaktor riset guna menggantikan bahan bakar yang saat ini digunakan yaitu uranium silisida (U3Si2). Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir (PTBN) merupakan pusat yang bertugas mengembangkan bahan bakar nuklir, dan pada saat ini sedang mengembangkan bahan bakar reakttor riset dari beberapa paduan uranium yaitu uranium zirconium (U-Zr), uranium molybdenum (U-Mo) dan uranium nitride (U-N). Hal ini sesuai dengan rencana kerja PTBN tahun 2010-2014 [1]. Pengembangan bahan bakar berbasis uranium zirkonium (U-Zr) telah dimulai tahun 2007, dimana pada tahap awal pembuatan bahan bakar diawali dengan membuat ingot UZr dan melakukan perlakuan panas, uji korosi dalam media air panas serta menguji ingot hasil perlakuan panas[2]. Ingot yang diperoleh selanjutnya dibuat menjadi serbuk dan dikarakterisasi agar sesuai dengan persyaratan bahan bakar reaktor riset. Pada tahapan selanjutnya dalam pengembangan M-57

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

di dalam reaktor. Densitas bahan bakar mempunyai pengaruh yang cukup besar pada bahan bakar, dimana densitas bahan bakar diharapkan cukup tinggi agar uranium (U) yang ditambahkan ke dalam bahan bakar bisa lebih banyak tiap satuan volume. Sementara itu, mikrostruktur dapat mempengaruhi selama proses fabrikasi menjadi PEB maupun selama bahan bakar digunakan di dalam reaktor. Bentuk butir yang halus atau kasar, pipih atau bulat dapat mempengaruhi pada saat perolan menjadi PEB, sedangkan terbentuknya fasa akan mempengaruhi kinerja bahan babeda maka akan mempengaruhi kinerja bahan bakar di dalam reaktor karena fasa-fasa yang terbentuk mempunyai sifatsifat yang berbeda misalnya sifat fisik, mekanik, dan termal. Percobaan ini dilakukan dalam rangka untuk dapat menguasai teknologi pembuatan bahan bakar paduan U-Zr khususnya teknik analisis unsur, uji densitas dan pemeriksaan mikrostruktur yang terjadi.

dan diteruskan dengan dehydriding (pelepasan hydrogen) melalui pemanasan diduga waktu pemanasan dehydriding kurang lama atau temperatur pemanasan kurang tinggi. Oleh karena waktu pemanasan kurang lama sehingga hidrogen masih banyak yang tersisa sebagai hidrida ZrHx. Oleh karena hidrogen masih ada yang tersisa sebagai hidridra zirkonium (ZrHx) maka dalam proses analisis adanya senyawa ZrHx akan menurunkan kadar Zr sedangkan kadar U menjadi lebih banyak. Dalam Tabel 1 juga dapat dilihat hasil analisis unsur pengotor yang menunjukkan bahwa semua unsur yang terdeteksi masih memenuhi persyaratan/spesifikasi untuk pengotor dalam bahan bakar, bahkan unsur B dan Cd yang merupakan unsur yang mempunyai tampang netron mikroskopik tinngi pun masih memenuhi persyaratan. Unsur pengotor merupakan unsur yang terikut dan tidak dikehendaki keberadaannya. Unsur yang mempunyai tampang lintang serapan netron mikroskopik tinggi akan menyerap netron dalam jumlah besar yang berakibat terhentinya operasi reaktor[4]. Ketepatan analisis komposis ini akan berpengaruh hasilnya terutama pada saat proses fabrikasi maupun saat digunakan di dalam reaktor. Pada saat dilakukan fabrikasi menjadi PEB misalnya apabila kadar U tidak tepat maka inti elemen bakar (IEB) akan menjadi terlalu tebal atau terlalu tipis sehingga akan mempengaruhi hasil proses pengerolan menjadi PEB. Demikian pula pada saat digunakan di reaktor apabila kadar logam–logam pengotor tinggi maka dapat menyebabkan terbentuknya fasa-fasa baru yang akan mempengaruhi kinerja bahan bakar di dalam reaktor. Fasa yang terbentuk adalah -U, -U, dan ZrHx dimana fasa –fasa tersebut mempunyai sifat yang berbeda misalnya sifat mekanik, fisik dan termal.

2. METODOLOGI Percobaan ini dimulai dengan membuat serbuk U-10%Zr dengan cara hydriding-dehydriding, mempersiapkan sampel uji komposisi, densitas dan mikrostruktur. Analisis komposisi serbuk U-10%Zr dilakukan dengan menggunakan peralatan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy), densitas dengan piknometer, dan mikrostruktur dengan menggunakan SEM (Scanning Microscope Electron). Proses hydriding-dehydriding dilakukan di dalam peralatan unit hydriding-dehydriding pada temperatur 450oC selama jam , tekanan vakum 3 x10-3 mBar dan dialiri gas hydrogen. Hasil proses hydriding–dehydriding berbentuk serbuk U10%Zr untuk selanjutnya dikenai pengujian-pengujian antara lain komposisi kimia, uji densitas, dan mikrostruktur. Dalam pengujian dengan AAS, serbuk U-10%Zr terlebih dahulu diiarutkan ke dalam HF dan HNO3 dan selanjutnya dikenai pengujian AAS. Untuk pengujian densitas, yang perlu diperhatikan adalah jumlah/volume sampel agar memenuhi tabung (kapsul) tempat pengujian atau minimal ¾ dari volume. Pengujian densitas dilakukan berulang-ulang hingga lima belas (15) kali. Pada pemeriksaan mikrostruktur dengan menggunakan SEM, serbuk U-10%Zr dimixing di dalam botol kecil secara manual dan didispersikan kemudian diletakkan diatas stub Al yang sudah ditempel double side conductive sehingga siap diperiksa dengan SEM.

Tabel 1. Hasil análisis kadar U dan pengotor dalam U10%Zr

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil percobaan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Tabel 1 memuat hasil analisis komposisi kimia serbuk untuk mengetahui kadar U dan unsur pengotor yang terdapat di dalam serbuk, dan Gambar 1a, b dan c memperlihatkan gambar mikrostruktur serbuk U-10%Zr. Tabel 1 tersebut memperlihatkan kandungan U di dalam paduan U-10%Zr sebesar 93,047% dimana nilai tersebut melebihi kadar U yang direncanakan sebesar 90%. Penyimpangan yang terjadi sebesar 3% dari yang direncanakan menunjunkkan bahwa kesalahan analisis masih dapat diterima karena memenuhi kaidah statistik dimana batas penyimpangan 5% dengan faktor kepercayaan = 95%. Ketidak tepatan hasil analisis diduga terjadi karena pada saat proses pembuatan serbuk U-Zr dalam menggunakan cara hydriding

No Unsur

Hasil analisis

1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

93,047 % 1,085 ppm 2,125 ppm 0,130 ppm 2,925 ppm 1,3106 ppm 0,003 ppm 0,009 ppm 0,087 ppm 0,051 ppm -0,002 ppm ttd 1,675 ppm 1,2675 ppm ttd 35,925 ppm

U Cu Mg Mn Fe Zn Cd Co Cr Ni Li Ba Al Be B Ca

Direncanakan/Spesifikasi bahan bakar [5] 90 % (direncanakan)  80 ppm /Spesifikasi  50 ppm/Spesifikasi  5 ppm/Spesifikasi  100 ppm/ Spesifikasi  1000 ppm/Spesifikasi  10 ppm/Spesifikasi  10 ppm/Spesifikasi  1000 ppm/Spesifikasi  30 ppm/Spesifikasi  10 ppm/Spesifikasi  600 ppm/Spesifikasi 0,2 ppm/ Spesifikasi  4 ppm/Spesifikasi  100ppm/Spesifikasi

Hasil pengujian nilai densitas dengan menggunakan peralatan auto picnometer menghasilkan nilai densitas sebesar 10,6563 g/cm3 seperti hasil yang tertera pada Lampiran. Nilai tersebut masih lebih rendah dari teoritis maupun nilai densitas U-10%Zr dalam bentuk ingot. Densitas teoritis U10%Zr adalah sebesar 17,75 g/cc sedangkan hasil penguM-58

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

kuran ingot adalah sebesar 16,9118 g/cm3 [5]. Selisih nilai densitas yang terjadi disebabkan pada saat pengujian serbuk yang diperoleh dari proses hydriding-dehydriding pada pengukuran volume logam U tidak seluruhnya mengisi wadah dan diperkirakan juga terbawa oleh hidrida zirkonium (ZrHx). Hidrida zirkonium (ZrHx) mempunyai densitas lebih rendah daripada densitas U sehingga hasil pengukuran menghasilkan nilai densitas yang lebih rendah meskipun dalam pengukuran dilakukan berulang-ulang hingga lima belas kali pengukuran. Hidrida zirconium (ZrHx) yang terbentuk pada proses hydriding yang seharusnya dihilangkan atau dilepas dengan cara dehydriding (pemanasan) dalam waktu yang cukup lama atau pada temperatur lebih tinggi, tetapi kenyataan yang terjadi masih tersisa ZrHx. Namun, apabila pemanasan pada dehydriding dinaikkan temperaturnya dikhawatirkan wadah sampel atau tabung retort yang digunakan tidak kuat menahan temperatur yang lebih tinggi dan akhirnya pecah atau retak. Nilai densitas sangat berpengaruh pada pembuatan PEB, karena apabila densitas bahan bakar tinggi maka jumlah U (khususnya 235U) yang dapat dimuatkan ke dalam bahan bakar tiap satuan volume menjadi lebih banyak. Sementara itu, hasil pemeriksaan mikrostruktur yang dilakukan dengan menggunakan mikroskop elektron (SEM) seperti terlihat pada Gambar 1a, 1b dan 1c dapat dikatakan bahwa serbuk U-10%Zr yang terbentuk berupa butiran dengan bentuk yang tidak teratur. Hal ini diperkirakan bahwa pada proses pembuatan serbuk, ingot yang semula berbentuk potongan–potongan yang terkena gas hydrogen, gas hydrogen akan terserap oleh ingot U-10%Zr terutama pada batas butir dan membentuk senyawa hidrida ZrHx sehingga batas butir menjadi rapuh dan pecah menjadi serbuk dengan bentuk yang tidak teratur. Meskipun pada proses pembuatan serbuk ini dilakukan dehydriding (pelepasan kembali gas hydrogen) tetapi proses pelepasan gas hydrogen diduga kurang sempurna sehingga masih tersisa hidrida ZrHx. Dalam Gambar 1b dan 1c dengan perbesaran yang lebih besar terlihat lebih jelas senyawa hidrida berwarna putih. Selain itu, pada Gambar 1b dan 1c juga terlihat jelas retakan-retakan pada serbuk yang memungkinkan serbuk dapat dibuat lebih halus lagi dengan cara ditumbuk (milling). Pada pembuatan serbuk ini proses pelepasan hydrogen akan mempengaruhi terbentuknya serbuk, artinya semakin tinggi temperatur pemanasan atau semakin lama waktu pemanasan hydriding maka serbuk yang terbentuk akan semakin halus. Dari identifikasi fasa pada percobaan sebelumnya, proses hidriding U-10%Zr menghasilkan fasa -U dan -U [2].

U-10%Zr dengan bentuk tidak beraturan dan fasa yang terdiri dari fasa -U, -U, dan hidrida ZrHx. Melihat hasil pengujian diatas dapat dikatakan bahwa hasil uji densitas masih memenuhi persyaratan untuk bahan bakar reaktor meskipun masih rendah, sedangkan mikrostruktur perlu diperbaiki karena terbentuknya hidrida ZrHx.

4. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Hasil analisis komposisi unsur di dalam U-10%Zr menunjukkan kadar U sebesar 93,047% dimana hasil tersebut mempunyai selisih yang tida jauh dengan yang direncanakan ( 3%). Unsur pengotor yang ada dari hasil analisis menujukkan semua unsur yang terdeteksi masih dibawah persyaratan untuk bahan bakar reaktor riset. Pada pengukuran densitas diperoleh nilai densitas serbuk sebesar 10,6563 g/cm3 yang lebih rendah dari teoritis maupun densitas ingot U-10%Zr. Sementara itu, hasil pemeriksaan mikrostruktur dengan menggunakan SEM diperoleh serbuk

[1] Anonim, Rencana Strategi PTBN tahun 2010-2014. PTBN-BATAN, 2008. [2] Masrukan, Tri Yulianto, Erilia Yusnitha,”. Karakteristik Sifat Mekanik dan Mikrostruktur Paduan U-ZrNb [3] Pasca Perlakuan Panas. Jurnal Ilmiah Daur Bahan Bakar Nuklir “Urania”, Volume 16 No 2 tahun 2010, ISSN [4] No. 0852-4777, Akreditasi No. 265/AU1/P2MBI/05/ 2010.

a.

b.

(c) Gambar 1. Mikrograph sebuk U-10% Zr pada perbesaran 1000X (a), 2500X (b), dan 7500X (c) Diambil dengan mikroskop SEM (Scanning Electron Microscope)

M-59

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[5] Bruno, et.al. Methodology of UZrNb Alloy Powder Passivation Obtained by Hydride Dehydride, International [6] Nuclear Atlantic Conference-INAC, 29 September-5 Oktober 2007, Santos, Brazil. [7] Boybul, dan Yanlianastuti,”. Analsisis Kadar Uranium dan Unsur Pengotor Di Dalam Serbuk AUK dan UO2 [8] Jurnal Ilmiah Daur Bahan Bakar “Urania” Febuari 2012, volume 17 No 1, ISSN No. 0852[9] 4777. No akreditasi : 265/AU1/P2MBI/05/2010

Maximum Runs: 15 Number Of Runs Averaged: 5 Deviation Requested: 0.0050 % Analysis Results Deviation Achieved: 1.5209 % Average Volume: 0.7192 cc Volume Std. Dev.: 0.0121 cc Average Density: 10.6563 g/cc Density Std. Dev.: 0.1786 g/cc Coefficient of Variation: 1.6832 % --------------------------------------------Run Data --------------------------------------------RUN VOLUME (cc) DENSITY (g/cc) --------------------------------------------1 0.7279 10.5291 2 0.7198 10.6486 3 0.7175 10.6819 4 0.7129 10.7512 5 0.7116 10.7711 6 0.7231 10.6001 7 0.7199 10.6461 8 0.7220 10.6156 9 0.7369 10.4004 10 0.7092 10.8075 11 0.7043 10.8824 12 0.7284 10.5218 13 0.7100 10.7951 14 0.7374 10.3940 15 0.7161 10.7033 ---------------------------------------------

LAMPIRAN QUANTACHROME CORPORATION Ultrapyc 1200e Version 4.00 Analysis Report Thu Mar 1 12:03:47 2012 User ID: uzr10 Sample Parameters Sample ID: UZR10 Weight: 7.6644 g Analysis Parameters Cell Size - Small V Added - Small: 12.5736 cc V Cell: 12.7431 cc Analysis Temperature: 23.3 C Target Pressure: 19.0 psig Type of gas used: DryHelium Equilibration Time: Auto Flow Purge: 1.0 min.

M-60

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PENGEMBANGAN METODE PENGUKURAN PENYIMPANGAN KETEGAKLURUSAN YANG KONTINYU I Made Londen Bantan1) & M. Tri Handoko2) Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember 1,2) Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111. Indonesia 1,2) Phone: 0062-31-5946230, Fax: 0062-31-59244911,2) E-mail : [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Secara teoritis pengukuran geometri didasarkan atas permintaan material minimum. Artinya seluruh titik pada elemen sebuah geometri harus diketahui posisinya. Namun demikian, dari metode pengukuran ketegaklurusan yang ada, pengukuran dilakukan hanya di dua titik, sehingga hasil pengukuran belum bisa menggambarkan geometri yang sebenarnya. Untuk mengatasai permasalahan tersebut, maka pada penelitian ini dikembangkan sebuah metode pengukuran ketegaklurusan dengan merancang dan membuat sebuah alat ukur ketegaklurusan. Sebagai sensor dari alat ukur digunakan linear variable differential transformer (LVDT). Pergerakan LVDT dikendalikan dengan motor stepper, sehingga posisi titik-titik sepanjang geometri (naik dan turun) dapat diatur. Untuk gerakan naik turun sensor dikendalikan melalui sebuah mekanisme batang ulir. Ulir digerakkan oleh stepper motor yang dikendalikan melalui sebuah software. Posisi titik sentuh awal dan akhir dari sensor ditetapkan, dan jarak antar dua titik tersebut dijaga tetap. Untuk melakukan verifikasi pengukuran, LVDT dikalibrasi dengan blok ukur. Berdasarkan kalibrasi tersebut, dapat diketahui, bahwa ketelitian gerak LVDT adalah 1µm. Dengan LVDT tersebut dibangun sebuah alat ukur ketegaklurusan. Agar pengukuran dapat diketahui dengan pasti dan hasilnya dapat diakui, alat ukur ketegaklurusan diverifikasi dengan alat ukur standar, yaitu square spirit level dan silinder standar. Pengukuran dilakukan dengan menyentuhkan LVDT ke elemen terukur pada setiap rentang 15 mm secara kontinyu. Hasil kedua pemeriksaan alat ukur standar tersebut, selanjutnya dibandingkan satu sama lainnya. Dari percobaan pengukuran tersebut dapat diketahui, bahwa nilai penyimpangan alat ukur pada Silinder Standar adalah 253 µm dan Spirit Level Square sebesar 197 µm pada jarak antar titik sentuh sepanjang 120 mm. Disamping itu kedua hasil pengukuran alat ukur standar tersebut dapat digambarkan dalam bentuk grafik, sehingga dapat diketahui geometri dari elemen terukur. Dari hasil pengukuran yang dilakukan, dapat disimpulkan, bahwa metode pengukuran kontinyu yang dikembangkan dapat mengukur penyimpangan ketegaklurusan sekaligus menunjukkan geometri sebuah komponen. Kata kunci: alat ukur ketegaklurusan, LVDT, pengembangan metode, pengukuran kontinyu Secara mendasar dijelaskan dalam ISO 1101, bahwa prinsip pengukuran geometri (elemen sebuah komponen) adalah memeriksa apakah elemen tersebut dalam kondisi material minimum. Artinya penyimpangan dari sebuah geometri akan dinyatakan besarnya setelah memeriksa geometrinya pada volume yang paling kecil. Namun demikian, khusus pada pemeriksaan kesalahan geometri ketegaklurusan metode yang dipakai sampai saat ini adalah memeriksa perbedaan titik terjauh dan terdekat dalam rentang ukur tertentu. Metode pengukuran tersebut belum bisa menggambarkan geometri sebenarnya dari elemen obyek ukur. Jika pada posisi dalam rentang ukur tertentu terdapat titik terjauh atau terdekat, maka hasil pengukuran tidak dapat menggambarkan kondisi sebenarnya elemen obyek ukur, walaupun nilai penyimpangan elemen tersebut sudah diketahui. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dikembangkan metode pengukuran yang kontinyu, dimana selain untuk mengetahui penyimpangan geometri elemen sebuah obyek ukur, hasil pengukuran ini dapat menunjukkan geometri elemen yang diukur. Metode ini dikembangkan dengan merancang dan membuat alat ukur ketegaklurusan dengan unit kontrol otomatis.

1. PENDAHULUAN Ketegaklurusan adalah sebuah kondisi dimana dua buah garis atau bidang yang berpotongan sehingga membentuk sudut 900 dikatakan saling tegak lurus. Pada desain mekanika, banyak komponen dengan geometri yang tegak lurus, misalnya sumbu kompenen tegak lurus terhadap bidang dasarnya, bidang sisi tegak lurus terhadap poros utama, dll. Oleh karenanya, pengukuran ketegaklurusan adalah hal penting dalam proses pembuatan komponen mesin. Pemeriksaan ketegaklurusan suatu permukaan terhadap permukaan lain dapat diperiksa dengan memakai penyiku. Umumnya berupa batang persegi panjang dan bilah yang dipasang tegak lurus sehingga terbentuk dua sudut siku, sebelah dalam dan sebelah luar. Jika benda yang diukur relatif kecil, maka dapat dilakukan dengan memakai sudut siku dalam, dengan latar belakang terang dimana antara permukaan yang berimpit perlu diperiksa, apakah terlihat suatu celah atau tidak. Jika benda yang diukur berukuran besar dapat diukur dengan meletakkan benda diatas meja rata dan menggunakan batang penyiku kemudian digeser menuju permukaan yang akan diperiksa.

M-61

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 1. Data Hasil Kalibrasi LVDT

2. METODOLOGI

Tebal Blok Ukur (mm) 0 1 1.0005 1.001 1.002 1.003 1.004 1.005 1.01 1.02 1.03 1.04 1.05 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 2 2.5 Total

Secara prinsip metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sesuai dengan langkah berikut: merancang mekanisme alat ukur dan unit kontrol, kalibrasi sensor LVDT, membuat dan merakit alat ukur, membuat perangkat lunak untuk mengatur pergerakan sensor dan pengolahan data serta menampilkan hasil pengukuran. Karena bagian utama alat ukur ada 2, yaitu mekanisme gerak dan unit kontrol, maka perlu dilakukan validasi unit kontrol dan mekanisme alat ukur, yaitu dengan melakukan uji coba antara rangkaian unit kontrol dengan mekanisme alat ukur yang sebelumnya sudah dirakit. Untuk validasi alat ukur, maka penunjukan sensor LVDT dibandingkan dengan hasil penunjukan jarum ukur (dial indicator) yang sudah dikalibrasi. Uji perfomance alat ukur memanfaatkan alat ukur standar, yaitu silinder standar (standard cylinder) dan pendatar segi empat (square spirit level). Set-up alat ukur ketegaklurusan dapat dilihat pada gambar 1.

Δ Tebal Blok Ukur (mm) 0 1 0.0005 0.0005 0.001 0.001 0.001 0.001 0.005 0.01 0.01 0.01 0.01 0.05 0.1 0.1 0.1 0.1 0.5 0.5 2.5

Tegangan Output LVDT I II III (V) (V) (V) -10.95 -10.9 -10.89 -5.94 -5.94 -5.92 -5.93 -5.92 -5.93 -5.92 -5.92 -5.92 -5.91 -5.91 -5.91 -5.9 -5.9 -5.9 -5.89 -5.89 -5.89 -5.88 -5.88 -5.88 -5.85 -5.86 -5.84 -5.81 -5.81 -5.81 -5.74 -5.76 -5.76 -5.69 -5.7 -5.7 -5.62 -5.65 -5.65 -5.38 -5.39 -5.39 -4.85 -4.86 -4.86 -4.33 -4.34 -4.34 -3.8 -3.81 -3.79 -3.27 -3.28 -3.27 -0.61 -0.62 -0.61 2.08 2.08 2.09

Mean

Δ Mean

(V) -10.91 -5.93 -5.93 -5.92 -5.91 -5.90 -5.89 -5.88 -5.85 -5.81 -5.75 -5.70 -5.64 -5.39 -4.86 -4.34 -3.80 -3.27 -0.61 2.08

(V) 0.0000 4.9800 0.0067 0.0067 0.0100 0.0100 0.0100 0.0100 0.0300 0.0400 0.0567 0.0567 0.0567 0.2533 0.5300 0.5200 0.5367 0.5267 2.6600 2.6967 12.9967

Dengan data yang ada pada tabel 1, kemudian dilakukan pemeriksaan hubungan antara output LVDT dan ketebalan blok ukur. Hal ini dimaksudkan untuk mengevaluasi apakah hubungan tersebut linier atau tidak. Proses pengukuran akan benar, jika hubungan tersebut adalah linier, atau paling tidak nilai luaran sensor akan dapat diyakini, jika hubungan tersebut proporsional. Dari hubungan tersebut dapat diketahui kemampuan sebuah sensor dan pengolah sinyal dalam pengukuran.

Gambar 1. Set-up alat ukur ketegaklurusan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kalibrasi Sensor LVDT Kalibrasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perubahan terkecil tegangan output yang dihasilkan oleh sensor LVDT terhadap perubahan ketebalan benda ukur. Sehingga akan didapatkan konversi tegangan output ke dalam bentuk satuan standart panjang yakni micrometer (µm). LVDT yang digunakan adalah seri LD 610 ± 1.5 mm dengan tegangan output antara –11.25 Volt sampai 13.82 Volt. Kalibrasi sensor LVDT dilakukan dengan cara mengukur perubahan ketebalan blok ukur grade 2 merk Mitutoyo dengan perbedaan minimum ketebalan 1 µm sampai mencapai nilai maksimal yaitu sebesar 2500 mm. Posisi sensor LVDT harus selalu tegak lurus dengan blok ukur, untuk menghindari terjadinya penyimpangan hasil kalibrasi. Perlu diperhatikan juga arah penggantian harus konstan untuk menghindari penyimpangan hasil kalibrasi akibat sensor terkena gaya dari samping. Hasil kalibrasi sensor LVDT dapat dlihat pada tabel 1.

Gambar 3. Grafik Hubungan Tebal Blok Ukur dengan Output LVDT Dari tabel 1 dan gambar 3 di atas, didapatkan nilai kemampuan LVDT untuk mengukur perubahan tebal blok ukur sebesar 1 mm adalah sebesar

12.9967V  1mm  5.19868V 2.5mm

atau

dapat

juga

dikatakan 5.19 mV/µm. ADC yang digunakan adalah AD574A 12 bit dengan VR = 12 Volt. Resolusi dari ADC ini adalah: V = VR x 2-n V = 12 x 2-12 V = 2.929 mV

M-62

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Sehingga mampu baca LVDT interface ADC 12 bit adalah sebesar 2.929mV  1m  0.56m dibulatkan menjadi 1 5.19868mV µm. Artinya perubahan posisi 1 µm dapat diteksi oleh alat ukur sudut dengan sensor LVDT.

Hasil validasi dari sensor LVDT oleh dial indikator dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data Validasi LVDT dan Dial Indicator Untuk Pengukuran Naik Tinggi (mm) 0 15 30 45 60 75 90 105 120

3.2 Perakitan Alat Ukur Ketegaklurusan Setelah diketahui kemampuan sensor LVDT dengan interface ADC sebagai pengkondisian sinyal, maka dilakukan perakitan unit mekanisme gerak pembawa sensor dengan unit kontrol dan unit pengolah data. Perakitan alat ukur dilakukan dengan menghubungkan motor stepper, solenoide dan LVDT ke unit pengkondisian sinyal dengan menggunakan penghubung yang disebut port serial. Sedangkan antara unit pengolah data dengan unit pengkondisian sinyal dihubungkan dengan port USB. Perakitan alat ukur dapat dilihat pada Gambar 3.

Dial Indicator (mm) 0 -0.12 -0.069 -0.019 0.018 0.055 0.144 0.132 0.131

LVDT (mm) 0 -0.140 -0.110 -0.064 -0.001 -0.009 0.027 0.057 0.053

Hasil penunjukkan oleh sensor LVDT dan dial indikator selanjutnya akan dilakukan pengujian hipotesa, yaitu membandingkan apakah nilai yang LVDT dan dial indicator itu sama atau berbeda. Dengan one-way ANOVA, maka hasil hipotesa kesamaan hasil (Ho), seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.

Alat Ukur Ketegaklurusan

Unit Pengolah Data Unit Pengkondisian Sinyal

Gambar 3. Alat Ukur Ketegaklurusan 3.3 Validasi LVDT dan Dial Indikator Validasi dilakukan dengan cara membandingkan penyimpangan nilai ketegaklurusan hasil pengukuran yaitu dengan menggunakan Dial Indikator dan dengan sensor LVDT. Pemanfaatan dial indicator sebagai pembanding, disebabkan karena dial indicator sudah terkalibrasi dan dipakai sebagai alat ukur standar. Hal ini dilakukan guna mengetahui apakah data hasil pengukuran dari kedua alat ukur sama atau berbeda. Disamping itu validasi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi apakah gerakan poros untuk memindahkan sensor LVDT memenuhi kebutuhan. Rentang gerak naik turun sensor oleh poros adalah 0-120 mm. Pada langkah awal dial indikator dipasang pada mekanisme pembawa sensor. Kemudian dial indikator digerakan setaip 15 mm dan disentuhkan ke alat ukur standar (squere water level dan standard cylinder) sepanjang 120 mm. Perubahan kemiringan tiap titik sentuh dicatat. Dengan mengganti dial indikator dengan sensor LVDT dilakukan kegiatan validasi yang sama. Hasil penunjukkan kedua sensor tersebut dianalisa dengan metode statistik, yaitu dilakukan analisa tes hipotesa H0, dimana: Hipotesa H0 : data hasil pengukuran sama Hipotesa H1 : data hasil pengukuran beda

Gambar 4. Analisa Perbandingan Hasil Pengukuran antara Dial Indikator dan LVDT Berdasarkan gambar 4 di atas, dengan α = 5%, dari hasil tersebut maka H0 diterima, karena P hitung = 0,208 lebih besar dari 0,05. Hasil dari analisa tersebut menunjukkan, bahwa hasil pengukuran ketegaklurusan dengan menggunakan dial indikator relatif sama dengan hasil pengukuran ketegaklurusan dengan menggunakan sensor LVDT untuk pengukuran naik. Demikian pula dengan cara yang sama dilakukan uji gerak turun, yaitu mulai dari titik 120 mm ke titik akhir 0. Hasil nalisa gerakan turun juga menunjukkan, bahwa hasil pengukuran ketegaklurusan dengan menggunakan Dial Indikator relatif sama dengan hasil pengukuran ketegaklurusan dengan menggunakan sensor LVDT. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Alat ukur ketegaklurusan dengan sensor LVDT dapat berfungsi dengan baik, dan dapat menunjukkan hasil yang valid. Oleh karena itu alat ukur tersebut dapat dipakai untuk mengukur sebuah obyek ukur yang secara spesifkiasi geometri dinyatakan mempunyai elemen tegak lurus terhadap datum (referensi) tertentu.

M-63

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

3.4 Uji Performansi Alat Ukur dengan Cylinder Standart dan Spirit Level Square

Dengan analisa ANOVA kedua hasil pengukuran tersebut dibandingkan, untuk menguji hipotesa pengukuran. Hasil analisa ditunjukkan oleh Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 diatas, dan dengan α = 5%, hipotesa pengukuran tersebut (H0) diterima, karena P hitung = 0,636 lebih besar dari 0,05. Hasil analisa ANOVA tersebut menunjukkan, bahwa hasil pengukuran ketegaklurusan dengan arah naik menggunakan Spirit Level Square relatif sama dengan menggunakan Cylinder Standard. Grafik kedua hasil pengukuran ditunjukkan oleh Gambar 6.

3.4.1 Uji Coba Pengukuran Validasi dilakukan dengan cara membandingkan kemampuan alat ukur dua buah obyek ukur standar. Kedua obyek ukur tersebut adalah cylinder standar dan spirit level square. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah data hasil pengukuran dari kedua obyek ukur sama. Proses pengukuran dilakukan dengan 2 (dua) arah, yaitu sensor digerakkan naik dan turun. Hal ini dimaksudkan untuk mengevaluasi arah pengukuran yang dapat memberikan hasil pengukuran yang paling sesuai. Pengukuran dilakukan dalam rentang jarak 120 mm, dimana setiap 15 mm diambil data posisi elemen obyek ukur yang tersentuh ujung sensor LVDT. Selain menggambarkan posisi elemen-elemen, titik-titik tersebut juga memberikan informasi geometri dari obyek ukur. Analisa hasil pengukuran dilakukan dengan analisa ANOVA melalui tes hipotesa H0, yaitu: Hipotesa H0 : data hasil pengukuran sama Hipotesa H1 : data hasil pengukuran beda

Jangkauan (mm)

Pengukuran Naik

a. Pengukuran Naik Pengukuran naik yang dimaksud adalah proses pengukuran titik-titik sentuh geometri tegaklurus dengan cara menyentuhkan sensor LVDT mulai dari titik awal (nol) sampai pada titik sejauh 120 mm. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Data Uji Performansi Cylinder Standart dan Spirit Level Square Untuk Pengukuran Naik Tinggi (mm) 0 15 30 45 60 75 90 105 120

Cylinder Standart (mm) 0 -0.191 -0.151 -0.094 -0.027 -0.011 0.020 0.062 0.043

Spirit Level (mm) 0 -0.112 -0.093 -0.013 0.232 0.387 0.741 0.857 0.857

120 Silinder Standart 105 Spirit Level 90 75 Penyimpangan : 60 Silinder Standar : 0.253 mm Spirit Level Square: 0.197 mm 45 30 15 0 -0.2 0 0.20.40.60.8 1 Penyimpangan (mm)

Gambar 6. Grafik Penyimpangan Uji Performansi arah pengukuran naik b. Pengukuran Turun Hasil pengukuran pada arah gerakan LVDT turun sedikit berbeda dengan arah naik, seperti yang ditunjukkan oleh tabel 5. Hal ini mungkin disebabkan, karena ada ketidaklurusan poros pembawa sensor yang mengakibatkan timbulnya kesalahan yang acak/random (bukan sistematik). Tabel 5. Data Uji Performansi Cylinder Standart dan Spirit Level Square untuk Pengukuran Turun Tinggi (mm) 0 -15 -30 -45 -60 -75 -90 -105 -120

Cylinder Standart (mm) 0 0.078 0.359 0.343 0.252 0.220 0.089 0.049 -0.007

Spirit Level (mm) 0 0.098 0.106 0.053 0.061 -0.028 -0.025 -0.030 -0.103

Dengan analisa ANOVA, kedua hasil pengukuran akan diuji hipotesanya, dan hasil analisa ditunjukkan oleh Gambar 7.

Gambar 5. Analisa Perbandingan Hasil Pengukuran Antara Cylinder Standart Dengan Spirit Level Square Untuk Pengukuran Naik

M-64

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

3.4.2 Analisa Hasil Uji Performansi Dari grafik pada Gambar 6 dan 7, dapat dilihat bahwa besarnya penyimpangan ketegaklurusan dari Cylinder Standart adalah 253 µm, sedangkan penyimpangan Spirit Level Square sebesar 197 µm dalam jarak 120 mm arah naik. Sedangkan besarnya penyimpangan alat ukur saat LVDT digerakkan turun adalah sebesar 366 µm pada Cylinder Standart, dan pada Spirit Level Square sebesar 209 µm. Kedua pola hasil pengukuran (arah naik dan turun) tidak jauh berbeda, akan tetapi tendensi pada pengukuran arah naik lebih jelas daripada arah pengukuran turun. Dari kedua hasil pengukuran tersebut, maka dapat diketahui, bahwa arah pengukuran yang baik adalah arah pengukuran naik. Dan penyimpangan alat ukur yang dibuat adalah 253 µm, sehingga alat ukur ini hanya mampu mengukur penyimpangan geometri sebuah komponen diatas 253 µm untuk arah pengukuran standar (naik). Jika arah pengukuran dilakukan berlawanan, maka kemampuan alat ukur tersebut adalah 366 µm.

Gambar 7. Analisa Perbandingan Hasil Pengukuran Antara Cylinder Standart Dengan Spirit Level Square Untuk Pengukuran Turun

3.5 Kompensasi Pengukuran

Dari Gambar 7 di atas, dimana dengan α = 5%, dapat diketahui, bahwa P hitung = 0,052 lebih besar dari 0,05. Dari hasil perhitungan tersebut, maka hipotesa H0 diterima. Hal tersebut menunjukkan, bahwa hasil pengukuran ketegaklurusan arah turun pada Spirit Level Square relatif sama dengan pengukuran pada Cylinder Standart. Selanjutnya, kedua hasil pengukuran penyimpangan ketegaklurusan tersebut ditampilkan dalam grafik, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 8. Dari grafik pada Gambar 8 tersebut, dapat diketahui besarnya penyimpangan alat ukur ketegaklurusan saat LVDT digerakkan turun dengan obyek ukur Cylinder Standart adalah 366, sedangkan dengan Spirit Level Square penyimpangannya adalah sebesar 209 µm.

Agar alat ukur dapat digunakan untuk mengukur ketegaklurusan garis atau bidang benda ukur terhadap sebuah referensi (datum), maka diperlukan kompensasi data pengukuran dari obyek ukur standar. Dari hasil pengujian performansi dari alat ukur yang sudah dilakukan, maka alat ukur dengan hasil penyimpangan yang lebih besar dipakai sebagai dasar untuk menentukan kemampuan ukur ini. Sehingga selanjutnya sebagai dasar penyusunan kompensasi pengukuran data hasil pengukuran adalah pengukuran pada silinder standar dengan arah naik dan turun. Sesuai dengan metode pengukuran yang dirancang dan dikembangkan, maka kompensasi pengukuran dilakukan pada setiap titik pengukuran, dengan cara mengurangi nilai pengukuran aktual dengan nilai penyimpangan pada saat uji performansi. Sebaliknya, jika nilai pengukuran bernilai negatif (disebelah kiri sumbu nol), maka nilai penyimpangan aktual tersebut ditambahkan dengan nilai penyimpangan saat uji performansi. Artinya secara prinsip, kompensasi dimaksudkan untuk merubah posisi penggukuran ke arah yang sebenarnya. Berdasarkan konsep tersebut, maka kompensasi pengukuran proses pengukuran arah naik pada silinder standar. Nilai kompensasi kedua arah tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Pengukuran Turun 0 Silinder Standart

Jangkauan (mm)

-15

Spirit Level

-30 -45

-60

Penyimpangan: Silinder Standar : 0.366 mm Spirit Level Square: 0.209 mm

Tabel 5. Kompensasi Pengukuran

-75 No

-90

0 1 2 3 4 5 6 7 8

-105 -120 Penyimpangan (mm) Gambar 8. Penyimpangan Uji Performansi LVDT dengan Cylinder Standart dan Spirit Level Square Untuk Pengukuran Turun

M-65

Tinggi Ukur 0 15 30 45 60 75 90 105 120

Kompensasi naik 0 -0.191 -0.151 -0.094 -0.027 -0.011 0.020 0.062 0.043

Kompensasi turun 0 0.078 0.359 0.343 0.252 0.220 0.089 0.049 -0.007

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 7. Data Hasil Pengukuran Digimetic Heigt Gage Setelah Kompensasi

3.6 Uji Coba Pengukuran Sebagai langkah akhir dari pengembangan alat ukur dan metode pengukuran, dilakukan uji coba pengukuran dengan benda ukur Digimetic Height Gage, set-up pengyukuran dapat dilihat pada Gambar 9.

Setelah Kompensasi Naik Turun (mm) (mm) 0 0 0.088 0.058 0.094 -0.225 0.103 -0.219 0.077 -0.131 0.070 -0.213 0.064 -0.117 0.062 -0.083 0.064 -0.094

Tinggi

No

(mm) 0 15 30 45 60 75 90 105 120

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Dari data hasil pengukuran Digimetic Height Gage setelah kompensasi diatas (table 7), dibuat grafik hasil pengukuran yaitu seperti yang terlihat pada Gambar 10. Digimatic Height Gage Setelah Kompensasi 120

Jangkauan (mm)

105

Gambar 9. Set-up pengukuran ketegaklurusan dengan Digimetic Height Gage

0 1 2 3 4 5 6 7 8

(mm) 0 15 30 45 60 75 90 105 120

Naik

60

Turun

45 30

0 -1-0.8-0.6-0.4-0.2 0 0.2 Penyimpangan (mm)

Gambar 10. Hasil Pengukuran Digimetic Heigt Gage Setelah Kompensasi Dari gambar 11, diketahui hasil pengukuran Digimetic Height Gage setelah kompensasi terhadap Cylinder Standart, nilai penyimpangan ketegaklurusan dari obyek ukur adalah berturut-turut: untuk pengukuran arah naik didapatkan penyimpangan sebesar 103 µm, dan umtuk pengukuran arah turun didapatkan penyimpangan sebesar 283 µm dalam tinggi ukur 0-120 mm. Perbedaan nilai penyimpangan dari dua arah pengukuran mungkin disebabkan juga, karena ujung sensor LVDT saat bergerak naik dan turun mengalami deformasi, akibat adanya kelonggaran yang ada antara inti LVDT dan pembungkusnya. Oleh karena itu, maka pengukuran arah turun tidak direkomendasikan.

Tabel 6. Data Hasil Pengukuran Digimetic Height Gage Tinggi

75

15

Proses pengukuran sama seperti proses uji performansi, yaitu mulai titik awal (0) ke titik 120 mm, pada setiap perubahan tinggi titik sebesar 15 mm. Pengukuran dilakukan naik dan turun. Hasil pengukuran kedua arah tersebut dapat dilihat pada tabel 6. Hasil pengukuran tersebut selanjutnya dikompensasi, hasil akhir pengukuran penyimpangan masing-masing titik dapat dilihat pada tabel 7.

No

90

Digimatic Height Gage Naik Turun (mm) (mm) 0 0 -0.103 0.136 -0.057 0.133 0.009 0.124 0.051 0.121 0.059 0.007 0.083 -0.029 0.125 -0.034 0.107 -0.101

4. KESIMPULAN Dari pembahasan yang telah dilakukan, maka beberapa kesimpulan dapat ditetapkan sebagai berikut: 1. Dari uji performansi tersebut didapatkan nilai penyimpangan alat ukur untuk pengukuran naik pada Cylinder Standart sebesar 253 µm dan pada Spirit Level Square sebesar 197 µm untuk jarak 120 mm dan untuk pengukuran turun pada Cylinder Standart sebesar 366 µm dan pada Spirit Level Square sebesar 209 µm.

Untuk menganalisa penyimpangan ketegaklurusan pada hasil pengukuran ketegaklurusan Digimetic Height Gage, dilakukan kompensasi hasil pengukuran terhadap benda acuan, yaitu Cylinder Standart, baik untuk pengukuran naik maupun turun. Berikut adalah data hasil analisa penyesuaian data pengukuran ketegaklurusan (setelah kompensasi) dapat dilihat pada Tabel 7.

M-66

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

2. Mubarok, Adib, “Rancang Bangun Mekanisme Gerak Alat Ukur Ketegaklurusan”. Tugas Akhir Jurusan Teknik Mesin FTI-ITS, 2010. 3. Abas Sanirta, Grandis. “Rancang Bangun Unit Kontrol Alat Ukur Ketegaklurusan”. Tugas Akhir Jurusan Teknik Mesin FTI-ITS, 2010. 4. Wiantandityo, “Rancang Bangun Alat Ukur Ketegaklurusan Berbasis Komputer”, Tugas Akhir Jurusan Teknik Mesin FTI-ITS, 2004.

2. Alat ukur ketegaklurusan yang dirancang dapat menunjukkan konfigurasi permukaan terukur dari sebuah elemen ukur sebuah komponen dengan cara pengukuran posisi titik-titik sentuh secara kontinyu.

DAFTAR PUSTAKA 1. Rochim, Taufiq, ”Spesifikasi Geometris Metrologi Industri dan Kontrol Kualitas”, Laboratorium Teknik Produksi dan Metrologi ITB, 1985.

M-67

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PERLAKUAN PANAS THERMAL SHOCK SEBAGAI INOVASI TEKNOLOGI OPTIMASI PRODUKSI KOMPONEN PIRINGAN REM CAKRAM DENGAN MENGGUNAKAN BAJA ST 37 Putu Hadi Setyarini, Heny Andya, Iqbal Farid Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jalan MT. Haryono 167, Malang 65145, Indonesia E-mail : [emailprotected]

ABSTRAK Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas dari hasil produksi adalah dengan menggunakan metode heat treatment yang merupakan suatu proses pengoptimalan sifat komponen baik sifat mekanik, fisik ataupun kimia, dimana dengan proses tersebut diharapkan mampu memberikan pengoptimalan umur, performance dan kualitas produk. Salah satu proses heat treatment yang banyak digunakan di industry adalah proses thermal shock yang memberikan proses pemanasan tidak memulai dari suhu awal, tetapi langsung dari suhu tertentu. Oleh karena itu, thermal shock memiliki beberapa keuntungan yaitu prosesnya cepat dan biaya yang dibutuhkan untuk operasi lebih sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu pemanasan dan waktu holding terhadap kekuatan mekanik pada baja ST 37 yang diberikan proses thermal shock. Dalam penelitian ini di variasikan suhu pemanasan yaitu 8000C dan 9000C dan waktu holding 10 menit dan 30 menit. Hasil dari penelitian ini adalah dengan pemanasan suhu 9000 dan waktu holding 30 menit didapat kekuatan tarik tertinggi sebesar 1118,188 N/mm2. Kata kunci: Optimasi produksi, Thermal Shock, Suhu, Holding, Kekuatan Tarik produk. Jenis dari heat treatment juga berbeda-beda, tergantung dari sifat apa yang ingin dicapai. Misalnya, untuk menghasilkan struktur yang keras maka perlu dilakukan hardening atau tempering. Sedangkan jika ingin memperkeras bagian permukaan saja maka perlu dilakukan proses case hardening. Secara umum proses heat treatment dibagi menjadi tiga tahapan proses, yaitu pemanasan, holding, dan pendinginan. Proses pemanasan biasanya dilakukan mulai dari suhu kamar sampai dengan suhu pemanasan yang ingin dicapai. Proses ini tentu tidak efisien untuk industri manufaktur karena prosesnya yang lama sehingga hasil produksi yang dihasilkan sedikit. Untuk mengatasi hal itu maka perlu dilakukan suatu cara heat treatment yang lebih cepat dan efisien yaitu dengan cara thermal shock. Thermal shock adalah istilah yang diberikan kepada suatu bentuk heat treatment akibat adanya perubahan temperatur yang sangat cepat. Proses ini terjadi ketika perambatan temperatur menyebabkan bagian-bagian yang berbeda dari objek memuai secara tidak seragam. Ketidakseragaman pemuaian ini dapat diasumsikan sebagai tegangan atau regangan. Pada bagian tertentu tegangan yang terjadi melebihi kekuatan dari material tersebut sehingga terjadi kerusakan. Proses ini dilakukan dengan memanaskan dapur listrik sampai dengan suhu austenit, kemudian specimen baru dimasukkan ke dalam dapur listrik. Hal ini berbeda dengan proses heat treatment secara umumnya yang biasanya dilakukan dengan memanaskan spesimen dari suhu ruangan atau sekitar 260 C dan dilakukan pada baja karbon rendah [2]. Penelitian tentang thermal shock untuk heat treatment belum pernah dilakukan. Biasanya thermal shock identik dengan pengujian kemampuan material ketika menerima suhu yang berubah secara tiba-tiba, seperti pada proses pengecoran [3].

1. PENDAHULUAN Industri manufaktur biasanya terdiri dari beberapa proses yang meliputi proses pemilihan material mentah, pemotongan, pembentukan, heat treatment sampai dengan finishing. Sedangkan proses produksi itu sendiri merupakan suatu cara, metode ataupun teknik untuk menambah kegunaan suatu barang dan jasa dengan menggunakan faktor produksi yang ada. Hal ini terus berkembang dengan pesat karena memiliki satu tujuan utama yaitu optimasi produksi yang berhubungan erat dengan waktu dan biaya. Dalam sebuah perusahaan manufaktur, waktu merupakan faktor utama penentu proses produksi. Keterlambatan pengerjaan barang akan menyebabkan proses produksi terhambat dan akhirnya akan mengakibatkan kerugian. Dengan efisiensi waktu, maka proses produksi akan semakin cepat sehingga hasil produksi akan menjadi lebih banyak. Salah satu komponen permesinan yang banyak digunakan di masyarakat adalah rem cakram. Dimana penggunaan komponen ini diaplikasikan pada model sepeda motor terbaru belakangan ini. Prinsip dasarnya sama dengan rem tromol tetapi hanya bagian tromolnya yang diganti dengan sekeping cakram. Cakram harus mampu menahan gaya gesek secara terus menerus sehingga tidak mudah aus dan dapat melakukan pengereman dengan baik. Proses pembuatan rem cakram pada umumnya menggunakan proses die casting dengan bahan besi cor ataupun baja karbon tinggi yang disebabkan kedua bahan ini mempunyai kekerasan dan kekuatan yang cukup tinggi karena piringan cakram merupakan komponen kendaraan bermotor yang harus memiliki kekuatan dan ketahanan aus yang tinggi. Heat treatment merupakan suatu proses pengoptimalan sifat komponen baik berupa sifat mekanik, fisik ataupun kimia [1]. Dengan proses tersebut diharapkan mampu memberikan pengoptimalan umur, performance dan kualitas M-69

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Thermal shock resistance tiap material berbeda-beda karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kekuatan patah, konduktifitas thermal, modulus elastisitas, koefisien ekspansi material dimana semakin tinggi koefisien ekspansi material maka akan semakin rendah nilai TSR dari suatu material. Hal tersebut dapat dituliskan dengan persamaan berikut:

ruang. Proses pengujian tarik untuk semua perlakuan dilakukan dengan pengulangan sebanyak tiga kali untuk tiap perlakuan. Sedangkan proses pengambilan foto mikro dilakukan dengan perbesaran 100 kali setelah sebelumnya specimen dihaluskan terlebih dahulu dan dietsa dengan nital.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian tarik dengan waktu holding 10 menit ditampilkan pada Gambar 2.

Dimana: 𝜎f : Kekuatan patah, K : konduktifitas termal material, E : Modulus Elastisitas, α : koefisien ekspansi material Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pemanasan dan waktu holding terhadap kekuatan mekanik khususnya kekuatan tarik dan kekerasan pada baja ST 37 yang merupakan salah satu bahan komponen rem cakram setelah diberikan proses thermal shock.

2. METODOLOGI Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah baja ST 37 yang merupakan bahan dasar pembuat komponen piringan rem cakram. Komposisi bahan akan ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Baja ST 37 No 1 2 3 4 5 6

Komposisi Karbon (C) Mangan (Mn) Silikon (Si) Fospor(P) Belerang (S) Aluminium(Al)

Prosentase 0,6 : 0,6 % 1,2 : 0,4 – 1,2% 0,35 : 0,35 % 0,035 : 0,035 % 0,03 : 0,03 % 0,2 : 0,2 %

Gambar 2. Grafik Hubungan Tegangan Regangan dengan Perlakuan dan tanpa Perlakuan dengan waktu tahan 10 menit Sementara hasil pengujian tarik untuk specimen dengan waktu tahan 30 menit ditampilkan pada Gambar 3.

Sedangkan dimensi spesimen sesuai dengan standar ASTM A370 digambarkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Dimensi Spesimen 2.1 Prosedur Penelitian Material dimasukkan ke dalam dapur listrik yang telah dipanaskan langsung pada suhu 8000 dan 9000 dengan waktu tahan selama 10 menit dan 30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan pendingan udara sampai dengan mencapai suhu

Gambar 3. Grafik Hubungan Tegangan Regangan dengan Perlakuan dan tanpa Perlakuan dengan waktu tahan 30 menit M-70

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa dengan temperatur yang semakin tinggi dan holding yang sama didapatkan kekuatan tarik yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena dengan semakin tingginya temperatur maka komposisi austenit akan semakin banyak, sehingga ketika di lakukan pendinginan secara cepat maka akan terbentuk martensit yang lebih banyak sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4, 5 dan. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses heat treatment dengan thermal shock memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses peningkatan kekuatan tarik. Peningkatan kekuatan tarik ini sebanding dengan peningkatan ketahanan aus. Jika dibandingkan dengan spesimen tanpa perlakuan, maka kekuatan tarik dari proses thermal shock akan lebih tinggi. Tetapi dengan semakin tingginya temperatur pemanasan maka baja tersebut akan menjadi getas. Hal ini dapat dilihat dari daerah elastik yang semakin sedikit dan pertambahan regangan yang pendek. Sedangkan grafik hubungan tegangan-regangan untuk variasi suhu pemanasan yang sama dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Gambar 6. Spesimen suhu 800 holding 30 menit Gambar 7. Grafik Hubungan Tegangan Regangan dengan Perlakuan dan tanpa Perlakuan dengan suhu pemanasan 800oC.

Gambar 4. Spesimen Tanpa Perlakuan

Gambar 8. Grafik Hubungan Tegangan Regangan dengan Perlakuan dan tanpa Perlakuan dengan suhu pemanasan 900C Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa dengan holding yang semakin lama dan suhu yang sama didapatkan kekuatan tarik yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan dengan semakin lama waktu holding maka butiran akan semakin seragam membentuk fase austenit sehingga ketika didinginkan dengan cepat akan terbentuk martensit yang lebih banyak sebagaimana Nampak pada gambar 9 dan 10 di bawah ini.

Gambar 5. Spesimen suhu 800 holding 10 menit

M-71

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Martensit ini bersifat keras, kaku tetapi getas. Hasil ini menunujukkan bahwa holding pada proses heat treatment dengan thermal shock, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses peningkatan kekuatan tarik. Peningkatan kekuatan tarik ini sebanding dengan peningkatan ketahanan aus. Dengan meningkatnya ketahanan aus maka umur dari piringan cakram akan semakin lama.

4. KESIMPULAN Dengan semakin tingginya suhu pemanasan dan waktu holding proses heat treatment thermal shock, maka kekuatan tarik dari material akan semakin tinggi pula., sehingga thermal shock dapat digunakan untuk proses produksi dalam industri manufaktur dengan hasil yang baik.

Gambar 9. Spesimen suhu 900 holding 10 menit

DAFTAR PUSTAKA 1. H.W. Pollack, Materials Science and Metallurgy, Reston Publishing Company, Inc., A Prentice Hall Company, Reston, Virginia (1981) 2. Laima Luo, Jia Yu, Shaoguang Liu and Jian Li, Thermal shock resistances of FeMnCr/Cr3C2 coatings deposited by arc spraying, Journal of Wuhan University of Technology--Materials Science Edition, Volume 25, Number 2 (2010), 243-247 3. J. M. Chou, J. L. Lee and Y. C. Ko, Thermal shock resistance test for cast iron used in casting environments, Journal of Materials Science, Volume 25, Number 6 (1990), pp. 2971-2974

Gambar 10. Spesimen suhu 900 holding 30 menit

M-72

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PENGARUH VARIASI ADHESIVE TERHADAP KEKUATAN SAMBUNGAN KOMPOSIT SERAT GELAS Sugiyanto1), Kuncoro Diharjo2), Wijang WR3) 1) Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Surakarta Jl.Raya Palur Km.05, Palur, Surakarta 2,3) Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik UNS, Jl.Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 tlp.0271-632163 Email: [emailprotected] (telp. 081 3292 06899)

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh jenis adhesive yang digunakan terhadap kekuatan sambungan komposit serat gelas. Jenis sambungan komposit yang digunakan adalah lap joint. Bahan yang digunakan membuat komposit adalah resin unsaturated polyester 157 BQTN, serat gelas dengan cara metode cetak tekan. Sambungan komposit dibuat dengan variasi jenis adhesive dengan tebal adhesive 0,25 mm. Pengujian dilakukan menggunakan uji geser sesuai dengan ASTM D 5868-95. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk variasi adhesive dengan tebal 0,25 mm, adhesive epoksi mempunyai kekuatan sambungan terbesar dengan 4,49 MPa, dan terendah pada lem kuning (chloroprene) yaitu 0,15 MPa. Kata kunci: Komposit, jenis adhesive, lap joint, kekuatan sambungan. tingkat kekasaran permukaan komposit sambungan terhadap pemakaian jenis adhesive sangat diperlukan. Hufenbach & Dobrzański (2007) meneliti tentang sistem penyambungan antara komposit dengan logam aluminium dengan menggunakan sambungan keling. Kedua material dikenai uji tarik dan geser statis. Pada pengujian ini terjadi kelelahan dan terjadi perambatan retak di sekitar lubang sambungan keling. Menurut Fassio, (2005), efisiensi suatu struktur yang terbuat dari elemen-elemen fiber reinforced polymer (FRP), sangat dipengaruhi oleh kekuatan/ketangguhan sambungannya, sehingga perlu model sambungan yang tepat. Tokgoz, (1998) melakukan pengujian tarik terhadap sambungan kayu tipe end grained joint, yang meliputi tiga model sambungan, yaitu model half lap joint, mortise and tenon, serta double mortise and tenon. Dari ketiga model sambungan tersebut, half lap joint merupakan model sambungan yang paling kuat. Sambungan adhesive merupakan pemecahan dalam rangka penghematan bahan dan estetika serta kerapian. Sambungan adhesive selalu digunakan secara luas dalam berbagai jenis sambungan struktur yang terbuat dari bahan logam, komposit dan keramik. Selama ini proses penyambungan dilakukan dengan cara memakai jenis sambungan las, sambungan mur-baut, sambungan keling, brazing dan lain-lain. Penggunaan sambungan adhesive mempunyai kelebihan tentang variasi temperatur, menstranmisikan tegangan lebih seragam, menahan kelembaban, ketahanan terhadap fatik, mudah menyambung bahan yang berbeda, tidak mengubah sifat bahan yang disambung dan mengurangi kemungkinan korosi yang terjadi (Yusep dan Purnomo, 2005). Dengan penelitian ini ditargetkan dapat mengetahui tingkat kekuatan sambungan komposit dengan pengujian geser terhadap jenis sambungan komposit model lap joint, dengan variasi adhesive.

1. PENDAHULUAN Dewasa ini perkembangan material komposit di bidang rekayasa sangat pesat. Pemanfaatannya sebagai bahan pengganti logam sudah semakin luas, seperti untuk peralatan olah raga, sarana transportasi (darat, laut dan udara), konstruksi dan dunia antariksa. Keuntungan penggunaan material komposit antara lain; tahan korosi, rasio antara kekuatan dan densitasnya cukup tinggi (ringan), murah dan proses pembuatannya mudah (Gay, dkk, 2003). Dibidang transportasi terutama otomotif, penggunaan material komposit sampai sekarang masih berkembang. Hal ini disebabkan karena material logam semakin mahal serta tingkat pembuatan komponen semakin besar. Material komposit sebagai pengganti material logam sudah mulai diterapkan. Penggunaan material komposit hampir 60% menggantikan bahan dari logam dan pengurangan berat sampai 25%-30%. Adapun serat yang banyak digunakan adalah jenis serat gelas/buatan yaitu serat gelas jenis E– Glass model acak/Glass Fiber Copped Strand Mat Material komposit mempunyai sifat ringan, sehingga apabila digunakan untuk konstruksi kendaraan akan berdampak pada pemakaian bahan bakar semakin hemat. Selain itu komposit mempunyai sifat struktur kekuatan mekanik yang tinggi, sehingga dapat diterapkan dalam proses penyambungan tanpa harus menggunakan proses pemanasan dan pemesinan, sehingga akan menghemat energi. Sifat ringan dan sifat kekuatan mekanik yang tinggi akan mendukung program material terbarukan. Disisi lain, kekuatan struktur material komposit dapat digunakan sebagai material sambungan dengan menggunakan suatu adhesive, sehingga akan mengurangi ketergantungan material sambungan logam dengan filler logam yang harganya mahal. Penggunaan jenis sambungan selama ini menggunakan keling dan mur-baut. Untuk mengetahui tingkat kekuatan sambungan, kekasaran permukaan (Surface Roughnees) sangat besar pengaruhnya. Oleh karena itu M-73

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

2. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui pengaruh variasi jenis adhesive terhadap karakteristik kekuatan sambungan serat gelas.

3. LANDASAN TEORI 3.1 Komposit Material komposit adalah kombinasi antara dua bahan atau lebih yang memilik sejumlah sifat yang tidak mungkin dimiliki oleh masing-masing komponen. Pada bahan komposit bahan pembentuknya masih terlihat seperti aslinya (Budinski, 2003). Salah satu bahan komposit adalah plastik yang diperkuat serat. Dipilihnya serat gelas oleh pendesain material karena dapat menghasilkan sifat gabungan yang tidak mungkin diperoleh pada jenis bahan lain seperti ringan, tangguh, tahan korosi, warna tahan lama, transparan, mudah pemrosesannya (Hosen J., 2001). Unsur-unsur utama pembentuk komposit;

Gambar 1. Diagram alir penelitian 4.2 Pengujian Untuk mengetahui kekuatan sambungan komposit dilakukan pengujian geser berdasarkan ASTM D 5868-95.

3.1.1 Serat Serat atau fiber dalam bahan komposit berperan sebagai bagian utama yang menahan beban, sehingga besar kecilnya kekuatan bahan komposit sangat tergantung dari kekuatan serat pembentuknya. Semakin kecil bahan (diameter serat mendekati ukuran kristal) maka semakin kuat bahan tersebut, karena minimnya cacat pada material. Serat Gelas Serat yang digunakan dalam penelitian ini adalah serat gelas jenis E – glass. Serat E-glass adalah salah satu jenis serat yang dikembangkan sebagai penyekat atau bahan isolasi. Jenis ini mempunyai kemampuan bentuk yang baik. Adapun kelebihan fiberglass jenis E-glass adalah produksi tinggi, kekuatan tinggi, densitas relatif rendah, tidak mudah terbakar, tahan terhadap panas, relatif tidak peka terhadap kelembaban, sebagai isolator yang baik. Kekurangan dari Eglass adalah modulus rendah, densitas lebih tinggi dibanding dengan serat karbon dan serat organik.

Gambar 2. Pengujian geser

Dari pengujian ini diperoleh beban maksimum yang akan diterima sambungan komposit dari nilai beban maksimum yang akan digunakan untuk menghitung tegangan geser. Tegangan geser:



4. METODE

P A

(1)

Dimana: τ = Tegangan geser (MPa) P = Beban tarik (N) A = Luas penampang geser (mm2)

4.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan: Universal Testing Machine (UTM), timbangan digital, cetakan, gelas ukur, Surface Roughness Tester, Milling Machine, makrometer. Bahan yang digunakan: Serat gelas acak, Resin Unsaturated polyester Yucalac® 157 BQTN-EX, Katalis MEKP (Methyl Ethyl Ketone Perokside), Realeaser Mirror Glase Wax/FRP Wax, Adhesive epoxy, Chloropene adhesive, Polyester adhesive.

5. ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1 Variasi jenis adhesive Untuk variasi jenis adhesive yang digunakan adalah epoksi, polyester, chloroprene dengan tebal adhesive 0,25 mm.

M-74

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Foto SEM jenis adhesive pada Gambar 4. menunjukkan bahwa adhesive polyester mempunyai ikatan yang sama dengan permukaan sambungan komposit, dimana komposit terbuat dari resin polyester dan katalis. Pada pengujian geser adhesive ini mempunyai nilai kekuatan geser yang rendah bila dibandingkan dengan adhesive epoksi, sehingga sobekan permukaan komposit terjadi pada adhesivenya. Untuk adhesive lem kuning (chloroprene) hanya menempel pada permukaan komposit atau tidak ada ikatan dengan komposit serat, sehingga pada pengujian geser didapatkan kekuatan gesernya sangat kecil bila dibandingkan dengan adhesive polyester. Hal ini juga, bahwa antara epoksi, resin polyester dan lem kuning tidak mempunyai kesamaan dalam unsur kimianya, sehingga akan sulit untuk berikatan.

Tegangan Geser MPa

Hubungan jenis adhesive dengan tegangan yang dihasikan 6 5

4.49

4

Epoksi

2.84

3

UPRs Chloroprene

2 1

0.15

0 Epoksi

UPRs

Chloroprene

Jenis Adhesive

Gambar 3. Diagram jenis adhesive

6. KESIMPULAN

(a)

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, dari ketiga jenis adhesive, epoksi mempunyai tegangan sebesar 4,49 MPa dibandingkan dengan polyester sebesar 2,84 MPa dan chloroprene sebesar 0,15 MPa. Namun polyester mempunyai tegangan yang lebih besar dibandingkan chloroprene. Hal ini disebabkan epoksi dan polyester mempunyai ikatan yang baik. Sedangkan chloroprene mempunyai ikatan yang kecil.

(b)

DAFTAR PUSTAKA 1. ..........., Annual Book of Standards, Section 15, ASTM D 5868 – 95, “Standard Test Method for Lap Shear Adhesion for Fiber Reinforced Plastic (FRP) Bonding1”, ASTM, 1996 2. Budinski, 2003. Engineering Material Properties and Selection, Prentice Hall, New Jesey. 3. Fassio, 2005, Tensile Test on Bonded double-Strap Joints Between Pultruded GFRP Profiles, Department of Structural Engineering, Universita Degli Studi “Roma Tre”, ITA. 4. Gay, 2003, Composite Material, Desaign and Applications, Boca Raton: CRC Press. 5. Hosen J., 2001,”Polimerisasi, Pemrosesan Produk Plastik berbasis Polyester ” ITB Bandung. 6. Hufenbach, 2007, “Optimisation of The Rivet Joints of The CFRP Composite Material and Aluminium Alloy “ , Journal of Achievements in Materials and Manufacturing Engineering, VOLUME 20 ISSUES 1-2, Technische Universität Dresden, Dürerstrasse 26, D-01062 Dresden, Germany. 7. Popov, 1996 “ Mechanics of Materials” Penerbit Erlangga. 8. Tokgoz, 1998, Shear and Bending of some End to End Grained Joints Prepared from Scoth Pine, Gazi University, Ankara, Turki. 9. Yusep, 2005,” Adhesive –Bonded Joint Characterization On Aluminium Alloy 2024-T3”, Teknosains, Pasca Sarjana UGM.

(c) Gambar 4. Foto SEM sobekan Adhesive (a)polyester, (b) lem kuning, (c) Epoksi Dari Gambar 3. Diagram diatas menunjukkan bahwa komposit dengan sambungan adhesive epoksi memiliki kekuatan geser yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan adhesive polyester dan chlroporene. Sambungan komposit dengan adhesive epoksi memiliki kekuatan geser sebesar 4,37 MPa, dengan adhesive polyester memiliki kekuatan geser sebesar 2,84 MPa dan adhesive chloroprene sebesar 0,15 MPa. Pada variasi jenis adhesive epoksi dan polyester memiliki ikatan yang baik, kegagalan rata-rata terjadi pada permukaan sambungan, hal ini disebabkan permukaan sambungan memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua adhesive yang digunakan sehingga kegagalan rata-rata terjadi pada permukaan sambungan komposit. Sedangkan adhesive chloroprene tingkat ikatan kurang baik, karena adhesive chloroprene hanya menempel sehingga permukaan komposit tidak rusak.

M-75

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

ANALISA ENERGI TERDISIPASI PADA SHOCK ABSORBER MOBIL PERKOTAAN AKIBAT BEBAN HARMONIK 1

Harus Laksana Guntur(1), Wiwiek Hendrowati(1)

Lab.Sistem Dinamis dan Vibrasi, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS Jl.Arif Rahman Hakim, Kampus ITS Keputih, Sukolilo-Surabaya (60111) Phone: +62-31-5946230, FAX: +62-31-5922941, e-mail: [emailprotected]

ABSTRAK Pada sistem suspensi kendaraan, shock absorber digunakan untuk menyerap/membuang sebagian energi getaran yang timbul akibat eksitasi profil jalan. Informasi besarnya energi terdisipasi pada shock absorber kendaraan dibutuhkan sebagai dasar untuk merancang sebuah regenerative shock absorber atau regenerative suspension. Paper ini menyajikan hasil pemodelan, simulasi dan analisa energi terdisipasi dari shock absorber pada sistem suspensi mobil perkotaan akibat harmonik. Kendaraan dimodelkan sebagai sistem massa, pegas dan peredam dengan 4 derajat kebebasan atau half-car model dengan damping ratio bernilai ζ=0.3 dan ζ=0.5, dan kecepatan kendaraan bernilai V=40km/jam dan V=80km/jam. Untuk eksitasi harmonik digunakan profil jalan berbentuk sinusoidal dengan amplitudo 0.1m dan panjang gelombang 6m. Energi terdisipasi pada shock absorber kendaraan didapatkan dari kecepatan relatif antara sprung dan unsprung mass dengan nilai konstanta redaman yang dimiliki oleh shock absorber. Dengan menggunakan metode variabel keadaan (state variable method), respon kendaraan dan daya terdisipasi pada shock absorber bisa didapatkan. Hasil simulasi menunjukkan daya terdisipasi akibat beban harmonik, daya terdisipasi rata-rata terbesar terjadi pada shock absorber bagian depan yaitu sebesar 4kW, dengan nilai damping ratio 0.5 dan kecepatan 80km/jam. Hasil yang didapatkan bisa dijadikan acuan/dasar dalam merancang besarnya energi yang akan dikonversi menjadi energi listrik pada regenerative suspension. Kata kunci: Sistem suspensi, energi terdisipasi, suspensi regeneratif, energy harvesting, state variable method. akan digunakan untuk memutar generator dan menghasilkan listrik. Rotational Absorber cocok digunakan pada kendaraan perkotaan. Gysen J., Bart L., Jeroen L.and G.Janssen dari Eindhoven University of Technology bekerjasama dengan BMW dan SKF juga membuat sebuah electromagnetic suspension system [3]. Sistem suspensi ini tergolong suspensi aktif. Mekanisme dari suspensi ini adalah dengan menggunakan magnet dan kumparan yang akan bergerak secara translasi dan menghasilkan listrik. Electromagnetic Suspension System ini telah diuji, dan diklaim dapat meningkatkan kenyamanan berkendara hingga 60% dan daya yang dihasilkan adalah sebesar 500W. Marcos Arziti juga telah mengembangkan shock absorber dengan menggunakan piezoelectric material sebagai penangkap energy [4]. Pada shock absorber ini, piezoelektrik diletakkan pada bagian puncak dalam tabung shock absorber, sehingga pada saat mobil melewati bump maka shock absorber akan mengalami kompresi. Kompresi tersebut nantinya akan menyebabkan adanya beda potensial pada kedua sisi piezoelktrik yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik. Seperti diuraikan diatas, pengembangan regenerative suspension atau mekanisme pemanen energi getaran pada suspensi kendaraan telah banyak dilakukan, tetapi masih sedikit paper yang melaporkan hasil pemodelan mapupun hasil pengujian besarnya energi terdisipasi pada suspensi kendaraan yang bisa dijadikan acuan dalam merancang sebuah regenerative suspension. Harus LG dan Wiwiek H. telah memodelan dan menganalisa besarnya energi terdisipasi pada suspensi kendaraan perkotaan akibat beban impulsive [5]. Kendaraan dimodelkan sebagai half car model. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata 5kW sampai 10kW daya terdisipasi dari shock absorber pada sistem suspense kendaraan perkotaan akibat beban impulsive ketika kendaraan melintasi bump dengan kecepatan 36km/jam dan 72km/jam.

1. PENDAHULUAN Berdasarkan hasil penelitian Lei Zou dari Stony Brook University, New York, bahwa sebuah kendaraan hanya efektif menggunakan 10-16% dari tenaga bahan bakar yang digunakan. Panas yang timbul saat proses pembakaran bahan bakar menjadi kerugian terbesar dari proses ini yaitu 62.4%, kerugian transmisi 5.6%, rolling resistance 4.2%, aerodynamic drag 2.6%, pengereman 5.8%, dari penambahan aksesori seperti Air Conditioner (AC) 2.2%, serta kerugian dari suspensi 17.2% [1]. Sedangkan kebutuhan energi listrik pada kendaraan modern saat ini sangat tinggi. Hal ini dikarenakan banyaknya peralatan elektronika dan mekatronika yang dibutuhkan untuk menunjang operasional kendaraan. Kebutuhan energi listrik pada kendaraan selama ini masih dipenuhi oleh accumulator yang memperoleh pasokan energi dari alternator kendaraan dengan mengambil sebagian energi dari putaran engine. Sehingga mengakibatkan turunnya tenaga kendaraan dan naiknya konsumsi bahan bakar. Kenyataan ini telah mampu menarik minat para peneliti untuk melakukan penelitian dibidang energy harvesting dari sumber energi getaran, khususnya getaran pada suspensi kendaraan. Diantara yang saat ini sedang ramai dikembangkan adalah regenerative suspension system (RSS). Lei Zuo dan Pei Sheng-Zang telah mendesain dan menguji temuan mereka tentang pemanen energi dari suspensi kendaraan [2]. Zuo memanfaatkan getaran yang terjadi pada suspensi kendaraan untuk menghasilkan listrik. Terdapat dua metode yang digunakan, yaitu dengan Linear Electromagnetic Absorber dan Rotational Absorber. Linear Electromagnetic Absorber cocok digunakan untuk kendaraan-kendaraan besar dengan tingkat vibrasi yang tinggi, seperti truk, kendaraan off road, tank, dan lain sebagainya. Sedangkan pada Rotational Absorber, prinsipnya adalah dengan mengubah gerak translasi yang terjadi pada getaran kendaraan menjadi gerak rotasi. Gerak rotasi ini selanjutnya O-1

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Paper ini menyajikan hasil pemodelan, simulasi dan analisa energi terdisipasi dari shock absorber pada sistem suspensi mobil perkotaan akibat beban harmonik. Kendaraan dimodelkan sebagai sistem massa, pegas dan peredam dengan 4 derajat kebebasan atau half-car model dengan damping ratio bernilai ζ=0.3 dan ζ=0.5, dan kecepatan kendaraan bernilai V=40km/jam dan V=80km/jam. Untuk eksitasi harmonik digunakan profil jalan berbentuk sinusoidal dengan amplitudo 0.1m dan panjang gelombang 6m. Energi terdisipasi pada shock absorber kendaraan didapatkan dari kecepatan relatif antara sprung dan unsprung mass dengan nilai konstanta redaman yang dimiliki oleh shock absorber. Dengan menggunakan metode variabel keadaan (state variable method), respon kendaraan dan daya terdisipasi pada shock absorber bisa didapatkan. Hasil simulasi menunjukkan daya terdisipasi akibat beban harmonik, daya terdisipasi rata-rata terbesar terjadi pada shock absorber bagian depan yaitu sebesar 40kW, dengan nilai damping ratio 0.5 dan kecepatan 80km/jam. Hasil yang didapatkan bisa dijadikan acuan/dasar dalam merancang besarnya energi yang akan dikonversi menjadi energi listrik pada regenerative suspension.

Dari model matematis kendaraan pada gambar 1 dan dengan prinsip D’Alembert atau Hukum Newton kedua, persamaan gerak kendaraan didapatkan. ̈

( ̇

( ̇

) ̇

̈

̇

( ̈ (

) )

̇

)

) ̇

̈

(

(

( ̇ ( ̇

)

(

)

(

( ̇

̇

)

( ̇

( ̇ ̇

)

( ̇

(1)

) )

(2)

(

)

̇ ) )

(

(3) )

̇ )

(4)

Hubungan kenematis antara gerakan kearah vertical dan rotasi dari bodi kendaraan bisa dirumuskan sebagai berikut:

2. PEMODELAN KENDARAAN 2.1 Pemodelan Setengah Kendaraan Gambar 1 menunjukkan model matematis setengah kendaraan. Kendaraan dimodelkan kedalam sistem massapegas-peredam dengan empat derajat kebebasan (xwf, xwr, xb , θ). Dimana b:body, x:perpindahan, w:wheel, θ:perpindahan susdut, f:front dan r:rear. Eksitasi profil jalan pada roda depan dan belakang disimbolkan dengan yf dan yr.

Dimana c: koefisian redaman, k:konstanta kepegasan, m:massa kendaraan, w:roda, l:wheel base, I:momen inersia bodi kendaraan, ̇ :kecepatan, ̈ :percepatan. Bentuk persamaan variable keadaan dari model matematis kendaraan adalah: ̇ di mana

̇

̇

̇

̇

̇

̈

̈

̈

̈

̇

̇

̇

̇

Dan dari persamaan gerak pada model matematis kendaraa didapatkan eigen value dari matriks A dan G, serta eigen vector dari matriks u.

Gambar 1. Model matematis setengah kendaraan.

O-2

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

𝑓

𝑓

𝑓

=

𝑓

0 0

0 0 0

0 0

0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

𝑟 𝑟

Tabel 2. Data teknis koefisien redaman ban. Jenis Ban 𝑓

𝑟

0 0 0 0

𝑟

;

=

̇ 𝑓 ̇𝑟

Ban Biasa 5.6x13

𝑟

Ban Radial 165x13

Sedangkan nilai daya terdisipasi pada shock absorber kendaraan bisa didapatkan dari persamaan dibawah.

P

dE Fd ds . .  . .    Fd  x1  x 2   c x1  x 2  dt dt    

Tekanan Ban (psi) 15 20 25 30 35 15 20 25 30 35

Koefisien Redaman (kN.s/m) 4.59 4.89 4.52 4.09 4.09 4.45 3.68 3.44 3.43 2.86

2

(5)

Dimana; P: daya terdisipasi, E:energy terdisipasi, Fd:gaya redaman, dan c:koefisien redaman. 2.2 Data teknis kendaraan Gambar 2 menunjukkan foto kendaraan yang dijadikan model dalam simulasi, yaitu mobil nasional New GEA produksi PT.INKA. Tabel 1 menunjukkan data sepesifikasi teknis mobil GEA dengan kapasitas engine 650cc produksi PT.INKA. Untuk keperluan simulasi dipilih ban radial dengan tekanan 30psi dengan konstanta redaman 3.43kN.s/m. Sedangkan Tabel 2 menunjukkan data teknis koefisien redaman dari berbagai jenis ban yang digunkan oleh kendaraan.

Gambar 2. Mobil GEA produksi PT.INKA yang dijadikan model simulasi.

3. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN 3.1 Respon bodi kendaraan

Tabel 1. Data teknis kendaraan untuk simulasi. Parameter mb Ib mwf mwr lf lr

Nilai 1085 kg 2730 kg 87,15 kg 87,15 kg 0,764 m 1,236 m

Parameter kbf kbr λ Yo kwf kwr

Gambar 3 dan 4 menunjukkan respon bodi kendaraan bagian depan dan belakang akibat eksitasi harmonic (sinusoidal) dengan ampiltuo 0.1m dan panjang gelompang 6m. Dari gambar 3 dan 4 bisa diketahuai perpindahan, kecepatan dan percepatan dari bodi depan dan belakang akibat akesitasi harmonic pada variasi damping ratio dan kecepatan kendaraan. Respon kecepatan bodi depan dan belakang dijadikan dasar perhitungan daya terdisipasi pada shock absorber kendaraan dengan menggunakan persamaan (5).

Nilai 100.000N/m 100.000 N/m 6m 0,1 m 101115 N/m 101115 N/m

Gambar 3. Respon bodi depan kendaraan. O-3

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 4. Respon bodi belakang kendaraan

Gambar 5. Respon kendaraan ditunjukkan dengan bounching dan pitching bodi kendaraan

Gambar 6. Daya terdisipasi pada shock absorber bagian depan kendaraan.

O-4

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 7. Daya terdisipasi pada shock absorber bagian belakang kendaraan Dari Gambar 3 dan 4 dapat disimpulkan bahwa perbedaan damping ratio memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap respon bodi kendaraan. Sedangkan perubahan kecepatan kendaraan memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap respon bodi kendaraan. Gambar 5 menunjukkan respon bodi kendaraan dalam bentuk bounching dan pitching. Dimana bonching menunjukkan perubahan posisi titik berat bodi kendaraan kerarah vertikal dari bodi kendaraan dan pitching menunjukkan perputaran bodi kendaraan terhadap titik beratnya sebagai pusat putaran. Dari gambar 5 bisa disimpulkan bahwa perubahan kecepatan kendaraan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon bounching dan pitching kendaraan. Sedangkan perubahan damping ratio tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Gambar 6 dan 7 menunjukkan besarnya daya terdisipasi pada shock absorber depan dan belakang kendaraan akibat eksitasi beban harmonik dengan amplitudo 0.1m dan panjang gelombang 6m. Dari gambar 6 dan 7 dapat disimpulkan bahwa daya terdisipasi pada shock absorber kendaraan, baik depan maupun belakang, sangat dipengaruhi oleh perubahan kecepatan kendaraan dan memiliki nilai rata-rata seperti terlihat pada tabel 3.Dari data hasil simulasi yang ditunjukkan oleh tabel 3 dapat disimpulkan bahwa potensi energi yang bisa dimanfaatkan dan dikonversi menjadi energi listrik pada sistem suspensi kendaraan perkotaan cukup besar, total mencapai 1-5kW bergantung pada nilai damping ratio dan kecepatan kendaraan. Hasil simulasi ini bisa digunakan sebagai dasar dalam merancang regenerative suspension.

4. KESIMPULAN Pada penelitian ini kendaraan dimodelkan sebagai sistem massa, pegas dan peredam dengan 4 derajat kebebasan atau half-car model dengan damping ratio bernilai ζ=0.3 dan ζ=0.5, dan kecepatan kendaraan bernilai V=40km/jam dan V=80km/jam. Potensi energi yang bisa dimanfaatkan dan dikonversi menjadi energi listrik pada sistem suspensi kendaraan perkotaan cukup besar, rata-rata untuk satu unit kendaraan berkisar pada 1-5kW bergantung pada nilai damping ratio dan kecepatan kendaraan. Hasil yang didapat bisa dijadikan acuan/dasar dalam merancang regenerative shock absorber/suspension dengan mengetahui potensi energi getaran yang bisa dimanfaatkan.

DAFTAR PUSTAKA [1] Zuo Lei, Design And Characterization Of An Electromagnetic Energy Harvester For Vehicle Suspension. New York State University: USA, 2010. [2] Zuo Lei and Pei-Sheng Zhang, Energy Harvesting, Ride Comfort, and Road Handling of Regenerative Vehicle Suspensions. ASME Journal of Vibrations and Acoustics, 2012. [3] Gysen J., Bart L., Jeroen L.and G.Janssen, Active Electromagnetic Suspension System for Improved Vehicle Dynamics. IEEE Transaction on Vehicular Technology vol 59.No.3 pp.1156-1162, 2010. [4] Arziti, Marcos, Harvesting Energy From Vehicle Suspension. Tempere University of Technology. Spanyol, 2010. [5] Harus LG, Wiwiek H. and WIoko Yudantara, Modeling and analysis of the dissipated power from urban vehicle suspension due to impulsive excitation, 3rd International Conference on Applied Technology, Science and Arts (APTECS)-ITS, Dec.6 2011.

Tabel 3. Daya terdisipasi rata-rata hasil simulasi. Suspensi: Depan (V=40km/jam; ζ=0.3) Depan (V=40km/jam; ζ=0.5) Belakang (V=40km/jam; ζ=0.3) Belakang (V=40km/jam; ζ=0.5) Depan (V=80km/jam; ζ=0.5) Belakang (V=80km/jam; ζ=0.5)

Daya terdisipasi rata-rata 300W 500W 1.7kW 2kW 4kW 2kW

O-5

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PENGEMBANGAN SISTEM PEMBANGKIT HHO-WET CELL DUA RUANG DAN APLIKASINYA PADA KENDARAAN BERMESIN KARBUROTOR 1300CC DAN 1500CC Harus LG 1, Fariz Hidayat2, Iqbal Wahyudin2, I Nyoman Sutantra3 1

Lab.Sistem Dinamis&Vibrasi, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS Mahasiswa Program Sarjana, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS 3 Lab.Otomotif, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS Jl.Arif Rahman Hakim, Kampus ITS Keputih, Sukolilo-Surabaya (60111) Jawa Timur, Indonesia Phone: +62-31-5946230, FAX: +62-31-5922941, E-mail: [emailprotected]

2

ABSTRAK Paper ini menyajikan hasil pengujian karakteristik sistem pembangkit HHO-wet cell dengan konsep dua ruang, serta hasil pengujian performa engine dan emisi gas buang kendaraan sebelum dan sesudah menggunakan alat. Uji karakteristik alat dilakukan dengan mengukur konsumsi daya listrik dan produksi gas HHO yang dihasilkan. Uji karakteristik dilakukan untuk mengetahui efisiensi alat dengan membandingkan laju produksi gas dengan konsumsi daya listrik yang dibutuhkan oleh proses elektrolisis. Alat yang sudah diuji karakteristiknya kemudian dipasangkan pada kendaraan uji. Didalam pengujian digunakan kendaraan dengan engine jenis carburetor dengan kapasitas 1300cc dan 1500cc. Prototipe sistem pembangkit HHO-wet cell terususun dari pelat SS316L sebagai elektroda dan KOH 25% sebagai katalis. Hasil uji karakteristik alat menunjukkan bahwa laju produksi HHO rata-rata sebesar 1056ml/menit dengan konsumsi daya sebesar 712.8Watt (V=12Volt dan I=59.4A). Hasil pengujian performa engine sebelum dan sesudah menggunakan alat menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada daya maupun konsumsi bahan bakar kendaraan(sfc).Sedangkan hasil uji emisi gas buang kendaraan sebelum dan sesudah menggunakan alat menunjukkan terjadinya penurunan kadar NOx, COx, CO dan HC rata-rata dibawah 2%. Kata kunci: HHO, sistem pembangkit HHO-wet cell, mobil, mesin karburator, konsumsi bahan bakar, emisi gas buang. dengan gas HHO dapat mengurangi tingkat polusi [3]. Apabila gas tersebut ditambahkan pada mesin bahan bakar solar atau bensin, maka akan dapat meningkatkan kualitas pembakaran yang disebabkan oleh nilai oktan bahan bakar yang naik. Penggunaan gas HHO juga dapat meningkatkan efisiensi pembakaran, seperti yang dilaporkan oleh Goldwitz dan Heywood yang mengoptimalkan kondisi pembakaran mesin spark ignition dengan menambahkan hidrogen sebagai suplemen bahan bakar, sehingga menghasilkan efisiensi lebih dari 25% [4]. Penelitian lain dilakukan oleh Verhelst dan Sierents yang telah membandingkan injeksi hidrogen pada mesin spark ignition dengan karburator dan dengan sistem injeksi [5]. Dari penelitiannya disimpulkan bahwa mesin fuel injection dengan penambahan hidrogen mempunyai daya lebih besar dan resiko backfiring lebih kecil. LIPI pada tahun 2008 juga mencoba melakukan injeksi air pada kendaraan 225 cc spark ignition dan menghasilkan penurunan emisi gas CO dan HC [6]. Selain itu Christoper juga telah melakukan injeksi air pada mesin disel, dan hasilnya dapat mengurangi emisi NOx sebesar 82% dan serta terjadi peningkatan torsi [7]. Pada penelitian Lanzafame disebutkan bahwa injeksi air pada mesin spark ignition dapat menghilangkan detonasi dan mengurangi NOx lebih dari 50%, kenaikan angka oktan lebih dari 50% dan peningkatan kerja mesin antara 30% - 50% [8]. Harus LG juga telah mengembangkan generator gas HHO model 6 ruang dan mangaplikasikannya pada mobil bermesin karburator kapasitas 1000cc dan 1300cc [9][10][11].Hasil pengujian menunjukkan adanya penurunan konsumsi bahan bakar sebesar 30% dan tidak ada perubahan yang signifikan pada

1. PENDAHULUAN Pada saat ini kebutuhan energi dari fossil fuel cenderung mengalami peningkatan pada tiap tahunnya. Hal ini berdasarkan data dari IEA World Energy Statistics and Balances pada periode tahun 1960 – 2007 [1]. Sebagian besar masyarakat di dunia masih bergantung pada penggunaan energi yang berasal dari fossil fuel. Kebutuhan terhadap bahan bakar fossil fuel terus meningkat tidak diimbangi dengan ketersediaannya, sehingga hal ini berpotensi menaikan harga bahan bakar ini dari waktu ke waktu. Pada skala nasional, data yang didapatkan dari Kementerian ESDM pada tahun 2008 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan ketersediaan fossil fuel di Indonesia dalam periode 7 tahun terakhir [2]. Kondisi tersebut mengakibatkan tidak seimbangnya jumlah permintaan terhadap fossil fuel dengan persediaan yang ada, sehingga dapat berdampak pada kelangkaan bahan bakar ataupun melonjaknya harga bahan bakar minyak di Indonesia. Penggunaan energi alternatif terus diupayakan dan proses penelitian terhadap adanya kemungkinan energi laternatif baru untuk menggantikan bahan bakar minyak terus dilakukan. Salah satu upaya dalam efisiensi penggunaan energi yang sudah dikenal adalah dengan menambahkan gas HHO atau dikenal juga dengan istilah Brown’s Gas sebagai campuran bahan bakar minyak pada kendaraan bermotor. Gas HHO adalah gas hasil dari proses elektrolisis air dengan katalisator tertentu (KOH atau H2SO4). Unsur hidrogen dan oksigen murni pada gas HHO memiliki nilai kalor dan oktan yang tinggi. Selain itu, hasil pembakaran dari pencampuran O-6

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

hasil pengukuran daya engine. Pada penelitian ini dilakukan pengujian karakteristik sistem pembangkit HHO-wet cell dengan konsep dua ruang, serta hasil pengujian performa engine dan emisi gas buang kendaraan sebelum dan sesudah menggunakan alat. Uji karakteristik alat dilakukan dengan mengukur konsumsi daya listrik dan produksi gas HHO yang dihasilkan. Uji karakteristik dilakukan untuk mengetahui efisiensi alat dengan membandingkan laju produksi gas dengan konsumsi daya listrik yang dibutuhkan oleh proses elektrolisis. Alat yang sudah diuji karakteristiknya kemudian dipasangkan pada kendaraan uji. Didalam pengujian digunakan kendaraan dengan engine jenis karburator dengan kapasitas 1300cc dan 1500cc. Prototipe sistem pembangkit HHO-wet cell terususun dari pelat SS316L sebagai elektroda dan KOH 25% sebagai katalis. Hasil uji karakteristik alat dan aplikasinya pada kendaraan bermesin karburator 1300cc dan 1500cc disajikan pada paper ini.

Gambar 2. Prototipe generator gas HHO dua ruang.

2. METODE PENELITIAN 2.1 Rancang Bangun Generator HHO Dua Ruang Pada penelitian ini dikembangkan prototipe generator gas HHO model dua ruang dengan prinsip wet cell. Sebagai elektroda digunakan lempengan stainless steel SS316L dan serta sebagai katalis digunakan 25% KOH. Gambar 1 menunjukkan desain generator gas HHO model dua ruang dengan prinsip wet cell dan Gambar 2 menunjukkan prototipe alat hasil rancang bangun. Ukuran elektroda adalah 200 mm x 40 mm dengan posisi horisontal dan tiap ruang berisi 6 elektroda.Sehingga total elektroda yang digunakan pada generator gas HHO model dua ruang ini adalah 12 buah dengan ukuran yang sama. Permukaan elektroda dibersihkan dari kotoran yang menempel. Hal ini bertujuan untuk menghindari menempelnya zat-zat yang tidak diinginkan. 2.2 Uji Karakteristik Generator HHO Dua Ruang Gambar 3. Skema pengujian karakteristik generator gas HHO model dua ruang.

Sebelum diaplikasikan pada kendaraan uji, dilakukan pengujian karakteristik generator gas HHO model dua ruang. Pengujian dilakukan dengan mengukur laju produksi gas HHO yang dihasilkan oleh alat dan konsumsi energi/daya listrik yang dibutuhkan. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali untuk kemudian diambil nilai rata-ratanya. Gambar 3 menunjukkan skema pengujian karakteristik generator gas HHO model dua ruang.

Gambar 4. Pengujian konsumsi BBM dan daya pada Daihatsu Zebra 1300cc sebelum dan sesudah menggunakan generator gas HHO.

Gambar 1. Desain generator gas HHO dua ruang O-7

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

min dengan konsumsi daya listrik rata-rata 712.8Watt. Tabel 2 dan 3 menunjukkan hasil uji daya engine kendaraan uji, Dihatsu Zebra 1300cc dan Suzuki Carry 1500cc sebelum dan sesudah menggunakan generator gas HHO dua ruang. Perubahan daya engine kendaraan sebagai fungsi putaran engine bisa dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Dari data hasil pengujian daya engine, seperti ditunjukkan pada tabel dan grafik, bisa disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan pada daya engine kendaraan sebelum dan sesudah menggunakan gas HHO. Tabel 4 dan 5 menunjukkan hasil uji konsumsi bahan bakar (sfc) kendaraan sebelum dan sesudah menggunakan generator gas HHO. Perubahan konsumsi bahan bakar (sfc) kendaraan sebagai fungsi putaran engine bisa dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. Dari data hasil pengujian dan grafik, bisa disimpulkan bahwa tidak terjadi penurunan konsumsi bahan bakar (sfc) yang signifikan pada kendaraan setelah menggunakan generator gas HHO. Sedangkan hasil uji emisi gas buang bisa dilihat pada tabel 6 dan tabel 7. Hasil uji emisi gas buang juga tidak menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada kendaraan sebelum dan sesudah menggunakan generator gas HHO. Dari semua data hasil pengujian laju produksi gas HHO dari genrator gas model dua rung tidak memiliki signifikansi pada kendaraan uji. Hal ini bisa disebabkan karena produksi gas HHO terlalu sedikit, atau kemungkinan adanya kebocoran pada sambungan dan performa engine dari kendaraan uji yang kurang baik.

Gambar 5. Pengujian konsumsi BBM dan daya pada Suzuki Carry 1500 cc sebelum dan sesudah menggunakan generator gas HHO. Tabel 1. Hasil uji karakteristik generator gas HHO model dua ruang. Pengujian ke 1 2 3 4 5 Rata2

Arus (Amp) 60 58 61 57 61 59.4

Voltase (Volt) 12 12 12 12 12 12

Daya (Watt) 720 696 732 684 732 712.8

Laju produksi gas (ml/menit) 980 1100 1000 1000 1200 1056

Tabel 2. Hasil pengujian daya engine Daihatsu Zebra 1300 cc sebelum dan sesudah penambahan HHO.

Tabel 3. Hasil pengujian daya engine Suzuki Carry 1500 cc sebelum dan sesudah penambahan HHO.

Daya Mesin Daihatsu Zebra 1300 cc Putaran Mesin Perubahan Dengan HHO (rpm) Daya (%) Tanpa HHO (Hp) (Hp) 1000 11.8 11.9 0.84 1500 17.5 17.4 -0.57 2000 23.8 23.4 -1.68 2500 29.1 30.2 3.78 3000 31.1 32.7 5.14

Daya Mesin Suzuki Carry 1500 cc Putaran Mesin Dengan HHO (rpm) Tanpa HHO (Hp) (Hp) 1000 8.8 9.5 1500 12.5 13.9 2000 17.7 17.4 2500 20.6 21.9 3000 25.9 25.6

2.3. Uji Daya, SFC dan Emisi Gas Buang Kendaraan

Perubahan Daya (%) 7.95 11.2 -1.69 6.31 -1.15

Tabel 4. Hasil pengujian konsumsi bahan bakar Daihatsu Zebra 1300 cc sebelum dan sesudah penambahan HHO.

Pengujian daya engine dan konsumsi bahan bakar/specific fuel consumption (sfc) kendaraan dilakukan pada putaran 1000rpm, 1500rpm, 2000rpm, 2500rpm dan 3000rpm. Pengujian dilakukan pada kendaraan uji, Daihatsu Zebra 1300 cc dan Suzuki Carry 1500 cc sebelum dan sesudah menggunakan generator gas HHO. Dimana kedua kendaraan uji tersebut menggunakan sistem karburator. Gambar 4 menunjukkan pengujian konsumsi BBM dan daya pada Daihatsu Zebra 1300cc sebelum dan sesudah menggunakan generator gas HHO. Sedangkan Gambar 5 menunjukkan pengujian konsumsi BBM dan daya pada Suzuki Carry 1500 cc sebelum dan sesudah menggunakan generator gas HHO. Untuk melengkapi hasil uji daya dan konsumsi bahan bakar, dilakukan juga pengujian emisi gas buang kendaraan sebelum dan sesudah menggunakan generator gas HHO.

Putaran Mesin (rpm) 1000 1500 2000 2500 3000

Konsumsi Bahan Bakar Spesifik Mesin 1300 cc Perubahan sfc (%) Tanpa HHO Dengan HHO (kg/Hp-jam) (kg/Hp-jam) 3.91 3.87 -0.84 2.63 2.65 0.57 1.93 1.97 1.71 1.58 1.52 -3.64 1.48 1.41 -4.89

Tabel 5. Hasil pengujian konsumsi bahan bakar Suzuki Carry 1500 cc sebelum dan sesudah penambahan HHO. Putaran Mesin (rpm)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1000 1500 2000 2500 3000

Tabel 1 menunjukkan hasil pengukuran voltase, arus dan laju produksi gas HHO dari generator model dua ruang hasil rancang bangun. Dari hasil pengukuran bisa disimpulkan bahwa produksi gas HHO rata-rata adalah sebesar 1056ml/ O-8

Konsumsi Bahan Bakar Spesifik Mesin 1500 cc Perubahan sfc (%) Tanpa HHO Dengan HHO (kg/Hp-jam) (kg/Hp-jam) 5.24 4.85 -.7.36 3.69 3.32 -10.07 2.61 2.65 1.72 2.24 2.11 -5.93 1.78 1.80 1.17

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

35

6

30

5

25

sfc (kg/Hp.jam)

Power (Hp)

4 20

15

3

2

10

1

5

0 0

500 Standar

1000

1500

BG Dua Ruang

2000

n (rpm)

Poly. (Standar)

2500

3000

3500

Poly. (BG Dua Ruang)

Standar

1500

BG Dua Ruang

2000

n (rpm)

Poly. (Standar)

2500

3000

3500

Poly. (BG Dua Ruang)

Tabel 6. Hasil uji emisi gas buang Daihatsu Zebra 1300 cc sebelum dan sesudah penambahan HHO.

30

Pengujian (3000 rpm) NOX (%) COX (%) CO (%) HC (ppm)

25

20

Power (Hp)

1000

Gambar 9. Grafik hasil pengujian konsumsi bahan bakar Suzuki Carry 1500 cc sebelum dan sesudah penambahan HHO.

Gambar 6. Grafik perubahan daya engine Daihatsu Zebra 1300 cc sebelum dan sesudah penambahan HHO.

15

Mesin Daihatsu Zebra 1300 CC Standar BG 0.963 0.913 13.1 12.2 1.11 2.68 86 135

Tabel 7. Hasil uji emisi gas buang Suzuki Carry 1500 cc sebelum dan sesudah penambahan HHO.

10

Pengujian (3000 rpm) NOX (%) COX (%) CO (%) HC (ppm)

5

0 0

500 Standar

1000

1500

BG Dua Ruang

2000

n (rpm)

Poly. (Standar)

2500

3000

3500

Poly. (BG Dua Ruang)

Gambar 7. Grafik perubahan daya engine Suzuki Carry 1500 cc sebelum dan sesudah penambahan HHO.

Mesin Suzuki Carry 1500 CC Standar BG 0.982 0.984 13.2 13.1 0.26 0.19 208 195

4. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa telah dikembangkan prototipe generator gas HHO model dua ruang dengan prinsip wet cell. Sebagai elektroda digunakan lempengan stainless steel SS316L dan sebagai katalis digunakan 25% KOH. Ukuran elektroda yang digunakan adalah 200 mm x 40 mm dengan posisi horisontal dan tiap ruang berisi 6 elektroda. Hasil uji karakteristik alat menunjukkan bahwa laju produksi HHO rata-rata sebesar 1056ml/menit dengan konsumsi daya sebesar 712.8Watt (V=12Volt dan I=59.4A). Hasil pengujian performa engine sebelum dan sesudah menggunakan alat menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada daya maupun konsumsi bahan bakar kendaraan(sfc).Sedangkan hasil uji emisi gas buang kendaraan sebelum dan sesudah menggunakan alat menunjukkan terjadinya penurunan kadar NOx, COx, CO dan HC rata-rata dibawah 2%.

5

4

sfc (kg/Hp.jam)

500

3

2

1

0 0

500 Standar

1000

1500

BG Dua Ruang

2000

n (rpm)

Poly. (Standar)

2500

3000

3500

DAFTAR PUSTAKA

Poly. (BG Dua Ruang)

[1] International Energy Agency (IEA) World Energy Statistics and Balances, 2009, World Consumption Of Refined Products By Region, 1960-2008. BP Statistical Review.

Gambar 8. Grafik perubahan konsumsi bahan bakar Daihatsu Zebra 1300 cc sebelum dan sesudah penambahan HHO. O-9

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

[2] Data statistik Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Crude Oil Reserves. 2008. [3] KLH, Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, No.35, Jakarta, 1993. [4] J.A. Goldwitz, J.B. Heywood, 2005, Combustion optimization in a hydrogen-enhanced lean-burn SI engine, SAE paper no. 01-0251. [5] S. Verhelst, R. Sierens, 2005, Aspects concerning the optimisation of a hydrogen fueled engine. Int J Hydrogen Energy; 26: 981–5. [6] LIPI, Pengujian Water and Air Injection, Lab Motor Bakar LIPI 2008. [7] J. C. Christoper, J.B.D. Philip, 2008, Effect of diesel and water co-injection with real time control on diesel engine performance and emissions,SAE Int. World congress, Detroid. [8] R. Lanzafame, 1999, Water injection effects in asinglecylinder CFR engine. SAE Int. Congress and exposition

Detroit, Micigan. [9] Harus LG, A.Hakim, B.Sampurno dan I Nyoman Sutantra, Aplikasi Brown Gas (HHO) pada Mobil Bermesin Karburator Kapasitas 1000cc. Proseeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) ke-10, Universitas Brawijaya, Malang,2-3 November 2011. [10] Harus LG, Rasiawan, B.Sampurno dan I Nyoman Sutantra,Pengembangan Elektroliser Gas HHO dengan Sistem Pengendali Laju Produksi. Seminar Nasional TahunanTeknik Mesin (SNTTM) ke-9, UNSRI, Palembang, 13-15 Oktober 2010. [11] Harus LG, Rasiawan, B.Sampurno dan I Nyoman Sutantra, Pengembangan Sistem Suplai Brown Gas Model 6 Ruang Tersusun Seri pada Mesin Mobil 1300cc dengan Sistem Karburator. Jurnal Teknik Mesin UK Petra, Vol.13, No.1, pp.13-17,April 2011.

O-10

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

CHANGED DIMENSION OF VENTILATING HOLES DIAMETER-DISC BRAKE BY STATIONER TEST Ian Hardianto Siahaan1), Christian Albert2)

Mechanical Engineering Petra Christian University 1,2) At Siwalankerto Street 121-131, Surabaya 60236. Indonesia 1,2) Phone: 0062-31-8439040, Fax: 0062-31-84176581,2) E-mail : [emailprotected]

ABSTRACT Braking distance is one of the most important parameter of vehicle dynamic. The method of friction force often is used to evaluate on their parameter. Friction force might have been caused that makes vehicle could be stopped on its usual condition and can be slow as long as the tire acceleration. Researchers tell that ideal braking force are supposed to know about braking force- distribution of a vehicle. In this paper, ventilation holes diameter had been selected by the method while changed dimensions are respectively 8 mm, 10 mm, 12 mm neither velocity vehicle nor braking load were given is having distinguish variables of parameter on its surface. Relational parameter between both of variables are supposed to be found that braking distance of three types disc brake on them will be counted as results. At the end of this final testing have told that the increasing of velocity vehicle shows braking distance is faster than type of disc brake with minimal diameter of ventilation holes on braking load condition that its used on its surface. Keywords: Disc Brake, Braking Distance, Ventilation holes Diameter and make the disc brake will be difficult to hold the rotor. Disc brake could be evaluated by using hypothesis-test to investigate the influence of parameter against to several parameter responses. This method is used to analyze the parameters i.e. velocity, deceleration, stopping-time. On this paper is generally analyzed changed dimension of disc brake against to braking distance at stationer test. Disc brake could be investigated by using normal-test to look if the data have normal distribution or not. The first test, Kolmogorov-Smirnov, if P-value < α the concluding decision is not normal distribution. The second test is dot diagram/histogram. Dot diagram test is used to be small data whereas histogram -test is used to be large data. The decision follow normal distribution if the mean is around at null pointer. Disc brake could be evaluated by variant-test to know wide range of permissible tolerance of variant . If P-value < α, null hypothesis couldn’t be accepted Disc brake could be evaluated by independent-test to know if the data have a lot of pertaining relational parameters to each others. If P-value < α, null hypothesis couldn’t be accepted. On this page, only are explained about mean test to look for disc brake performing even though all the tests can be used for having the pertaining test. To complete all of researcher use according to the techniques that they fill out about and depending on their approaching assumption that investigating the problems.

1. INTRODUCTION Automotive competition has extremely fast development today. A lot of products can be seen in market places that they can influence for changing other products became good products which having compatible power in many areas. Either engine, chassis or body of vehicle have been changed by automotive engineering at automotive industries. Acceleration and power are supposed to be given particularly of changing automotive parts at automotive industries. It cause why braking system is always need to be analyzed for each large portion as important element in vehicle dynamic planning. Disc brake is generally selected as the main testing requirement for this paper, because of its easy function to detect and maintain about the parameter responses of acceleration and braking load that could be given on surface.

2. THEORY BACKGROUND Disc brake are consists of caliper, brake pads, piston and others with hydraulic system on its function is important for giving power to push piston or actuator. Wheel cylinder, master cylinder and reservoir have been built the integrated hydraulic system so that it is easy to make the movement on its surfaces. At hydraulic system, piston on caliper surfaces move oil pressure and it is distributed to master cylinder. Hydraulics pressure occurs piston that moving brake pads and holding the disc brake. During holding time of disc brake generates the braking distribution on pads. Disc brake always has low temperature because the ventilating rotor distributes heat their pads as result of friction force on surface. Disc brake has pollutant disadvantages which they are easy to enter because its open construction. The dirt on its surface always influence caliper and brake pads movement. Every pollutant always gives the brake pads to be worn out as the reason of the pollutant on its surface and their contaminations. In holding time, rotor became thin wall

3. RESEARCH METHODOLOGY Testing evaluation are based on two steps i.e. providing tools and material, and evaluating experiment. To save time and power should be provided:  Preparing motorcycle that must be used and setting disc brake should be done for changed dimensions of ventilating holes that they are respectively 8 mm, 10 mm, 12 mm. O-11

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

 Preparing papers, stopwatch, digital camera, the weights.  Adjusted a roller at rear wheel of selected motorcycle.

 Weights, for testing experiment technique is used as braking load against to brake pedal. To give each weights is important to know stopping time during the load have been giving during the tests. Braking distance can be counted by physics formulation after each clear testing time.

The steps of the evaluated tests can be done for testing experiment and can be explained:  Preparing for setting motorcycle position that have been put it on the roller at rear wheel which selected velocity respectively : 20 km/h, 40 km/h, 60 km/h and 80 km/h.  After giving the weights are according to the suitable velocity by falling the loads respectively: 3 kg, 3.5 kg, 4 kg and 4.5 kg.  Five times testing parameters should evaluate the results when the rear motorcycles have been stopped. Statistical method is applied to accommodate faults result during processing test  Writing down the tests on papers for preparing evaluation about brake performance during the processing Tools and materials that used at this testing experiment can be explained  Supported roller, for holding of rear wheel and makes the tire is not forward or forward during the testing experiment.

Fig 3. Weights  Disc brake, ventilating holes diameter 8 mm.

Fig 1. Supported Roller  Motorcycle, for testing experiment is used Supra X in good condition including excellent performance for getting the results. This motorcycle is selected because every people uses this type and their parts are easy to find in market places. It is the best characteristic why this paper chooses this motorcycle and scheduling maintenance system is easy to adjust in anytime that it is used by adjuster.

Fig 4. Ventilating Holes 8 mm  Disc brake, ventilating holes diameter 10 mm.

Fig 5. Ventilating Holes 10 mm

Fig 2. Supra X 125 R O-12

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

 Disc brake, ventilating holes diameter 12 mm.

According to the graph analysis, ventilating holes diameter 8 mm shows significantly braking distance is shorter than the others. It proves that minimal diameter of ventilating holes is subjected to its surfaces has efficient braking. At increasing of braking load has the equal pattern. Different velocity at 20 km/h until 40 km/h shows mean data that wide range of data is not significantly fast to get the influence of braking system amongst the three types of ventilating holes diameter on its surfaces.

Fig 6. Ventilating Holes 10 mm The three types of disc brake with different ventilating holes should have the equal material properties for testing evaluation so that the results could be approximated. To accommodate some of those conditions are using repeating testing and doing a large amount of testing experiments by using P-value < α to ancipate needed parameters. Fig 8. Braking Distance vs Velocity

4. RESULTS AND DISCUSSION

According to the graph analysis, ventilating holes diameter 12 mm shows significantly braking distance became upper level than others ventilating holes diameter as results of increasing velocity Efficient braking load is success when it is given by increasing braking load on its surfaces to stop the motorcycle with minimal ventilating holes diameter. At aproximation velocity at 60 km/h does not shows a significant correlation of braking distance amogst those different ventilating holes diameter.

According to the testing experiments that have been done during the stationer test , the polynomial equation can be written for each braking load to determine braking distance. On this page can be shows four graphs analysis to know a wide range of broadly data. X- axis is velocity (km/h), and Y –axis is braking distance. After doing the graphs should give the influence of both of the parameters. Braking distance is clear and can be discussed the problems about braking system when it is applied to the brake pads.

Fig 7. Braking Distance vs Velocity

Fig 9. Braking Distance vs Velocity

According to the graph analysis, ventilating holes diameter 12 mm shows significantly braking distance became upper level than others ventilating holes diameter as results of increasing velocity.

According to the graph analysis, ventilating holes diameter 12 mm shows significantly braking distance became upper level than others ventilating holes diameter as results of increasing velocity. O-13

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

5. CONCLUSIONS

The increasing velocity shows the different braking distance at 40 km/h until 80 km/h. According to mean test is caused the excellent data prefer to investigate at this position because the tolerant braking load could be increasing at real time condition.

According to the testing experiments that have been done during the stationer test:  Ventilating holes diameter of disc brake has a good performance against to 10 and 12 ventilating holes diameter.  Results of pertaining tests can be seen that ventilating holes 8 mm has braking distance is shorter than ventilating holes diameter 10 mm and 12 mm.  Mean test shows significantly changed ventilating holes diameter that it is subject to velocity and braking load on itself.  The influence of braking distance amongst those different ventilating holes diameter is generally to investigate significantly the most when the velocity has upper level condition or situational tests.  To stop the motorcycle efficiently is important to increase braking load and to decrease velocity at many level situation tests so that braking distance will get hurry to stop the motorcycle.

REFERENCE [1] Crouse, William,”Automotive Mechanics”, The Drayden Press, USA 1993. [2] Northop,R.S.,“Teknik Reparasi Sepeda Motor” Pustaka Setia, Bandung, 2004. [3] Owen, Clifton,”Automotive Brake System”, Haynes, North America, California, 2004. [4] Sutantra, I.N,” Teknologi Otomotif, Teori dan Aplikasinya”, Guna Widya, Surabaya, 2001 [5] Albert, Christian,”Pengaruh Perubahan Diameter Lubang Ventilasi Pada Pringan Cakram Terhadap Jarak Penegereman Pada Pengujian Stasioner,”UK Petra, Surabaya, 2009.

Fig 10. Braking Distance vs Velocity According to the graph analysis, ventilating holes diameter 12 mm shows significantly braking distance became upper level than others ventilating holes diameter as results of increasing velocity Significant analysis could be investigated the braking distance at 40 km/h until 80 km/h. At 80 km/h the different data shows excellent analysis to know level of braking distance by stationer test.

O-14

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

OPTIMASI SETINGAN MESIN PADA PENGGUNAAN GASOHOL E-15 DENGAN METODE TAGUCHI UNTUK MENDAPATKAN EMISI CO DAN HC YANG RENDAH Budi Waluyo1), Saifudin2) Program Studi Mesin Otomotif Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Magelang1,2) Jalan. Mayjend Bambang Soegeng km 5 Mertoyudan Magelang, 56172. Indonesia1,2) Telp/Fax. (0293)326945 E-mail : [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Ethanol sebagai sumber energi alternatif untuk mesin bensin / Spark Ignition Engine (SIE) terus diteliti dikembangkan sebagai substitusi bahan bakar fosil (gasoline). Campuran gasoline dan ethanol lebih dikenal dengan nama gasohol. Dalam penelitian ini, setingan mesin (engine setting) dilakukan sebagai usaha untuk mendapatkan emisi gas buang yang paling kecil pada penggunaan E-15 ( gasoline 85% dan Ethanol 15%) sebagai bahan bakar pada mesin mobil empat silinder inline konvensional. Emisi gas buang yang di teliti dalam penelitian ini hanya difokuskan pada emisi hidrokarbon (HC) dan carbon monoksida (CO). Metode Taguchi dengan orthogonal array L9 digunakan dalam disain penelitian ini. Faktor setingan waktu pengapian (timing ignition), celah katup (valve clearance), posisi tinggi pelampung (high float position) dan sudut dwell (dwell angle) dengan tiga level pada masing-masing faktor dipilih sebagai faktor yang diprediksi mempengaruhi penurunan emisi gas buang. S/N Ratio dan ANOVA digunakan untuk menentukan parameter setingan mesin optimum dengan karakteristik low is better dan kontribusi masing masing faktor yang mempengaruhi respon. Hasil penelitian menunjukan setingan waktu pengapian level 10o BTDC, celah katup 0,15 mm in dan 0,25 mm ex, posisi tinggi pelampung 7,5 mm dan sudut dwell 580 dipilih untuk mendapatkan emisi CO yang minimum. Sedangkan untuk mendapatkan emisi HC minimum dipilih setingan waktu pengapian level 5o BTDC, celah katup 0,20 mm in dan 0,30 mm ex, posisi tinggi pelampung 5,0 mm dan sudut dwell 580. Celah katup mempunyai kontribusi yang paling besar mempengaruhi respon. Kata kunci: gasohol, spark ignition engine, orthogonal array octane booster, menunjukkan bahwa etanol mempunyai unjuk kerja lebih rendah tetapi mempunyai ketahanan knocking yang lebih tinggi dibandingkan MTBE. Halvorsen [1998] menguji E10 dan E-85 pada mobil Cevrolet 3.1 liter susunan silinder V dengan sistem injeksi, menunjukan bahwa bahwa dengan manaikkan rasio kompresi dari 9,71 menjadi 10,32 daya yang dihasilkan sama seperti pemakaian E-10 tetapi terjadi kenaikkan konsumsi bahan bakar sebesar 21,6%. Jeuland [2004], meneliti ethanol murni pada motor bensin yang dilengkapi dengan turbocharger dan motor dimodifikasi pada sistem saluran bahan bakar, geometri silinder dan menaikkan rasio kompresi dari 9,5 menjadi 12,5. Pada beban penuh, torsi dan daya maksimum yang dihasilkan lebih besar 15% dibandingkan bahan bakar bensin. Hasan [2003] meneliti pengaruh campuran etanol (sampai dengan 25%) pada unleaded gasoline menunjukan hasil bahwa penambahan etanol sampai dengan 20%, terjadi kenaikkan unjuk kerja motor dan penurunan emisi gas buang (CO dan HC). Jia [2005] meneliti emisi gas buang (CO, HC dan THC: ethanol, acetaldyhade, aromatics, dll) pada sepeda motor 4 stroke-1 silinder berbahan E-10 yang diuji di chasis dynamometer sesuai dengan standar European Driving Cycle (ECE)

1. PENDAHULUAN Semakin menipisnya cadangan bahan bakar fossil khusunya minyak bumi dan isu pencemaran udara memberikan isyarat kepada untuk segera beralih menggunakan bahan bakar yang bisa diperbaharui dan lebih ramah lingkungan. Sektor transportasi merupakan salah satu sektor yang memiliki kebutuhan energi dan mensuplai gas berbahaya yang cukup besar Penggunaan alkohol sebagai bahan bakar kendaraan mulai diteliti dan diimplementasikan di Amerika Serikat (AS) dan Brazil sejak terjadinya krisis bahan bakar fosil di kedua negara tersebut pada tahun 1970-an. Brazil tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki keseriusan tinggi dalam implementasi bahan bakar alkohol untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan bahan bakar ethanol saat ini mencapai 40 persen secara nasional. Penelitian penggunaan bahan bakar ethanol murni (dedicated) maupun campuran dengan gasoline (blending) telah menjadi perhatian beberapa peneliti di bidang Internal combustion engine. Beberapa penilitian yang sudah dilakukan diantaranya: Atok Setiyawan et.al. [2006] membandingkan campuran ethanol dan premium (E30) dan MTBE (Pertamax Plus) sebagai O-15

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

menunjukan hasil terjadi penurunan CO, HC, acetaldyhade dan ethylene sedangkan NOx tidak berubah secara signifikan. Topgul, et.al. [2006] meneliti pengaruh campuran etanol dan unleaded gasoline (E0, E10, E20, E40 dan E60), ignition timing dan compression ratio terhadap unjuk kerja dan emisi gas buang. Hasilnya menunjukan bahwa peningkatan torsi pada semua penambahan etanol terjadi pada compression ratio 10:1, penurunan CO terbesar (32%) terjadi ada E40 dan compression ratio 9:1 sedangkan penurunan HC terbesar (31%) terjadi pada E60 dan compression ratio 10:1. F. Yüksel, and B. Yüksel [2004] meneliti tentang penggunaan campuran ethanol dan gasoline pada SI engine dengan proporsi campuran 1.5, 3, 4.5, 6, 7.5, 9, 10.5 and 12% ethanol pada gasoline menunjukan bahwa 7.5% ethanol paling cocok dan menghasilkan CO paling rendah. Banyaknya kendaraan yang masih beroperasi di Indonesia yang masih berteknologi konvensional (Karburator dan pengapian platina) dan memang hanya disiapkan untuk menggunakan bahan bakar gasolin sebagai bahan bakarnya, tentu memerlukan setingan khusus dan juga pengkajian yang lebih mendalam untuk bisa menggunakan Gasohol sebagai bahan bakar alternatif. Dalam hal ini peneliti mencoba untuk mengkaji ”Optimasi Setingan Mesin Pada Penggunaan Gasohol E-15 Dengan Metode Taguchi Untuk Mendapatkan Emisi CO Dan HC Yang Rendah”. Empat parameter setingan mesin yang dipilih dan diprediksi mempengaruhi emisi gas buang adalah:

terjadinya fenomena knocking. b. Celah Katup (valve clearance) Mekanisme katup sebuah mesin kendaraan menuntut adanya celah (clearance) tertentu untuk performa mesin yang optimum dan untuk mendapatkan putaran idle yang stabil. Celah katup terlalu sempit akan menyebabkan durasi bukaan katup dan overlap yang lebih lama, dan begitu juga sebaliknya. Durasi bukaan katup dan overlap akan mempengaruhi durasi langkah kompresi dan juga langkah kerjanya. c. Posisi Tinggi Pelampung (high float position) Posisi tinggi pelampung adalah posisi pelampung dimana katup jarum pada sistem pelampung dalam kondisi tertutup dalam sistem bahan bakar konvensional (karburator). Posisi tinggi pelampuang akan mempengaruhi komposisi campuran udara dan bahan bakar, baik pada saat sistem idle bekerja maupun pada saat sistem utama yang bekerja. Komposisi campuran bahan bakar yang terbentuk dalam karburator juga dipengaruhi oleh massa jenis dari bahan bakar cair yang gunakan. Setiap jenis bahan bakar mempunyai campuran Stoikiometri dengan udara yang berbeda, sehingga penggunaan bahan bakar yang berbeda menuntut penyesuaian posisi tinggi pelampung untuk mendapatkan performa mesin dan emisi yang optimum. d. Sudut Dwell (Dwell Angle).

2. METODOLOGI

Sudut dwell merupakan ukuran durasi waktu dimana sirkuit primer pada sistem pengapian tertutup untuk menghasilkan kemagnetan kumparan primer (primary windings) pada coil. Pada sistem pengapian konvensional, sudut dwell dipengaruhi oleh celah kontak platina, sehingga pada sistem pengapian konvensional, penyetelan sudut dwell dilakukan dengan penyetelan celah kontak platina. Setiap faktor setingan mesin diambil tiga level pengujian dengan kondisi level pengujian dibawah setandar, standar dan diatas standar. Standar yang dipakai dalam pengujian ini berpedoman pada standar manual book yang dikeluarkan oleh paabrik pembuat kendaraan yang di uji. Untuk lebih jelasnya disain pengujian dapat dilihat pada Tabel 2.2. Disain Pengujian dengan metode Taguchi dipilih untuk mengetahui respon emisi gas buang (Carbon monoksida dan Hidrokarbon) dari empat faktor yang diprediksi akan mempengaruhi respon. Dengan metode taguchi, empat faktor dan tiga level setingan mesin, akan menghasilkan L9 Orthogonal Array seperti pada Tabel 2.3.

Dalam penelitian ini penelitian menggunakan Toyota Kijang dengan type mesin 5K dan menggunakan campuran Ethanol-Gasoline 15% (E15). Karakteristik Campuran Ethanol–Gasoline terlihat pada Tabel 2.1. Empat faktor setingan mesin dipilih dan diprediksi mempengaruhi kadar emisi gas buang. Empat faktor setingan mesin tersebut adalah: a. Waktu Pengapian (Timing Ignitions) Waktu pengapian merupakan saat busi (plug) memercikan bunga api listrik pada akhir langkah kompressi untuk menginisiasi pembakaran. Pada hampir semua mobil konvensional waktu pengapian bisa di seting dengan memutar bodi distributor (delco) pada saat mesin hidup dalam kondisi idle. Pembacaan waktu pengapian dengan timing light. Penyetelan waktu pengapian pada mesin merupakan salah satu hal yang penting untuk mendapatkan performa mesin dan emisi gas buang yang optimum. Waktu pengapian yang tepat juga akan mempengaruhi usia pakai (life time) dari mesin karena adanya batasan rasio kompresi pada motor bensin untuk tidak O-16

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Pengujian emisi gas buang dilakukan dengan menggunakan alat uji Engine Gas Analiser Qrotect 401 yang memapu mengukur CO2, O2, CO, HC dan lamda. Konsentrasi CO, HC dan CO2 diukur gas detektor Nondispersive Infrared (NDIR). Untuk O2 diukur dengan metode elektrochemical. Engine Gas Analiser ini mempunyai range pengukuran CO 0,00 – 9,99 %, HC 0,0 – 9999 ppm, CO2 0.0 – 20,0 %, O2 0,l0 – 25,0 % dan lamda 0,00 – 2,00. Alat ukur ini mempunyai ketelitian pengukuran CO : 0,01%, HC : 1 ppm, CO2 : 0,1 %, O2 : 0,01 % dan lamda : 0,1. Pengujian kadar emisi gas buang dilakukan dengan cara memasang engine gas analizer pada pipa knalpot. Pengujian dilakukan berdasar prosedur kepmen Lingkungan hidup no 5 tahun 2006, yaitu masing pengujian (Trial) dilakukan sebanyak lima kali pengujian dan putaran uji stasioner. Dari lima kali pengujian pada setiap trial pengujian kemudian diambil rata-ratanya. Signal to Noise Ratio(S/N) digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi variasi hasil/respon. Karakteristrik low is better

dipilih dalam analisa pada percobaan ini. Low is better merupakan karakteristik terukur non negatif dengan nilai ideal nol. Karakteristik dimana nilai yang dituju adalah suatu nilai terkecil. S/N Ratio untuk karakteristik kualitas Lower is better adalah:

di mana: n : Banyaknya penulangan setiap trial y : hasil/respon pada setiap trial. Keterangan tabel 4.1 dan tabel 4.2: Faktor A : Waktu Pengapian [oBTDC] Faktor B : Celah Katup [ x10-2 mm] Faktor C : Posisi Tinggi Pelampung [mm] Faktor D : Sudut Dwell [Derajat] 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian untuk pengujian Carbon monoksida dan Hidrokarbon ditunjukan pada tabel 3.1. dan O-17

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 3.1 Plot S/N Ratio untuk emisi carbon monoksida

O-18

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Gambar 3.2 Plot S/N Ratio untuk emisi hidrocarbon

b. Analysis of Variance (ANOVA)

3.2 sedangkan plot grafik S/N Ratio untuk Carbon monoksida dan Hidrokarbon ditampilkan pada gambar 3.1 dan gambar 3.2.

ANOVA digunakan untuk menentukan parameter setingan mesin yang secara siknifikan mempengaruhi emisi carbon monoksida dan hidrokarbon. Tabel berikut memaparkan hasil nilai S/N dan ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95%. Dari tabel rekapitulasi nilai S/N dan ANOVA menunjukan bahwa setingan celah katup mempunyai kontribusi terbesar untuk hasil emisi Carbon monoksida dan Hidrokarbon terendah. Hal ini disebabkan

a. Analisa S/N Ratio Hasil perhitungan S/N Ratio dengan menggunakan rumus S/N Ratio untuk karakteristik Low is Better dari disain pengujian untuk hasil emisi Carbon monoksida dan Hidrokarbon dari akan disajikan pada Tabel 3.3.

O-19

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

1(5o BTDC), celah katup pada level 1(15 mm in, 25 mm ex), posisi tinggi pelampung level 3 (8 mm), sudut dwell pada level 3 (58o). 2. Untuk mendapatkan pengaruh emisi Hidrocarbon yang rendah pada penggunaan Gasohol E 15 perlu setingan waktu pengapian pada level 1(5o BTDC), celah katup pada level 2 (20 mm in, 30 mm ex), posisi tinggi pelampung level 1 (5 mm), sudut dwell pada level 3 (58o) 3. Celah katup mempunyai kontribusi terbesar mempengaruhi hasil/respon emisi Carbon Monoksida dan Hidrokarbon.

semakin sempit setingan celah katup akan menyebabkan durrasi overlapping katup yang semakin besar. Overlapping katup akan mempengaruhi proses pembilasan pada motor 4 langkah, sehingga semakin sempit celah katup durasi pembilasan akan semakin lama, sehingga pembuangan gas bekas pembakaran akan semakin sempurna. Hal ini akan meyebabkan semakin kecilnya pengeluaran hidrokarbon saat kecepatan idle. Emisi karbonmonoksida dan hidrokarbon pada Internal Combustion Engine proses pembakaran yang tidak sempurna (Incomplet Combustions). Pengukuran emisi dilakukan pada kecepatan idle, sehingga kecenderungan menghasilkan CO yang lebih banyak karena pada saat idle campuran bahan bakar dan udara pada kondisi idle ini cenderung lebih kaya. Kondisi ini akan menjadi lebih signifikan apabila celah katup semakin sempit, karena celah katup yang semakin sempit akan menghasilkan durasi buakaan katup yang lebih lama. Faktor kedua yang mempunyai signifikansi terbesar dalam penurunan emisi carbon monoksida adalah sudut dwell. Besarnya sudut dwell akan berimplikasi pada besarnya tegangan tinggi yang disuplai ke busi (plug) yang akan menentukan kekuatan percikan listrik pada elektroda busi. Semakin besar panas yang diberikan elektroda busi untuk menginisiasi pembakaran akan menyempurnakan proses pembakaran itu sendiri, sehingga berimplikasi pada penurunan emisi carbon monoksida. Faktor kedua yang mempunyai signifikansi terbesar dalam penurunan emisi hidrokarbon adalah waktu pengapian. Pada saat putaran idle, durasi proses pembakaran lebih lama dari pada ketika putaran yang lebih tinggi. Pemajuan waktu pengapian pada kondisi ini akan mengurangi durasi poses kompresi, sehingga semakin maju waktu pengapian akan menyebabkan pembakaran yang kurang sempurna karena kompresi yang lebih rendah dari pada pengapian yang lebih mundur.

DAFTAR PUSTAKA [1] Setiyawn, Atok, Yulianto dan Nugroho 2011, “Karakteristik Unjuk Kerja dan Emisi Gas Buang Bahan Bakar Campuran Bioethanol Premium pada Motor Otto Silinder Tunggal dan Sistem Injeksi”, Jurnal teknik Mesin, Vol.11, No.2 Mei 2011, hal.147-158 [2] Halvorsen, Ken, C. [1998],”The Necessary Component of A Dedicated Ethanol Vehicle”, Mater Thesis, University of Nebraska, USA. [3] Hasan "Effect of ethanol–unleaded gasoline blends on engine performance and exhaust emission" Energy Conversion and Management 44, 1547–1561, 2003 [4] Jeuland, N., et al. "Potentiality of Ethanol as a Fuel for Dedicated Engine." Oil & Gas Science and Technology, 2004: 559-570. [5] Jia, L.-W.; Shen, M.-Q.; Wang, J. & Lin, M.-Q. (2005). Influence of ethanol–gasoline blended fuel on emission characteristics from a four-stroke motorcycle engine. Journal of Hazardous Materials Vol.A123, pp. 29–34 [6] M. S. Phadke, “Quality engineering using robust design,” Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ, 1989. [7] Topgül K, Uzun O, Anadol AZ, Gök A. Surgical management of enoxaparin and/or warfarin induced massive retroperitoneal bleeding: report of a case and review of the literature. South Med J. 2005; 98(1):104–106. doi: 10.1097/01.SMJ. 0000145306. 59008.4E. [8] Yüksel, F. & Yüksel, B. (2004). The use of ethanol–gasoline blend as fuel in a SI engine. Renewable energy Vol.29, pp.1181-1191

4. KESIMPULAN Dari hasil dan pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Untuk mendapatkan pengaruh emisi Carbon Monoksida yang rendah pada penggunaan Gasohol E 15 perlu setingan waktu pengapian pada level

O-20

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PEMODELAN DAN ANALISA ENERGI YANG DIHASILKAN MEKANISME MULTI-LAYER PIEZOELECTRIC VIBRATION ENERGY HARVESTING AKIBAT PENGARUH VARIASI SUDUT MEKANISME 1

Wiwiek Hendrowati(1), Harus Laksana Guntur(2), I Nyoman Sutantra(2)

Mahasiswa Program Doktor Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS Jl.Arif Rahman Hakim, Kampus ITS Keputih, Sukolilo-Surabaya (60111) Phone: +62-31-5946230, FAX: +62-31-5922941, E-mail: [emailprotected] 2

Dosen Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS Jl.Arif Rahman Hakim, Kampus ITS Keputih, Sukolilo-Surabaya (60111) Phone: +62-31-5946230, FAX: +62-31-5922941

ABSTRAK Metode piezoelectric adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk merubah energi getaran menjadi energi listrik. Piezoelectric merupakan material yang mampu menghasilkan energi listrik apabila mengalami defleksi. Sifat piezoelectric yang mempunyai kekakuan tinggi memerlukan gaya tekan yang besar untuk menghasilkan energi listrik yang besar. Mekanisme multi-layer piezoelectric vibration energy harvesting (M-L PZT VEH) merupakan mekanisme yang dirancang untuk merubah energi getaran menjadi energi listrik dengan metode piezoelectric berteknologi multi-layer dan untuk memperbesar defleksi serta gaya tekan yang diberikan pada massa M-L PZT. Geometri mekanisme ini dapat merubah arah gaya vertikal menjadi horisontal yang dihubungkan dengan link. Sudut yang dibentuk oleh link akan menentukan nilai perbesaran antara gaya input dan output. Penelitian ini membahas tentang pengaruh variasi sudut (150, 250 dan 350) pada mekanisme M-L PZT VEH terhadap energi listrik yang dihasilkan dengan melakukan pemodelan. Massa M-L PZT disusun dari 15 lembar PZT yang diasumsikan mempunyai parameter yang sama. Dari penelitian ini dinyatakan bahwa pemakaian mekanisme VEH dapat memperkecil nilai frekuensi resonansi dari massa M-L PZT. Penggunaan sudut 250 pada mekanisme M-L PZT VEH dan yang bekerja pada frekuensi resonansi 9.46x104 rad/s, akan menghasilkan perbesaran energi listrik yang maksimal yaitu voltase 3.54x1012, arus 3.54x1010 dan daya 2.51x108. Kata kunci: Piezoelectric, Multi-Layer, Vibration Energy Harvesting, Gaya Tekan Maksimum. Namun efek bahan perekat tumpukan akan mengurangi kemampuannya dalam menghasilkan energi. Efek dari ketebalan bahan perekat antar layer pada material piezoelectric yang ditumpuk (stack) secara teoritis diteliti oleh Saillant, et al [5]. Penelitian difokuskan pada pengaruh ketebalan bahan perekat dan meminimalkannya untuk optimasi sifat electromechanical dari alat VEH. Sehingga, untuk mendapatkan desain yang baik adalah dengan menggunakan bahan perekat setipis mungkin dan mendapatkan material yang sekaku (stiff) mungkin. Luo, et al [6] melakukan penelitian untuk mendapatkan energi dengan menggunakan piezoelectric stack actuator, yang merupakan suatu alat yang bisa menghasilkan energi dalam dua arah yang berlawanan. Dengan desain yang berbeda, Lie, et al [7] melakukan penelitian tentang piezoelectric stack yang dipasang pada transducer elastis untuk me-harvest energi getaran. Salah satu aplikasi material piezoelectric yang ditumpuk (stack) diteliti oleh Feenstra, et al [8], yang membahas tentang energi listrik yang dapat dihasilkan dari perbedaan gaya yang terjadi pada gesper/mekanisme saat pembawaan tas ransel. Penelitian tentang multi-layer piezoelectric terus dikembangkan oleh Wiwiek, dkk [9] dan [10], dengan memberikan pembebanan impak dan harmonik untuk mengetahui karakteristik energi listrik yang dapat dihasilkan pada suatu mekanisme VEH yang berbeda-beda. Berpedoman pada latar belakang sebagaimana dipaparkan diatas, pada penelitian ini dilakukan pemodelan dan analisa mekanisme vibration energy harvesting yang

1. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi memerlukan dukungan ketersediaan sumber energi untuk menjalankan peralatan, dimana salah satunya berupa energi listrik. Diantara sumber energi skala mikro, getaran atau gerak merupakan sumber energi yang menarik untuk dikaji, mengingat pada umumnya benda yang bergerak atau peralatan yang beroperasi akan menimbulkan getaran. Sementara itu, selama ini ditengarai bahwa getaran atau gerak merupakan salah satu sumber energi yang sebagian besar tidak termanfaatkan dan hilang begitu saja di sekitar kita [1]. Sejumlah penelitian dan/atau publikasi telah membahas energy harvesting dari sumber energi getaran menjadi energi listrik, antara lain dengan metode piezoelectric untuk energy harvesting dari getaran yang terjadi di peralatan industri [2] atau yang berkenaan dengan aktivitas manusia [3]. Dalam pemakaiannya sebagai energy harvesting, kebanyakan material piezoelectric mempunyai arah pembebanan tarik dan tekan. Sementara itu, penelitian yang menggunakan pembebanan tekan dilakukan oleh Kysmissis, et al [3] dan Keawboonchuay dan Engel [4]. Pada penelitian ini diinvestigasi pengaruh TAR (Thickness and crosssectional Area Ratio) dari material piezoelectric terhadap energi yang dihasilkan. Dari hasil pengujian didapatkan bahwa pemakaian material piezoelectric yang tebal akan meningkatkan voltase. Dengan alasan untuk meningkatkan performansi, digunakan piezoelectric dalam bentuk tumpukan (stack). O-21

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

dirancang untuk merubah energi getaran menjadi energi listrik dengan metode piezoelectric berteknologi multi-layer. Piezoelectric disusun multi-layer bertujuan untuk memperbesar defleksi piezoelectric. Selain itu, untuk memperbesar gaya tekan yang diberikan pada M-L PZT maka dirancang mekanisme M-L PZT VEH. Geometri mekanisme ini bertujuan untuk merubah arah gaya vertikal menjadi horisontal. Sudut yang dibentuk oleh link (yang menghubungkan arah vertikal dan horisontal) akan menentukan nilai perbesaran antara gaya input dan output pada mekanisme. Dengan memodelkan mekanisme M-L PZT VEH dan memberikan variasi sudut (150, 250 dan 350) pada mekanisme VEH, maka energi listrik yang dihasilkan dapat dianalisa. Massa M-L PZT yang digunakan disusun sebanyak 15 lembar dengan parameter-parameter yang dianggap konstan.

A1 y

q1(t) q2(t) L2

A2

q1 q2 O

B1 x

B2

Gambar 2. Hubungan Antara q t  dan x t  Perubahan q t  akan menyebabkan perubahan posisi lengan L2 dimana titik A1 berrpindah pada titik A2 dan titik B1 berpindah pada titik B2.

A1 A2  OA1  OA2  L2 Cosq1 q B1B2  OB2  OB1  L2 Sinq1q

2. METODOLOGI

Sinq  q q  , maka  Cosq  1

2.1 Mekanisme M-L PZT VEH Mekanisme M-L PZT VEH yang terdiri dari frame dan massa elastis yang dapat diilustrasikan seperti tertera pada Gambar 1.

Dari ke dua persamaan diatas, maka x B1 B2 L2 Sinq1q    tan q1 y A1 A2 L2Cosq1q

V FVEH (t)

(1)

Sehingga gerakan dari mekanisme VEH, sesuai dengan sudut yang diberikan q 1

L2  (t)

L3 (t)

 (t)

2.2 Faktor Perbandingan Mekanisme M-L PZT VEH Massa Elastis Multi-layer PZT

Dalam perancangan mekanisme VEH terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, mekanisme VEH mempunyai bentuk yang mampu merubah gerak translasi arah vertikal menjadi arah horisontal. Sedangkan kedua, geometri yang dirancang bertujuan untuk mendapatkan outputan dari mekanisme VEH yang mempunyai gaya yang besar dan perpindahan yang kecil. Dari analisa yang telah dilakukan pada subbab sebelumnya didapat faktor perbandingan gaya dan perpindahan pada mekanisme VEH, sebagai berikut:

L1 Gambar 1. Skema Mekanisme M-L PZT VEH

y(t)

dimana V t  : gaya yang diterima oleh mekanisme VEH FVEH

L1 L2 L3 t   t 

: panjang mekanisme VEH

v

FVEH (t)

q

: panjang lengan penekan : tinggi mekanisme VEH

H

H

FVEH (t)

FVEH (t)

: sudut yang dibentuk oleh lengan L2

x(t)

Gaya F t  yang diterima oleh mekanisme VEH berasal dari gaya eksitasi harmonik, yang akan menyebabkan perubahan sudut  t  pada lengan L2 dan kemudian akan menekan massa elastis M-L PZT VEH. Karena perubahan sudut tersebut, maka tinggi mekanisme VEH, L3 t  , juga akan berubah.

x(t)

V VEH

Gambar 3. Hubungan Gaya dan Perpindahan pada Mekanisme VEH

O-22

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Faktor perbandingan gaya

dimana

x

F H t  1   VEH V tan q FVEH t 

(2)

Faktor perbandingan perpindahan

  tan q 

x t  y t 

(3)

E r Ar tr

Ar tr

H : gaya yang digunakan untuk menekan massa FVEH elastis M-L PZT : perpindahan yang diterima mekanisme VEH y t  : perpindahan yang dihasilkan mekanisme VEH x t  : sudut awal mekanisme VEH

(5)

: luasan penampang karet : ketebalan material karet  tr  x

Analisa Dinamis xr(t) H

FVEH (t)

2.3 Massa Elastis M-L PZT Massa elastis M-L PZT yang dipasang pada mekanisme M-L PZT VEH terdiri dari massa karet dan massa M-L PZT (PZT stack), dengan konfigurasi seperti tertera pada Gambar 4. multi-layer PZT

s

FVEH (t)

dimana H t  : gaya osilasi yang diberikan oleh mekanisme FVEH M-L PZT VEH Fr t  : gaya kepegasan dari karet dengan mengabaikan redaman x r t  : perpindahan pada karet

karet

n

Fr(t)

mr

Gambar 5. Keseimbangan Gaya Pada Massa Karet

s

FVEH (t)

3 1

kr 

dimana : koefisien pegas dari karet kr : modulus elastisitas material karet Er

dimana V : gaya yang diterima mekanisme VEH FVEH

karet

F

: defleksi pada material karet . : gaya yang diberikan oleh mekanisme VEH pada massa elastis pada saat pemasangan

S VEH

2

Persamaan keseimbangan gaya material PZT material isolator

F  mr . xr

H t   Fr t   mr .xr t  FVEH

Gambar 4. Susunan Massa Elastis M-L PZT

(6)

dimana mr : massa karet dimana n : jumlah lapisan Karet mempunyai elastisitas rendah

Karena massa karet mr dianggap kecil maka persamaan (6) menjadi

2.3.1 Massa Karet

H t   Fr t  FVEH

Analisa Statis Pada saat pemasangan, mekanisme M-L PZT VEH dirancang untuk menerima beban awal sebelum digunakan. Untuk itu pada massa M-L PZT ditambahkan material karet disisi luarnya. Hal ini bertujuan untuk mengakomodir adanya defleksi awal pada saat pemasangan. Selanjutnya, pada saat diberikan beban eksitasi harmonik, maka massa M-L PZT akan menerima gaya harmonik dan menghasilkan energi listrik. Persamaan keseimbangan gaya pada massa karet dan dengan mengabaikan redamannya adalah: S VEH r

F

2.3.2 Massa M-L PZT Massa M-L PZT terdiri dari beberapa lapisan elemen PZT, dimana masing-masing elemen PZT mempunyai respon mekanik dan elektrik yang sama. Uraian dari persamaan constitutive pada elemen PZT disampaikan berikut ini.

-

+ Fp(t)

 k .x

S FVEH x  kr

(7)

Fe(t) Fm(t)

Gambar 6. Keseimbangan Gaya Pada Elemen PZT

(4)

O-23

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Persamaan keseimbangan gaya yang terjadi pada elemen PZT adalah:

Penyelesaian keseimbangan gaya respon mekanik F  M PZT u

Fp t   Fm t   Fe t 

H t  M PZT ut   F p t   FVEH

 k p u t   d 33 E 3 t .YA 

dimana Fp t 

YA u t   NV t  t

 YA V t   H t  M PZT ut    u t   nd 33YA  FVEH  Lp  t   H t  M PZT ut   k p equt   nNV t   FVEH

(8)

dimana M PZT

: gaya yang diberikan pada elemen PZT

: gaya mekanik yang terjadi pada elemen PZT Fm t  : gaya elektrik yang dihasilkan oleh elemen PZT Fe t  YA kp  : koefisien pegas elemen PZT t YA N d 33  merupakan coupling factor antara t

u t 

d 33 E3 t  Y A t V t 

k p eq 

(10)

: massa M-L PZT

YA : koefisien pegas massa M-L PZT Lp

2.4 Analisa Dinamis Mekanisme M-L PZT VEH

v Fveh (t)

mekanik

dan elektrik : perpindahan pada elemen PZT : piezoelectric charge constant (C/N) : : : : :

Multi layer PZT + Karet

electric field Young’s modulus elemen PZT (N/m2) luas permukaan elemen PZT (m2) tebal elemen PZT (m) voltase yang dihasilkan elemen PZT

H

Fveh (t)

Jika elemen PZT tersusun sebagai M-L PZT VEH, maka uraiannya adalah sebagai berikut:

YA F p t   ut   nNV t  Lp

Gambar 8. Mekanisme M-L PZT VEH

(9)

Gambar 8. dan 9. mengilustrasikan mekanisme M-L PZT VEH dan pemodelan sistem mekanik-elektrik. Digambarkan bahwa dengan adanya bentuk struktur mekanisme M-L PZT V t  dapat dirubah menjadi VEH tersebut, maka gaya FVEH

dimana n : jumlah elemen PZT yang disusun L p : tebal total PZT yang sudah disusun

H H t  . Selanjutnya gaya FVEH t  akan mendorong massa FVEH pendorong (Mp) yang menekan massa M-L PZT (MPZT). Karena gesekan yang terdapat pada mekanisme dapat dianggap kecil, maka dapat diassumsikan bahwa antara V H t  dan FVEH t  tidak terdapat beda fase. Sehingga FVEH gerakan osilasi gaya yang diterima oleh massa elastis M-L PZT, mempunyai gerakan yang sama dengan gaya eksitasinya.

Dengan menggunakan persamaan constitutive, massa M-L PZT dapat dimodelkan sebagai single degree of freedom untuk mendefinisikan persamaan dinamisnya. Keseimbangan gaya antara respon mekanik dan elektriknya ditunjukkan pada Gambar 7. Penyelesaian keseimbangan gaya untuk respon mekanik dan elektrik dilakukan sebagai berikut.

u i

Fm H

FVEH (t)

Fk MPZT

H

Fe

Fveh (t)

1:N

Mp

Kr Cp

Mpzt

Kpzt Fe

C R

C R

Va

Va Gambar 7. Hubungan Antara Respon Mekanik dan Respon Elektrik

Gambar 9. Pemodelan Sistem Mekanik-Elektrik O-24

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Penjelasan tentang analisa mekanisme M-L PZT VEH yang dapat menghasilkan energi listrik disampaikan dalam Gambar 10.

Zp i Fmp

i

H

Fveh

(t)

Mp

Fr Fcp

MT  M p 

FPZT Mpzt

Fcp

M PZT

KT 

K PZT

Fe  N .V

Dengan metode penyederhanaan seperti yang terlihat pada persamaan (14), maka analisa massa M-L PZT dapat digabungkan/disederhanakan dengan gerakan massa pendorong (Zp), dengan syarat memberikan rasio perpindahan sebesar  pada perpindahan massa M-L PZT (ZPZT) . Hal ini dapat ditunjukkan dalam Gambar 10.

Zpzt

Fmpzt

Fr

dimana

Fe

Zp i FmT

Gambar 10. Diagram benda bebas massa pendorong dan massa

H

Fveh (t)

dimana Mp : Massa pendorong

FkT MT

Fe N:1

M PZT

: Massa M-L PZT

Fmpi

: Gaya inersia massa pendorong

Fr

: Gaya karet

R

Fcp

: Gaya peredam mekanisme VEH

Va

i mPZT

C

F

: Gaya inersia massa M-L PZT

FPZT Fe

: Gaya pegas massa M-L PZT : Gaya elektrik dari massa M-L PZT

Gambar 10. Diagram Benda Bebas Mekanisme M-L PZT VEH

Zp

: Perpindahan massa pendorong

2.5 Analisa Elektrik Massa M-L PZT

Z PZT

: Perpindahan massa M-L PZT Dari susunan elektriknya dapat dijelaskan sebagai berikut

N .z p

Analisa massa pendorong F  M p .zp

M p zp  Fcp  Fr  F

H VEH

H M p zp  C p z p  K r z p  FVEH  C p z PZT  K r z PZT

C C N .z p

M PZT zPZT  FPZT  Fcp  Fkp  Fe

C N .z p

(12)

C

 C p z p  K r z p  Fe

N .z p C

(16)

Q Q  C C

(17)

Dari persamaan diatas akan diperoleh voltase, arus dan daya yang dapat dihasilkan mekanisme M-L PZT VEH. 2.6 Pemodelan Mekanisme M-L PZT VEH

(13)

Dari persamaan–persamaan di atas, mekanisme M-L PZT V VEH akan menerima gaya sebesar FVEH . Dengan bentuk mekanisme M-L PZT VEH yang sedemikian rupa, maka V H gaya FVEH dapat dirubah menjadi gaya FVEH , dan gaya tersebut akan diteruskan ke massa elastis. Gaya yang mengenai massa elastis tersebut, sebagian akan dirubah menjadi energi listrik oleh massa M-L PZT. Analisa secara keseluruhan mekanisme M-L PZT VEH adalah sebagai berikut.

di mana   rasio perpindahan massa M-L PZT dan pendorong Maka persamaan (13) dapat disubstitusikan ke dalam persamaan (12) menjadi

K  H  zp  PZT z p  FVEH  Fe  

H M T zp  KT z p  FVEH  Fe

Q  Q R C Q   Q R C

Sesuai dengan persamaan (16) maka persamaan diatas dapat dituliskan

Karena frekuensi operasional mekanisme M-L PZT VEH mempunyai wilayah tertentu dan pada wilayah tersebut perbesaran perpindahan antara Zp dan Zpzt cenderung konstan, maka rasio perpindahan antara massa pendorong dan massa M-L PZT () bisa diassumsikan konstan. Sehingga hubungan perpindahan antara massa pendorong dan massa M-L PZT adalah

M   M p  PZT  

T n 33 A : multi-layer capacitance yang disusun paralel t

Va  VR : voltase yang terukur/ yang melewati load resistant

F  M PZT .zPZT

z p   .z PZT

(15)

dimana

(11)

Analisa massa M-L PZT

M PZT zPZT  K PZT  K r z PZT  C p z PZT

 VC  VR

(14) O-25

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Analisa Dinamis

di mana

Dengan memasukkan

G5 s   Rs 

H FVEH 

V FVEH tan q

Sehingga persamaan (21) dapat ditulis dalam bentuk Transformasi Laplace sebagai berikut :

pada persamaan (14), maka diperoleh

Ps   Rs Q s .sQs   G5 s Q s .G6 s Q s 

persamaan

Z p s  

V FVEH

FV M T s 2  KT Z p s   VEH  NV tan q

tan q M T s 2  K T

V Z p s   G1 s FVEH  G 2 s V di mana

G1 s   G 2 s  

1 tan q M T s 2  K T

N M T s  KT

2

G6 s   s

(18)

;V 

V s   G3 s Z p s 

N Zp C

zp

+ +

G3

V

G4

Q

VR(s)

G5

G6

X

P(s)

Gambar 11. Diagram Blok Mekanisme M-L PZT VEH Dari diagram blok diatas dibentuklah persamaan transfer function yang dapat menggambarkan gain (perbesaran) antara input dan output dari masalah yang ditinjau. Pada penelitian ini, output yang dihasilkan dalam analisa adalah energi listrik berupa voltase (V), arus (I) dan daya (P) dari massa M-L PZT yang diberi beban secara langsung (tanpa) dan menggunakan mekanisme VEH.

(19)

N C

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Q V   Q R (20) C Dari persamaan (20) akan dibentuk dalam persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut: 1  V s   Q s   Rs  C 

Qs   G4 s V s 

Hasil analisa dari pemodelan yang telah dibangun, pada penelitian ini ditampilkan dalam frequency domain. Beberapa nilai parameter yang diketahui adalah sebagai berikut: MT : 0.1 kg Y : 4.9x1010 N/m2 A : 0.0004 m2 t : 0.001 m n : 15 d33 : 472x10-12 C/N C : 510x10-9 F R : 100 ohm

(21)

dimana

G 4 s  

G1

G2

dimana

G3 s  

(26)

V

FVEH (s)

Analisa elektrik

Fe  N .V

(25)

di mana

N  V s  2 M T s  KT

 

s C

1 1    Rs  C  

Energi yang dihasilkan dari M-L PZT tanpa dan dengan mekanisme VEH ditampilkan dalam Gambar 12, 13 dan 14. Pada gambar-gambar tersebut terdapat indek yang menunjukkan masing-masing grafik dari massa M-L PZT yaitu: ....00 : tanpa mekanisme VEH ....15 : dengan mekanisme VEH bersudut 150 ....25 : dengan mekanisme VEH bersudut 250 ....35 : dengan mekanisme VEH bersudut 350

Dengan asumsi bahwa load impedance mempunyai gerakan seperti eksitasinya, maka output dapat dihitung, dengan mendefinisikan 1 t RZ   (22) C n T33 A di mana  : frekuensi dari fungsi pembebanan eksitasi dan, daya dapat ditentukan menurut

 t  Pt   V t Q

Gambar 12 menunjukkan bahwa pada semua grafik (V00, V15, V25 dan V35) terlihat adanya kenaikan gain voltase dengan bertambahnya frekuensi. Bermula dari frekuensi rendah, gain voltase akan bertambah hingga sekitar frekuensi 2x103 rad/s. Selanjutnya gain voltase tidak berubah secara signifikan hingga mencapai frekuensi 3x104 rad/s. Peak gain untuk massa M-L PZT dengan menggunakan mekanisme VEH (V15, V25 dan V35) terjadi pada kondisi frekuensi

(23)

dimana

V t   RQ t 

Dalam persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut:

V s   Rs Qs   G5Qs 

(24) O-26

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

9.46x104 rad/s. Sedangkan massa M-L PZT tanpa mekanisme VEH (V00), peak gain terjadi pada kondisi frekuensi 1.69x105 rad/s. Setelah melewati peak gain, gain voltase akan menurun dengan bertambahnya frekuensi. Hasil analisa nilai gain ditunjukkan dalam Tabel 1.

Grafik I00 I15 I25 I35

System: V25 System: V35 Peak gain (dB): 251 Peak gain (dB): 240 At frequency (rad/sec): 9.46e+004 At frequency (rad/sec): 9.46e+004

250 200

System: V15 Peak gain (dB): 235 At frequency (rad/sec): 9.46e+004

V00 V15 V25 V35

150 100

System: V00 Peak gain (dB): 229 At frequency (rad/sec): 1.69e+005

Nilai

System: P25 System: P35 Peak gain (dB): 168 At frequency (rad/sec): 9.46e+004 Peak gain (dB): 146 At frequency (rad/sec): 9.46e+004 System: P15 Peak gain (dB): 135 At frequency (rad/sec): 9.46e+004

100

50 0 -50

2.81x109 5.62x109 3.54x1010 1010

189 dB 195 dB 211 dB 200 dB

200

Magnitude (dB)

Magnitude (dB)

Tabel 2. Nilai Peak Gain Arus

P00 P15 P25 P35

System: P00 Peak gain (dB): 126 At frequency (rad/sec): 1.69e+005

System: P25 Frequency (rad/sec): 100 Magnitude (dB): -171

-100

-200

-100 -150

System: P00 Frequency (rad/sec): 100 Magnitude (dB): -206

-300

10

2

10

3

4

10 10 Frequency (rad/sec)

5

10

6

10

7

10

1

10

2

3

4

10 10 Frequency (rad/sec)

10

5

10

6

10

7

Gambar 12. Voltase Yang Dihasilkan Massa M-L PZT Gambar 14. Daya Yang Dihasilkan Massa M-L PZT Tabel 1. Nilai Peak Gain Voltase Grafik V00 V15 V25 V35

Gambar 14. menunjukkan kecenderungan yang sama seperti pada grafik voltase dan arus, hal ini terlihat bahwa pada semua grafik (P00, P15, P25 dan P35) terjadi kenaikan gain daya dengan bertambahnya frekuensi. Peak gain untuk massa M-L PZT dengan menggunakan mekanisme VEH (P15, P25 dan P35) juga terjadi pada kondisi frekuensi 9.46x104 rad/s. Sedangkan massa M-L PZT tanpa mekanisme VEH (P00), peak gain terjadi pada kondisi frekuensi 1.69x105 rad/s. Hasil analisa nilai gain daya ditunjukkan dalam tabel 3.

Nilai 11

229 dB 235 dB 251 dB 240 dB

2.81x10 5.62x1011 3.54x1012 1012

System: I25 System: I35 Peak gain (dB): 211 Peak gain (dB): 200 At frequency (rad/sec): 9.46e+004 At frequency (rad/sec): 9.46e+004 200 System: I15 Peak gain (dB): 195 At frequency (rad/sec): 9.46e+004

Magnitude (dB)

150 100 50

I00 I15 I25 I35

System: I00 Peak gain (dB): 189 At frequency (rad/sec): 1.69e+005

Tabel 3. Nilai Peak Gain Daya Grafik P00 P15 P25 P35

0 -50

Nilai 126 dB 135 dB 168 dB 146 dB

1.99x106 5.62x106 2.51x108 1.99x107

-100 -150 1 10

10

2

10

3

4

10 Frequency (rad/sec)

10

5

10

6

10

Untuk mengetahui adanya perbedaan energi listrik yang dihasilkan massa M-L PZT tanpa dan dengan menggunakan mekanisme VEH, maka analisa dilakukan pada titik tertentu. Pada kondisi frekuensi 100 rad/s, grafik P00 mempunyai nilai -206 dB atau gain daya sebesar 5.01x10-11 dan grafik P25 mempunyai nilai -171 dB atau gain daya sebesar 2.81x10-9. Hal ini dapat dinyatakan bahwa pemakaian mekanisme VEH dengan sudut 250, mampu meningkatkan daya yang dihasilkan massa M-L PZT .

7

Gambar 13. Arus Yang Dihasilkan Massa M-L PZT Gambar 13 menunjukkan kecenderungan yang sama seperti pada grafik voltase, hal ini terlihat bahwa pada semua grafik (I00, I15, I25 dan I35) terjadi kenaikan gain arus dengan bertambahnya frekuensi. Bermula dari frekuensi rendah, gain arus akan bertambah hingga sekitar frekuensi 2x103 rad/s. Selanjutnya gain arus tidak berubah secara signifikan hingga mencapai frekuensi 3x104 rad/s. Peak gain untuk massa M-L PZT dengan menggunakan mekanisme VEH (I15, I25 dan I35) terjadi pada kondisi frekuensi 9.46x104 rad/s. Sedangkan massa M-L PZT tanpa mekanisme VEH (I00), peak gain terjadi pada kondisi frekuensi 1.69x105 rad/s. Kondisi yang sama seperti analisa pada voltase. Selanjutnya, setelah melewati peak gain, gain arus akan menurun dengan bertambahnya frekuensi. Hasil analisa nilai gain arus ditunjukkan dalam Tabel 2.

4. KESIMPULAN Hasil yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah: 1. Karakteristik energi listrik (voltase, arus dan daya) yang dihasilkan massa M-L PZT mempunyai bentuk grafik dan kondisi frekuensi resonansi (peak gain) yang sama. 2. Pemakaian mekanisme VEH mampu menggeser ke kiri (memperkecil) frekuensi resonansi. Hal ini disebabkan karena mekanisme VEH mempunyai sifat kepegasan dan peredam sendiri. O-27

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

3. Mekanisme VEH yang menggunakan sudut 250 akan menghasilkan energi listrik yang paling optimum dibandingkan dengan mekanisme VEH dengan sudut 150 dan sudut 350. 4. Mekanisme VEH yang menggunakan sudut 250 mampu meningkatkan energi listrik dibandingkan dengan tanpa menggunakan mekanisme VEH. Hal ini sesuai dengan tujuan perancangan mekanisme VEH untuk meningkatkan energi listrik yang dihasilkan.

[5] Saillant, J-F., S. Cochran, S. Ballandras, R. Berriet, and G. Fleury, Theoretical Effect of Epoxy Interlayer Bonds in Multilayer Piezoelectric Transducers, IEEE Ultrasonics Symposium, 2007 [6] Luo, Ya-jun., M-l. Xu, and X-n. Zhang, Modeling and Simulation of a New Piezoelectric Stack Actuator with Bi-direction Outputs, IEEE Transactions, 2010 [7] Lie, Xiaotian., M-s. Guo, and S-x. Dong, A FlexCompressive-Mode Piezoelectric Transducer for Mechanical Vibration/Strain Energy Harvesting, IEEE Transactions on Ultrasonics, Ferroelectrics and Freqauency Control, vol. 58, no. 4, 2011 [8] Feenstra, J., J. Granstrom, and H. Sodano, Energy Harvesting Through a Backpack Employing a Mechanically Amplified Piezoelectric Stack, Mechanical Systems and Signal Processing, vol. 22, pp. 721-734, 2008 [9] Hendrowati, W., Bambang Daryanto W., and I N Sutantra, Electrical Energy Characteristics Of A Piezoelectric Vibration Energy Harvesting Mechanisn Due To Impact Loads, 3rd APTECS, LPPM-ITS, Desember 6, 2011 [10] Hendrowati, W., Bambang Daryanto W., and I N Sutantra, Rancang Bangun Mekanisme Multi-Layer Piezoelectric Vibration Energy Harvesting Dan Pengaruh Eksitasi Getaran Pada Energi Yang Dihasilkan, SNTTM X, Malang, 2-3 November 2011.

DAFTAR PUSTAKA [1] Torres, Erick O., Energy-Harvesting Chips and the Quest for Everlasting Life, Power Management Design Line, Texas Instruments, Houston, 2005 [2] Nuffer, Jurgen, and T. Bein, Application of Piezoelectric Materials in Transportation Industry, Proc. Symposium on Innovative Solutions for Advancement of Transport Industry, San Sebastian, Spain, 2006 [3] Kymissis, John, C. Kendall, J. Paradiso, and N. Gershenfeld, Parasitic Power Harvesting in Shoes, Proc. 2nd Intl. Symposium on Wearable Computing, Pittsburgh, PA, 2008 [4] Keawboonchuay, C., and T. G. Engel, Maximum Power Generation in a Piezo-electric Pulse Generator, IEEE Transactions on Plasma Science, vol. 31, no. 1, 2003

O-28

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

PEMODELAN DAN ANALISA RESPON GETARAN KENDARAAN AKIBAT PEMASANGAN MEKANISME MULTI-LAYER PIEZOELECTRIC VIBRATION ENERGY HARVESTING Wiwiek Hendrowati(1), Harus Laksana Guntur(2), I Nyoman Sutantra(2) 1

Mahasiswa Program Doktor Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS Jl.Arif Rahman Hakim, Kampus ITS Keputih, Sukolilo-Surabaya (60111) Phone: +62-31-5946230, FAX: +62-31-5922941, E-mail: [emailprotected] 2

Dosen Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS Jl.Arif Rahman Hakim, Kampus ITS Keputih, Sukolilo-Surabaya (60111) Phone: +62-31-5946230, FAX: +62-31-5922941

ABSTRAK Salah satu komponen yang memberikan kenyamanan saat berkendara adalah sistem suspensi. Pada saat kendaraan sedang melaju akan menimbulkan getaran yang diakibatkan karena roda bersentuhan dengan permukaan jalan. Saat ini, banyak penelitian yang membahas tentang pemanfaatan energi getaran pada suspensi dan dikonversi menjadi energi listrik. Mekanisme multi-layer piezoelectric vibration energy harvesting (M-L PZT VEH) merupakan mekanisme yang menggunakan metode piezoelectric berteknologi multi-layer. Mekanisme M-L PZT VEH yang digunakan dipasang pada sistem suspensi tipe semi trailing dan disusun seri pada pegas. Hal ini dimaksudkan agar gaya yang berasal dari pegas, dapat digunakan langsung untuk menekan mekanisme yang didalamnya terdapat multi-layer piezoelectric (M-L PZT). Dengan melakukan pemodelan dan analisa, maka akan diketahui seberapa besar pengaruh pemasangan mekanisme M-L PZT VEH terhadap respon getaran pada kendaraan. Kajian pada penelitian ini dilakukan terhadap respon getaran pada kendaraan dan energi yang dapat dihasilkan mekanisme M-L PZT VEH dalam frequency domain dan time domain dengan memberikan eksitasi harmonik dan step. Hasil analisa menyatakan bahwa penambahan dan peletakan mekanisme M-L PZT VEH tidak menunjukkan perbedaan respon getaran pada kendaraan, sehingga mekanisme M-L PZT VEH tidak mengganggu kenyamanan kendaraan. Pada kecepatan kendaraan 45.8 km/jam, mekanisme M-L PZT VEH akan menghasilkan voltase sebesar 17.5 volt dan daya sebesar 0.0175 watt. Kata kunci: Suspensi, Getaran Kendaraan, Multi-Layer Piezoelectric, Vibration Energy Harvesting fungsinya sistem suspensi semi-aktif memerlukan energi listrik (yang umumnya tidak terlalu besar). Berdasar pada kenyataan tersebut muncul ide untuk memanen energi dari getaran yang terjadi di suspensi, yang diubah menjadi energi listrik yang diperlukan oleh sistem suspensi semi-aktif. Untuk keperluan tersebut, maka dirancanglah mekanisme Vibration Energy harvesting (VEH) yang akan dipasang pada suspensi kendaraan untuk memanen energi getaran. Ada beberapa metode dalam memanen energi yaitu electromagnetic, hydraulic dan piezoelectric. Sejumlah penelitian dan/atau publikasi telah membahas energy harvesting dari sumber energi getaran pada suspensi kendaraan menjadi energi listrik, antara lain adalah penggunaan metode electromagnetic pada suspensi mobil, yang diteliti oleh Gupta et. al [3] dan Zuo et. al [4]. Selanjutnya secara komersial, metode hydraulic pada suspensi mobil telah diproduksi oleh Levant Power Corporation [5] (diberi nama Genshock), dengan memodifikasi desain shock absorber yang umum. Sedangkan metode piezoelectric telah dirancang oleh Pickelmann [6], dengan menggunakan piezoelectric yang ditempatkan pada bagian ujung dari silinder shock absorber dan dinamai regenerative shock absorber. Arizti [7], secara analitis dan simulatif, meneliti regenerative shock absorber tersebut dengan berbagai tipe piezoelectric stack. Penelitian tentang karakteristik getaran pada sistem suspensi kendaraan, akibat pengaruh kondisi permukaan

1. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi memerlukan dukungan ketersediaan sumber energi listrik untuk menjalankan peralatan. Diantara sumber energi skala mikro, getaran atau gerak merupakan sumber energi yang menarik untuk dikaji, mengingat pada umumnya benda yang bergerak atau peralatan yang beroperasi akan menimbulkan getaran. Salah satu komponen dimana terjadi gerak osilatif yang cukup signifikan adalah suspensi kendaraan (darat) roda empat, dimana fungsi utamanya adalah meredam getaran yang terjadi akibat roda kendaraan (yang berjalan) bersentuhan dengan permukaan jalan yang tidak rata dan memberikan kenyamanan kepada pengemudi dan penumpang kendaraan. Sejalan dengan kemajuan teknologi, sistem suspensi juga mengalami perkembangan. Kalau sebelumnya digunakan sistem suspensi pasif (yang terdiri dari komponen pasif, yaitu pegas dan peredam), saat ini dikembangkan sistem suspensi semi-aktif [1], [2]. Pada saat kendaraan melintasi jalan yang bergelombang atau tidak rata, sensor getaran akan mengirimkan informasi ke pengontrol komponen aktif. Selanjutnya pengontrol komponen aktif akan mengatur peredam aktif untuk menyesuaikan sifat redamannya. Dan dengan demikian sistem suspensi semi-aktif dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan kondisi jalan yang dilalui oleh kendaraan. Di satu sisi terjadi getaran yang signifikan pada sistem suspensi. Sementara di sisi yang lain, untuk menjalankan O-29

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

jalan dan kecepatan kendaraan telah dilakukan Wiwiek, dkk [8]. Penelitian ini merupakan kajian awal yang akan digunakan untuk menganalisa energi listrik yang dihasilkan mekanisme multi-layer piezoelectric vibration energy harvesting (M-L PZT VEH) pada sistem suspensi kendaraan. Berdasarkan latar belakang sebagaimana dipaparkan diatas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemasangan mekanisme M-L PZT VEH terhadap respon kendaraan dan kenyamanan dengan menggunakan pemodelan. Mekanisme M-L PZT VEH yang digunakan dipasang pada sistem suspensi tipe semi trailing dan disusun seri pada pegas. Hal ini dimaksudkan agar gaya yang berasal dari pegas, dapat digunakan langsung untuk menekan mekanisme yang didalamnya terdapat massa multi-layer piezoelectric (M-L PZT). Pemasangan mekanisme M-L PZT VEH diduga akan mempengaruhi performa kendaraan, karena mekanisme tersebut mempunyai karakteristik kekakuan dan redaman sendiri.

Massa Unsprung

F  M us .zus

M us zus  Fcs  Fks  Fcw  Fkw M us zus  Cs  C w zus  K s  K w zus  Cw y  K w y (1)  C s zs  K s z s Dari persamaan (1) akan dibentuk dalam persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut :

M

us

zus s   GV 1 s y s   GV 2 s zs s 

(2)

GV 1 s  

(3)

Cw s  K w  M us s  Cs  Cw s  K s  K w  Cs s  K s  GV 2 s   2 M us s  Cs  Cw s  K s  K w 

2.1 Sistem Dinamis Kendaraan Tanpa Mekanisme M-L PZT VEH

Ks

Fks

Cs

i

M s zs  Fcs  Fks

M s zs  Cs z s  K s z s  Cs zus  K s zus

M s

 Cs s  K s zs s   Cs s  K s zus s 

zs s   GV 3 zus s  Cs s  K s  GV 3 s   M s s 2  Cs s  K s

Fcs

Fks

2

maka

Fs Zus

(5)

Dari persamaan (5) akan dibentuk dalam persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut:

Zs

(6)

(7)

Bentuk diagram blok dari persamaan di atas adalah:

Fcs

Mus

(4)

F  M s .zs

s

Ms

2

Massa Sprung

Gambar 1. berikut mengilustrasikan sebuah sistem kendaraan quarter car yang terdiri atas 2 derajad kebebasan : yang pertama Zs adalah perpindahan translasi massa sprung dan yang kedua Zus adalah perpindahan translasi massa unsprung. Perpindahan eksitasi yang menggambarkan kondisi permukaan jalan yang dilalui kendaraan dinyatakan sebagai y, Zs

C w s  K w y s   C s s  K s z s s 

maka

2. METODOLOGI

Ms

s 2  C s  C w s  K s  K w  z us s  

Zus

Mus Kw

Cw

Y(s) Fkw

Fcw i

GV1(s) GV3(s) (1-GV2(s) GV3(s))

Z(s)

Fus y

Gambar 2. Diagram Blok Kendaraan Tanpa Mekanisme M-L PZT VEH di mana GV1  GV3 : Gain 1  Gain 3 pada analisa vehicle

Gambar 1. Sistem Dinamis Kendaraan Quarter Car Tanpa Mekanisme M-L PZT VEH di mana Mus : Massa unsprung (kg) Ms : Massa sprung (kg) Ks : Konstanta pegas suspensi (N/m) Kw : Konstanta pegas ban (N/m) Cs : Koefisien redaman suspensi (Ns/m) Cw : Koefisien redaman ban (Ns/m)

Dengan memperhatikan model matematis di atas, gaya inersia massa sprung akan diterima oleh sistem suspensi. Besarnya parameter peredam dan pegas pada sistem suspensi, sudah ditetapkan sedemikian rupa sehingga sistem suspensi mampu meredam getaran yang terjadi pada kendaraan dan dapat memberikan kenyamanan pada pengendara. Standar tingkat kenyamanan yang terjadi dapat diukur berdasarkan respon getaran yang dialami pengendara pada saat kendaraan sedang berjalan.

Model matematis dari sistem dinamis kendaraan quarter car tanpa mekanisme M-L PZT VEH adalah sebagai berikut: O-30

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Model matematis dari sistem dinamis kendaraan quarter car dengan mekanisme M-L PZT VEH adalah sebagai berikut:

2.2 Sistem Dinamis Kendaraan Dengan Mekanisme M-L PZT VEH Dengan maksud seperti itu, maka sistem suspensi dan mekanisme M-L PZT VEH disusun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Analisa massa unsprung

F  M us .zus M us zus  Fcs  Fks  Fcw  Fkw M us zus  C s  C w zus  K s  K w z us  C w y  K w y (8)  C s z s  K s z m

Zs

Ms

VEH

Dari persamaan (8) akan dibentuk dalam persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut:

Cs

M

Ks

us

s 2  C s  C w s  K s  K w  zus s   C w s  K w y s 

Mus

 C s s  K s z s s 

maka Kw

zus s   GM 1 s y s   GM 2 s zs s 

Cw

(9)

di mana

Cw s  K w  2  s  C us s  C w s  K s  K w 

GM 1 s  

M

Gambar 3. Bentuk Susunan Sistem Suspensi dan Mekanisme M-L PZT VEH

GM 2 s  

M

Gambar 3. mengilustrasikan tentang bentuk susunan sistem suspensi dan mekanisme M-L PZT VEH. Pemasangan mekanisme M-L PZT VEH secara paralel dengan shock absorber pada sistem suspensi bertujuan agar gaya inersia massa sprung dapat diterima oleh peredam dan pegas, seperti sebelum dipasang mekanisme M-L PZT VEH. Sedangkan pemasangan mekanisme M-L PZT VEH yang dipasang seri dengan pegas bertujuan agar gaya yang diterima pegas, dan dapat ditransfer seluruhnya ke mekanisme M-L PZT VEH. Gaya yang diterima oleh mekanisme M-L PZT VEH tersebut merupakan gaya inputan yang digunakan untuk merubah energi getaran menjadi energi listrik. Dengan demikian, kenyamanan pengendara dapat dijaga seperti sebelum dipasang mekanisme M-L PZT VEH. Perumusan model matematis dari sistem dinamis kendaraan quarter car dan mekanisme M-L PZT VEH adalah sebagai berikut:

Analisa massa sprung

y

Zs

Ms

Fcs

Zs

v Fveh

i

Zm

M s zs  C s z s  C s zus  FVEH

(11)

V

Dari persamaan (11) akan dibentuk dalam persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut : V M s s 2  Cs s z s s   Cs s zus s   FVEH maka

z s s   GM 3 s zus s   GM 4 s FVEH di mana

GM 3 s  

Cs s 

M s

 Cs s

1 GM 4 s   2 M s s  Cs s

2

s

V

(12)

(13)

Analisa massa mekanisme

Zp

F  M m .zm M m zm  FVEH  Fks V

i

Fks

Cs s  K s  2  s  C us s  C w s  K s  K w 

V M s zs  Fcs  FVEH

VEH

Fcs

(10)

F  M s .zs

v Fveh

Fs

Fm

(14)

Zus

Mus

Karena defleksi mekanisme sangat kecil dibanding gerakan Ms, dan mekanisme M-L PZT VEH menempel pada massa sprung, maka bisa dianggap bahwa perpindahan, kecepatan dan percepatan dari massa mekanisme M-L PZT VEH sama dengan massa sprung ( Z m  Z s , Z m  Z s dan

Fks Fkw

Fcw i

Fus

Gambar 4. Sistem Dinamis Kendaraan Quarter Car dengan Mekanisme M-L PZT VEH

Zm  Zs ). O-31

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Sehingga persamaan (14) menjadi sebagai berikut

M m zm  FVEH  K s zus  z s  V

M m zs  K s z s  K s zus  FVEH

H

Fveh (t)

V

FVEH  K s zus  M m zs  K s zs V

V VEH

F tan 

Fe

Va

Gambar 7. Pemodelan Sistem Mekanik-Elektrik dimana Mp

: Massa pendorong

M PZT Kr Cm

: Massa M-L PZT : Konstanta pegas karet : Konstanta redaman mekanisme VEH

YA : Koefisien pegas elemen PZT nt : Young’s modulus elemen PZT (N/m2) Y A : Luas permukaan elemen PZT (m2) : Tebal elemen PZT (m) t : Jumlah elemen PZT yang disusun n : Resistance R T n A C  33 : Multi-layer capacitance yang disusun paralel t va t   v R t  : Voltase yang dapat digunakan/melewati load resistance R k PZT 

FVEH  K s zus s   M m s  K s Z s s  FVEH  GM 5 s zus s   GM 6 s Z s s  V

di mana

GM 5 s   K s

GM 6 s   M m s 2  K s

Kpzt

R

(16)

2

Mpzt

C

Dari persamaan (15) akan dibentuk dalam persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut: V

Kr Cm

(15)

Dari persamaan (15) di atas, mekanisme M-L PZT VEH V akan menerima gaya sebesar FVEH . Dengan bentuk mekanisme M-L PZT VEH yang sedemikian rupa, maka V H gaya FVEH dapat dirubah menjadi gaya FVEH , dan gaya tersebut akan diteruskan ke massa elastis M-L PZT . Gaya yang mengenai massa elastis M-L PZT tersebut, sebagian akan dirubah menjadi energi listrik oleh massa elastis M-L V H PZT. Hubungan antara gaya FVEH dengan gaya FVEH adalah: H FVEH 

Mp

(17)

2.3 Analisa Dinamis Mekanisme M-L PZT VEH Gambar 6. dan 7. mengilustrasikan mekanisme M-L PZT VEH dan pemodelan sistem mekanik-elektrik. Digambarkan bahwa dengan adanya bentuk struktur mekanisme M-L PZT V t  dapat dirubah menjadi VEH tersebut, maka gaya FVEH

Penjelasan tentang analisa mekanisme M-L PZT VEH yang dapat menghasilkan energi listrik disampaikan dalam Gambar 8.

H H t  . Selanjutnya gaya FVEH t  akan mendorong massa FVEH pendorong (Mp) yang menekan massa M-L PZT (MPZT). Karena gesekan yang terdapat pada mekanisme dapat dianggap kecil, maka dapat diassumsikan bahwa antara V H t  dan FVEH t  tidak terdapat beda fase. Sehingga FVEH gerakan osilasi gaya yang diterima oleh massa elastis M-L PZT, mempunyai gerakan yang sama dengan gaya eksitasinya.

Zp i

Fmp H

Fr

Fveh (t)

Mp

Fr Fcm

Zpzt

i Fmpzt

Fcm

FPZT Mpzt

Fe

Gambar 8. Diagram benda bebas massa pendorong dan massa M-L PZT

v Fveh (t)

di mana i Fmp : Gaya inersia massa pendorong

Multi layer PZT + Karet H

Fveh (t)

Fr

: Gaya karet

Fcm

: Gaya peredam mekanisme VEH

i FmPZT FPZT Fe Zp

: Gaya inersia massa M-L PZT : Gaya pegas massa M-L PZT : Gaya elektrik dari massa M-L PZT : Perpindahan massa pendorong

Z PZT : Perpindahan massa M-L PZT

Gambar 6. Mekanisme M-L PZT VEH O-32

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Dengan memasukkan persamaan (16) pada persamaan (21) di atas, maka akan didapat FV M T s 2  KT Z p s   VEH  NV tan  V (22) Z p s   GM 7 s FVEH  GM 8 s V

Analisa massa pendorong F  M p .zp

H M p zp  Fcm  Fr  FVEH

M p zp  Cm z p  K r z p  F

H VEH

 Cm z PZT  K r z PZT

Analisa massa M-L PZT F  M PZT .zPZT M PZT zPZT  FPZT  Fcm  Fkp  Fe M PZT zPZT  K PZT  K r z PZT  Cm z PZT  Cm z p  K r z p  Fe

(18)

di mana

GM 7 s   (19)

N  d 33

d 33 V

KT 

K PZT

N Zp C V s   GM 9 s Z p s  dimana N GM 9 s   C N .z p  VC  VR C Q V   Q R C

Zp

H

(t)

MT

(25) (26) (27)

Dari persamaan (27) akan dibentuk dalam persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut: 1  V s   Q s   Rs  C  (28) Qs   GM10 s V s  di mana 1 (29) GM 10 s   1     Rs  C  Dengan asumsi bahwa load impedance mempunyai gerakan seperti eksitasinya, maka output dapat dihitung, dengan mendefinisikan 1 t Z  (30) C n T33 A

Dengan metode penyederhanaan seperti yang terlihat pada persamaan (21), maka analisa massa M-L PZT dapat disederhanakan dengan gerakan massa pendorong (Zp), dengan syarat memberikan rasio perpindahan sebesar  pada perpindahan massa M-L PZT (ZPZT) . Hal ini dapat ditunjukkan dalam Gambar 9.

Fveh

(24)

VC : voltase di capacitor Q : muatan listrik

(21)

YA : Faktor penghubung mekanik-elektrik t : Piezoelectric charge constant (C/N) : Voltase yang dihasilkan massa M-L PZT (volt)

i FmT

(23)

Fe  N .V ; V 

Fe  N .V

Analisa elektrik

dimana M PZT

Maka persamaan (20) dapat disubstitusikan ke dalam persamaan (19) menjadi

MT  M p 

1 tan  M T s 2  K T

N GM 8 s   M T s 2  KT

Karena frekuensi operasional kendaraan mempunyai wilayah tertentu dan pada wilayah tersebut perbesaran perpindahan antara Zp dan Zpzt cenderung konstan, maka rasio perpindahan antara massa pendorong dan massa M-L PZT () bisa diassumsikan konstan. Sehingga hubungan perpindahan antara massa pendorong dan massa M-L PZT adalah (20) z p   .z PZT

M K   H  M p  PZT  zp  PZT z p  FVEH  Fe     H M T zp  KT z p  FVEH  Fe

FkT

di mana  : frekuensi dari fungsi pembebanan eksitasi. Dan dengan R  Z , maka persamaan (29) menjadi

Fe

GM 10 s   N:1

1 s  1     C C 

Daya dapat ditentukan menurut Pt   V t Q t  di mana V t   RQ t 

C R Va

Jadi V

Gambar 9. Diagram Benda Bebas Mekanisme M-L PZT VEH

(32)

s   Rs Qs 

di mana O-33

(31)

 GM11Qs 

(33)

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

diberikan sebesar 0.1 m dan 0.5 detik. Pada grafik-grafik yang ditunjukkan pada Gambar 12. dan Gambar 13 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara respon massa sprung dan massa unsprung, pada sebelum dan setelah menggunakan mekanisme M-L PZT VEH. Demikian juga, respon keduanya menunjukkan bahwa kendaraan akan mengalami kondisi stabil setelah sekitar 1 detik.

GM 11 s   Rs 

s (34) C Sehingga persamaan (32) dapat ditulis dalam bentuk Transformasi Laplace sebagai berikut: Ps   Rs Q s .sQs  (35)  GM 11 s Q s .GM 12 s Q s  di mana GM 12 s   s

(36)

Bentuk diagram blok dari persamaan di atas adalah:

Y(s)

{HM3(s)}2 GM11(s)GM12

P(s)

Gambar 10. Penyederhanaan Diagram Blok di mana : GM1 GM12: Gain 1  Gain 12 pada analisa kendaraan dengan mekanisme M-L PZT VEH G s   GM 4 s GM 5 s  H M 2 s   M 3 1  GM 4 s GM 6 s 

Gambar 11. Perbandingan Respon Kendaraan 0.16

GM 1 s  H M 1 s   1  GM 2 s H M 2 s 

Zs(m) Zs y

Perpindahan (meter)

0.14

 G s GM 9 s H M 1 s GM 5 s   GM 6 s H M 2 s  GM 10 H M 3 s    M 7 1  GM 8 s GM 9 s    3. HASIL DAN PEMBAHASAN

0.12 0.1 0.08 0.06 0.04

Beberapa nilai parameter yang diketahui adalah sebagai berikut: Mus : 45 kg ; Ms : 300 kg Ks : 108.000 N/m ; Kw : 160.000 N/m Cs : 8000 Ns/m ; Cw : 4.090 Ns/m Y : 4.9x1010 N/m2 ; A : 0.0004 m2 MT ; t : 0.001 m : 0.1 kg n : 15 ; d33 : 472x10-12 C/N -9 C : 510x10 F ; R : 100 ohm

0.02 0 0

0.5

1

1.5

2 2.5 3 Waktu (detik)

3.5

4

4.5

5

Gambar 12. Perbandingan Respon Perpindahan Kendaraan Massa Sprung 0.14 Zus(m) Zus y

0.12

Perpindahan (meter)

3.1 Perbandingan Respon Kendaraan Analisa perbandingan respon kendaraan yang tanpa dan dengan mekanisme M-L PZT VEH akan dijelaskan pada subbab ini. Grafik ditampilkan dalam frequency domain dan time domain. Gambar 11. menunjukkan bahwa respon kendaraan sebelum dan setelah menggunakan mekanisme M-L PZT VEH tidak terjadi perbedaan, baik untuk massa unsprung maupun massa sprung. Peak gain massa sprung terjadi pada frekuensi 13.3 rad/s atau 45.8 km/jam, dengan nilai 5.33 dB atau 1.849. Sedangkan peak gain massa unsprung terjadi pada frekuensi 13.3 rad/s atau 45.8 km/jam, dengan nilai 5.33 dB atau 1.45. Hal ini juga ditunjukkan pada grafik yang menggunakan time domain. Dengan memberikan eksitasi berupa step, maka analisa dilakukan untuk mengetahui respon perpin-dahan, kecepatan dan percepatan. Eksitasi step yang

0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0

0.5

1

1.5

2 2.5 3 Waktu (detik)

3.5

4

4.5

5

Gambar 13. Perbandingan Respon Perpindahan Kendaraan Massa Unsprung Selanjutnya analisa dilakukan dengan memberikan eksitasi harmonik dengan amplitudo 0.1 m dan 13.3 rad/s. Gambar 14 dan Gambar 15 merupakan grafik-grafik respon perpindahan massa sprung dan massa unsprung, pada kendaraan sebelum dan setelah menggunakan mekanisme O-34

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

M-L PZT VEH. Pada grafik-grafik tersebut tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan pada respon perpindahan. Demikian juga terjadi pada grafik-grafik respon kecepatan dan percepatan kendaraan.

150

50

Magnitude (dB)

0.2 Zs(m) Zs y

Perpindahan (meter)

0.15 0.1

System: V Frequency (rad/sec): 13.3 System: Hs Magnitude (dB): 44.8 Peak gain (dB): 5.34 At frequency (rad/sec): 13.3

100

System: Hus System: P Peak gain (dB): 3.28 At frequency (rad/sec): 13.3 Frequency (rad/sec): 13.3 Magnitude (dB): -15.4

-50 -100 -150 -200

0.05

Hus Hs V P

-250

-300 -0.05

-350 -1 10

-0.1

10

1

10 Frequency (rad/sec)

10

2

10

3

-0.15 -0.2 0

0.5

1

1.5

2 2.5 3 Waktu (detik)

3.5

4

4.5

Gambar 16. Grafik Energi Yang Dapat Dihasilkan Mekanisme M-L PZT VEH

5

Gambar 14. Perbandingan Respon Perpindahan Massa Sprung Kendaraan

20 15

Voltase (Volt)

10 5 0 -5 -10 -15 -20 0

0.5

1

1.5

2 2.5 3 Waktu (detik)

3.5

4

4.5

5

Gambar 17. Grafik Voltase Yang Dapat Dihasilkan Mekanisme VEH Gambar 15. Perbandingan Respon Perpindahan Massa Unsprung Kendaraan

0.02 0.015

3.2 Analisa Energi Yang Dihasilkan Mekanisme M-L PZT VEH Daya (Watt)

0.01

Mekanisme M-L PZT VEH yang sudah dipasang pada kendaraan akan menghasilkan energi listrik yang dinyatakan dalam voltase dan daya. Dengan memberikan eksitasi perpindahan harmonik sebesar amplitudo 0.1 m dan frekuensi 13.3 rad/s akan diperoleh respon massa sprung dan massa unsprung. Selain itu juga akan didapatkan voltase dan daya yang dihasilkan mekanisme M-L PZT VEH. Sesuai dengan permodelan matematis yang telah diperoleh pada subbab sebelumnya, maka pada subbab ini akan dibahas mengenai energi listrik yang dihasilkan. Analisa dilakukan dengan menampilkan grafik dalam bentuk frequency domain dan time domain. Pada Gambar 16 menunjukkan hasil analisa dari frequency domain yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Kendaraan yang padanya dipasang mekanisme M-L PZT VEH dan sedang melaju dengan kecepatan sebesar 45.8 km/jam akan menghasilkan voltase dan daya dengan nilai gain sebesar 44.8dB atau 173.78 pada voltasenya dan nilai gain sebesar -15.4 dB atau 0.169 untuk dayanya.

0.005 0 -0.005 -0.01 -0.015 -0.02 0

0.5

1

1.5

2 2.5 3 Waktu (detik)

Gambar 18. Grafik Daya Yang Mekanisme VEH

3.5

Dapat

4

4.5

5

Dihasilkan

Dan untuk grafik time domain, apabila amplitudo eksitasinya sebesar 0.10 m, maka besarnya voltase dan daya yang dihasilkan pada kecepatan tersebut adalah 17.5 volt dan 0.0175 watt. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 17 dan Gambar 18. Hasil analisa dari kedua grafik frequency domain dan time domain, mempunyai nilai yang hampir sama. Sehingga O-35

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

dapat disimpulkan bahwa mekanisme M-L PZT VEH akan menghasilkan voltase sebesar 17.5 volt dan 0.0175 watt pada kecepatan kendaraan 45.8 km/jam.

[3] Gupta, A., J. A. Jendrzejczyk, T. M. Mulcahy, and J. R. Hull, Design of Electro-magnetic Shock Absorbers, Northern Illinois University, 2007. [4] Zuo, L., B. Scully, J. Shestani, and Y. Zhou, Design and Characterization of an Electromagnetic Energy Harvester for Vehicle Suspensions, Smart Materials and Structures, IOP Publishing (UK), vol. 19, 045003 (10 pp), 2010. [5] _____, Levant Power: Revolutionary Genshock Technology, Product Catalogue, Levant Power Corporation, www.levantpower.com. [6] Pickelmann, Lutz, Low Voltage Co-fired Multilayer Stack, Rings and Chips for Actuation, Piezomechanik, Munich, 2004, www.piezomechanik.com. [7] Arizti, Marcos, Harvesting Energy from Vehicle Suspension, Master of Science Thesis, Tampere University of Technology, Tampere, Finland, 2010. [8] Hendrowati, W., J. Lubi., and Harus L.G., Studi Karakteristik Getaran Pada sistem Suspensi Pegas Daun Dan Pegas Spiral Akibat Pengaruh Kondisi Permukaan Jalan Dan Kecepatan Yang Bervariasi, SNTTM X, Malang, 2-3 November 2011.

4. KESIMPULAN Hasil yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah: 1. Penambahan dan peletakan mekanisme M-L PZT VEH tidak akan menunjukkan perbedaan yang signifikan pada respon getaran kendaraan, sehingga mekanisme M-L PZT VEH tidak mengganggu kenyamanan kendaraan. 2. Pada kecepatan kendaraan 45.8 km/jam, Mekanisme M-L PZT VEH akan menghasilkan voltase sebesar 17.5 volt dan 0.0175 watt.

DAFTAR PUSTAKA [1] Fischer, D., and R. Isermann, Mechatronic Semi-Active and Active Vehicle Suspensions, Control Engineering Practice 12, pp. 1353-1367, 2004. [2] Fateh, M. M., and S. S. Alavi, Impedance Control of An Active Suspension Sistem , Mechatronics 19, pp. 134-140, 2009, www. Elsevier.com/locate/mechatronics.

O-36

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

OPTIMASI PRESTASI MESIN BENSIN 1500 CC DENGAN BAHAN BAKAR LPG MELALUI PENYETELAN CONVERTER KITS DAN PENYESUAIAN SAAT PENGAPIAN Muji Setiyo1), Prawoto2) Program Studi Mesin Otomotif Universitas Muhammadiyah Magelang 1) Jl.Mayjend Bambang Soegeng Km.05 Mertoyudan Magelang, Phone/ Fax: 0293-326945 Program Magister Teknik Mesin Universitas Pancasila2) Jl.Borobudur No.07 Menteng Jakarta Pusat, Phone :021-31926047 E-mail : [emailprotected]), [emailprotected])

ABSTRAK Permasalahan pada pemasangan converter kits LPG adalah belum adanya informasi tentang stelan converter/ vaporizer agar diperoleh prestasi mesin yang optimum. Penelitian ini bertujuan untuk mencari optimasi prestasi mesin LPG melalui penyetelan baut penyetel pegas lever dan katup aliran gas pada converter kits serta penyesuaian saat pengapian. Objek pada penelitian ini adalah mesin Toyota 5A-FE dengan converter kits Tesla A-100. Luaran yang diharapkan adalah suatu rekomendasi penyetelan mesin LPG pada kondisi torsi optimum dan emisi (CO dan HC) optimum. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen matrik taguchi. Baut stelan pegas lever divariasikan pada 5,5; 5,75; dan 6 putaran. Katup aliran gas divariasikan pada bukaan 40%; 50%; dan 60%. Saat pengapian divariasikan pada 10; 12,5; dan 15 0BTDC. Dari tiga variabel dan tiga level tersebut kemudian dicari kombinasi untuk menghasilkan emisi (CO, HC) dan torsi yang optimum. Torsi optimum (131,2 N.m) diperoleh pada stelan pegas lever 5,75 putaran, bukaan katup aliran 40%, dan saat pengapian 15 0BTDC. Emisi CO terendah ( 0,13%) diperoleh pada stelan pegas lever 5,5 putaran, bukaan katup aliran 40%, dan saat pengapian 10 0BTDC. Emisi HC terendah (124 ppm) diperoleh pada stelan pegas lever 5,5 putaran, bukaan katup aliran 40%, dan saat pengapian 15 0BTDC. Dengan optimasi ini, penggunaan bahan bakar LPG mampu menaikkan torsi mesin 10%, mereduksi CO 80,6 % dan HC 37,2 % dari mesin bensin. Kata kunci: pegas lever, katup aliran, saat pengapian. dungan karbon LPG lebih rendah daripada bensin atau diesel sehingga menghasilkan CO2 yang lebih rendah. Dari beberapa keunggulan diatas, LPG memiliki beberapa kelemahan. Mesin berbahan bakar LPG menghasilkan daya yang lebih rendah dari mesin bensin. Penurunan daya yang terjadi sekitar 5% -10% [3]. Sistem pengapian harus lebih besar sehingga penyalaan mesin menjadi lebih berat. Perlu penyesuaian saat pengapian dan kualitas sistem pengapian. Sistem bahan bakar harus dibuat lebih kuat daripada sistem bensin [4]. Penelitian mengenai LPG sebagai bahan bakar kendaraan sudah banyak ditemukan. Penggunaan LPG kaitannya dengan performa mesin dilakukan oleh, Rohmat [5] dan M.A. Ceviz [6]. Penelitian yang berkaiatan dengan emisi gas buang dilakukan oleh Mockus [7], Mandloi [8], Tasik [9], dan Shankar [10]. Sementara penelitian yang berkaiatan dengan penyesuaian komponen mesin mesin dilakuan oleh Dziubiński [11] dan Lejda [123]. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Toyota Soluna 5A-FE berkapasitas mesin 1500 cc. Sebuah converter kits konvensional merk Tesla dipasang pada mesin tersebut dengan system bi-fuel. System bi-fuel memungkinkan kendaraan dapat dioperasikan dengan bensin atau dengan LPG secara bergantian. Pada saat observasi lapangan dengan pengamatan secara kualitatif, ada tiga variabel yang berpengaruh signifikan terhadap performa mesin dan emisi gas buang, Ketiga variabel tersebut adalah kekencangan pegas lever, bukaan katup aliran gas, dan saat pengapian.

1. PENDAHULUAN Perkembangan konversi BBM ke BBG (CNG) di Indonesia hinggga saat ini belum terlihat secara nyata. Infrastruktur utama seperti stasiun pengisian bahan bakar gas yang belum mendukung merupakan kendala dalam pengembangan ini. Mobil berbahan bakar gas dapat berkembang jika tersedia stasiun pengisian BBG yang tersebar di seluruh wilayah. Untuk itu, LPG menjadi alternatif pengganti BBM. Kandungan energi LPG sebesar 46.23 MJ/kg dan 26 MJ/l , sedangkan kandungan energi bensin sebesar 44.4 MJ/kg dan 34,8 MJ/l. Dibandingkan dengan bensin, LPG memiliki kandungan energi per satuan massa relatif tinggi, tetapi kandungan energi per satuan volumenya rendah. Volume LPG lebih besar dari bensin sekitar 15 % sampai dengan 20%.[1] LPG memiliki nilai oktan 112. Nilai oktan 112 memungkinkan untuk diterapkan pada mesin dengan perbandingan kompresi yang lebih tinggi sehingga memberikan efisiensi thermal yang lebih tinggi. Biaya operasional mesin LPG lebih rendah dan memiliki karakteristik ramah lingkungan [2]. LPG menjadi alternatif energi yang populer sebagai pengganti bensin. LPG memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan bensin. Konsumsi bahan bakar LPG per satuan volume lebih rendah daripada bensin. Distribusi gas pada tiap tiap silinder lebih merata sehingga percepatan mesin lebih baik dan putaran stasioner lebih halus. Ruang bakar lebih bersih sehingga umur mesin meningkat. KanO-37

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari tiap tiap variabel terhadap torsi dan emisi kemudian melakukan optimasi untuk mendapat kondisi operasi mesin yang paling optimum.

2. METODOLOGI 2.1 Lingkup penelitian Tabel 1 berikut menyajikan batasan dan lingkup penelitian.

Converter Kits

Tabel 1. Lingkup Penelitian

Converter kits adalah seperangkat alat yang terdiri dari tabung, pipa pipa, vaporizer, fuel metering, fuel change, solenoid valve, dan mixer. Vaporizer dan mixer adalah peralatan utama pada mesin dengan bahan bakar LPG. Vaporizer terdiri dari dua baian utama. Bagian pertama dinamakan regulator tekanan, berfungsi untuk menurunkan tekanan LPG dari tabung menjadi tekanan output. Penurunan tekanan pada regulator mengakibatkan perubahan fasa LPG dari cair ke gas. Untuk membantu proses penguapan, air pendingin mesin dialirkan disekeliling regulator. Bagian kedua, dinamakan dengan regulator aliran. Regulator aliran berupa katup yang dikendalikan oleh kevakuman throtle body. Katup regulator digerakkan oleh lever. Lever berupa pengungkit dengan titik tumpu ditengah. Satu ujung dikaitkan dengan diafragma dan ujung yang lain ditahan oleh pegas lever. Jumlah gas yang mengalir dari regulator tekanan ke ruang diafragma dipengaruhi oleh kekuatan pegas lever dan kevakuman ruang diafragma. Pegas lever dapat diatur dengan memutar baut penyetel yang terdapat pada bagian luar convereter kits. kevakuman ruang diafragma tergantung dari kecepatan aliran udara pada throtle body. Vaporizer juga dilengkapi dengan katup solenoid dan katup aliran gas pada saluran output. Solenoid berfungsi untuk membuka dan menutup saluran gas didalam vaporizer. Solenoid dikendalikan oleh tegangan listrik dari sistem kelistrikan kendaraan. Katup aliran gas berfungsi untuk mengatur kapasitas aliran pada sisi output vaporizer. Katup aliran gas dapat diatur untuk mengurangi atau menambah luasan saluran output. Bentuk fisik vaporizer LPG yang dipakai dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.

Kode Variabel bebas / faktor Level 1 Level 2 Level 3 A Stelan pegas lever, (putaran ) 5,5 5,75 6 B Bukaan katup aliran gas, (%) 40 50 60 C Saat pengapian, (0BTDC ) 10 12,5 15

Metode penelitian yang dipilih adalah metode eksperimen. Kombinasi tiga variabel bebas/faktor dan tiga level penelitian seperti pada tabel 1, dibutuhkan pengambilan data (trial) yang banyak. Jika menggunakan metode full faktorial, dibutuhkan 27 kali percobaan. Untuk mereduksi jumlah trial, kemudian dipilih metode taguchi [13]. 2.2 Menentukan Jumlah Derajat Kebebasan dan matrik orthogonal Pemilihan matrik orthogonal didasarkan pada jumlah total derajat kebebasan (degree of freedom). Perhitungan derajat bebas untuk percobaan tiga factor-tiga level adalah sebagai berikut: Tabel 2. Perhitungan total derajat kebebasan Faktor Level Derajat bebas A 3 (3-1) B 3 (3-1) C 3 (3-1) Total derajat bebas ( DOF)

Jumlah 2 2 2 6

Total derajat bebas menunjukkan jumlah baris minimal dalam percobaan. Matrik yang memiliki lebih dari enam baris dengan masing masing faktor memiliki tiga level adalah matrik “L-9(34) array”. Konfigurasi faktor-level yang berdasar pada Tabel 2, dengan menyertakan parameter yang diukur adalah sebagai berikut.

Saluran output Saluran air Saluran input LPG

Tabel 3. Konfigurasi faktor-level dan parameter ukur Penyetel pegas lever

Trial num 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Solenoid

Gambar 1. Vaporizer LPG Untuk memasukkan LPG ke saluran manifold, digunakan sebuah mixer yang dipasang pada sisi depan throtle body. Mixer memiliki beberapa lubang memanjang yang mengelilingi lingkaran dalam. LPG dalam fasa gas mengalir dari vaporizer ke mixer melalui katup aliran gas (katup akselerasi).

A (put) 5,5 5,5 5,5 5,75 5,75 5,75 6 6 6

B (%) 40 50 60 40 50 60 40 50 60

C (0BTDC) 10 12,5 15 15 10 12,5 12,5 15 10

T (N.m)

CO (%)

HC (ppm)

2.3 Media dan Alat Penelitian Media dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini tersaji dalam tabel 4 berikut:

O-38

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Engine gas analizer

Tabel 4. Media dan alat penelitian Nama bahan Mobil Converter kits Chasis dinamometer Engine gas analizer Hidraulic house

Merk Toyota Tesla HOFFMAN Q-Rotech Eastman

Spesifikasi Seri 5A-FE A-100 260 kW QRO-401 225 bar

2.4 Instalasi LPG Gambar 4. Skema pengujian emisi gas buang

Tabung LPG diletakkan pada bagasi bagian belakang mobil. Vaporizer diletakkan di ruang mesin. LPG dari tabung dialirkan ke vaporizer melalui hydraulic house dengan sebuah pressure gauge dipasang di dashboard sebagai indikator tekanan LPG. LPG fasa gas sampai ke intake memalui manifoldsebuah disajikan dimasukkan ke mesin mixerdalam yang gambar 2. dipasang pada throtle body. Skema aliran gas dari tabung sampai ke intake manifold disajikan dalam gambar 2.

Udara, masuk

air pendingin mesin, masuk

2.6 Pengolahan Data dan optimasi Dari data hasil pengujian, dilakukan perhitungan respons rata rata dari tiap level-faktor. Selanjutnya, dilakukan identifikasi level-faktor yang dominan. Optimasi dilakukan dengan cara mengkombinasikan levelfaktor yang dominan. Tahap berikutnya adalah melakukan uji konfirmasi.

air pendingin mesin, keluar

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabung Katup

Mixer Throtle Body

Vapo rizer

solenoid

Metering

Fuel change

injektor

LPG

3.1 Data pengujian Data hasil pengujian torsi mesin, dan emisi ditunjukkan dalam tabel 5 dan tabel 6 secara berurutan.

Coupling

Tabel 5. Data pengujian torsi mesin

Mesin

Fuel pump Fuel Tank

Gambar 2. Skema aliran LPG dan bensin 2.5 Skema Pengujian Pengujian torsi mesin dilakukan dengan chassis dynamometer yang diukur pada roda roda penggerak. Emisi gas buang diukur dengan engine gas analyzer. Tata cara uji emisi sesuai dengan lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 05 tahun 2006 tentang cara uji kendaraan bermotor kategori M, N, dan O berpenggerak penyalaan cetus api pada kondisi idle (SNI 19-7118.1-2005).uji emisi Skema pengujian torsi dan Gambar Skema aliran LPG dan3 bensin emisi gas buang 2. disajikan pada gambar dan gambar 4 secara berurutan.

Hasil pengujian Faktor C Torsi (N.m) Put (Rpm)

Trial

Faktor A

Faktor B

1

5,5

40

10

219

2543

2

5,5

50

12,5

221

2724

3

5,5

60

15

216

4199

4

5,75

40

15

231

2573

5

5,75

50

10

215

4287

6

5,75

60

12,5

212

4192

7

6

40

12,5

221

2740

8

6

50

15

222

4284

9

6

60

10

207

4149

Tabel 6. Data pengujian emisi

Monitor dynamometer

Hasil uji emisi Rerata CO Rerata HC

Trial

Faktor A

Faktor B

Faktor C

1

5,5

40

10

0,132

161,4

2

5,5

50

12,5

2,296

120,4

3

5,5

60

15

2,872

192,0

4

5,75

40

15

2,314

155,2

5

5,75

50

10

3,284

182,8

6

5,75

60

12,5

5,52

294,6

7

6

40

12,5

3,488

260,0

8

6

50

15

4,956

309,2

9

6

60

10

6,478

459,0

Keterangan tabel 5 dan tabel 6: Faktor A : Stelan baut pegas lever [putaran] Faktor B : Bukaan katup aliran gas [ % ] Faktor C : Saat pengapian [0BTDC]

Roll dynamometer

Gambar 3. Skema pengujian torsi

Gambar 3. Skema pengujian torsi O-39

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

mengindikasikan bahwa faktor B dan Faktor C berpengaruh signifikan, sedangkan faktor A tidak berpengaruh signifikan terhadap output torsi.

3.2 Perhitungan respons rerata Tabel 7. Respon / pengaruh rerata faktor level No

Notasi

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅

T (N.m)

CO (%)

HC (ppm)

218,22 218,67 219,33 216,67 223,67 219,33 211,67 213,67 218 223

3,48 1,77 3,71 4,97 1,98 3,51 4,96 3,3 3,77 3,38

237,18 157,93 210,87 342,73 192,2 204,13 315,2 267,73 225 218,8

Tabel 9. ANOVA pada pengujian CO General Linear Model Faktor STELAN PEGAS LEVER(A) BUKAAN KATUP ALIRAN(B) SAAT PENGAPIAN (C )

Analysis of Variance for EMISI (CO) Source DF Seq SS Adj SS Adj MS (A) 2 15.66 15.66 7.83 (B) 2 13.31 13.31 6.66 (C) 2 0.38 0.38 0.19 Error 2 0.36 0.36 0.18 Total 8 29.71

Keterangan: ̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅

: Rerata hasil pengujian ( Y ) : Pengaruh rerata stelan pegas lever 5,5 putaran : Pengaruh rerata stelan pegas lever 5,75 putaran : Pengaruh rerata stelan pegas lever 6 putaran : Pengaruh rerata bukaan katup aliran 40 % : Pengaruh rerata bukaan katup aliran 50 % : Pengaruh rerata bukaan katup aliran 60 % : Pengaruh rerata saat pengapian 10 0BTDC : Pengaruh rerata saat pengapian 12,5 0BTDC : Pengaruh rerata saat pengapian 15 0BTDC

Analisis variansi digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi tiap tiap faktor terhadap hasil pengujian. Penghitungan ANOVA menggunakan perangkat bantu statistik minitab. Konsep penghitungan ANOVA adalah membandingkan nilai Fhitung terhadap Ftabel. Jika Fhitung lebih besar dari Ftabel, dinyatakan ada hubungan yang signifikan antara perlakuan faktor terhadap hasil pengujian. Sebaliknya jika Fhitung lebih kecil dari Ftabel, menunjukkan adanya hubungan yang tidak signifikan.

Analysis of Variance for TORSI Source DF Seq SS Adj SS (A) 2 11.56 11.56 (B) 2 221.56 221.56 (C) 2 130.89 130.89 Error 2 9.6 9.56 Total 8 373.56

General Linear Model Faktor STELAN PEGAS LEVER(A) BUKAAN KATUP GAS (B) SAAT PENGAPIAN (C)

Levels 3 3 3

Values 0 5.5 5.75 6 40 50 60 10 12.5 15

Analysis of Variance for HASIL CO Source DF Seq SS Adj SS Adj MS (A) 2 54575 54575 27287 (B) 2 27752 27752 13876 (C) 2 4181 4181 2091 Error 2 3047 3047 1524 Total 8 89308

Values 0 5.5 5.75 6 40 50 60 10 12.5 15

Adj MS 5.78 110.78 65.44 4.78

F 43.42 36.92 1.05

Tabel 10. ANOVA pada pengujian HC

Tabel 8. ANOVA Pengujian Torsi Levels 3 3 3

Values 0 5.5 5.75 6 40 50 60 10 12.5 15

Dari hasil penghitungan Anova diatas, diperoleh bahwa stelan pegas lever (Faktor A) dan bukaan katup aliran (Faktor B) menunjukkan nilai Fhitung >> Ftabel, sedangkan untuk saat pengapian (Faktor C) menunjukkan nilai Fhitung < Ftabel. Nilai Ftabel untuk tingkat kepercayaan 95% F(0.05,2,8) adalah 4,46. Ini mengindikasikan bahwa stelan pegas lever dan bukaan katup aliran gas berpengaruh signifikan, sedangkan saat pengapian tidak berpengaruh signifikan terhadap emisi HC pada mesin LPG.

3.3 Analisis variansi (ANOVA )

General Linear Model Faktor STELAN PEGAS LEVER(A) BUKAAN KATUP ALIRAN(B) SAAT PENGAPIAN (C)

Levels 3 3 3

F 1.21 23.19 13.70

F 17.91 9.11 1.37 0

Dari hasil penghitungan Anova diatas, diperoleh bahwa faktor stelan pegas lever (Faktor A) dan bukaan katup aliran(Faktor B) menunjukkan nilai Fhitung >> Ftabel, sedangkan untuk faktor saat pengapian (Faktor C) menunjukkan nilai Fhitung < Ftabel. Nilai Ftabel untuk tingkat kepercayaan 95 % F(0.05,2,8) adalah 4,46. Ini mengindikasikan bahwa stelan pegas lever dan bukaan katup aliran gas berpengaruh signifikan, sedangkan saat pengapian tidak berpengaruh signifikan terhadap emisi HC pada mesin LPG.

Dari hasil penghitungan Anova diatas, diperoleh bahwa bukaan katup aliran gas (Faktor B) dan saat pengapian (Faktor C) menunjukkan nilai Fhitung >> Ftabel, sedangkan untuk stelan pegas lever (Faktor A) menunjukkan nillai Fhitung < Ftabel. Nilai Ftabel untuk tingkat kepercayaan 95% F(0.05,2,8) adalah 4,46. Ini O-40

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 14. Identifikasi level faktor optimum pada pengujian torsi

3.4 Menentukan Persen kontribusi Perhitungan persen kontribusi (percent influence) digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari faktor A (stelan pegas lever), faktor B (bukaan katup aliran), dan faktor C (saat pengapian) terhadap hasil pengujian secara keseluruhan. Jika jumlah total dari ketiga faktor bernilai 100 %, maka dinyatakan bahwa hasil pengujian seluruhnya dipengaruhi oleh faktor faktor tersebut. Jika total dari ketiga faktor kurang dari 100 %, maka ada faktor lain yang ikut berkontribusi terhadap hasil pengujian. Faktor lain ini dinamakan error.

Faktor Level 1 2 3 Selisih Rangking

Saat pengapian

2

130,89

SS' 2,0 212,0 121,33

% Kontribusi 0,54 56,75

Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa faktor A (stelan pegas lever) berpengaruh sangat kecil terhadap torsi, yaitu sebesar 0,54% (tidak berpengaruh signifikan). Faktor B (bukaan katup aliran) berpengaruh 56,75% dan faktor C (saat pengapian) berpengaruh 32,48% terhadap torsi yang dihasilkan.

DF 2 2

SS 15,656 13,313

SS' 15,295 12,952

Saat pengapian

2

0,3778

0,0172

215

210 A1

A3

B1

B2

B3

C1

C2

C3

Gambar Gambar 5. 5. Rerata Rerata renpons renpons terhadap terhadap torsi torsi % Kontribusi 51,49 43,6

Tabel 15.

0,06

Faktor Level 1 2 3 Selisih Rangking

Identifikasi level faktor optimum pada pengujian CO Stelan pegas lever (put) (A) 1,77 3,71 4,97 -3,21 1

Bukaan katup Saat pengapian aliran gas (%) (B) (0BTDC) (C) 1,98 3,30 3,51 3,77 4,96 3,38 -2,98 -0,47 2 3

Dari Tabel 15, dapat diketahui bahwa kombinasi level faktor untuk mendapatkan emisi CO terendah diperoleh pada A1; B1; C1; yaitu pada stelan pegas lever 5,5 putaran, bukaan katup aliran gas 40%, dan saat pengapian 100 BTDC. Gambar 6 menunjukkan respons level faktor terhadap emisi CO.

Tabel 13. Percent influence pengujian HC DF 2 2 2

A2

RERATA RESPONS

Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa faktor A (stelan pegas lever) berpengaruh 51,49% dan faktor B (bukaan katup aliran) berpengaruh 43.60% terhadap produk emisi CO, sedangkan faktor C (saat pengapian) hanya berpengaruh 0,06 % (tidak berpengaruh signifikan).

Variabel source Stelan pegas lever Bukaan katup gas Saat pengapian

C3

A2

220

Tabel 12. Percent influence pengujian CO Variabel Source Stelan pegas lever Bukaan katup gas

B1

225

32,48

TORSI (N.m)

DF SS 2 11,56 2 221,56

Bukaan katup Saat pengapian aliran gas (%) (B) (0BTDC) (C) 223, 67 213,67 219,33 218,00 211,67 223,00 12,00 9,33 1 2

Dari tabel 14, dapat diketahui bahwa kombinasi level faktor untuk mendapatkan torsi tertinggi diperoleh pada B1; C3; dan A2; yaitu pada bukaan katup aliran gas 40%, saat pengapian 15 0BTDC, dan pada stelan pegas lever 5,75 putaran. Gambar 5 menunjukkan respons rerata tiap faktor terhadap torsi.

Tabel 11. Percent influence pengujian torsi Variabel Source Stelan pegas lever Bukaan katup gas

Stelan pegas lever (put) (A) 218,67 219,33 216,67 0,67 3

SS SS' % Kontribusi 54342 51242 57,38 27607 24507 27,44 4259 1159 1,3

CO (%)

Dari tabel 13 dapat diketahui bahwa faktor A (stelan pegas lever) berpengaruh 57,38% dan faktor B (bukaan katup aliran) berpengaruh 27,44% terhadap produk emisi HC, sedangkan faktor C (saat pengapian) berpengaruh 1,3% (tidak signifikan). 3.5 Identifikasi level faktor optimum Identifikasi level faktor optimum diperlukan untuk mengetahui level faktor yang memberikan pengaruh terbesar terhadap hasil pengujian. Kombinasi dari level faktor dominan ini diharapkan memberikan parameter yang optimum.

6 5 4 3 2 1 0

C1

A1 B1 A1

A2

A3

B1

B2

B3

C1

C2

C3

RERATA RESPONS Gambar 6. Rerata renpons terhadap emisi CO

Gambar 6. Rerata renpons terhadap emisi CO O-41

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

Tabel 16. Identifikasi level faktor optimum pada pengujian HC Faktor Level 1 2 3 Selisih Rangking

Stelan pegas lever (put) (A) 157,93 210,87 342,73 -184,80 1

Bukaan katup aliran gas (%) (B) 192,20 204,13 315,20 -123,00 2

3.7 Prediksi torsi optimum a. Perhitungan prediksi torsi optimum

Saat pengapian (0BTDC) (C) 267,73 225,00 218,80 -48.93 3

Dari tabel 14, torsi terbesar diperoleh diri kombinasi antara B1, C3, dan A2. Hasil perhitungan prediksi torsi optimum adalah sebagai berikut. ̅

̅̅̅̅

̅̅̅̅

̅

̅̅̅̅

̅

̅

dengan nilai Dari tabel 16, dapat diketahui bahwa kombinasi level faktor untuk mendapatkan emisi HC terendah diperoleh pada A1; B1; C3; yaitu pada stelan pegas lever 5,5 putaran, bukaan katup aliran gas 40%, dan saat pengapian 150 BTDC. Gambar 7 menunjukkan respons rerata tiap faktor terhadap emisi HC.

b. Perhitungan prediksi CO optimum Dari tabel 15, CO terkecil diperoleh diri kombinasi antara, A1, B1, dan C1. Kondisi optimal untuk CO ternyata sama dengan konfigurasi percobaan pertama, yaitu dengan kombinasi stelan baut pegas lever 5,5 putaran, bukaan katup gas 40%, dan saat pengapian 10 0 BTDC. Hasil perhitungan prediksi emisi CO optimum adalah sebagai berikut.

HC (ppm )

400 300 200

C3

B1

A1

̅

̅̅̅̅

100

̅̅̅̅

̅

̅̅̅̅

̅

̅

dengan nilai CI

c. Perhitungan prediksi HC optimum

A1

A2

A3

B1

B2

B3

C1

C2

C3

Dari tabel 16, HC terkecil diperoleh diri kombinasi antara B1, A1, dan C3. Hasil perhitungan prediksi emisi HC optimum adalah sebagai berikut.

RERATA RESPONS Gambar Reratarenpons renponsterhadap terhadap emisi Gambar 7 7. Rerata emisiHC HC

̅

̅̅̅̅

̅

̅̅̅̅

̅

̅̅̅̅

̅

3.6 Prediksi hasil dan Confident Interval (C.I) dengan CI = ± 31,43

Setelah diketahui level faktor yang berpengaruh dominan, kemudian dilakukan perhitungan perkiraan atau prediksi hasil, jika level faktor yang berpengaruh dominan tersebut dikombinasikan. Kontrol kualitas untuk optimasi torsi adalah “yang terbesar yang terbaik”, sedangkan untuk optimasi CO dan HC adalah “yang terkecil yang terbaik”. Dari perhitungan prediksi hasil, kemudian dilakukan uji konfirmasi untuk membuktikan kebenaran dari hasil perkiraan yang dilakukan. Sebelum dilakukan percobaan konfirmasi, dilakukan perhitungan tingkat interval kepercayaan/confident interval (CI). Jika hasil percobaan konfirmasi berada pada daerah penerimaan confident interval, maka optimasi dinyatakan berhasil atau tepat. Pada penelitian ini, tingkat confident interval untuk semua parameter ukur (torsi, CO, dan HC) ditetapkan sebesar 95%. Formula CI untuk tingkat kepercayaan 95% adalah sebagai berikut: [

3.8 Hasil percobaan konfirmasi Dari analisis tentang prediksi hasil yang optimum, kemudian dilakukan uji konfirmasi untuk membuktikan bahwa hasil optimasi berada pada daerah penerimaan confident interval (CI). Faktor dan level yang digunakan dalam uji konfirmasi adalah factor level pada perhitungan prediksi hasil. a. Percobaan konfirmasi torsi Kombinasi terbaik untuk mendapatkan Torsi optimum adalah pada bukaan katup aliran gas 40% (B1), dan saat pengapian 15 0BTDC (C3), dan stelan pegas lever 5,75 putaran (A1) secara berurutan. Tabel 14 berikut adalah hasil percobaan konfirmasi dengan menggunakan kombinasi faktor level optimum. Torsi maksimum yang dihasilkan pada pengujian konfirmasi bernilai 231,3 N.m, sementara dengan bahan bakar bensin dihasilkan torsi maksimum sebesar 210 N.m. Ini berarti pemakaian LPG dengan bukaan katup aliran 40%, saat pengapian 15 0BTDC, dan penyetelan pegas lever pada 5,75 putaran dapat meningkatkan torsi sebesar 10%. Dengan melihat interval kepercayaan antara 27,35 N.m sampai 31,85 N.m, menunjukkan bahwa uji konfirmasi torsi sebesar 231,3 N.m berada pada interval penerimaan.

]

Keterangan: CI = Confident interval F(1,n2) = Nilai Ftabel Ve = Jumlah variansi error Ne = Jumlah pengamatan efektif

O-42

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

GRAFIK PERBANDINGAN TORSI MESIN LPG DAN MESIN BENSIN

PERBANDINGAN EMISI HC MESIN LPG DENGAN MESIN BENSIN

240

197.6 200

220 210

HC (ppm)

TORSI (N.m)

230

200 190

LPG Bensin Poly. (LPG) Poly. (Bensin)

180 170 160

100 50 0 LPG

150

Gambar 8. Perbandingan torsi mesin LPG dan bensin

Emisi HC pada uji konfirmasi bernilai 124 ppm, sedangkan dengan bahan bakar bensin dihasilkan HC rata rata 197,6 ppm. Ini berarti pemakaian LPG dengan penyetelan baut pegas lever pada 5 putaran, bukaan katup aliran 40%, dan saat pengapian 15 0BTDC dapat mereduksi emisi HC sebesar 37,2%. Dengan melihat interval kepercayaan antara 39,5 ppm, sampai 184,6 ppm, berarti uji konfirmasi HC sebesar 124 ppm berada pada interval penerimaan.

b. Percobaan konfirmasi CO Kombinasi terbaik untuk mendapatkan CO optimum adalah stelan pegas lever 5,5 putaran (A1 ), bukaan katup aliran gas 40% (B1), dan saat pengapian 10 0BTDC (C1). Gambar 9 berikut menunjukkan hasil pengujian emisi CO skala optimasi terhadap emisi CO dengan bahan bakar bensin pada nilai lambda (λ) 1 ± 0,004. Emisi CO pada uji konfirmasi bernilai 0,13%, sedangkan dengan bahan bakar bensin dihasilkan CO rata rata 0,67%. Ini menunjukkan bahwa pemakaian LPG dengan penyetelan baut pegas lever pada 5 putaran, bukaan katup aliran 40 %, dan saat pengapian 10 0BTDC dapat mereduksi emisi CO hingga 80,6%. Dengan melihat interval kepercayaan antara -0,223%, sampai 0,403%, berarti uji konfirmasi CO sebesar 0,13% berada pada interval penerimaan.

d. Perbandingan emisi CO2 Gambar 10 memberikan informasi bahwa penggunaan LPG dapat mereduksi emisi CO2 dari 12,36% menjadi 11,16% pada skenario optimasi HC dan 11,06% pda skenario optimasi CO. Dalam bentuk grafik, perbandingan emisi CO2 mesin LPG dengan perlakuan optimasi CO dan optimasi HC terhadap emisi CO2 mesin bensin standar adalah sebagai berikut.

PERBANDINGAN EMISI CO PADA MESIN LPG DAN MESIN BENSIN

0.8

PERBANDINGAN EMISI CO2 MESIN LPG DENGAN MESIN BENSIN

0.67

12.36

12.5

0.6

0.4

BENSIN

Gambar 10. Perbandingan emisi HC mesin LPG dan mesin bensin

PUTARAN MESIN (Rpm)

CO (%)

124

150

12 0.13

CO2 (%)

0.2 0

11.5

11.06

11.16

11 10.5

LPG

10

BENSIN

LPG opt CO

Gambar 9. Perbandingan emisi CO mesin LPG dan mesin bensin

LPG opt HC

BENSIN

Gambar 107. Perbandingan emisi CO2 c. Percobaan konfirmasi HC

4. KESIMPULAN Kombinasi terbaik untuk mendapatkan HC optimum adalah stelan pegas lever 5,5 putaran (A1), bukaan katup aliran gas 40% (B1), dan saat pengapian 15 0BTDC (C1). Gambar 10 berikut menunjukkan hasil pengujian emisi HC skala optimasi terhadap emisi HC dengan bahan bakar bensin pada nilai lambda (λ) 1 ± 0,004.

1. Pengaruh stelan pegas lever, bukaan katup aliran gas, dan saat pengapian pada mesin LPG: a. Stelan pegas lever berpengaruh signifikan terhadap emisi CO dan HC, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap output torsi mesin.

O-43

Seminar Nasional Teknik Mesin 7 21 Juni 2012, Surabaya, Indonesia

b. Bukaan katup aliran gas berpengaruh signifikan terhadap torsi mesin, emisi CO, dan HC c. Penyetelan saat pengapian berpengaruh signifikan terhadap torsi mesin, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap emisi CO dan HC. 2. Kondisi operasi optimum mesin LPG: a. Torsi optimum (231,3 N.m) diperoleh pada kombinasi bukaan katup aliran gas 40%, saat pengapian 15 0BTDC, dan pada stelan pegas lever 5,75 putaran. b. Emisi CO optimum (0,13%) diperoleh pada kombinasi stelan pegas lever 5,5 putaran, bukaan katup aliran 40%, dan saat pengapian 10 0BTDC. c. Emisi HC optimum (124 ppm) diperoleh pada kombinasi stelan pegas lever 5,5 putaran, bukaan katup aliran 40%, dan saat pengapian 15 0BTDC. 3. Dengan optimasi ini, penggunaan bahan bakar LPG mampu menaikkan torsi mesin 10%, mereduksi CO 80,6% dan HC 37,2% dari mesin bensin.

5. Tri Agung Rohmat dan Harwin Saptoadi, 2003, Pengaruh Waktu Penyalaan Terhadap Kinerja Spark-Ignition Engine Berbahan Bakar LPG, Media Teknik No.3 Tahun XXV edisi Agustus 2003ISSN 0216-3012. 6. Saulius Mockus et.al, 2006, Analysis Of Exhaust Gas Composition Of Internal Combustion Engines Using Liquefied Petroleum Gas, Journal Of Environmental Engineering And Landscape Management 2006, Vol XIV, No 1, 16–22. 7. R. K. Mandloi and A Rehman, 2010, Long Term Continuous Use Of Auto- LPG Causes Thermal Pitting In Automotive S.I. Engine Parts, International Journal of Engineering Science and Technology Vol. 2(10), 2010, 5907-5911. 8. Tasik T et.al, 2011, Gasoline and LPG Exhaust Emissions Comparation, Advances in Production Engineering and Managemant, 6(2011)2,87-94, ISSN 1854-6250. 9. Shankar K. S and Mohanan P, 2011, MPFI Gasoline Engine Combustion, Performance And Emission Characteristics With LPG Injection, International Journal Of Energy And Environment Volume 2, Issue 4, 2011 pp.761-770. 10. Mieczysław Dziubiński et.al, 2007, Testing Of An Ignition System In A Car Run On Various Fuels, Teka Kom. Mot. Energ. Roln. - OL PAN, 2007, 7, 97–104 11. Kazimierz Lejda, Artur Jaworski, 2008, Influence of liquid LPG injection pressure on the injection control, TEKA Kom. Mot. Energ. Roln. – OL PAN, 2008, 8, 141–148. 12. Ranjit K. Roy, 2001, Design Of Experiments Using The Taguchi Approach, John Wiley and Sons Inc, Canada.

DAFTAR PUSTAKA 1. ETSAP, 2010, Automotive LPG and Natural Gas Engines, Technology Brief T03–April 2010- www. etsap. org 2. R.R. Saraf, S.S.Thipse and P.K. Saxena, 2009, Comparative Emission Analysis of Gasoline/LPG Automotive Bifuel Engine, International Journal of Civil and Environmental Engineering 1:4 2009. 3. M.A. Ceviz_, F. Yu¨ ksel, 2005, Cyclic variations on LPG and gasoline-fuelled lean burn SI engine, Renewable Energi 31 (2006) 1950–1960. 4. ETSAP, 2009, Liquid Petroleum Gas and Natural Gas Internal Combustion Engines, Technology Brief T03 – june 2009 - www.etsap.org

O-44

ISBN: - PDF Free Download (2025)
Top Articles
Latest Posts
Recommended Articles
Article information

Author: Carmelo Roob

Last Updated:

Views: 5471

Rating: 4.4 / 5 (45 voted)

Reviews: 84% of readers found this page helpful

Author information

Name: Carmelo Roob

Birthday: 1995-01-09

Address: Apt. 915 481 Sipes Cliff, New Gonzalobury, CO 80176

Phone: +6773780339780

Job: Sales Executive

Hobby: Gaming, Jogging, Rugby, Video gaming, Handball, Ice skating, Web surfing

Introduction: My name is Carmelo Roob, I am a modern, handsome, delightful, comfortable, attractive, vast, good person who loves writing and wants to share my knowledge and understanding with you.